Kasmita Andriani (1), Gunardi Lie (2)
General Background: Corporate Social Responsibility (CSR) in Indonesia has transitioned toward the Triple Bottom Line, positioning CSR as a key driver of sustainable development. Specific Background: However, its implementation exhibits regulatory differences between State-Owned Enterprises (SOEs) and private companies, creating inconsistencies in legal obligations and funding mechanisms. Knowledge Gap: Existing CSR regulations emphasize formal compliance rather than measurable, sustainable impact, and little research examines how regulatory disharmony affects effectiveness. Aims: This study analyzes the juridical implications of regulatory disparities and evaluates CSR success benchmarks in relation to sustainable development principles. Results: Findings reveal two major implications: (1) discriminatory treatment, as CSR is mandatory for non–natural resource SOEs but voluntary for similar private firms, contradicting equality before the law; and (2) legal uncertainty due to conflicting norms on CSR funding sources. Additionally, a substantive gap appears between legal requirements and sustainability-oriented effectiveness indicators. Novelty: The study integrates legal analysis with sustainable development metrics, highlighting the need to shift CSR evaluation from compliance-based to impact-based frameworks. Implications: Harmonizing CSR regulation and adopting outcome-oriented benchmarks are essential to strengthen CSR’s contribution to Indonesia’s sustainable development agendas.
Highlights:
Regulatory inconsistencies create unequal CSR obligations between SOEs and private firms.
Conflicting norms on funding sources generate legal uncertainty in CSR implementation.
Effective CSR requires shifting from compliance-based evaluation to impact-based benchmarks.
Keywords: CSR, Regulatory Disharmony, State-Owned Enterprises, Sustainable Development, Legal Uncertainty
Fakultas Hukum
Pendahuluan
Istilah Corporate Social Responsibility (“CSR”) di Indonesia mulai banyak digunakan sejak tahun 1990-an, konsep CSR secara faktual merepresentasikan aksi perusahaan dalam bentuk kepedulian terhadap sosial dan lingkungan. CSR dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan, tidak hanya sekedar memberikan pembekalan dalam bentuk materi tetapi juga memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di sekitar wilayah perusahaan itu berdiri dengan melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Selain memiliki fungsi sebagai wujud tanggung jawab sosial, pelaksanaan CSR juga berimplikasi positif terhadap peningkatan citra dan legitimasi perusahaan di hadapan masyarakat dan investor [1]. Program CSR tidak semata-mata dipandang sebagai sarana pengeluaran biaya, melainkan sebagai bentuk investasi jangka panjang bagi pertumbuhan dan keberlanjutan perusahaan [2].
Dalam konteks pembangunan ekonomi modern, sektor dunia usaha memegang peranan strategis tidak hanya sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai aktor yang berkontribusi terhadap terciptanya keseimbangan sosial dan kelestarian lingkungan. Orientasi korporasi kini mengalami pergeseran paradigma dari pendekatan tradisional yang semata-mata berfokus pada perolehan keuntungan (single bottom line), menuju pendekatan yang lebih holistik melalui penerapan konsep Triple Bottom Line. Konsep ini menuntut agar perusahaan tidak hanya mengejar kinerja ekonomi, tetapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat serta dampak lingkungan dari setiap kegiatan usahanya. Keberhasilan suatu perusahaan tidak lagi diukur dari aspek finansial semata, melainkan dari kemampuannya menjaga harmoni antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan ekologis. Integrasi ketiga dimensi tersebut menjadi fondasi utama dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di mana kegiatan ekonomi dan bisnis diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang tanpa mengorbankan generasi mendatang.
Menurut pandangan Basiago, konsep sustainability atau keberlanjutan menggambarkan kemampuan suatu entitas—baik individu, organisasi, maupun sistem sosial—untuk mempertahankan eksistensi serta integritasnya secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang panjang [3]. Dalam ranah akademik, Markus J. Milne dan Rob Gray memperluas pemahaman tersebut dengan menegaskan bahwa keberlanjutan merupakan kerangka konseptual yang bertujuan menciptakan keseimbangan yang harmonis antara aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi guna menjamin kualitas hidup manusia secara berkesinambungan [3]. Gagasan tentang keberlanjutan tidak hanya berkaitan dengan pelestarian sumber daya alam, tetapi juga mencakup tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya dilakukan secara efisien, proporsional, dan adil antargenerasi. Prinsip ini menuntut agar kegiatan ekonomi dan sosial dilaksanakan dalam batas daya dukung ekosistem, sehingga kebutuhan generasi masa kini dapat terpenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan prinsip dalam mengupayakan tercapainya kemajuan dan kesejahteraan manusia tanpa merusak atau mengorbankan keseimbangan alam [3]. Meskipun manusia terus membangun dan meningkatkan kualitas hidupnya, proses tersebut harus tetap menjaga kelestarian lingkungan dan sumber daya alam karena pada dasarnya kehidupan manusia sangat bergantung pada alam dan apa yang dikandungnya. Pembangunan berkelanjutan tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi atau pembangunan fisik semata, tetapi juga memperhatikan hubungan antara kegiatan pembangunan dengan kondisi sumber daya alam, lingkungan dan tata ruang wilayah di sekitarnya [4]. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan harus direncanakan dengan mempertimbangkan kemampuan dan daya dukung lingkungan setempat, agar tidak menimbulkan kerusakan alam atau ketidakseimbangan ekosistem sehingga, pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan tanpa mengorbankan kualitas lingkungan hidup dan sumber daya bagi generasi berikutnya.
Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) memegang peranan strategis dalam penyelenggaraan fungsi negara, khususnya sebagai pelaksana pelayanan publik melalui konsep Public Service Obligation (“PSO”). Konsep ini mencerminkan kewajiban negara untuk menjamin tersedianya layanan dasar serta kebutuhan pokok bagi masyarakat luas. Keberadaan BUMN tidak hanya dimaknai sebagai entitas bisnis, tetapi juga sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mengelola serta menguasai sektor-sektor produksi yang strategis dan vital bagi kehidupan bangsa [5]. Penguasaan tersebut termasuk pula terhadap sumber daya alam seperti bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang penggunaannya harus diarahkan sepenuhnya untuk mewujudkan kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi [6].
Pelaksanaan PSO membawa implikasi terhadap kedudukan hukum BUMN yang bersifat ganda. Di satu sisi, ketika BUMN menjalankan fungsi pelayanan publik atau kebijakan pemerintah, entitas ini berperan sebagai pelaksana fungsi negara yang tunduk pada hukum administrasi negara, karena tindakannya berkaitan langsung dengan kewenangan publik yang bersumber dari mandat pemerintah. Namun, di sisi lain, dalam aktivitasnya sebagai badan usaha yang berorientasi pada keuntungan, BUMN juga beroperasi sebagai subjek hukum privat yang tunduk pada hukum perdata, mengingat hubungan hukumnya bersifat kontraktual dan komersial. Kedua peran ini menegaskan posisi unik BUMN sebagai entitas hibrida yang berada di antara ranah publik dan privat, yang menuntut keseimbangan antara pencapaian tujuan ekonomi dan tanggung jawab sosial demi kepentingan nasional.
Dalam implementasi CSR, terdapat tiga tahapan motivasional yang menggambarkan evolusi kesadaran sosial suatu perusahaan dalam menjalankan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan lingkungan [7]. Pertama, tahap corporate charity yang berakar pada nilai-nilai religius dan moral, di mana kegiatan CSR dilakukan sebagai bentuk amal (charity) atau sedekah untuk membantu pihak-pihak yang membutuhkan. Pada tahap ini, motivasi utamanya lebih bersifat filantropis dan individual, tanpa adanya keterikatan strategis dengan tujuan bisnis perusahaan. Kedua, tahap corporate philanthropy, yaitu bentuk tanggung jawab sosial yang lahir dari kesadaran kemanusiaan universal serta norma etika yang berlaku secara global. Pada fase ini, perusahaan mulai menunjukkan komitmen moral untuk turut serta dalam upaya menolong sesama dan memperbaiki kondisi sosial, misalnya melalui donasi, beasiswa, atau program kemanusiaan. Ketiga, tahap corporate citizenship, yang mencerminkan tingkat kedewasaan tertinggi dalam pelaksanaan CSR. Pada tahap ini, perusahaan memandang dirinya sebagai bagian integral dari komunitas sosial, sehingga berperan aktif dalam menciptakan keadilan sosial dan keberlanjutan masyarakat. Kegiatan CSR tidak lagi bersifat insidental, tetapi menjadi bagian dari strategi bisnis yang berorientasi pada prinsip social engagement dan sustainable development.
CSR diatur dalam beberapa regulasi di Indonesia, untuk perusahaan swasta CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (“PP 47/2012”). Bagi BUMN, CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2009 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 1 tahun 2023 tentang Penugasan Khusus dan Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 1/2023”). Dengan hadirnya regulasi yang mengatur penerapan CSR, maka implementasi CSR bukan lagi sebagai kewajiban moral tetapi juga sebagai suatu bentuk kewajiban hukum (legal obligation). Penggunaan istilah kewajiban hukum ini merujuk pada suatu bentuk tanggung jawab yang dibebankan kepada pihak tertentu berdasarkan regulasi yang berlaku. Kewajiban ini bersifat mengikat yang berarti setiap individu atau badan hukum wajib mematuhinya dan apabila kewajiban tersebut dilanggar maka pelaku pelanggaran dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku [8].
Dalam konteks regulasi yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara pelaksanaan CSR oleh BUMN dan oleh perusahaan swasta, baik dari sisi landasan hukum maupun dari segi penerapannya di lapangan. Perbedaan ini tidak terlepas dari karakteristik mendasar kedua entitas tersebut. BUMN memiliki fungsi ganda, yakni sebagai pelaksana kebijakan publik sekaligus sebagai badan usaha yang mencari keuntungan untuk menunjang perekonomian negara, sedangkan perusahaan swasta beroperasi murni dengan orientasi profit dan kepentingan bisnis. Perbedaan fungsi ini menjadikan BUMN tunduk pada kerangka hukum yang bercorak publik sekaligus privat, sementara perusahaan swasta berada sepenuhnya dalam lingkup hukum privat dan ketentuan korporasi umum.
Oleh karena itu, penting untuk dilakukan kajian yang mendalam guna memahami sejauh mana perbedaan regulasi tersebut berimplikasi terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial di kedua jenis entitas tersebut. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis dan membandingkan kerangka hukum yang mengatur CSR bagi BUMN dan perusahaan swasta, dengan tujuan untuk menemukan titik temu maupun perbedaan prinsipil yang memengaruhi efektivitas penerapannya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk merumuskan tolak ukur keberhasilan pelaksanaan CSR yang tidak hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, tetapi juga sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menekankan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus kajian ini diarahkan pada dua hal pokok. Pertama, bagaimana perbedaan pengaturan antara pelaksanaan CSR oleh BUMN dan oleh perusahaan swasta memberikan implikasi dalam sistem hukum di Indonesia? Kedua, bagaimana menilai keberhasilan pelaksanaan CSR dari sudut pandang hukum serta keterkaitannya dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menjadi dasar bagi tanggung jawab sosial korporasi di era modern ini?
Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif adalah suatu bentuk penelitian hukum yang dilaksanakan dengan menganalisis sumber-sumber pustaka atau data sekunder semata [9]. Selain itu, menurut Iman Jalaludin Rifa’i dalam bukunya menjelaskan bahwa pada dasarnya penelitian hukum normatif mempelajari hukum yang dinilai sebagai suatu peraturan atau prinsip yang diterapkan dalam masyarakat yang kemudian dijadikan pedoman untuk bertindak bagi setiap individu [10]. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan dengan menganalisis semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang memiliki kaitan dengan isu hukum yang diangkat dalam penelitian ini, dari hasil analisis tersebut ditarik suatu argumen yang digunakan untuk memecahkan isu hukum. Selain itu, pendekatan perbandingan (comparative approach) juga digunakan dalam penelitian ini dengan cara membandingkan undang-undang pelaksanaan CSR oleh perusahaan swasta dengan undang-undang pelaksanaan CSR oleh BUMN guna memperoleh persamaan dan perbedaan diantara undang-undang tersebut [11].
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian kepustakaan yang dimana data bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku, dokumen resmi, publikasi dan hasil penelitian [12]. Bahan hukum yang diadopsi dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas, terdiri atas: (a) peraturan perundang-undangan, seperti UU PT, UU BUMN, PP 47/2012 dan Permen BUMN 1/2023. (b) catatan-catatan resmi atau risalah pembuatan suatu perundang-undangan. (c) putusan hakim, misalnya putusan Mahkamah Agung (MA) [13]. Selain itu, penelitian ini menggunakan bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang sifatnya melengkapi bahan hukum primer, seperti naskah akademik dan rancangan undang-undang [14].
Hasil dan Pembahasan
Pelaksanaan CSR bagi perusahaan swasta diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU PT yang menjelaskan bahwa perseroan yang wajib melakukan CSR adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam, yang berarti bagi perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berkaitan dengan sumber daya alam, maka CSR tidak bersifat mandatory melainkan voluntarily (sukarela). Dengan demikian, biaya yang digunakan untuk melaksanakan program CSR harus dimasukkan ke dalam anggaran perusahaan dan dihitung sebagai bagian dari biaya operasional perusahaan, perusahaan juga harus memperhatikan prinsip kepatutan dan kewajaran yang berarti dana program CSR yang dikeluarkan harus sesuai dengan kemampuan dan kondisi perusahaan, tidak berlebihan dan tetap relevan dengan tujuan sosial dan lingkungan yang ingin dicapai, hal ini diatur dalam Pasal 74 ayat (2) UU PT. Dalam konteks pelaporan program CSR, Pasal 66 UU PT menjelaskan bahwa direksi memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan perusahaan kepada RUPS, laporan tersebut harus ditelaah terlebih dahulu oleh dewan komisaris. Proses pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan bahwa isi laporan sudah sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, batas waktu penyampaian laporan tahunan tersebut paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku perusahaan berakhir, yang berarti dalam 6 (enam) bulan sejak akhir tahun buku, seluruh proses penelaahan oleh dewan komisaris dan penyampaian kepada RUPS harus sudah selesai. Pelaksanaan program CSR ini dilakukan bukan hanya memiliki peran terhadap pembangunan sosial dan lingkungan tetapi juga dapat membangun citra perusahaan/legitimasi bisnis.
Berbeda dengan ketentuan yang berlaku bagi perusahaan swasta, pelaksanaan CSR pada BUMN memiliki dasar hukum yang lebih spesifik dan terstruktur. Berdasarkan ketentuan Pasal 87E ayat (1), kewajiban untuk melaksanakan program CSR tidak hanya dibebankan kepada BUMN induk, tetapi juga mencakup anak perusahaan dan entitas turunannya. Pelaksanaan program tersebut dapat dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan, antara lain pembinaan, pelatihan, pemberdayaan, serta kerja sama dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UMKM”) maupun lembaga lain yang relevan. Selain itu, BUMN juga memiliki tanggung jawab sosial yang diarahkan pada kegiatan pemberdayaan masyarakat, terutama di wilayah yang menjadi lokasi operasional perusahaan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar secara berkelanjutan.
Lebih lanjut, Pasal 30 ayat (1) Permen BUMN 1/2023 menjelaskan bahwa pendanaan untuk program CSR bersumber dari penyisihan sebagian laba bersih perusahaan pada tahun anggaran sebelumnya. Artinya, dana CSR merupakan bagian dari alokasi keuntungan perusahaan yang dialihkan untuk kepentingan sosial dan pembangunan masyarakat, sehingga memiliki konsekuensi akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaannya. Adapun mekanisme pelaporan kegiatan CSR diatur dalam Pasal 33 ayat (1) peraturan yang sama, yang mewajibkan setiap BUMN untuk menyampaikan laporan pelaksanaan program CSR kepada Menteri BUMN selaku pembina. Laporan tersebut disusun dalam dua bentuk, yaitu laporan triwulanan, yang dibuat setiap tiga bulan sekali sebagai bentuk pemantauan berkala, dan laporan tahunan, yang disusun setiap akhir tahun buku sebagai bentuk pertanggungjawaban menyeluruh atas kegiatan CSR selama satu tahun anggaran. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan CSR pada BUMN tidak hanya bersifat formalitas moral, tetapi juga merupakan kewajiban hukum yang memiliki dimensi administratif dan akuntabilitas publik yang kuat.
Laporan pelaksanaan program CSR yang disusun oleh BUMN tidak bersifat terpisah, melainkan menjadi bagian integral dari laporan kinerja tahunan perusahaan. Dalam penyusunannya, laporan CSR ditempatkan pada bab atau bagian khusus dalam dokumen laporan kinerja tersebut sebagai bentuk transparansi atas pelaksanaan tanggung jawab sosial BUMN kepada publik dan pemerintah. Integrasi ini menunjukkan bahwa kegiatan CSR bukan hanya aktivitas tambahan atau pelengkap, tetapi merupakan elemen penting dalam pencapaian tujuan korporasi yang sejalan dengan mandat negara. Melalui pelaksanaan program CSR yang terencana dan terukur, BUMN secara nyata menjalankan fungsi ganda yang melekat padanya. Di satu sisi, BUMN bertindak sebagai pelaksana kebijakan publik yang berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program sosial, ekonomi, dan lingkungan. Di sisi lain, BUMN juga melaksanakan fungsi pemerintah dalam penyediaan layanan publik, sehingga kehadirannya tidak hanya berorientasi pada pencapaian keuntungan finansial, tetapi juga berperan sebagai instrumen pembangunan nasional.
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami perbedaan regulasi program CSR perusahaan dengan BUMN, maka penulis menyajikan tabel dibawah ini
Tabel 1. Perbedaan Regulasi Program CSR Perusahaan Swasta dengan BUMN
Perbedaan regulasi terkait pelaksanaan program CSR menciptakan potensi perlakuan diskriminatif. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin adanya perlakuan yang sama di hadapan hukum. Akan tetapi, perbedaan pengaturan dari aspek subjek pelaksanaannya, khususnya kewajiban bagi BUMN non-SDA yang tidak diimbangi kewajiban serupa bagi perusahaan swasta non-SDA, tidak mencerminkan prinsip kesetaraan tersebut. Selain itu, dualisme regulasi ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum terkait sumber pendanaan program CSR. Bagi BUMN yang berbentuk perseroan, perusahaan tetap wajib tunduk pada ketentuan UU PT. Akan tetapi, dalam praktiknya terdapat konflik norma (antinomi norma) antara ketentuan dalam UU PT yang menyebutkan bahwa dana CSR bersumber dari biaya operasional dengan ketentuan dalam Permen BUMN 1/2023 yang mengatur bahwa dana CSR berasal dari penyisihan laba bersih.
Penerapan asas lex specialis derogat legi generali yang dijadikan dasar untuk membenarkan keberlakuan Permen BUMN 1/2023 sebagai pengesamping norma dalam UU PT menimbulkan persoalan yuridis yang cukup serius. Hal ini dikarenakan keberlakuan asas tersebut tidak dapat diterapkan secara mutlak apabila bertentangan dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori, yakni asas yang menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan dengan derajat lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang terdapat dalam peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, penerapan Permen BUMN 1/2023 sebagai dasar hukum pendanaan CSR yang menyimpang dari ketentuan dalam UU PT berpotensi menimbulkan konflik antinomi norma dalam sistem hukum nasional.
Kontradiksi hierarki norma tersebut menciptakan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam praktik penyelenggaraan dan pendanaan program CSR di lingkungan BUMN. Ketidakjelasan dasar hukum mengenai sumber dan mekanisme pendanaan CSR dapat menimbulkan dilema bagi jajaran direksi dalam mengambil keputusan korporasi, khususnya dalam hal akuntabilitas penggunaan dana dan pertanggungjawaban hukum di kemudian hari. Akibatnya, efektivitas pelaksanaan program CSR menjadi terganggu, karena BUMN tidak memiliki kepastian normatif yang kuat untuk menjamin keberlanjutan, konsistensi, dan transparansi program tersebut. Situasi ini menunjukkan perlunya harmonisasi antara peraturan sektoral BUMN dengan kerangka hukum korporasi nasional agar pelaksanaan CSR tidak hanya memenuhi kewajiban administratif, tetapi juga memiliki legitimasi hukum yang kokoh dan selaras dengan prinsip kepastian hukum (legal certainty) [15].
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sadar, terencana, dan sistematis dengan mengintegrasikan tiga aspek utama, yakni lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam setiap kebijakan serta strategi pembangunan nasional. Konsep ini menegaskan bahwa orientasi pembangunan tidak boleh hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Norma dalam pasal tersebut menjamin bahwa kegiatan pembangunan harus dilaksanakan secara berimbang agar kelestarian lingkungan, keberlanjutan sumber daya alam, serta peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup manusia dapat terus terjaga dan dinikmati oleh generasi masa kini tanpa mengorbankan hak-hak generasi mendatang
Pembangunan berkelanjutan memiliki 3 dimensi utama, yaitu [16]:
1. Dimensi sosial: Dalam pembangunan berkelanjutan berfokus pada upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh, baik melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan kesejahteraan, maupun penguatan partisipasi sosial. Menurut Edi Suharto, pembangunan sosial merupakan pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan sosial secara menyeluruh. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pembangunan sosial harus berjalan beriringan dengan pembangunan ekonomi dan lingkungan agar tercipta keseimbangan antara pertumbuhan, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan [16].
2. Dimensi ekonomi: Dalam pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Pembangunan ekonomi tidak hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan nasional, tetapi juga pada pemerataan kesejahteraan masyarakat melalui penguatan sektor-sektor produktif seperti pertanian, yang berperan penting dalam pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan ketahanan pangan. Kegiatan ekonomi harus dijalankan secara berkelanjutan agar dapat mendukung kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan keberlanjutan sumber daya alam [16].
3. Dimensi lingkungan: Dalam pembangunan berkelanjutan menekankan pentingnya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup sebagai dasar keberlangsungan kehidupan manusia. Saat ini, kualitas lingkungan, terutama di wilayah perkotaan, cenderung mengalami penurunan akibat meningkatnya pencemaran air, tanah, dan udara. Pembangunan perlu diarahkan pada upaya pelestarian lingkungan agar pemanfaatan sumber daya alam tetap seimbang dan kesehatan masyarakat tidak menjadi korban dari degradasi lingkungan yang terjadi [16].
Tiga dimensi utama dalam pembangunan berkelanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, memiliki keterkaitan yang erat dengan prinsip dasar pelaksanaan program CSR. CSR pada dasarnya merupakan manifestasi dari tanggung jawab perusahaan untuk berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan, yang secara langsung mencerminkan dua dari tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, pelaksanaan CSR dapat dipandang sebagai salah satu instrumen strategis untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan di tingkat korporasi maupun nasional. Namun, agar pelaksanaan program CSR benar-benar efektif dan selaras dengan semangat keberlanjutan, diperlukan tolok ukur yang jelas dan terukur sebagai dasar untuk menilai tingkat keberhasilan serta dampak nyata dari program tersebut. Tolok ukur ini berfungsi tidak hanya untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi perusahaan, tetapi juga untuk menjamin bahwa setiap kegiatan CSR memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tolok ukur memiliki arti sesuatu yang dipakai sebagai dasar untuk mengukur dan menilai yang kemudian dijadikan sebagai patokan atau standar [17]. Tolok ukur keberhasilan CSR berada diantara dua tuntutan, yaitu sebagai pelaksanaan legal formal yang diamanatkan undang-undang dan juga sebagai tuntutan pemenuhan tujuan program CSR itu sendiri terhadap dampak nyata dari pembangunan berkelanjutan. Apabila tolok ukur CSR hanya dilihat dari regulasi yang mengaturnya, seperti dalam UU PT, PP 47/2012, UU BUMN, dan Permen BUMN 1/2023, maka tidak ada tolok ukur yang pasti dalam menilai keberhasilan program CSR baik bagi perusahaan swasta maupun BUMN. Aspek hukum yang diatur dalam peraturan tersebut lebih menitikberatkan pada kewajiban dan kepatuhan pelaksanaan CSR, bukan pada perubahan sosial atau dampak nyata yang dihasilkan dari program tersebut.
Steers menyatakan bahwa efektivitas merupakan sejauh mana suatu program mampu mencapai tujuan dan sasarannya tanpa menghambat fungsi sumber daya yang digunakan tanpa menimbulkan beban atau tekanan yang berlebihan dalam pelaksanaannya, sehingga dapat diartikan bahwa efektivitas adalah ukuran dalam hal tercapainya tujuan yang sebelumnya telah ditentukan [18]. Berdasarkan definisi tersebut, indikator efektivitas dapat dikatakan sebagai tolok ukur keberhasilan. Menurut Edy Sutrisno efektivitas program CSR dapat dinilai melalui 5 (lima) indikator sebagai berikut [19]:
1. Pemahaman program: tingkat pemahaman masyarakat terhadap program CSR di lingkungan sekitar dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan CSR. Kondisi ini dipengaruhi seberapa besar masyarakat yang memperoleh informasi mengenai program CSR tersebut.
2. Ketepatan sasaran: menjadi salah satu indikator penting dalam mengukur keberhasilan pelaksanaan CSR. Program dapat dikatakan berhasil apabila bantuan atau kegiatan yang dilaksanakan tepat menyentuh kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
3. Ketepatan waktu: ketepatan waktu pelaksanaan CSR menjadi salah satu indikator penting dalam implementasi CSR. Suatu program dapat dikatakan berhasil apabila seluruh kegiatan dilaksanakan sesuai dengan jadwal dan rencana yang telah ditetapkan, sehingga tujuan program dapat tercapai secara optimal dan tepat sasaran.
4. Tercapainya tujuan: Pencapaian tujuan program merupakan salah satu indikator utama keberhasilan pelaksanaan CSR. Suatu program dapat dikatakan berhasil apabila mampu mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan dalam berbagai aspek, baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
5. Perubahan Nyata: Terjadinya perubahan nyata di masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan program CSR. Suatu program dapat dikatakan berhasil apabila mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat maupun pemerintah sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan.
Selanjutnya, apabila dikaji berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan, setiap program CSR idealnya memiliki tujuan dan target yang terukur yang dapat dikaitkan dengan kontribusi perusahaan terhadap pencapaian indikator pembangunan berkelanjutan. Keberhasilan pelaksanaan CSR tidak hanya diukur dari sisi kepatuhan terhadap regulasi atau besarnya dana yang disalurkan, tetapi juga dari sejauh mana program tersebut mampu memberikan dampak nyata terhadap pencapaian kesejahteraan sosial, pelestarian lingkungan, serta pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Hal ini sejalan dengan pandangan Edi Sutrisno yang menekankan bahwa efektivitas suatu program dapat diukur melalui ketercapaian tujuan dan manfaat yang dihasilkan bagi masyarakat dan lingkungan [20]. Dalam konteks ini, tujuan pembangunan berkelanjutan dapat dipahami sebagai kerangka kerja untuk mendefinisikan dan mengukur hasil dari pelaksanaan program CSR. Adapun beberapa tujuan pembangunan berkelanjutan yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain [21]:
1. Tanpa kemiskinan (no poverty): mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di seluruh dunia dengan memberikan kesempatan, akses dan kemampuan kepada kelompok rentan agar dapat meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri.
2. Kehidupan sehat dan sejahtera (good health and well-being): bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat serta mewujudkan kesejahteraan yang menyeluruh.
3. Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi (decentworkandeconomicgrowth): berfokus pada penciptaan pertumbuhan ekonomi yang inklusif serta memastikan tersedianya pekerjaan yang produktif dan layak bagi seluruh lapisan masyarakat.
4. Ekosistem daratan (life on land): menekankan upaya melindungi, memulihkan, dan meningkatkan pemanfaatan ekosistem daratan secara berkelanjutan.
5. Kemitraan untuk mencapai tujuan (partnerships for the goals): menekankan pentingnya penguatan dan revitalisasi kemitraan dalam rangka pembangunan berkelanjutan melalui kolaborasi antar berbagai pihak.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan pengaturan pelaksanaan CSR antara BUMN dan perusahaan swasta menimbulkan implikasi yuridis yang cukup signifikan, terutama dalam bentuk disharmoni hukum yang mencakup dua dimensi utama. Pertama, terdapat persoalan perlakuan yang bersifat diskriminatif, di mana BUMN non-sektor sumber daya alam (non-SDA) diwajibkan untuk melaksanakan CSR, sedangkan perusahaan swasta non-SDA tidak memiliki kewajiban yang sama. Kondisi ini mencederai prinsip equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum, yang seharusnya menjamin adanya perlakuan yang adil bagi setiap entitas usaha dalam sistem hukum nasional. Kedua, muncul ketidakpastian hukum akibat konflik atau antinomi norma mengenai sumber pendanaan CSR, yakni antara ketentuan “biaya operasional” sebagaimana diatur dalam UU PT dan ketentuan “penyisihan laba bersih” sebagaimana diatur dalam Permen BUMN. Pertentangan norma ini menimbulkan dilema bagi direksi BUMN dalam menentukan dasar hukum yang tepat untuk pembiayaan program CSR. Akibatnya, pelaksanaan CSR berpotensi kehilangan konsistensi, transparansi, serta akuntabilitas, yang pada akhirnya dapat menghambat efektivitas BUMN dalam menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Tolak ukur keberhasilan pelaksanaan CSR di Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup signifikan antara aspek hukum dan prinsip pembangunan berkelanjutan. Jika ditinjau dari aspek hukum, ukuran keberhasilan CSR masih bersifat sempit dan formalistik, karena lebih menitikberatkan pada aspek kepatuhan administratif, seperti kewajiban pelaksanaan dan pelaporan program. Regulasi yang ada belum memberikan standar yang jelas dan terukur untuk menilai sejauh mana program CSR benar-benar memberikan dampak sosial, ekonomi, maupun lingkungan yang berkelanjutan bagi masyarakat. Sebaliknya, apabila dilihat dari perspektif prinsip pembangunan berkelanjutan, tolok ukur keberhasilan CSR memiliki dimensi yang lebih luas dan substantif. Prinsip ini menekankan pentingnya efektivitas dan dampak nyata dari pelaksanaan CSR terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Keberhasilan program dapat diukur melalui indikator efektivitas seperti ketepatan sasaran, relevansi program terhadap kebutuhan masyarakat, serta perubahan nyata yang terjadi pasca implementasi. Dalam konteks ini, SDGs dapat dijadikan sebagai kerangka kerja yang komprehensif untuk mendefinisikan, menilai, dan mengukur kontribusi nyata perusahaan terhadap pembangunan yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
I. Hasanah, K. A. Matondang, G. Sari, and M. A. Akbar, “Implementation of Corporate Social Responsibility (CSR) on Changes in Profitability at PT Unilever Tbk Indonesia,” Aurelia: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Indonesia, vol. 3, no. 1, p. 343, 2024.
A. Kurnia, A. Shaura, S. T. Raharjo, and R. Resnawaty, “Sustainable Development dan CSR,” in Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 2020, p. 232.
S. P. Aji and D. T. Kartono, “Kebermanfaat Adanya Sustainable Development Goals (SDGs),” Journal of Social Research, vol. 1, no. 6, p. 508, 2022.
D. S. R. Tay and S. Rusmiwari, “Implementasi Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 8, no. 4, p. 218, 2019.
R. F. Fansuri and J. Matheus, “Enforcement of Human Rights Through Criminal Law Against Environmental Destruction Due to Batik Industry Activities,” Indonesian Journal of Criminal Law Studies, vol. 7, no. 2, pp. 291–316, 2022, doi: 10.15294/ijcls.v7i2.
M. Al’anam, “Konsep BUMN sebagai Objek Sengketa Administrasi Pemerintahan…,” Demokrasi: Jurnal Riset Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, pp. 3–4, 2025.
A. S. Harahap, “Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia,” Lex Jurnalica, vol. 7, no. 3, p. 184, 2010.
C. Laurencia, “Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan…,” Innovation: Journal of Social Science Research, vol. 3, no. 6, p. 3, 2023.
S. Soekanto and S. Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, 16th ed. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
D. J. A. Hehanussa, M. G. Sopacua, A. Surya, J. A. S. Titahelu, and J. M. Monteiro, Metode Penelitian Hukum. Madiun: Widina Media Utama, 2023.
Djulaeka and D. Rahayu, Buku Ajar: Metode Penelitian Hukum. Sidoarjo: Scopindo Media Pustaka, 2020.
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press, 2020.
Z. Ali, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
M. H. Mezak, Jenis, Metode dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2006.
M. Siregar, “Prediktabilitas Regulasi Tanggungjawab Sosial Perusahaan…,” Jurnal Hukum Samudra Keadilan, vol. 2, no. 1, pp. 100–101, 2016.
S. Susiana, Pembangunan Berkelanjutan: Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika, 2015.
Tim Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, “KBBI Daring ‘Tolak Ukur,’” KBBI Daring, 2025.
B. Rifa’i, “Efektivitas Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah…,” Sumber, vol. 100, no. 100, p. 132, 2013.
E. Z. Indrayani and F. Niswah, “Efektivitas Program Pengolahan Administrasi Desa Secara Elektronik…,” Publika, vol. 5, no. 1, pp. 4–5, 2017.
E. Sutrisno, “Dana Perbaikan Lingkungan Mulai Mengucur,” Indonesia.go.id. Available: https://indonesia.go.id/kategori/editorial/2883/dana-perbaikan-lingkungan-mulai-mengucur
B. Aldi and C. D. Djakman, “Persepsi Manajemen dan Stakeholders pada Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)…,” Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan, vol. 8, no. 2, p. 419, 2020.