Leonardi Leonardi (1), Tundjung Tundjung (2)
General Background: Indonesia has introduced the Online Single Submission (OSS) system to streamline licensing and strengthen legal certainty in business administration. Specific Background: Despite continuous regulatory reforms, OSS implementation still encounters technical, institutional, and regulatory inconsistencies between central and regional authorities. Knowledge Gap: Existing studies rarely integrate analyses of procedural efficiency and legal certainty while also proposing a structured governance reconstruction model. Aims: This study examines OSS performance through the lenses of efficiency and legal certainty and formulates a comprehensive reconstruction framework for improved licensing governance. Results: Findings show that OSS effectively simplifies several procedures but remains hindered by uneven digital infrastructure, inconsistent regulatory synchronization, limited institutional readiness, and the absence of an internal dispute-resolution mechanism. Novelty: The study offers an integrated reconstruction model combining legal harmonization, institutional coordination, and technological strengthening to address both efficiency and legal certainty deficits. Implications: Strengthening OSS governance is essential for enhancing investment climate, ensuring predictable licensing outcomes, and supporting good governance principles in Indonesia’s public administration.
Highlights:
Highlights the dual challenges of efficiency gaps and legal uncertainty in OSS implementation.
Emphasizes the need for regulatory harmonization and institutional coordination across sectors and regions.
Proposes a comprehensive reconstruction model integrating legal, institutional, and technological improvements.
Keywords: Online Single Submission, Business Licensing, Efficiency, Legal Certainty, Governance Reconstruction
Dalam upaya mendorong pertumbuhan investasi dan menciptakan iklim usaha yang kompetitif, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai reformasi kebijakan strategis. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah pembentukan sistem Online Single Submission (OSS), yaitu platform digital terpadu untuk perizinan berusaha. OSS dirancang sebagai solusi atas persoalan klasik dalam birokrasi perizinan yang sebelumnya bersifat lambat, berbelit-belit, dan tumpang tindih antar instansi. Sebelum hadirnya sistem ini, pelaku usaha harus mengurus berbagai izin di banyak lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang memakan waktu dan biaya cukup besar. Kondisi ini menciptakan hambatan nyata bagi pertumbuhan dunia usaha, khususnya pelaku UMKM dan investor baru [1].
Sistem OSS pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 sebagai upaya awal digitalisasi layanan perizinan. Seiring berjalannya waktu, sistem ini mengalami pembaruan dan penyesuaian, termasuk integrasi dengan semangat deregulasi dan debirokratisasi yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Melalui PP Nomor 5 Tahun 2021, OSS bertransformasi menjadi OSS berbasis risiko (risk-based approach), yang kemudian diperkuat kembali dengan diterbitkannya PP Nomor 28 Tahun 2025. Pendekatan berbasis risiko ini bertujuan untuk menyesuaikan jenis dan persyaratan perizinan dengan tingkat risiko kegiatan usaha, sehingga proses perizinan menjadi lebih proporsional, adaptif, dan tepat sasaran [2].
Meskipun telah mengalami reformulasi regulasi dan penguatan sistem, pelaksanaan OSS di lapangan belum berjalan secara optimal. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa implementasi OSS masih menghadapi berbagai tantangan. Misalnya, ketidaksesuaian antara regulasi di tingkat pusat dan daerah kerap menyebabkan kebingungan, baik di kalangan pelaku usaha maupun pejabat pelaksana teknis. Di samping itu, kesiapan teknis instansi pelaksana OSS yang belum merata, serta kurangnya pemahaman digital di kalangan pelaku usaha, menjadi kendala tersendiri dalam operasional sistem ini [3].
Permasalahan yang tidak kalah penting adalah menyangkut aspek kepastian hukum dalam pelaksanaan OSS. Dalam praktiknya, ditemukan sejumlah kasus di mana izin yang telah diterbitkan melalui sistem OSS dipertanyakan validitasnya oleh instansi daerah atau lembaga teknis terkait. Hal ini terjadi karena belum semua peraturan sektoral dan daerah terintegrasi secara sinkron ke dalam kerangka OSS nasional. Akibatnya, pelaku usaha, terutama UMKM dan investor pemula, menghadapi risiko ketidakpastian hukum yang berdampak langsung terhadap keberlangsungan dan legalitas kegiatan usaha mereka.
Efisiensi dan kepastian hukum sejatinya merupakan dua prinsip mendasar dalam tata kelola administrasi perizinan yang baik. Efisiensi mencakup penyelenggaraan layanan yang cepat, sederhana, dan hemat biaya, sedangkan kepastian hukum mengandung makna kejelasan prosedur, keadilan regulasi, serta perlindungan hukum yang memadai bagi warga negara dan pelaku usaha. Sebagaimana dikemukakan oleh Wijaya dan Lie (2025), kedua prinsip tersebut harus berjalan beriringan untuk menghasilkan sistem perizinan yang kredibel dan dapat dipercaya [4]. Dalam konteks OSS, evaluasi mendalam terhadap keduanya menjadi sangat penting untuk menilai efektivitas sistem secara menyeluruh.
Oleh karena itu, sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk meninjau ulang tata kelola sistem OSS, tidak hanya dari sisi teknis operasional, tetapi juga dari segi substansi hukum dan kebijakan. Rekonstruksi sistem OSS perlu diarahkan agar lebih responsif terhadap kebutuhan nyata pelaku usaha di berbagai sektor dan wilayah, serta mampu memberikan kepastian hukum yang kuat dalam praktik administrasi negara. Hal ini sangat penting mengingat OSS merupakan wajah pelayanan publik Indonesia yang sangat memengaruhi persepsi dunia usaha terhadap komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang sehat [5].
Berangkat dari latar belakang dan persoalan di atas, artikel ini disusun untuk mengkaji secara kritis implementasi OSS berdasarkan dua perspektif utama, yaitu efisiensi prosedural dan kepastian hukum. Selain itu, artikel ini juga bertujuan untuk merumuskan rekomendasi rekonstruksi sistem OSS yang lebih ideal, baik dari sisi normatif hukum maupun tata kelola kelembagaan. Harapannya, kajian ini dapat memberikan kontribusi konseptual bagi pengembangan sistem perizinan berusaha yang menjunjung tinggi prinsip good governance, transparansi, dan kepastian bagi pelaku usaha di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif yang berfokus pada analisis terhadap norma-norma hukum tertulis serta dokumen akademik yang relevan. Pendekatan ini dipilih karena objek kajian utama adalah sistem perizinan berusaha melalui Online Single Submission (OSS) yang merupakan produk kebijakan hukum pemerintah dalam ranah hukum administrasi negara. Metode ini bertujuan untuk memahami secara mendalam bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tata kelola perizinan dan sejauh mana prinsip efisiensi serta kepastian hukum diimplementasikan dalam sistem OSS.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua kategori, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 yang merupakan pembaruan terbaru dari sistem OSS. Sementara itu, bahan hukum sekunder terdiri dari literatur ilmiah, jurnal hukum, hasil penelitian akademik, dan tulisan ilmuwan hukum yang membahas isu-isu terkait perizinan usaha, pelayanan publik, serta digitalisasi administrasi pemerintahan.
Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif-deskriptif dan preskriptif, yakni dengan menafsirkan data hukum dan membandingkannya dengan praktik implementasi OSS yang terjadi di lapangan. Penulis juga mengevaluasi tingkat efektivitas sistem OSS dalam menyederhanakan perizinan dan menganalisis implikasi hukumnya terhadap kepastian bagi pelaku usaha. Hasil dari analisis ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi yang konstruktif untuk memperbaiki desain kebijakan OSS, terutama dalam konteks rekonstruksi tata kelola perizinan usaha yang berkeadilan, efisien, dan menjamin kepastian hukum.
Salah satu tujuan utama dibentuknya sistem Online Single Submission (OSS) adalah menciptakan efisiensi dalam penyelenggaraan perizinan usaha. OSS dikembangkan sebagai platform layanan terpadu secara daring, yang menyatukan proses perizinan lintas sektor dan lintas wilayah. Secara normatif, sistem ini memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB) secara cepat dan terintegrasi dengan data dari berbagai kementerian dan pemerintah daerah [6].
Namun dalam praktiknya, efisiensi yang dijanjikan OSS belum sepenuhnya terealisasi. Berdasarkan temuan Chadafi dan Umam (2025), banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang masih menghadapi kendala teknis seperti server lambat, gangguan sistem saat proses unggah dokumen, hingga keterbatasan akses internet di daerah [7]. Selain itu, perbedaan tingkat kesiapan antar instansi juga menyebabkan proses perizinan tidak berlangsung seragam, yang pada akhirnya mengurangi efisiensi sistem secara keseluruhan.
Hal yang sama juga disoroti oleh Utari et al. (2025), yang mencatat bahwa implementasi OSS belum berjalan optimal di tingkat lokal karena kurangnya pelatihan kepada aparatur dan belum seluruh pemerintah daerah menyelaraskan peraturan daerahnya dengan sistem OSS [8]. Meskipun sistem ini telah mengintegrasikan berbagai jenis izin, dalam banyak kasus masih diperlukan klarifikasi manual atau tatap muka, terutama untuk sektor usaha menengah-tinggi yang memerlukan izin teknis.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa efisiensi OSS dalam konteks normatif cukup progresif, namun dalam konteks operasional masih menghadapi banyak tantangan struktural dan teknis. Dibutuhkan konsolidasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin bahwa efisiensi digitalisasi benar-benar dapat dirasakan oleh pelaku usaha di seluruh Indonesia.
Kepastian hukum merupakan dimensi penting dari suatu sistem perizinan usaha, karena menyangkut perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas ekonominya [9]. Idealnya, sistem OSS menyediakan prosedur yang jelas, informasi yang transparan, dan hasil izin yang memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sayangnya, pelaksanaan OSS masih menyisakan ruang ketidakpastian hukum, terutama terkait ketidaksinkronan antara regulasi pusat dengan aturan teknis di daerah maupun instansi sektoral. Seperti ditunjukkan oleh Rahmadhani dan Syafitri (2025), masih banyak kasus di mana NIB yang telah diterbitkan secara otomatis melalui OSS tidak diakui oleh instansi teknis atau lembaga pengawas di daerah, karena alasan belum terpenuhinya persyaratan administratif tambahan [10].
Masalah lainnya adalah perubahan prosedur dan tampilan sistem OSS yang seringkali dilakukan tanpa pemberitahuan atau sosialisasi memadai. Kondisi ini menimbulkan kebingungan, bahkan kekhawatiran hukum, bagi pelaku usaha. Menurut Vasya (2025), sebagian pelaku usaha tidak memahami bahwa tanggung jawab atas legalitas usaha bukan hanya ada di sistem OSS, tetapi juga memerlukan verifikasi aktif oleh pemilik usaha terhadap izin teknis yang disyaratkan sektor terkait [11].
Ketidakpastian hukum juga terlihat dari tidak adanya mekanisme penyelesaian sengketa administratif yang jelas dalam sistem OSS. Ketika izin tertunda atau ditolak, tidak tersedia saluran keberatan yang dapat digunakan pelaku usaha secara langsung dalam system [12]. Ini menunjukkan perlunya penguatan aspek due process of law dan pembentukan mekanisme aduan atau penyelesaian sengketa dalam OSS.
Mengingat berbagai permasalahan yang muncul dalam implementasi sistem Online Single Submission (OSS), baik dari aspek efisiensi maupun kepastian hukum, maka diperlukan upaya rekonstruksi tata kelola OSS secara menyeluruh. Rekonstruksi ini tidak hanya menyasar satu dimensi, melainkan harus mencakup aspek kelembagaan, kerangka hukum, dan sistem teknologi informasi yang menjadi tulang punggung operasional layanan OSS [13].
Pertama, dari sisi kelembagaan, perlu dibentuk unit pengawasan khusus yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah. Unit ini bertugas sebagai simpul koordinasi antara kementerian, lembaga teknis, dan pemerintah daerah dalam menyusun serta menyelaraskan standar operasional perizinan secara nasional. Keberadaan unit ini dapat mencegah tumpang tindih kebijakan dan mempercepat harmonisasi aturan antara pusat dan daerah [2]. Penguatan kelembagaan ini juga mencakup perlunya penyusunan indikator kinerja dan evaluasi berkala terhadap pelaksanaan OSS di berbagai wilayah.
Kedua, dari aspek hukum, diperlukan penguatan terhadap peraturan pelaksana sebagai turunan dari peraturan OSS utama. Hal ini penting untuk menghindari perbedaan interpretasi atas kewenangan dan persyaratan izin antar instansi maupun daerah. Chadafi dan Umam (2025) menyoroti bahwa salah satu penyebab ketidakpastian hukum adalah tidak sinkronnya regulasi teknis antar lembaga, yang membuat pelaku usaha sering kali bingung ketika proses perizinan telah melalui OSS tetapi tetap memerlukan klarifikasi tambahan dari dinas terkait. Maka, harmonisasi regulasi hingga ke tingkat daerah menjadi syarat mutlak dalam rekonstruksi hukum OSS [14].
Ketiga, dari dimensi teknologi, dibutuhkan peningkatan kualitas infrastruktur digital sebagai penopang utama kelancaran sistem OSS. Ini mencakup penguatan server agar tidak mudah down, ketersediaan user support yang aktif, serta fitur pelacakan status izin secara real-time yang dapat diakses oleh pengguna. Di samping itu, penguatan teknologi juga harus diiringi dengan pelatihan intensif kepada aparatur pemerintah, khususnya di daerah. Sebagaimana ditegaskan oleh Astarina, Dewi, dan Remofa (2025), keberhasilan OSS tidak hanya bergantung pada sistem yang canggih, tetapi juga pada kesiapan sumber daya manusia dalam memahami dan mengoperasikan aplikasi OSS secara optimal [15].
Dengan pendekatan yang komprehensif ini, OSS diharapkan tidak hanya menjadi instrumen administratif yang bersifat formal, melainkan juga mencerminkan praktik tata kelola yang baik, yang mengedepankan efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Pembenahan menyeluruh tersebut akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan iklim investasi nasional, sekaligus memperkuat daya saing pelaku usaha baik dari dalam maupun luar negeri.
Sistem Online Single Submission (OSS) merupakan terobosan penting dalam reformasi perizinan usaha di Indonesia, dengan tujuan menciptakan proses yang lebih efisien dan terintegrasi. Namun, hasil kajian menunjukkan bahwa implementasi OSS masih menghadapi tantangan signifikan. Di satu sisi, OSS berhasil menyederhanakan alur perizinan, namun di sisi lain masih terdapat hambatan teknis, ketimpangan kesiapan antar instansi, serta belum optimalnya infrastruktur digital di daerah. Dari aspek kepastian hukum, masih terjadi ketidaksesuaian antara regulasi pusat dan daerah, kurangnya kejelasan prosedur, serta belum tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa administratif dalam sistem OSS.
Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan rekonstruksi tata kelola OSS melalui pendekatan hukum dan kelembagaan. Upaya tersebut mencakup penguatan koordinasi lintas instansi, harmonisasi regulasi teknis, serta peningkatan kapasitas sistem dan sumber daya manusia. Dengan langkah-langkah tersebut, OSS dapat menjadi sistem perizinan yang tidak hanya efisien secara administratif, tetapi juga menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha, sekaligus memperkuat prinsip good governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
H. Khumairo and A. Rohman, "Langkah Cerdas Membangun Bisnis Halal dan Legal: Studi Kelayakan Bisnis Melalui Pendaftaran OSS dan Sertifikasi Halal," ILTIZAM Journal of Islamic Economics and Finance, vol. 3, no. 1, pp. 13–28, 2025.
Y. Yuliana, "Reformasi Sistem OSS dan Perizinan Berusaha Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk Meningkatkan Investasi Asing di Indonesia," Media Hukum Indonesia, vol. 3, no. 4, pp. 209–216, 2025, doi: 10.5281/zenodo.17413693.
A. Badawi and B. Wedhatami, "Implementasi Online Single Submission sebagai Penyederhanaan Birokrasi Perizinan untuk Meningkatkan Peluang Perizinan Berusaha dan Investasi," in Book Chapter Hukum dan Lingkungan, vol. 1, 2025, pp. 22–49.
C. Wijaya and G. Lie, "Eksaminasi Kebijakan Hukum Waralaba Indonesia Guna Menyokong Perlindungan Hukum Bagi Pelaku Usaha," Journal of Artificial Intelligence and Digital Business, vol. 4, no. 3, pp. 6769–6777, 2025, doi: 10.31004/riggs.v4i3.3020.
E. Suherman, S. Suroso, and C. Savitri, "Menuju UMKM Naik Kelas: Pendampingan Pendaftaran Legalitas Usaha Melalui Online Single Submission Desa Sirnabaya Karawang," Jurnal Akademi Pengabdian Masyarakat, vol. 3, no. 6, pp. 45–52, 2025, doi: 10.61722/japm.v3i6.6772.
N. Fadilah, N. Syifa, and N. I. Qurrotu’aini, "Pentingnya Pengurusan NIB sebagai Instrumen Legalitas Usaha: Studi pada UMKM Jellicious dalam Bingkai Hukum Bisnis," Jurnal Pengabdian Inovasi Masyarakat, vol. 2, no. 2, pp. 38–41, 2025, doi: 10.62759/jpim.v2i2.232.
A. R. Chadafi, A. K. Umam, and N. I. Qurratu’aini, "Pendampingan Pembuatan Nomor Induk Berusaha (NIB) pada UMKM Setia Jaya Mebel Melalui Online Single Submission (OSS)," Jurnal Pengabdian Inovasi Masyarakat, vol. 2, no. 2, pp. 52–54, 2025, doi: 10.62759/jpim.v2i2.272.
M. Utari et al., "Sosialisasi Penerbitan Nomor Induk Berusaha Melalui Online Single Submission (OSS) di Koperasi Karyawan Rumah Sakit Pusri," Jurnal Masyarakat Madani Indonesia, vol. 4, no. 3, pp. 487–495, 2025.
M. Makbul and M. Ismail, "Legalitas Usaha sebagai Penggerak Budaya Hukum Pelaku UMKM di Era Digital: Antara Kepatuhan dan Resistensi," JHES Journal of Sharia Economic Law, vol. 8, no. 1, pp. 1–14, 2025, doi: 10.30595/jhes.v8i1.28071.
N. Rahmadhani, N. D. A. Syafitri, and N. H. S. A., "Digitalisasi Perizinan UMKM Melalui OSS (Online Single Submission)," Wedyadinigrat Ngawi, vol. 8, no. 1, pp. 69–75, 2025.
A. M. Vasya, "Audit Sistem Informasi pada Tata Kelola Keamanan Layanan Website Online Single Submission Menggunakan Framework COBIT 2019," Undergraduate Thesis, Universitas Nusa Mandiri Jakarta, 2025.
B. S. Utomo, S. A. Kurniawan, and R. A. Nugraha, "Analisis Efektivitas OSS-RBA dalam Penyederhanaan Proses Perizinan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Sendiri," Journal of Law and Energy Policy, vol. 1, no. 1, pp. 1–4, 2025.
D. N. Mayasari, "Kepastian Hukum bagi Pelaku Bisnis dalam Memperoleh Izin Berusaha Melalui Lembaga Perizinan Online Single Submission (OSS)," Media Hukum Indonesia, vol. 3, no. 3, pp. 344–350, 2025, doi: 10.5281/zenodo.15612312.
I. G. A. V. I. Sasmita and P. D. Y. Utami, "Kewenangan Pelaku Usaha di Bawah Umur dalam Pendaftaran Nomor Induk Berusaha: Kajian Kecakapan Perspektif Hukum Perdata," Jurnal Media Akademika, vol. 3, no. 10, pp. 1–15, 2025, doi: 10.62281.
I. Astarina, A. Hapsila, P. Dewi, Y. Remofa, and H. Yaspita, "Sosialisasi dan Pelatihan Nomor Induk Berusaha bagi Pemilik Usaha di Kelurahan Sekar Mawar," VALUES Journal of Community Service, vol. 3, no. 1, pp. 11–24, 2025.