Login
Section Private Law

The Legal Status of a Breached Indemnity Agreement in the Submission of Surety Bond Claims (Case Study of Decision No. 780/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst)

Kedudukan Hukum Perjanjian Ganti Rugi (Indemnity Agreement) yang Wanprestasi dalam Proses Pengajuan Klaim Surety Bond (Studi Kasus Putusan No. 780/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst)
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Jonathan Wijaya (1), Gunawan Djajaputra (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Surety bonds function as key legal instruments ensuring performance in Indonesia’s construction and procurement sectors. Specific Background: When a principal defaults and the surety pays the obligee’s claim, the indemnity agreement becomes central to determining the surety’s right of recourse. Knowledge Gap: However, limited scholarly attention has examined the legal force of breached indemnity agreements and the procedural barriers that may obstruct enforcement. Aims: This study analyzes the legal status and binding effect of indemnity agreements when principals fail to reimburse sureties, using District Court Decision No. 780/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst as a case study. Results: Findings show that the indemnity agreement constitutes an independent and binding contract under Article 1338 of the Civil Code, giving the surety an automatic and unconditional right of recourse once a claim is paid. The principal’s non-payment constitutes clear breach, triggering liability for reimbursement, penalties, and legal costs. Nonetheless, the lawsuit was declared inadmissible due to error in persona, preventing substantive examination. Novelty: This study demonstrates that substantive contractual strength alone is insufficient without procedural precision in constructing parties to the lawsuit. Implications: Effective enforcement of surety rights requires harmonizing contractual validity with strict procedural compliance to ensure legal certainty.


Highlights:




  • The indemnity agreement holds independent and binding legal force, giving the surety an unconditional right of recourse.




  • Principal’s failure to reimburse constitutes clear breach, triggering liability for reimbursement, penalties, and legal costs.




  • Procedural errors (error in persona) can nullify an otherwise strong substantive claim, preventing judicial examination.




Keywords: Indemnity Agreement, Surety Bond, Breach of Contract, Right of Recourse, Error in Persona

Author Biographies

Jonathan Wijaya, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Gunawan Djajaputra, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Dalam praktik pengadaan barang dan jasa, khususnya dalam industri konstruksi dan tender proyek, keberadaan surety bond—yang dalam konteks Indonesia sering disamakan dengan Bank Garansi—memiliki fungsi strategis sebagai instrumen perlindungan hukum dan ekonomi bagi para pihak yang berkontrak. Dokumen jaminan ini diterbitkan oleh perusahaan penjamin, baik perusahaan asuransi maupun bank, yang bertindak sebagai surety, untuk menjamin pihak principal (biasanya kontraktor atau penyedia jasa) akan melaksanakan seluruh kewajiban yang telah diperjanjikan dalam kontrak [1]. Jaminan tersebut diberikan demi kepentingan obligee, yakni pemilik pekerjaan atau pemberi proyek, sehingga apabila principal ingkar atau gagal memenuhi prestasinya, surety berkewajiban untuk menanggung risiko wanprestasi tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian penjaminan [2].

Sebelum suatu perusahaan penjamin (surety) menerbitkan surety bond sebagai bentuk jaminan atas pelaksanaan kewajiban principal, pihak surety secara lazim akan mewajibkan principal untuk terlebih dahulu menyepakati dan menandatangani suatu perjanjian ganti rugi, yang dalam praktik internasional dikenal sebagai indemnity agreement. Dokumen perjanjian ini menjadi dasar hubungan hukum yang mengikat principal untuk bertanggung jawab penuh atas segala konsekuensi yang mungkin dialami surety sebagai akibat dari penerbitan jaminan tersebut [3]. Melalui perjanjian ganti rugi, principal menyatakan kesediaannya untuk memberikan penggantian kerugian, perlindungan hukum, serta pembebasan tanggung jawab kepada surety apabila kemudian muncul tuntutan, klaim pihak ketiga, biaya penyelesaian, maupun pengeluaran lain yang berhubungan dengan pemenuhan jaminan. Indemnity agreement berfungsi sebagai instrumen hukum yang memastikan bahwa risiko finansial maupun hukum tidak dibebankan kepada surety, melainkan tetap berada pada pihak principal sebagai pemilik kewajiban utama yang dijamin oleh surety bond [4].

Permasalahan hukum biasanya muncul ketika principal tidak melaksanakan prestasi yang menjadi tanggung jawabnya kepada obligee, sehingga menimbulkan keadaan wanprestasi yang memicu penagihan klaim atas surety bond. Dalam kondisi demikian, surety pada prinsipnya berkewajiban untuk memenuhi pembayaran klaim kepada obligee sesuai nilai jaminan yang telah diterbitkannya. Namun, pembayaran tersebut tidak menghapus tanggung jawab principal, karena berdasarkan hak regres yang secara tegas diatur dalam indemnity agreement, surety berhak untuk mengalihkan seluruh beban kerugian, termasuk biaya dan potensi risiko hukum yang muncul, kembali kepada principal. Permasalahan menjadi semakin kompleks apabila principal kembali melakukan wanprestasi dengan tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengganti kerugian (reimburse) yang telah dikeluarkan oleh surety. Keadaan tersebut menimbulkan suatu sengketa baru yang berakar pada pelanggaran terhadap indemnity agreement, sehingga membuka ruang bagi surety untuk menempuh upaya hukum guna menegakkan hak-haknya sesuai ketentuan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 780/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst menjadi salah satu contoh konkret yang memperlihatkan kompleksitas hubungan hukum dalam penerbitan surety bond, khususnya ketika terjadi kelalaian principal dalam memenuhi kewajiban regresnya. Dalam perkara tersebut, PT Asuransi Sinar Mas selaku pihak penjamin (surety) mengajukan gugatan perdata terhadap PT Prospera Brillar Indonesia sebagai Principal, beserta pihak-pihak yang bertindak sebagai penjamin perseorangan (personal guarantor). Gugatan ini dilayangkan karena principal tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan dana klaim yang telah dibayarkan oleh surety kepada pihak obligee, yaitu CSTS Joint Operation, walaupun hubungan hukum yang menjadi dasar tanggung jawab tersebut telah tertuang secara jelas dalam indemnity agreement—yang dalam amar putusan disebut sebagai Surat Persetujuan Membayar Ganti Rugi—serta diperkuat dengan dokumen personal guarantee. Kondisi ini menunjukkan adanya wanprestasi berlapis dari principal yang bukan hanya melanggar kewajiban pokok dalam perjanjian proyek dengan obligee, tetapi juga mengingkari komitmen regres terhadap surety, sehingga menimbulkan sengketa perdata yang menuntut pemulihan hak dan kepentingan hukum surety melalui jalur litigasi [5].

Aspek yang patut menjadi sorotan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut ialah bahwa meskipun secara substansial posisi hukum Penggugat—dalam hal ini surety—sangat kokoh dan telah terbukti bahwa principal beserta penjamin perseorangan lalai memenuhi kewajibannya sehingga menimbulkan wanprestasi, gugatan yang diajukan justru tidak memperoleh pemeriksaan pokok perkara. Majelis hakim menyatakan gugatan tersebut sebagai niet ontvankelijke verklaard atau tidak dapat diterima, bukan karena lemahnya dalil materiil, melainkan karena adanya cacat formil dalam penyusunan pihak yang digugat (error in persona). Kesalahan ini timbul karena Penggugat turut menarik pihak-pihak yang tidak memiliki relevansi tanggung jawab dalam sengketa regres tersebut, yakni obligee sebagai Turut Tergugat I dan pihak bank penerbit Bank Garansi sebagai Turut Tergugat II.

Bertolak dari kondisi tersebut, studi terhadap putusan ini menjadi relevan untuk memahami secara lebih mendalam bagaimana kedudukan hukum indemnity agreement ketika principal melakukan wanprestasi dan surety harus menegakkan hak regresnya melalui jalur litigasi. Fokus kajian diarahkan pada sejauh mana kekuatan mengikat klausul-klausul dalam perjanjian tersebut dapat memberikan jaminan perlindungan bagi surety sebagai pihak yang menanggung risiko finansial atas terbitnya surety bond. Selain itu, perkara ini mengungkap bahwa keberhasilan penegakan hak regres tidak hanya bergantung pada kekuatan materiil indemnity agreement, tetapi juga ditentukan oleh ketepatan langkah prosedural dalam hukum acara perdata, terutama dalam menetapkan para pihak yang memang memiliki kapasitas dan keterkaitan langsung dengan sengketa yang diperiksa.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penelitian ini akan difokuskan pada dua permasalahan pokok. Pertama, bagaimana kedudukan hukum serta daya mengikat indemnity agreement dalam hubungan antara surety dan principal, termasuk konsekuensi yuridis yang timbul ketika principal melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut, sebagaimana tercermin dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 780/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.? Kedua, bagaimana implikasi hukum dari dinyatakannya gugatan surety tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) akibat kesalahan dalam menetapkan para pihak (error in persona), serta sejauh mana putusan tersebut mempengaruhi efektivitas upaya surety dalam menegakkan hak regres maupun pemenuhan kewajiban ganti rugi berdasarkan indemnity agreement.

Metode

Penelitian ini menerapkan metode penelitian yuridis normatif, yang menitikberatkan kajian pada norma-norma hukum positif serta doktrin yang berkembang dalam praktik hukum di Indonesia. [6] Pendekatan yang digunakan adalah case study approach, di mana analisis diarahkan secara khusus pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 780/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst sebagai objek utama kajian untuk menggali konstruksi penalaran hukum Majelis Hakim dalam memutus perkara regres terkait indemnity agreement. Data penelitian sepenuhnya bersumber dari data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer berupa salinan resmi putusan pengadilan serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Herzien Inlandsch Reglement (HIR) sebagai pedoman hukum acara perdata. Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan bahan hukum sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap literatur keilmuan [7], seperti buku teks, artikel jurnal, maupun pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan rezim hukum jaminan, mekanisme surety bond, konsepsi indemnity agreement, wanprestasi, serta aspek formil dalam beracara di pengadilan. Keseluruhan data tersebut dianalisis secara kualitatif melalui penafsiran hukum yang komprehensif serta pengaitan antara teori dan penerapannya dalam praktik, guna menjawab pokok permasalahan mengenai kedudukan hukum indemnity agreement dalam situasi wanprestasi serta implikasi yuridis dari adanya kesalahan penentuan pihak (error in persona) yang menyebabkan gugatan surety dinyatakan tidak dapat diterima.

Hasil dan Pembahasan

A. Kedudukan Hukum dan Kekuatan Mengikat Indemnity Agreement serta Akibat Hukum Wanprestasi

Indemnity agreement (surat persetujuan membayar ganti rugi) dalam praktik surety bond tidak dapat dikualifikasikan sekadar sebagai perjanjian tambahan (accessoir agreement) [8]. Sebaliknya, doktrin hukum kontrak menempatkannya sebagai perjanjian pokok (hoofdovereenkomst) yang berdiri sendiri antara surety dan principal [9]. Meskipun keberadaannya secara praktis memiliki keterkaitan kausal dengan penerbitan surety bond—yang merupakan perjanjian terpisah antara surety dengan obligee—indemnity agreement melahirkan hubungan hukum yang mandiri, menciptakan hak dan kewajiban yang langsung dapat ditagih satu sama lain. Dalam hal ini, surety menjadi pihak yang memiliki hak regres apabila terjadi klaim dan pembayaran kepada obligee, sedangkan principal berkewajiban penuh untuk mengganti seluruh kerugian, termasuk biaya, bunga, penalti, dan konsekuensi finansial lainnya yang dikeluarkan surety dalam pelaksanaan penjaminan [10]. Oleh karena itu, keterikatan kontraktual yang lahir dari indemnity agreement memiliki legal force tersendiri yang tidak bergantung pada sah atau tidaknya hubungan utama antara principal dan obligee terkait pelaksanaan proyek.

Dalam hukum perjanjian Indonesia, indemnity agreement memiliki kedudukan sebagai suatu perjanjian yang sah dan mengikat para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) [11]. Seluruh unsur sahnya perjanjian terpenuhi: pertama, unsur kesepakatan, yang tercermin melalui penandatanganan dokumen oleh surety dan principal tanpa adanya indikasi cacat kehendak; kedua, unsur kecakapan, mengingat para pihak merupakan subjek hukum yang cakap—baik sebagai badan hukum maupun orang dewasa yang berwenang melakukan perbuatan hukum; ketiga, unsur objek tertentu, yaitu kewajiban principal untuk membayar kembali setiap pembayaran, kerugian, dan biaya yang timbul dari klaim surety bond; dan keempat, unsur causa yang halal, karena perjanjian ini dibuat dalam rangka menjamin pemenuhan kewajiban principal terhadap obligee sesuai dengan hukum yang berlaku.

Klausul-klausul dalam SPGR (Indemnity Agreement) pada perkara ini sangat protektif terhadap Surety dan menjadi tulang punggung upaya hukum Surety. Beberapa klausul kunci yang dikutip dalam putusan adalah:

“PRINSIPAL wajib dan mengikat diri secara tanpa syarat segera membayar Ganti Rugi kepada SURETY... dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender... tanpa menghiraukan ada tidaknya ketidaksepakatan ataupun sengketa (dispute) antara PRINSIPAL dengan OBLIGEE termasuk tetapi tidak terbatas mengenai hal tanggung jawab dan/atau jumlah pembayaran kerugian;"

"Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari PRINSIPAL belum/tidak melaksanakan pembayaran... maka SURETY akan memperhitungkan denda keterlambatan setiap hari sebesar 2%... dari seluruh jumlah wajib PRINCIPAL bayarkan... termasuk tetapi tidak terbatas pada biaya-biaya konsultan hukum/pengacara...”

Klausul-klausul yang termuat dalam indemnity agreement memiliki kekuatan mengikat yang penuh, berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya [12]. Konsekuensinya, principal tidak memiliki ruang pembelaan untuk mengelak dari kewajiban pembayarannya dengan dalih masih terdapat perdebatan, ketidaksesuaian pekerjaan, atau sengketa lain dengan obligee terkait dasar pengajuan klaim. Setelah surety memenuhi kewajiban pembayaran kepada obligee, maka secara hukum hak regres surety seketika lahir, dan kewajiban principal menjadi jatuh tempo tanpa syarat (unconditionally due and payable). Putusan yang dianalisis dalam penelitian ini semakin menegaskan validitas dan daya paksa klausul demikian, bahwa keberatan principal terhadap hubungan hukumnya dengan obligee tidak dapat mempengaruhi posisi hukum surety sebagai pihak yang telah menunaikan kewajiban jaminannya.

Putusan ini memberikan gambaran yang konkret mengenai akibat hukum yang timbul ketika principal melakukan wanprestasi terhadap indemnity agreement. Ketidakpatuhan PT Prospera Brillar Indonesia untuk memenuhi kewajibannya membayar kembali dana klaim yang telah ditunaikan oleh surety, bahkan setelah diberikan peringatan melalui serangkaian somasi yang layak dan proporsional, telah memenuhi karakteristik wanprestasi sebagaimana dimaksud Pasal 1238 KUHPerdata. Konsekuensi yuridis dari kegagalan memenuhi perikatan tersebut tidak hanya sekadar kewajiban mengembalikan pembayaran pokok kerugian, tetapi juga meliputi pertanggungjawaban lebih lanjut sesuai dengan klausul yang telah mereka sepakati sendiri dalam indemnity agreement.

Secara khusus, surety berhak menagih kembali nilai klaim yang telah dibayarkan kepada obligee, yang dalam perkara ini dihitung mencapai Rp 4.442.360.049,- setelah memperhitungkan pembayaran parsial yang pernah dilakukan oleh principal. Selain itu, karena keterlambatan pemenuhan prestasi terus berlangsung, principal juga berkewajiban membayar denda dan bunga keterlambatan sebagaimana telah ditentukan secara eksplisit dalam perjanjian—yakni denda sebesar 2‰ per hari dari total sisa kewajiban, yang dalam gugatan dihitung mencapai Rp 1.936.868.981,- untuk periode keterlambatan 218 hari. Tidak berhenti di situ, surety berhak pula memperoleh kompensasi atas biaya hukum yang timbul dalam rangka upaya penegakan haknya, termasuk biaya konsultan dan proses litigasi, yang dalam perkara ini dinominalkan sebesar Rp 500.000.000,-. Seluruhnya menunjukkan bahwa wanprestasi terhadap indemnity agreement menimbulkan beban finansial yang signifikan bagi principal, sekaligus menegaskan kuatnya kedudukan hukum perjanjian tersebut sebagai instrumen dasar perlindungan kepentingan surety.

Selain menimbulkan tanggung jawab langsung bagi principal, wanprestasi yang terjadi atas indemnity agreement juga secara otomatis mengaktifkan tanggung jawab hukum para penjamin pribadi (personal guarantor)[13]. Dalam instrumen jaminan perseorangan yang disepakati dan ditandatangani oleh Tergugat II dan Tergugat III, dinyatakan dengan tegas bahwa mereka turut menjamin pemenuhan seluruh kewajiban finansial yang menjadi beban Tergugat I terhadap surety. Jaminan tersebut bersifat langsung dan tanpa syarat, sehingga para penjamin berkewajiban melakukan pelunasan segera, atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 hari kalender sejak adanya notifikasi resmi mengenai ketidakmampuan atau kelalaian principal untuk memenuhi prestasinya. Ketika kewajiban tersebut diabaikan, kelalaian para personal guarantor tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi turunan dari wanprestasi debitur utama, melainkan menjadi wanprestasi mandiri yang berdiri sendiri dan menambah bobot pertanggungjawaban hukum mereka terhadap surety.

Putusan ini memberikan penegasan penting bahwa indemnity agreement bukanlah sekadar dokumen administratif yang mengiringi penerbitan surety bond, melainkan instrumen perikatan yang memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa nyata (legal bite) bagi para pihak yang menandatanganinya. Pelanggaran terhadap perjanjian ini akan berimplikasi langsung pada timbulnya beban finansial yang besar bagi principal maupun para penjamin pribadi, karena setiap kelalaian dalam pemenuhan kewajiban pembayaran akan dikualifikasikan sebagai wanprestasi yang melahirkan tanggung jawab ganti rugi secara penuh. Meskipun pada akhirnya gugatan dalam perkara ini tidak diperiksa substansinya akibat kesalahan prosedural dan dinyatakan tidak dapat diterima, namun jika mencermati uraian Majelis Hakim dalam bagian Pertimbangan Mengenai Duduk Perkara, tampak pengakuan tersirat bahwa klausul-klausul dalam indemnity agreement memiliki validitas hukum serta kekuatan mengikat yang tidak dapat diperdebatkan. Dengan kata lain, secara materiil posisi hukum surety sangat kuat dan tetap diakui, hanya saja hambatan formil dalam konstruksi gugatan menghalangi upaya penegakan hak tersebut melalui putusan yang bersifat mengadili pokok perkara.

B . Implikasi Hukum Error in Persona terhadap Penegakan Hak Berdasarkan Indemnity Agreement

Error in persona atau kekeliruan dalam menentukan pihak yang digugat merupakan salah satu bentuk eksepsi yang berkaitan dengan terpenuhinya syarat formil suatu gugatan perdata [14]. Pada prinsipnya, sebuah gugatan harus diarahkan kepada subjek hukum yang memiliki hubungan hukum secara langsung dengan pokok sengketa, serta berkepentingan atas hasil putusan yang akan dijatuhkan. Ketidakcermatan dalam menetapkan pihak yang digugat—misalnya dengan memasukkan pihak yang tidak memiliki keterikatan tanggung jawab ataupun kepentingan yuridis terhadap objek sengketa—dapat berimplikasi serius terhadap nasib gugatan tersebut. Apabila Majelis Hakim menilai bahwa konstruksi para pihak tidak tepat, maka gugatan tidak akan diperiksa substansinya dan dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard atau tidak dapat diterima.

Dalam praktik peradilan perdata di Indonesia, keberatan mengenai error in persona memiliki keterkaitan erat dengan terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam HIR, khususnya mengenai validitas subjek hukum dalam suatu gugatan. Konstruksi gugatan yang diajukan ke pengadilan wajib mencantumkan identitas para pihak secara jelas dan lengkap, serta memastikan bahwa pihak-pihak tersebut benar-benar memiliki hubungan dan kepentingan hukum langsung terhadap pokok perkara yang disengketakan. Ketidaktepatan dalam menetapkan siapa yang harus dimohonkan sebagai tergugat—terutama apabila pihak yang ditarik tidak memiliki keterikatan yuridis terhadap objek sengketa—dipandang sebagai ketidakpatuhan terhadap syarat formil gugatan. Akibatnya, hakim tidak dapat melanjutkan pemeriksaan hingga ke aspek substansi dan berwenang untuk menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima karena tidak memenuhi kelengkapan subjek hukum sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum acara.

Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim menerima dan mengabulkan eksepsi error in persona yang diajukan oleh pihak Turut Tergugat II selaku pihak bank. Pertimbangan hukum yang digunakan Majelis didasarkan pada penilaian bahwa sengketa regres yang diajukan oleh surety sepenuhnya bersumber dari hubungan hukum antara Penggugat sebagai kreditur dengan para Tergugat—yakni Principal beserta penjamin perseorangan—yang berkedudukan sebagai debitur berdasarkan indemnity agreement. Sementara itu, keberadaan obligee dan pihak bank tidak lagi memiliki keterkaitan hukum dengan pemenuhan kewajiban ganti rugi yang disengketakan. Bagi obligee, hubungan hukumnya dengan surety telah berakhir sejak pembayaran klaim dilakukan, sedangkan peran bank yang semula bertindak sebagai pihak yang menerbitkan serta memfasilitasi pencairan jaminan juga telah selesai seiring terpenuhinya prosedur pencairan yang disetujui oleh surety. Majelis Hakim juga menekankan bahwa dalam tuntutan pokok gugatannya, Penggugat tidak mencantumkan satu pun bentuk permohonan atau kewajiban yang diminta untuk dipenuhi oleh kedua Turut Tergugat tersebut. Dengan tidak adanya kepentingan hukum maupun kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan oleh mereka, penarikan keduanya dalam gugatan dipandang tidak memiliki dasar yuridis sehingga keberadaan mereka dalam perkara justru menimbulkan cacat formil yang berujung pada diputuskannya gugatan sebagai tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard).

Implikasi yuridis dari dikabulkannya eksepsi error in persona dalam perkara ini memiliki bobot yang sangat signifikan bagi praktik penegakan hak melalui litigasi. Putusan ini menunjukkan bahwa sekuat apa pun landasan substansi suatu perjanjian—termasuk indemnity agreement yang secara inheren memberikan perlindungan hukum kepada surety—tidak akan memiliki efektivitas apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil dalam aspek penetapan para pihak. Dengan kata lain, pelanggaran perjanjian yang nyata tidak serta-merta dapat ditegakkan apabila gugatan tidak memenuhi struktur formil yang dipersyaratkan hukum acara. Selain itu, putusan ini menegaskan bahwa surety tidak memiliki keleluasaan untuk menarik seluruh pihak yang pernah terlibat dalam rangkaian hubungan hukum surety bond ke dalam satu sengketa regres. Keikutsertaan pihak dalam gugatan harus dibatasi secara ketat pada mereka yang benar-benar terikat pada perjanjian yang dilanggar dan memiliki kewajiban hukum untuk memenuhi pemulihan kerugian.

Putusan ini membawa implikasi yang tidak dapat diabaikan terhadap kepastian hukum dalam praktik penjaminan melalui surety bond. Di satu sisi, putusan ini mempertegas bahwa ketaatan terhadap aturan hukum acara perdata merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari upaya penegakan hak dalam hubungan perjanjian. Penegasan ini penting untuk memastikan bahwa setiap proses litigasi berjalan sesuai ketentuan formil sehingga tidak mengabaikan prinsip due process of law [15]. Namun di sisi yang lain, adanya putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima meskipun hak substansial surety telah nyata terlanggar, berpotensi menimbulkan keraguan terkait efektivitas perlindungan hukum bagi pihak penjamin. Kondisi ini menyiratkan bahwa surety, meskipun secara hukum berada pada posisi yang patut mendapatkan pemulihan, dapat terhambat hanya karena kesalahan formil pada tahap awal proses beracara.

Dari sudut pandang strategis, putusan ini mengandung sejumlah konsekuensi yang penting untuk dicermati oleh para pelaku industri penjaminan. Pertama, adanya putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima menempatkan Surety pada posisi yang harus kembali mengajukan gugatan baru dengan penyusunan para pihak yang benar. Langkah ini tentu menimbulkan beban biaya dan waktu yang tidak kecil, karena seluruh proses litigasi harus diulang sejak awal tanpa adanya jaminan bahwa proses berikutnya akan berjalan lebih efisien. Kedua, meskipun putusan niet ontvankelijke verklaard secara doktrinal tidak menciptakan kekuatan hukum tetap (res judicata), putusan tersebut tetap menyimpan potensi pengaruh terhadap penilaian hakim pada persidangan berikutnya, khususnya apabila argumentasi atau konstruksi hukum yang diajukan tidak mengalami perbaikan yang signifikan. Ketiga, putusan ini mengingatkan bahwa dalam penyelesaian sengketa bisnis, termasuk sengketa regres atas Indemnity Agreement, terdapat batasan normatif yang mengharuskan perusahaan menyeimbangkan kepatuhan terhadap aspek formal dengan kebutuhan penyelesaian yang praktis dan efisien. Meskipun secara manajerial dapat dianggap ideal untuk melibatkan semua pihak yang pernah terhubung dengan hubungan hukum awal dalam satu gugatan, praktik peradilan menunjukkan bahwa langkah tersebut tidak selalu sesuai dengan koridor hukum acara yang berlaku. Oleh sebab itu, perencanaan strategi litigasi harus mempertimbangkan seleksi pihak yang benar-benar relevan agar efektivitas penegakan hak tidak justru terhambat oleh kesalahan prosedural.

Kasus ini menegaskan betapa krusialnya strategi dan ketelitian dalam penyusunan gugatan; oleh karena itu, seorang legal drafter wajib melakukan analisis mendalam sebelum mengajukan perkara ke pengadilan. Pertama, harus diidentifikasi secara tepat hubungan hukum primer yang menjadi sumber sengketa—yaitu perjanjian mana yang diduga dilanggar dan siapa saja yang secara kontraktual terikat pada perjanjian tersebut; dalam perkara yang dibahas, fokusnya semata pada SPGR dan Jaminan Perseorangan. Kedua, perlu dipastikan bahwa setiap pihak yang dimasukkan sebagai tergugat memiliki legal standing yang nyata, yakni kepentingan hukum langsung terhadap objek sengketa dan terdapat tuntutan konkrit terhadap mereka dalam petitum; tanpa itu, keberadaan mereka dalam gugatan hanya akan membuka celah eksepsi error in persona. Ketiga, penting untuk memisahkan ruang lingkup sengketa: wanprestasi atas Indemnity Agreement adalah konflik yang berdiri sendiri dan berbeda dengan sengketa pokok antara principal dan obligee mengenai pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, strategi gugatan yang tepat seharusnya hanya menargetkan Tergugat I (principal) serta para penjamin perseorangan (Tergugat II dan III); memasukkan obligee atau bank yang perannya sudah selesai justru melemahkan aspek formil gugatan dan berpotensi mengalihkan perhatian dari inti wanprestasi yang ingin ditegakkan.

Menarik untuk dicermati bahwa jika dibandingkan dengan tradisi common law, mekanisme perlindungan hukum dalam indemnity agreement di Indonesia jauh lebih formalistik. Dalam sistem common law, pengadilan sering kali lebih pragmatis dalam menentukan proper parties, termasuk memberikan ruang bagi joinder of parties untuk menyelesaikan seluruh rangkaian hubungan hukum dalam satu proses litigasi demi efisiensi dan substantive justice. Namun, sebagai negara dengan tradisi civil law, hukum acara perdata Indonesia sangat menekankan ketepatan dan kepastian mengenai siapa yang berperkara. Prinsip ini tercermin dalam putusan terkait eksepsi error in persona, yang menilai bahwa kesalahan dalam memilih pihak lawan perkara merupakan cacat formil yang dapat menggugurkan gugatan, bahkan sebelum menyentuh substansi hak dan kewajiban para pihak.

Simpulan

Berdasarkan pembahasan mendalam yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 780/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst memberikan kontribusi signifikan dalam perkembangan hukum perjanjian, khususnya mengenai indemnity agreement dalam kerangka surety bond. Pertama, putusan ini secara tegas mengakui kedudukan hukum indemnity agreement sebagai perjanjian pokok yang sah dan mengikat secara hukum antara surety dan principal. Meskipun gugatan akhirnya dinyatakan tidak dapat diterima berdasarkan pertimbangan formil, putusan ini secara implisit mengakui kekuatan materiil klausul-klausul dalam indemnity agreement, termasuk klausul pembayaran langsung dan tanpa syarat, klausul denda keterlambatan, serta klausul biaya hukum. Pengadilan menerima dalil-dalil wanprestasi yang diajukan Penggugat terhadap Tergugat I, II, dan III, yang menunjukkan bahwa secara substantif, hak-hak surety berdasarkan indemnity agreement memang telah dilanggar.

Kedua, putusan ini menegaskan pentingnya aspek formil dalam hukum acara perdata Indonesia. Dikabulkannya eksepsi error in persona oleh Majelis Hakim menunjukkan bahwa ketepatan dalam memilih para pihak yang digugat merupakan prasyarat mutlak yang tidak dapat diabaikan. Putusan ini menjadi warning penting bagi para praktisi hukum bahwa kekuatan materiil suatu gugatan tidak akan berarti jika disertai dengan cacat formil dalam penyusunannya. Keterlibatan pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan hukum langsung dengan objek sengketa dalam hal ini Turut Tergugat I (obligee) dan Turut Tergugat II (Bank) ternyata dapat berakibat fatal terhadap keseluruhan gugatan, meskipun secara bisnis mungkin dianggap perlu untuk menyelesaikan semua hubungan hukum dalam satu proses pengadilan.

References

A. A. Soedibyo, Hukum Jaminan: Dasar-Dasar Mengenai Jaminan. Yogyakarta, Indonesia: Jejak Pustaka, 2023.

Badan Nasional Sertifikasi Profesi, Modul Sertifikasi Profesi Penjaminan. Jakarta, Indonesia: BNSP, 2019.

M. Yasir, “Aspek Hukum Jaminan Fidusia,” SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, vol. 3, no. 1, pp. 1–12, 2016, doi: 10.15408/sjsbs.v3i1.3307.

Herman, E. M. Saputra, Armansyah, A. Yani, Muqtafin, and M. Syafnur, Aspek-Aspek Hukum Bisnis. Sumatera Barat, Indonesia: CV Azka Pustaka, 2023.

A. Rahim, Dasar-Dasar Hukum Perjanjian: Perspektif Teori dan Praktik. Makassar, Indonesia: Humanities Genius, 2022.

J. Matheus, “E-Arbitration: Digitization of Business Dispute Resolution Pada Sektor E-Commerce dalam Menyongsong Era Industri 4.0 di Tengah Pandemi Covid-19,” Lex Renaissance, vol. 6, no. 4, pp. 692–704, 2021.

Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. Mataram, Indonesia: Mataram University Press, 2020.

S. Conley and G. Sayre, “Rights of Indemnity as They Affect Liability Insurance,” Hastings Law Journal, vol. 13, no. 2, pp. 214–230, 1962.

C. Lie, Natashya, V. Clarosa, Y. Andrew, and M. Hadiati, “Pengenalan Hukum Kontrak dalam Hukum Perdata Indonesia,” Jurnal Kewarganegaraan, vol. 7, no. 1, pp. 918–924, 2023, doi: 10.31316/jk.v7i1.4831.

Irna, A. V. Nico, A. Suryadi, and P. M. Dewi, Skema Hukum Perdata. Padang, Indonesia: Hei Publishing Indonesia, 2025.

S. HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2006.

S. HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2008.

A. C. Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) dalam Hukum Kontrak Indonesia,” Veritas et Justitia, vol. 1, no. 1, pp. 136–158, 2015, doi: 10.25123/vej.v1i1.1420.

Z. Asikin and M. Zainuddin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, 2nd ed. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2023.

H. Haniyah, “Legal Reconstruction of Error in Persona Cases: Justice Enforcement Challenges Based on Due Process of Law Principle,” Reformasi Hukum, vol. 28, no. 3, pp. 168–186, 2024, doi: 10.46257/jrh.v28i3.1039.