Login
Section Private Law

Legal Implications Following the Constitutional Court Decision No. 24/PUU-XX/2022 and the Supreme Court Circular No. 2 of 2023 Regarding the Prohibition for Courts to Grant Marriage Registration Requests Across Different Religions

Implikasi Hukum Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Larangan Pengadilan untuk Mengabulkan Permohonan Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Jonathan Hervine Siarill (1), Benny Djaja (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Interfaith marriage in Indonesia remains a complex legal issue due to the intertwining of religious norms and state administrative authority. Specific Background: The Constitutional Court Decision No. 24/PUU-XX/2022 and Supreme Court Circular No. 2/2023 further restrict court-granted registration of interfaith marriages by reaffirming the primacy of religious validity. Knowledge Gap: Despite extensive debate, limited research analyzes the combined legal, administrative, and human rights implications arising from both instruments. Aims: This study examines the legal consequences of the Court’s decision and the Circular, focusing on their impact on legal certainty, constitutional rights, and the status of interfaith families. Results: Using a normative juridical approach, the findings show that delegating substantive validity to religion and limiting administrative registration creates legal uncertainty, a regulatory vacuum, and discriminatory outcomes affecting marital status, children’s rights, inheritance, and civil documentation. Novelty: This research offers an integrated assessment of constitutional, administrative, and human rights dimensions, highlighting normative dissonance between constitutional guarantees and religion-based administrative practices. Implications: The study underscores the need for regulatory harmonization and proposes exploring civil marriage mechanisms to ensure legal certainty, equality before the law, and protection of fundamental rights within Indonesia’s pluralistic society.


Highlights:




  • Highlights the legal vacuum created by relying solely on religious validity for marriage recognition.




  • Emphasizes the conflict between constitutional guarantees and restrictive administrative practice.




  • Proposes civil marriage as a potential solution to ensure equal legal protection.




Keywords: Interfaith Marriage, Legal Certainty, Constitutional Rights, Administrative Law, Human Rights

Author Biography

Jonathan Hervine Siarill, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) dalam Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak. Artinya, keabsahan perkawinan sangat bergantung pada ketentuan agama yang dianut oleh calon mempelai.

Namun, dalam praktiknya, muncul persoalan ketika kedua calon mempelai berbeda agama. Fenomena perkawinan beda agama menimbulkan perdebatan karena tidak adanya pengaturan eksplisit yang mengatur legalitasnya. Banyak pasangan terpaksa menikah di luar negeri atau melakukan konversi agama semata-mata agar perkawinannya dapat diakui negara. Kondisi ini menimbulkan persoalan kepastian hukum dan perlindungan hak konstitusional warga negara untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 [1].

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 menjadi tonggak penting dalam perdebatan ini. Permohonan judicial review terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f) UUP diajukan dengan alasan bahwa pembatasan berdasarkan agama melanggar hak warga negara untuk menikah dan membentuk keluarga. Meskipun Mahkamah menolak permohonan tersebut, Mahkamah menegaskan bahwa negara tidak melarang perkawinan beda agama, tetapi keabsahannya tetap diserahkan pada hukum agama masing-masing. Putusan ini menimbulkan interpretasi baru mengenai hubungan antara hukum agama dan hukum administrasi negara.

Sebagai tindak lanjut, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 (“SEMA 2/2023”) yang memberikan pedoman kepada hakim dalam menangani permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, SEMA ini membatasi ruang bagi pengadilan untuk mengabulkan pencatatan jika perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum agama. Kebijakan ini memicu perdebatan karena di satu sisi dianggap memperkuat kepastian hukum, tetapi di sisi lain dinilai menambah hambatan terhadap pelaksanaan hak asasi warga negara. Ketegangan antara nilai religiusitas, hak konstitusional, dan kepastian hukum administratif menjadi inti dari permasalahan ini. Ketika hukum agama, hukum negara, dan hak asasi manusia belum terharmonisasi, maka muncul ketidakpastian hukum yang berimbas luas terutama terhadap status hukum pasangan, anak, warisan, dan dokumen kependudukan [2].

Dalam konteks pluralisme Indonesia, isu perkawinan beda agama menegaskan perlunya model pengaturan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap realitas sosial, tanpa mengabaikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Penelitian ini menjadi penting untuk menganalisis keabsahan perkawinan beda agama dalam konteks hukum positif Indonesia pasca Putusan MK dan SEMA tersebut, serta mengidentifikasi implikasi hukumnya bagi pelaksanaan perkawinan lintas agama di Indonesia. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana hukum keluarga dan hukum konstitusi, khususnya dalam menelaah hubungan antara hukum agama, hukum negara, dan perlindungan hak asasi manusia. Sementara secara praktis dan kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi aparat pencatat sipil, lembaga peradilan, dan pembuat kebijakan dalam menafsirkan serta mengevaluasi harmonisasi antara norma konstitusional, nilai agama, dan hak warga negara dalam penyelenggaraan perkawinan di Indonesia.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan konseptual (conceptual approach). Pendekatan yuridis normatif menekankan pada kajian terhadap norma-norma hukum tertulis dan doktrin-doktrin hukum yang berlaku untuk menemukan dasar hukum dan makna filosofis dari regulasi yang dikaji. Melalui pendekatan perundang-undangan, peneliti menelaah berbagai ketentuan hukum seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022. Sementara itu, pendekatan konseptual digunakan untuk memahami teori, asas, dan gagasan hukum yang relevan agar dapat membangun kerangka berpikir yang logis dalam menganalisis isu hukum yang menjadi fokus penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan secara sistematis peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menganalisisnya berdasarkan teori hukum serta praktik pelaksanaan hukum positif di Indonesia.

Data yang digunakan merupakan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan topik penelitian, sedangkan bahan hukum sekunder meliputi buku, jurnal ilmiah, serta karya ilmiah seperti skripsi dan tesis [3]. Teknik analisis yang diterapkan adalah analisis kualitatif, dengan cara menguraikan data secara naratif dan logis untuk menemukan hubungan antara norma hukum dan realitas pelaksanaannya. Melalui analisis ini, peneliti berupaya menarik kesimpulan deduktif dan induktif secara sistematis guna memberikan gambaran yang komprehensif terhadap permasalahan hukum yang diteliti serta menawarkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai relevansi teori dan penerapan hukum dalam konteks perkawinan di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

Dalam hukum nasional Indonesia, hubungan antara agama dan negara merupakan persoalan yang terus menjadi perdebatan konstitusional, terutama dalam ranah hukum keluarga. Indonesia tidak menganut sistem negara sekuler murni, tetapi juga bukan negara agama. Oleh sebab itu, hukum nasional harus mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang hidup di tengah masyarakat, tanpa mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara di hadapan hukum. Dalam bidang perkawinan, hubungan sinergis antara nilai agama dan norma hukum negara menjadi semakin penting karena menyangkut hak konstitusional warga untuk membentuk keluarga yang sah serta kewajiban negara dalam memberikan kepastian hukum atas hubungan keperdataan tersebut.

Perkawinan, dalam perspektif yuridis dan sosiologis, bukan hanya perikatan perdata antara dua individu, melainkan juga lembaga sosial yang berfungsi menjaga ketertiban moral dan struktur masyarakat. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum perkawinan merupakan wujud moralitas hukum (moral law) yang menggambarkan hubungan ideal antara manusia, agama, dan negara [4]. Oleh karena itu, pengaturan mengenai keabsahan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai religius yang hidup di masyarakat, karena hukum perkawinan di Indonesia dibangun atas fondasi filosofis Pancasila dan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, dalam realitas sosial yang semakin plural dan dinamis, prinsip religiusitas ini sering kali bersinggungan dengan hak asasi individu, terutama dalam konteks kebebasan beragama dan kebebasan memilih pasangan hidup. Konflik normatif inilah yang menjadi akar perdebatan mengenai sah atau tidaknya perkawinan beda agama di Indonesia.

Keadaan ini melahirkan kompleksitas dalam pengaturan hukum perkawinan, terutama ketika terjadi perbedaan keyakinan antara calon pasangan. Hukum agama pada dasarnya bersifat eksklusif dan partikular, sedangkan hukum negara cenderung bersifat universal dan inklusif [5]. Ketika kedua sistem ini berinteraksi, muncul persoalan normatif mengenai batas antara kewenangan negara dan otoritas agama. Dalam praktiknya, negara Indonesia memilih posisi kompromistis, yaitu menyerahkan keabsahan substantif perkawinan kepada hukum agama, sementara negara menjalankan fungsi administratif berupa pencatatan. Model seperti ini sejatinya diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlindungan hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, pendekatan tersebut justru menimbulkan banyak permasalahan, terutama bagi pasangan beda agama yang tidak dapat memenuhi syarat keabsahan menurut hukum agamanya masing-masing.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 dan SEMA 2/2023 memiliki dampak yuridis yang sangat signifikan terhadap praktik perkawinan beda agama di Indonesia. Putusan MK ini menjadi tonggak penting karena memuat tafsir konstitusional yang menegaskan bahwa negara tidak melarang perkawinan beda agama, namun sekaligus menegaskan bahwa keabsahan perkawinan tetap bersandar pada hukum agama masing-masing pihak. Dengan kata lain, Mahkamah menempatkan hukum agama sebagai sumber legitimasi utama dalam sistem hukum perkawinan nasional, sementara negara hanya menjalankan fungsi administratif. Posisi ini menunjukkan bahwa sistem hukum perkawinan Indonesia masih bersifat religio-centric, di mana norma keagamaan menjadi unsur konstitutif dalam menentukan sah atau tidaknya hubungan hukum keluarga [6]. Dalam kerangka teori legal pluralism, keadaan tersebut menggambarkan bahwa Indonesia menganut model subordinatif, di mana hukum agama menjadi bagian integral dari hukum nasional, bukan sekadar entitas otonom yang berdiri sejajar [7]. Hal ini memperlihatkan kompleksitas hubungan antara agama, negara, dan hak individu dalam sistem hukum Indonesia yang bersifat majemuk, tetapi tetap menjunjung asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai norma dasar negara.

Meskipun demikian, pendekatan ini juga menunjukkan bahwa hak konstitusional untuk menikah sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 tidak bersifat absolut, melainkan dibatasi oleh prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa hak individu untuk menikah harus tetap dijalankan dalam kerangka norma agama yang diakui oleh negara. Sebagaimana dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, prinsip Ketuhanan dalam konstitusi Indonesia bukan sekadar asas moral, melainkan asas yuridis yang menjiwai seluruh sistem hukum nasional [8]. Oleh karena itu, negara tidak dapat menetapkan keabsahan suatu perkawinan tanpa terlebih dahulu memperoleh pengakuan dari hukum agama yang relevan, karena hal tersebut akan dianggap bertentangan dengan struktur normatif konstitusi yang menempatkan agama sebagai sumber nilai tertinggi dalam sistem hukum.

Implikasi langsung dari Putusan MK ini adalah adanya pemisahan tegas antara peran negara dan otoritas agama dalam menentukan sahnya perkawinan. Negara hanya berfungsi sebagai pencatat administratif setelah keabsahan substantif terpenuhi. Pemisahan fungsi ini didasarkan pada prinsip dualitas kewenangan, di mana agama memegang otoritas substantif atas sahnya perkawinan, sementara negara bertanggung jawab pada aspek administratif dan perlindungan hukum warga negara [9]. Namun, dalam konteks perkawinan beda agama, hampir semua lembaga keagamaan di Indonesia tidak memberikan legitimasi terhadap perkawinan lintas keyakinan, sehingga negara tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan pencatatan [10]. Akibatnya, banyak pasangan beda agama menghadapi kebuntuan hukum (legal deadlock) secara sosial mereka telah hidup sebagai suami istri, tetapi secara hukum negara mereka tidak diakui. Situasi ini menimbulkan konsekuensi serius yang mengakibatkan adanya ketimpangan antara realitas sosial dan legalitas formal, menciptakan legal vacuum atau kekosongan norma yang merugikan banyak pihak terutama dalam bidang hukum perdata seperti status anak, hak waris, harta bersama, dan hak administratif kependudukan [11].

Menurut A. Qodri Azizy, fenomena ini mencerminkan adanya jurisdictional fragmentation dalam sistem hukum Indonesia, yaitu tumpang tindih kewenangan antara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat, yang menyebabkan tidak adanya kesatuan norma dalam penentuan keabsahan suatu tindakan hukum [12]. Fragmentasi yurisdiksi tersebut memperlihatkan bahwa sistem hukum Indonesia masih menganut karakter pluralisme hukum (legal pluralism) yang tidak sepenuhnya terintegrasi secara konseptual. Dalam konteks hukum perkawinan, pluralitas ini menciptakan conflict of norms antara hukum agama yang bersifat konfesional dengan hukum nasional yang mengklaim universalitas dalam menjamin hak-hak warga negara [13]. Akibatnya, negara sering kali berada dalam posisi ambigu di satu sisi harus menjamin kebebasan individu sebagaimana diamanatkan konstitusi, tetapi di sisi lain terikat pada doktrin keagamaan yang menjadi dasar legitimasi hukum positif.

Dari sisi sejarah politik hukum, regulasi perkawinan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kolonialisme dan politik hukum pasca-kemerdekaan. Pada masa Hindia Belanda, hukum perkawinan dibagi berdasarkan golongan penduduk: Eropa tunduk pada Burgerlijk Wetboek, sementara pribumi dan Timur Asing diatur oleh hukum adat dan agama masing-masing [14]. Pola pluralisme hukum ini masih bertahan hingga kini dalam bentuk legal dualism antara hukum agama dan hukum nasional. Setelah kemerdekaan, pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan upaya kodifikasi untuk menyatukan sistem hukum perkawinan, namun kompromi politik pada masa itu membuat hukum agama tetap menjadi dasar keabsahan. Kompromi historis tersebut menyebabkan hukum perkawinan di Indonesia tidak sepenuhnya berkarakter sekuler, melainkan mencerminkan politik akomodasi terhadap otoritas agama.

Dalam praktiknya, dualisme antara hukum agama dan hukum negara memperlihatkan bahwa hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat konfesional dan eksklusif, bukan inklusif sebagaimana dikehendaki oleh prinsip perlindungan hak asasi manusia [15]. Selain itu, ketiadaan mekanisme hukum yang akomodatif terhadap perkawinan beda agama menyebabkan terjadinya disparitas perlakuan hukum di lapangan. Banyak pasangan kemudian menempuh alternatif seperti melangsungkan perkawinan di luar negeri (lex loci celebrationis) atau melakukan konversi agama semu (artificial conversion) semata-mata untuk memenuhi ketentuan formal hukum agama [16]. Namun, langkah ini tidak jarang menimbulkan persoalan lanjutan ketika pasangan tersebut kembali ke Indonesia, sebab sistem administrasi kependudukan nasional tetap mensyaratkan keabsahan keagamaan sebagai dasar pencatatan. Praktik semacam ini pada akhirnya justru melemahkan integritas hukum nasional, karena menimbulkan kesan bahwa hukum dapat diakali untuk menyesuaikan kepentingan administratif.

Hal ini memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia masih bersifat reaktif dan kasuistik, belum mampu mengantisipasi kebutuhan masyarakat plural secara sistematis [17]. Sebagaimana dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya tidak menjadi alat untuk menjerat atau membatasi, tetapi menjadi sarana pembebasan manusia dari ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Dengan demikian, hukum harus bersifat progresif, adaptif , responsif, dan berorientasi terhadap realitas sosial, agar tidak kehilangan legitimasi moralnya di tengah dinamika masyarakat modern yang semakin plural dan kompleks [18].

Selain dimensi yuridis, dampak sosial dan psikologis dari pembatasan perkawinan beda agama juga tidak dapat diabaikan. Penelitian oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia menunjukkan bahwa, pasangan beda agama yang gagal memperoleh pengakuan hukum menghadapi tekanan sosial dan psikologis yang tinggi, seperti stigma sosial, marginalisasi keluarga, dan konflik batin terkait identitas anak [19]. Tekanan tersebut semakin meningkat karena masyarakat Indonesia masih memiliki kultur kolektivistik, di mana penilaian sosial terhadap moralitas keluarga menjadi bagian penting dari legitimasi sosial seseorang. Dalam masyarakat dengan nilai religius kuat, ketidakmampuan memperoleh pengakuan hukum terhadap perkawinan sering kali dianggap sebagai aib sosial (social deviance), sehingga pasangan dan anak-anaknya mengalami diskriminasi simbolik maupun nyata di lingkungan sosial.

Dalam beberapa kasus, tekanan sosial bahkan berujung pada perpecahan keluarga dan trauma jangka panjang bagi anak-anak yang tumbuh dalam situasi ketidakpastian status hukum. Komnas Perempuan menemukan bahwa anak-anak hasil perkawinan beda agama menghadapi kebingungan identitas, keterasingan sosial, serta kesulitan mengakses pendidikan agama di sekolah karena ketidakjelasan pencatatan agama orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang menolak pencatatan perkawinan lintas agama berpotensi melanggar hak atas kesejahteraan psikologis (psychological well-being) sebagaimana diatur dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), khususnya Pasal 12 yang mengatur hak atas kesehatan mental dan sosial. Menurut Pandangan Human Rights Committee PBB, negara memiliki kewajiban positif untuk mencegah timbulnya penderitaan psikologis akibat kebijakan diskriminatif yang membatasi hak dasar warga negara.

Selain itu, pembatasan administratif terhadap perkawinan beda agama tidak hanya menimbulkan beban emosional, tetapi juga memunculkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Menurut hasil riset yang dilakukan oleh Paramadina Center for Religion and Democracy (PCRD), banyak pasangan beda agama yang terpaksa menikah di luar negeri dengan biaya tinggi demi memperoleh pengakuan hukum, sehingga memperdalam ketimpangan antara warga negara yang mampu dan tidak mampu secara ekonomi. Hal ini menandakan bahwa kebijakan yang seharusnya menjamin kesetaraan justru berpotensi memperkuat diskriminasi berbasis kelas sosial.

Dari sudut pandang hukum administrasi negara, kondisi ini juga menunjukkan lemahnya koordinasi antar-lembaga negara dalam mengimplementasikan putusan konstitusional. Menurut Yusril Ihza Mahendra, sistem administrasi perkawinan di Indonesia masih belum memiliki integrated regulatory framework yang mengatur hubungan antara norma agama dan norma hukum publik secara jelas [20]. Diperlukan mekanisme inter-agency coordination system agar lembaga-lembaga seperti KUA, Disdukcapil, dan Mahkamah Agung memiliki pedoman yang seragam dalam menafsirkan keabsahan perkawinan lintas agama. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) mensyaratkan adanya harmonisasi dan koordinasi antarinstansi untuk mencegah ketidakefisienan administratif serta ketidakpastian hukum.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), sebagai pelaksana pencatatan perkawinan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Namun, dalam praktiknya, lembaga ini berada dalam posisi dilematis antara menghormati putusan MK Nomor 24/PUU-XX/2022, yang bersifat final dan mengikat, dengan SEMA 2/2023 yang bersifat internal namun memiliki kekuatan interpretatif terhadap praktik peradilan [21]. Pertentangan ini menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan administrasi karena masing-masing lembaga menafsirkan norma hukum secara sektoral tanpa koordinasi lintas kelembagaan.

Akibatnya, muncul kekosongan norma (rechtsvacuum) di tingkat implementasi yang berimbas pada ketidakpastian hukum bagi pasangan beda agama. Hukum seharusnya mampu menyesuaikan diri dengan dinamika sosial dan tidak terjebak pada rigiditas formal [22]. Namun, praktik birokrasi di Indonesia sering kali menampilkan wajah hukum yang represif dan insensitive terhadap kebutuhan sosial, di mana aparat administrasi lebih memilih bersikap defensif daripada mengambil inisiatif kebijakan yang berorientasi pada perlindungan hak konstitusional warga. Dalam praktiknya, Disdukcapil di beberapa daerah bahkan mengeluarkan kebijakan berbeda, ada yang menolak secara mutlak, namun ada pula yang masih memberikan celah pencatatan dengan dasar administratif tertentu [23]. Hal ini jelas menimbulkan inkonsistensi hukum dan menunjukkan bahwa tidak adanya keselarasan antar-otoritas hukum menyebabkan fungsi negara sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara tidak berjalan optimal.

Dalam tataran kebijakan publik, pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan administratif melalui revisi terhadap peraturan teknis yang mengatur pelayanan pencatatan sipil. Harmonisasi antara Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri menjadi kunci untuk menghindari terjadinya policy contradiction. Sebagaimana diuraikan oleh Hendra Nurtjahjo, mekanisme kebijakan keluarga di Indonesia masih bersifat departmentalized, sehingga peraturan di tiap kementerian cenderung berjalan sendiri-sendiri tanpa integrasi substansi hukum. Fragmentasi kelembagaan ini sering kali menyebabkan tumpang tindih kebijakan antara hukum agama dan hukum publik, khususnya dalam penentuan sahnya perkawinan dan kewenangan pencatatannya.

Disharmoni peraturan pelaksana antarinstansi merupakan salah satu akar penyebab rendahnya efektivitas hukum di Indonesia, karena tidak adanya integrated regulatory framework yang mengikat semua lembaga dalam satu sistem administratif yang kohesif. Oleh sebab itu, diperlukan National Task Force lintas kementerian untuk membangun pedoman terpadu yang dapat menjamin perlindungan administratif terhadap semua bentuk perkawinan yang sah menurut konstitusi, termasuk lintas agama [24].

Dari perspektif hak asasi manusia, pembatasan pencatatan perkawinan beda agama menimbulkan pertanyaan serius mengenai jaminan hak untuk membentuk keluarga tanpa diskriminasi. Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945 dengan tegas menjamin bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun.” Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan dewasa berhak untuk menikah dan membentuk keluarga tanpa pembatasan agama. Selain itu, Pasal 23 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 juga menegaskan hak yang sama untuk menikah dan membentuk keluarga berdasarkan persetujuan bebas kedua pihak. Pembatasan administratif terhadap pencatatan perkawinan beda agama dapat diinterpretasikan sebagai bentuk diskriminasi struktural, karena membatasi akses terhadap hak sipil tertentu hanya berdasarkan perbedaan agama yang bersifat pribadi.

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Pasal 16 ayat (1) huruf (a) menekankan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk menikah dan memilih pasangan, sementara ICCPR Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa pernikahan harus dilakukan berdasarkan persetujuan bebas kedua belah pihak. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara pihak memiliki kewajiban positif untuk tidak hanya melindungi hak substantif tersebut, tetapi juga menciptakan mekanisme administratif yang menjamin akses kesetaraan hukum bagi semua warga negara.

Dalam konteks gender equality, perempuan sering kali berada dalam posisi rentan karena keterbatasan hukum yang tidak menjamin perlindungan status hukum mereka sebagai istri sah dan ibu bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan beda agama. Sebagaimana diuraikan oleh Siti Musdah Mulia, hukum perkawinan yang menafikan keabsahan hubungan lintas agama secara tidak langsung menciptakan ketimpangan struktural terhadap perempuan, karena mereka kerap kehilangan akses terhadap hak nafkah, hak waris, dan pengakuan administratif [25]. Menurut penelitian oleh Komnas Perempuan, perempuan yang menikah beda agama menghadapi risiko hukum yang lebih besar dibandingkan laki-laki karena posisi sosial dan ekonomi yang lebih lemah dalam struktur keluarga dan masyarakat.

Jika dilihat dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa, ketentuan hukum yang membatasi pencatatan perkawinan beda agama dapat dianggap bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi yang dijunjung dalam sistem hukum nasional maupun internasional, serta menimbulkan kesan bahwa negara belum sepenuhnya melaksanakan tanggung jawabnya dalam menjamin perlindungan hak asasi warga negara tanpa memandang perbedaan agama [26], sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. kewajiban negara tidak hanya berhenti pada penyusunan norma, tetapi juga mencakup tanggung jawab memastikan norma tersebut dapat diterapkan secara konsisten dan tidak diskriminatif [27]. Oleh karena itu, penolakan administratif terhadap pencatatan perkawinan beda agama sesungguhnya tidak hanya menimbulkan persoalan yuridis, tetapi juga mengancam integritas prinsip negara hukum yang berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia.

Dampak hukum dari perkawinan beda agama juga berimplikasi serius terhadap status hukum anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Anak yang lahir dari perkawinan semacam ini menghadapi hambatan dalam memperoleh identitas hukum yang sah, yang pada akhirnya berimplikasi terhadap hak pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial sebagaimana dijamin oleh Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Apabila perkawinan orang tua tidak sah menurut hukum agama dan tidak dicatat oleh negara, maka status anak menjadi tidak jelas secara hukum. Hal ini berdampak pada hubungan keperdataan anak terhadap ayahnya, baik dalam hal hak waris, tanggung jawab nafkah, maupun pencatatan identitas hukum.

Dalam konteks perlindungan hak-hak anak dan perempuan, peran lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berbasis hak asasi manusia sangat penting. Lembaga-lembaga ini dapat memberikan advokasi, bantuan hukum, dan konseling psikososial bagi pasangan beda agama dan anak-anak mereka. Menurut laporan Komnas Perempuan tahun 2023, terdapat peningkatan aduan terkait diskriminasi administratif terhadap anak hasil perkawinan beda agama sebesar 14% dibanding tahun sebelumnya [28]. Kondisi ini menegaskan perlunya reformasi kebijakan yang tidak hanya fokus pada norma formal, tetapi juga memperhatikan dimensi kemanusiaan dan perlindungan sosial secara komprehensif.

Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah memperluas pengakuan terhadap anak luar kawin dengan memberikan hak perdata kepada anak yang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah dengan ayah biologisnya, namun dalam konteks perkawinan beda agama yang tidak tercatat, anak tetap menghadapi kendala administratif seperti, pengurusan akta kelahiran, akses pendidikan, dan hak jaminan sosial [29]. Hal ini menunjukkan adanya jurang normatif antara pengakuan substantif terhadap hak anak dan realisasi administratifnya yang masih terhambat oleh birokrasi dan ketidakharmonisan regulasi sektoral [30].

Menurut Arskal Salim, kebijakan yang tidak memberikan perlindungan terhadap anak dari perkawinan lintas agama merupakan bentuk kegagalan negara dalam menjamin prinsip the best interest of the child sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 [31]. Negara seharusnya memandang setiap anak tanpa diskriminasi atas dasar status perkawinan orang tuanya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) konvensi tersebut. Keadaan ini memperlihatkan bahwa kebijakan hukum pasca Putusan MK No. 24/PUU-XX/2022 dan keluarnya SEMA 2/2023 belum memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi anak-anak hasil perkawinan lintas agama, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam pemenuhan hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

Dalam praktiknya, keterbatasan hukum dalam memberikan perlindungan administratif terhadap anak-anak hasil perkawinan beda agama mengakibatkan mereka berada dalam situasi legal limbo, di mana mereka secara sosial diakui, tetapi secara hukum tidak mendapatkan pengakuan formal. Kondisi ini memperlihatkan adanya diskriminasi turunan (derivative discrimination) karena anak menjadi korban tidak langsung dari kebijakan hukum yang eksklusif terhadap perkawinan orang tuanya. Ketimpangan ini menimbulkan dampak jangka panjang terhadap akses anak pada pendidikan, perlindungan sosial, dan hak kewarganegaraan yang sah.

Dalam perspektif politik hukum nasional, fenomena tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum perkawinan di Indonesia masih didominasi oleh paradigma religius-normatif yang belum sepenuhnya responsif terhadap pluralitas masyarakat. Pendekatan hukum yang terlalu menitikberatkan pada legitimasi keagamaan menyebabkan negara kehilangan peran aktifnya dalam menjamin perlindungan hak-hak sipil dan administratif warganya. Mahfud MD menegaskan bahwa hukum tidak boleh bersifat statis, melainkan harus dinamis dan adaptif terhadap perkembangan sosial agar tidak terjadi benturan antara norma hukum dan realitas kehidupan masyarakat [32]. Lemahnya harmonisasi antara Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, dan kebijakan yudisial Mahkamah Agung menimbulkan dualisme penafsiran hukum yang justru menciptakan ketidakpastian bagi warga negara.

Oleh karena itu, diperlukan langkah rekonstruksi dan harmonisasi hukum nasional agar sistem hukum perkawinan dapat sejalan dengan cita hukum Pancasila yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Negara hukum yang berlandaskan Pancasila harus mampu mengintegrasikan nilai Ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan sosial secara seimbang dalam setiap kebijakan publik, termasuk dalam pengaturan perkawinan lintas agama.

Sebagai rekomendasi konseptual, negara perlu mempertimbangkan pembentukan mekanisme perkawinan sipil (civil marriage) yang bersifat administratif dan tidak mengintervensi urusan keagamaan. Sistem ini dapat menjadi jembatan antara nilai-nilai agama dan hak konstitusional warga negara, di mana negara berperan hanya sebagai fasilitator administratif tanpa menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan berdasarkan ajaran agama tertentu [33]. Dalam sistem hukum yang plural seperti Indonesia, mekanisme ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan fungsi agama dalam menentukan nilai-nilai moral perkawinan, tetapi sebagai solusi normatif agar hak setiap warga negara untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 dapat terlindungi secara setara [34].

Menurut Franz Magnis-Suseno, negara seharusnya tidak menjadi penafsir moral agama, tetapi menjamin ruang bagi kebebasan moral dan spiritual warga negara untuk menentukan jalan hidupnya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum publik [35]. Dengan demikian, perkawinan sipil menjadi sarana kompromi antara nilai Ketuhanan dan prinsip non-diskriminasi, karena negara tetap menghormati otoritas agama, tetapi sekaligus memenuhi kewajiban konstitusional untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia.

Mekanisme perkawinan sipil semacam ini telah berhasil diterapkan di berbagai negara dengan masyarakat multireligius. Misalnya, di Filipina, Pasal 3 Family Code 1987 memberikan opsi bagi warga negara untuk melangsungkan perkawinan secara sipil di hadapan Civil Registrar tanpa meniadakan hak untuk melangsungkan upacara keagamaan setelahnya [36]. Demikian pula di India, melalui Special Marriage Act 1954, negara menjamin hak setiap warga untuk menikah lintas agama atau tanpa agama di hadapan pejabat sipil, tanpa harus mengubah keyakinannya [37]. Pendekatan ini tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi pasangan lintas agama, tetapi juga berperan penting dalam memperkuat prinsip kesetaraan warga negara di hadapan hukum.

Model semacam ini dapat diadaptasi secara kontekstual di Indonesia dengan tetap menempatkan prinsip Ketuhanan sebagai norma dasar, namun disertai instrumen administratif yang bersifat netral secara agama. Sejumlah ahli hukum mengusulkan penerapan sistem civil marriage atau perkawinan sipil yang bersifat administratif dan inklusif, sebagaimana diterapkan di negara-negara multireligius seperti Filipina, India, dan Singapura. Sistem ini memungkinkan pasangan beda agama menikah di hadapan pejabat sipil tanpa menghapus kebebasan mereka untuk melangsungkan upacara keagamaan setelahnya [38]. Selain itu, penguatan dialog antaragama dan program edukasi toleransi perlu dikembangkan secara sistematis melalui lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurangi prasangka sosial terhadap perkawinan lintas keyakinan.

Di sisi lain, koordinasi kelembagaan antarinstansi, khususnya antara Kementerian Agama, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta Mahkamah Agung, harus diperkuat melalui pembentukan inter-agency task force yang bertugas menyusun pedoman terpadu terkait pelayanan administrasi perkawinan. Harmonisasi kebijakan ini penting agar tidak terjadi policy fragmentation yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di tingkat implementasi. Dalam konteks ini, negara diharapkan tidak hanya bersikap sebagai regulator, tetapi juga sebagai penjamin aktif atas kesetaraan hukum warga negara.

Dengan mekanisme tersebut, negara tetap menghormati doktrin agama tetapi juga menjamin perlindungan hukum yang setara bagi seluruh warga negara, termasuk mereka yang memilih untuk menikah lintas keyakinan. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Gustav Radbruch, yang menegaskan bahwa hukum ideal harus memadukan tiga nilai fundamental: kepastian hukum (rechtssicherheit), keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit) dalam satu kesatuan yang seimbang [39]. Jika dilihat dari hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat kepastian, tetapi juga sebagai sarana keadilan sosial yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat plural dan modern.

Selain dimensi hukum, aspek moral, budaya, dan keagamaan juga memainkan peran penting dalam memperkuat atau menghambat perkembangan hukum perkawinan lintas agama di Indonesia. Menurut Franz Magnis-Suseno, moralitas publik di Indonesia sering kali didominasi oleh tafsir konservatif yang menempatkan agama sebagai alat kontrol sosial, bukan sebagai nilai pembebasan yang menghargai otonomi individu. Pendekatan yang terlalu dogmatis ini membuat hukum menjadi eksklusif dan kurang adaptif terhadap perkembangan masyarakat multikultural. Etika sosial baru yang diharapkan ialah etika yang mengakui keberagaman keyakinan sebagai bagian dari kehendak moral yang sah dalam kehidupan bernegara, di mana hukum berfungsi menjembatani antara moralitas publik dan kebebasan individu, bukan menindas salah satunya [40].

Selain itu, Otto Kirchheimer dalam teorinya tentang law and politics menegaskan bahwa hukum publik yang gagal menyesuaikan diri dengan pluralitas masyarakat akan kehilangan legitimasi sosialnya dan hanya akan dipandang sebagai instrumen kekuasaan formal [41]. Kondisi ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas hukum agar tidak terjebak dalam positivisme kaku yang mengabaikan konteks sosial dan moral masyarakat. Hal ini juga ditegaskan oleh Roscoe Pound, yang menyatakan bahwa hukum seharusnya dilihat sebagai “a tool of social engineering” yang berfungsi membentuk keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan nilai-nilai keadilan universal [42]. Oleh sebab itu, pembentukan mekanisme perkawinan sipil bukan hanya persoalan administratif, tetapi merupakan wujud dari redefinisi peran negara dalam menjamin hak sipil warga tanpa mengabaikan akar nilai religius bangsa.

Dalam konteks perkawinan lintas agama, pendekatan law as social engineering ini menegaskan perlunya rekonstruksi paradigma hukum yang lebih inklusif. Hukum tidak boleh berhenti pada tataran teks, tetapi harus hidup dan bekerja di tengah masyarakat (law in action) untuk mewujudkan keadilan substantif. Hal ini berarti, negara perlu membangun mekanisme hukum yang tidak hanya berlandaskan pada legal formalitas agama, tetapi juga memperhatikan dimensi kemanusiaan dan hak asasi. Pembentukan mekanisme perkawinan sipil (civil marriage) dengan orientasi administratif menjadi relevan, bukan semata sebagai inovasi prosedural, melainkan sebagai redefinisi peran negara dalam menjamin hak-hak sipil warga tanpa mengabaikan akar nilai religius bangsa.

Implikasi hukum pasca Putusan MK No. 24/PUU-XX/2022 dan SEMA 2/2023 tidak hanya menimbulkan persoalan yuridis semata, tetapi juga berdampak luas terhadap dimensi sosial, moral, dan administrasi negara. Ketidakmampuan sistem hukum dalam mengakomodasi realitas perkawinan lintas agama dapat menimbulkan krisis legitimasi hukum dan memperlebar kesenjangan antara norma konstitusional dengan praktik administratif. Dalam jangka panjang, situasi ini memperlebar kesenjangan antara norma konstitusional yang menjamin kebebasan individu dengan praktik administratif yang masih eksklusif berbasis agama. Reformulasi kebijakan hukum perkawinan menjadi suatu keniscayaan, agar hukum Indonesia dapat berfungsi secara adaptif, humanis, dan inklusif tanpa meninggalkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar konstitusi [43]. Hanya dengan demikian, hukum nasional dapat memenuhi perannya sebagai instrumen keadilan substantif yang melindungi martabat seluruh warga negara secara setara di hadapan hukum dan Tuhan.

  1. Simpulan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022 yang dipadukan dengan SEMA 2/2023 telah menciptakan ketegangan normatif yang signifikan dalam sistem hukum perkawinan di Indonesia. Ketegangan ini muncul karena adanya perbedaan antara prinsip-prinsip konstitusional dan regulasi administratif yang berlaku, yang pada gilirannya menimbulkan ketidakpastian hukum serta menempatkan pasangan beda agama dalam posisi tanpa perlindungan hukum yang memadai. Salah satu dampak nyata dari kondisi ini adalah terjadinya kebuntuan hukum, di mana pasangan beda agama menghadapi paradoks: perkawinan mereka tidak dilarang secara eksplisit oleh negara, namun di sisi lain tidak dapat disahkan maupun dicatat karena bertentangan dengan ketentuan agama dan dibatasi oleh arahan SEMA. Akibatnya, status hukum perkawinan mereka berada dalam kondisi menggantung, sehingga tidak mendapat pengakuan resmi dari negara. Selain itu, situasi ini menimbulkan bentuk diskriminasi struktural dan berpotensi melanggar hak asasi manusia. Pasangan yang berbeda keyakinan mengalami ketidaksetaraan dalam mengakses hak-hak perkawinan, padahal UUD NRI 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk menikah dan membentuk keluarga tanpa diskriminasi agama (Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2)). Ketiadaan mekanisme administratif yang adil dan inklusif menunjukkan bahwa prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) belum sepenuhnya diterapkan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara perlindungan hak konstitusional dan praktik hukum di lapangan.

Ketidakpastian hukum tersebut juga berdampak signifikan terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak diakui secara formal. Anak-anak ini menghadapi berbagai hambatan, mulai dari kesulitan memperoleh akta kelahiran, hak waris, hingga akses terhadap layanan sosial dan perlindungan hukum yang seharusnya menjadi hak mereka. Dengan demikian, ketidakjelasan status hukum orang tua secara langsung menimbulkan kerawanan bagi hak-hak keperdataan anak dan mengancam prinsip perlindungan anak yang menjadi tanggung jawab negara. Lebih jauh, dualisme norma yang muncul akibat ketidakharmonisan antara putusan MK dan arahan SEMA menimbulkan disparitas dalam penegakan hukum di tingkat praktik. Dalam beberapa kasus, hakim menolak pencatatan perkawinan pasangan beda agama, sementara sebagian lain berupaya menafsirkan celah hukum demi melindungi hak konstitusional warga. Inkonsistensi ini tidak hanya menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum, tetapi juga memperlihatkan bahwa hukum perkawinan di Indonesia saat ini masih berada dalam kondisi normative dissonance, di mana prinsip keadilan substantif belum sepenuhnya selaras dengan struktur hukum positif yang kaku dan berorientasi religius-formal. Kondisi ini menegaskan perlunya reformasi hukum dan mekanisme administratif yang lebih adaptif, inklusif, dan konsisten agar hak-hak konstitusional warga negara dapat terlindungi secara efektif.

References

M. N. Sihombing and R. Nababan, “Keabsahan Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia,” Yustisi, vol. 12, no. 1, p. 39, 2025.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Ikhtisar Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XX/2022, Jakarta, Indonesia, 2022.

J. Matheus and A. Gunadi, “Pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi di Era Ekonomi Digital: Kajian Perbandingan dengan KPPU,” Justisi, vol. 10, no. 1, pp. 20–35, 2024.

S. Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan. Yogyakarta, Indonesia: Genta Publishing, 2006.

A. Muttaqin, “Pluralisme Hukum dan Pengaruhnya terhadap Kebijakan Perkawinan di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Hukum Lega Lata, vol. 7, no. 1, pp. 43–60, 2022.

A. Fauzi, “Hukum Agama dalam Sistem Perkawinan Nasional,” Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 10, no. 3, pp. 438–451, 2021.

M. B. Hooker, Indonesian Islam: Social Change Through Contemporary Fatawa. Honolulu, HI, USA: University of Hawai‘i Press, 2003.

J. Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta, Indonesia: Konstitusi Press, 2020.

M. F. I. S., Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta, Indonesia: Kanisius, 2007.

S. Soimin, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2015.

N. Trihastuti, “Perkawinan Beda Agama dan Akibat Hukumnya dalam Perspektif Hukum Positif,” Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 19, no. 3, p. 221, 2022.

A. Q. Azizy, Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum. Jakarta, Indonesia: Teraju, 2004.

A. Bedner and S. Van Huis, “Plurality of Marriage Law and Practice in Indonesia,” Asian Journal of Law and Society, vol. 7, no. 2, p. 280, 2010.

D. S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta, Indonesia: LP3ES, 1990.

K. Huda, “Kedudukan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,” Jurnal Konstitusi, vol. 17, no. 4, p. 711, 2020.

R. Saraswati, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum dan HAM di Indonesia,” Jurnal Konstitusi, vol. 17, no. 3, p. 451, 2020.

E. Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts. Amsterdam, Netherlands: Amsterdam University Press, 2018.

S. Rahardjo, Hukum dan Masyarakat. Bandung, Indonesia: Angkasa, 1986.

Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Studi Empiris Dampak Sosial Perkawinan Lintas Agama di Indonesia. Jakarta, Indonesia: UI Press, 2021.

Y. I. Mahendra, “Koordinasi Antar-Lembaga dalam Hukum Administrasi Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol. 48, no. 3, pp. 423–439, 2018.

M. S. Maarif, “Implikasi Putusan MK terhadap Pencatatan Perkawinan Beda Agama,” Jurnal Konstitusi, vol. 20, no. 1, p. 54, 2023.

P. Nonet and P. Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. New York, NY, USA: Harper & Row, 1978.

R. Fathonah, “Diskresi Administratif dalam Pelaksanaan Pencatatan Perkawinan Beda Agama,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol. 53, no. 2, p. 233, 2023.

D. Widodo, “Kebutuhan Reformasi Regulasi dalam Hukum Keluarga Nasional,” Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 19, no. 3, p. 215, 2022.

S. M. Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. Jakarta, Indonesia: Gramedia, 2019.

M. Siahaan, Hukum Hak Asasi Manusia dan Konstitusi. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2019.

N. Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Perlindungan HAM di Indonesia. Yogyakarta, Indonesia: FH UII Press, 2018.

Komnas Perempuan, Laporan Tahunan Kekerasan Berbasis Diskriminasi Agama. Jakarta, Indonesia: Komnas Perempuan, 2023.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jakarta, Indonesia, 2010.

R. Yuliani, “Analisis Hukum terhadap Status Anak dari Perkawinan Beda Agama,” Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 11, no. 2, pp. 247–260, 2022.

A. Salim, Hukum dan Relasi Agama–Negara di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Prenadamedia Group, 2019.

M. M. MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta, Indonesia: RajaGrafindo Persada, 2010.

S. Anisah, “Urgensi Pembentukan Perkawinan Sipil dalam Sistem Hukum Indonesia,” Jurnal Rechtsvinding, vol. 12, no. 2, p. 245, 2023.

N. Huda, Hukum Tata Negara dan Perlindungan Konstitusional. Yogyakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2021.

F. Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta, Indonesia: Gramedia, 1999.

Republic of the Philippines, The Family Code of the Philippines (Executive Order No. 209). Manila, Philippines: Government of the Philippines, 1987.

Government of India, The Special Marriage Act. New Delhi, India: Ministry of Law and Justice, 1954.

D. Fitriani, “Perbandingan Sistem Civil Marriage di Negara-Negara Multireligius,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol. 52, no. 4, p. 598, 2022.

G. Radbruch, Rechtsphilosophie. Leipzig, Germany: Quelle & Meyer, 1932.

A. S. Maarif, “Agama dan Kemanusiaan: Menemukan Etika Universal,” Jurnal Filsafat dan Humaniora, vol. 12, no. 1, pp. 77–92, 2020.

O. Kirchheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends. Princeton, NJ, USA: Princeton University Press, 1961.

R. Pound, An Introduction to the Philosophy of Law. New Haven, CT, USA: Yale University Press, 1922.

J. Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2019.