Login
Section Private Law

China’s Technological Self-Reliance Strategy in Responding to Western Corporate Monopoly and Dominance in the Technology Sector: A Legal Review of Competition Law across Various Legal Instruments

Strategi Kemandirian Teknologi Tiongkok dalam Menghadapi Monopoli dan Dominasi Korporasi Barat di Bidang Teknologi: Suatu Tinjauan Hukum Persaingan Usaha dalam Berbagai Produk Hukum
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Louis Sebastian Anot Putra (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

Background (General): Western technological dominance has shaped global markets and innovation trajectories, creating structural imbalances in competition. Background (Specific): China faces this asymmetry with the rise of U.S. legal, economic, and technological pressures, particularly during escalating trade conflicts. Knowledge Gap: While many studies address industrial policy or competition law separately, limited scholarship integrates how China’s legal framework functions simultaneously as market regulation and geopolitical strategy. Aim: This study examines China’s technological self-reliance strategy by evaluating the role of the Anti-Monopoly Law (AML) alongside major industrial policies in countering Western corporate hegemony. Results: Findings demonstrate that China employs AML with dual functionality—disciplining domestic giants such as Alibaba while fortifying national sovereignty against foreign corporate influence—and aligns this with three major initiatives: Made in China 2025, Dual Circulation Strategy, and China Standards 2035 to strengthen manufacturing capability, market independence, and global standard-setting authority. Novelty: Unlike traditional market-driven antitrust systems, China adopts state-oriented “antitrust mercantilism,” integrating competition law with industrial modernization and geopolitical objectives. Implications: The study indicates a shift in global competition norms, where national legal instruments increasingly function not only to balance market fairness but also to challenge structural dominance and redistribute global technological power.


Highlights:




  • China integrates antitrust law with industrial policy to strengthen technological independence.




  • The strategy responds directly to Western corporate and geopolitical dominance in global technology.




  • Policies such as MIC 2025, DCS, and China Standards 2035 reinforce sovereignty and global competitiveness.




Keywords: Technological Self-Reliance, Anti-Monopoly Law, Industrial Policy, Western Dominance, China Strategy

Author Biographies

Louis Sebastian Anot Putra, Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Gunardi Lie, Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Hukum persaingan usaha (“HPU”) di Indonesia dikenal sejak 5 Maret 1999 yang ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (“UU 5/1999”) yang berlaku setahun kemudian tepatnya pada tahun 2000 [1]. Dengan adanya HPU, sistem ekonomi pasar terbentuk dari mekanisme supply dan demand, yang harga barangnya ditentukan oleh akumulasi supply dan demand, yang menurut Knud Hansen dalam buku “Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” menyatakan bahwa inti dari pasar adalah desentralisasi keputusan, artinya berkaitan dengan apa, berapa banyak dan bagaimana proses produksi barang tersebut [2], maksudnya setiap individu diberikan kekuasaan terhadap ruang gerak yang bebas dalam mengambil keputusan sendiri tentang barang apa, berapa jumlahnya dan bagaimana barang tersebut akan diproduksi [1].

Dalam konteks pengaturan pasar, pemerintah tidak memegang peran langsung dalam menentukan jenis barang atau jasa yang harus diproduksi oleh pelaku usaha, sebagaimana ditegaskan oleh M. Udin Silalahi. Peran pemerintah lebih bersifat fasilitatif, yakni menyediakan persyaratan dan regulasi yang memungkinkan pasar beroperasi secara kondusif serta menciptakan persaingan usaha yang sehat [3]. Pelaku usaha memegang tanggung jawab utama untuk menjalankan seluruh kegiatan ekonominya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, pelaku usaha juga diwajibkan mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya praktik-praktik yang dilarang, termasuk pembentukan perjanjian anti-kompetitif, praktik monopoli, atau perilaku lain yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan posisi dominan di pasar. Pendekatan ini menekankan prinsip bahwa pasar harus tetap berjalan berdasarkan mekanisme kompetitif, di mana peran pemerintah adalah menjaga kerangka hukum dan regulasi yang adil, sementara pelaku usaha bertanggung jawab memastikan praktik bisnisnya tidak merusak keseimbangan kompetisi.

Hegemoni Barat dalam ranah teknologi tidak muncul semata-mata karena kebutuhan praktis, melainkan didorong oleh dasar ideologis yang kuat. Menurut Ikhwanul Kiram Mashuri, ideologi hegemoni ini tidak sekadar mencerminkan karakteristik atau nilai-nilai khas Barat, melainkan merupakan hasil dominasi yang telah berlangsung lama dalam bidang ekonomi, politik, dan militer [4]. Dominasi yang berkelanjutan ini membuat hegemoni Barat menjadi fenomena yang kompleks, karena dampaknya tidak terbatas pada satu sektor saja, melainkan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Hal ini mencakup kehidupan intelektual, perkembangan ilmu pengetahuan, hingga budaya, sehingga pengaruh Barat membentuk kerangka berpikir, praktik teknologi, dan orientasi nilai di banyak masyarakat di dunia. Dengan kata lain, teknologi dan inovasi Barat tidak bisa dipisahkan dari konteks kekuatan ideologis dan struktural yang mendasari dominasi global, yang sekaligus memperkuat posisi Barat dalam mengatur standar, akses, dan orientasi perkembangan ilmu pengetahuan serta budaya di tingkat internasional.

Memasuki abad ke-21, revolusi industri dan kemajuan peradaban manusia ditandai oleh meningkatnya persaingan strategis antara kekuatan Barat dan Tiongkok, khususnya dalam sektor teknologi, untuk memperoleh dominasi pasar. Dalam konteks dunia modern, pengaruh produk-produk teknologi baik dari Barat maupun Tiongkok telah diakui secara luas dan masif, memengaruhi berbagai aspek perkembangan teknologi global [5]. Laporan dari Distinguished Reflection Group on Transatlantic China Policy menegaskan bahwa teknologi kini telah menjadi elemen krusial dalam persaingan usaha antara kedua kekuatan besar tersebut, berperan tidak hanya sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai alat strategis yang menentukan posisi negara di kancah global [6]. Tren ini menunjukkan bahwa persaingan teknologi antara Barat dan Tiongkok tidak hanya bersifat sementara, melainkan akan terus berlanjut ke masa depan, dengan implikasi yang signifikan bagi dinamika pasar, inovasi industri, dan keseimbangan geopolitik global. Dominasi teknologi menjadi semakin penting, karena negara yang mampu menguasai inovasi dan produksi teknologi tinggi akan memperoleh keuntungan kompetitif yang berkelanjutan di berbagai sektor ekonomi dan strategis.

Dalam menghadapi persaingan dagang dan teknologi global, Tiongkok mengambil langkah strategis melalui pengesahan Undang-Undang Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Republik Rakyat Tiongkok, yang disahkan melalui Perintah Presiden No. 103, dan selanjutnya disebut sebagai “UU Kemajuan Teknologi Tiongkok” [7]. Undang-undang ini menjadi landasan bagi upaya negara tersebut untuk memandirikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong percepatan inovasi, serta memperkuat kapasitas riset nasional. Keberhasilan langkah ini terlihat dari pengakuan internasional atas kemajuan teknologi Tiongkok. Menurut peneliti dari Australian Strategic Policy Institute, Tiongkok telah melampaui Barat dalam 57 dari 64 bidang penelitian teknologi mutakhir, menunjukkan kemampuan negara tersebut dalam menguasai inovasi canggih secara cepat dan sistematis [8]. Pencapaian ini tidak hanya memperkuat posisi Tiongkok dalam persaingan ekonomi dan teknologi global, tetapi juga menegaskan bahwa kebijakan legislatif yang terarah, didukung oleh investasi sumber daya manusia dan penelitian ilmiah, mampu mengubah negara menjadi kekuatan teknologi yang mandiri dan kompetitif di tingkat internasional.

Tabel 1. Bab dalam UU Kemanjuan Teknologi Tiongkok

Pernyataan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, yang menegaskan bahwa “untuk menghadapi persaingan global di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kita perlu mencapai tingkat kemandirian dan pengembangan diri yang tinggi, serta memperkuat penelitian dasar guna memecahkan permasalahan teknologi dari sumbernya,” menunjukkan arah kebijakan strategis Tiongkok dalam mempercepat kemajuan teknologinya. Dalam konteks persaingan usaha, langkah tersebut mengindikasikan bahwa Tiongkok berupaya menempuh jalur percepatan (fast track) dalam pengembangan teknologi sebagai strategi untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan teknologi nasionalnya [9].

Pernyataan Xi Jinping, secara tidak langsung mengancam dominasi pasar modern dari Barat yang diperedarkan di seluruh komoditas ekspor dan impor, untuk itu menarik untuk dibahas tentang bagaimana metode kemandirian teknologi ini dapat menghalau dominasi pasar dari pengaruh tidak sehat barat dan hegemoni korporasi barat.

Berdasarkan uraian latar belatang diatas, permasalahan yang akan dikaji yaitu, bagaimana konsep dan pengaturan mengenai monopoli serta dominasi pasar diatur dalam hukum persaingan usaha di Indonesia dan hukum internasional? dan bagaimana strategi kemandirian teknologi Tiongkok diterapkan sebagai respons terhadap hegemoni korporasi Barat di bidang teknologi dalam perspektif hukum persaingan usaha?

Metode

Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif empiris. Penelitian normatif empiris merupakan jenis penelitian hukum yang tidak hanya berfokus pada norma-norma hukum yang tertulis dalam peraturan perundangan-undangan, tetapi juga digunakan untuk menganalisis atau mengetahui sudah sejauh mana pelaksanaan peraturan perundang-undangan berjalan secara efektif dalam masyarakat [10]. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif, pendekatan kualitatif adalah proses menganalisis fenomena hukum dengan menyampaikan data secara deskriptif [11]. Pendekatan kualitatif tidak menggunakan data numerik (angka-angka), melainkan menyajikan hasil temuan dalam bentuk deskripsi yang mendalam melalui proses pengumpulan data seperti wawancara, observasi, atau studi dokumen [12].

Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang relevan dengan isu penelitian [13]. Kemudian, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum utama, serta data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen yang berhubungan dan berguna sebagai penunjang dalam penelitian seperti jurnal ilmiah, buku, laporan, dan artikel berita yang berkaitan dengan isu pencemaran udara [14]. Data-data ini berfungsi untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif dalam menganalisis permasalahan hukum yang diangkat dalam penelitian ini.

Hasil dan Pembahasan

Dalam persaingan usaha, ‘persaingan’ ditentukan dari kebijakan persaingan/mekanisme supply dan demand (competition policy) [15], peraturan perundang-undangan mengenai persaingan usaha di berbagai negara akan berfokus umumnya mengenai kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat (consumer welfare). Kebutuhan untuk memiliki suatu kebijakan dan undang-undang persaingan usaha menjadi faktor yang sangat menentukan jalannya proses persaingan. Seringnya, hukum persaingan menganggap bahwa proses persaingan sebagai suatu hal yang harus difokuskan dibandingkan dengan perlindungan terhadap pelaku usaha nya. Robert Bork, memberikan pemikirannya dalam hukum persaingan mengatakan:

“Why should we want to preserve competition anyway? The answer is simply that competition provides society with the maximum output that can be achieved at any given time with the resources as its command. Under a competitive regime, productive resources are combined and separated, shuffled and reshuffled in search for greater profits though greater efficiency. Each Productive resource moves to that employment, where the values of its marginal product, and hence the return paid to it, is greatest. Output is maximized because there is no possible rearrangement of resources that could increase the value to consumers of total output. Competition is desirable, therefore, because it assists in achieving a prosperous society and permits individual consumers to determine by their actions what goods and services they want most.” [16].

yang dapat dideskripsikan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development sebagai suatu situasi dalam pasar di mana perusahaan atau penjual secara independen berupaya menarik minat pembeli untuk mencapai tujuan bisnis tertentu, misalnya memperoleh keuntungan, meningkatkan penjualan, dan/atau memperluas pangsa pasar. Kompetisi dalam konteks ini sering diartikan sebagai bentuk persaingan (rivalitas). Rivalitas kompetitif antara perusahaan dapat terjadi baik ketika hanya ada dua perusahaan maupun banyak perusahaan. Persaingan ini dapat berlangsung dalam hal harga, kualitas, layanan, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut maupun faktor lainnya yang dianggap bernilai oleh konsumen. Kompetisi dipandang sebagai proses penting yang memaksa perusahaan untuk menjadi lebih efisien dan menawarkan lebih banyak pilihan produk serta layanan dengan harga yang lebih rendah. Hal ini meningkatkan kesejahteraan konsumen dan efisiensi alokatif. Kompetisi juga mencakup konsep “efisiensi dinamis”, yaitu kondisi di mana perusahaan terdorong untuk berinovasi serta mendorong perubahan dan kemajuan teknologi [17].

Di Indonesia, pengaturan mengenai posisi dominan dan praktik monopoli diatur secara jelas dalam UU 5/1999. Secara teori, monopoli dapat dibedakan menjadi dua jenis utama, yaitu monopoli yang timbul karena kemampuan teknis tertentu serta monopoli yang diperoleh melalui ketentuan peraturan perundang- undangan [18]. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 5/1999, monopoli didefinisikan sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dari definisi ini, dapat dianalisis unsur-unsur dan bentuk monopoli dalam konteks hukum persaingan usaha di Indonesia. Pertama, terdapat terciptanya penguasaan atas produksi atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu, yang menunjukkan adanya dominasi terhadap pasar tertentu. Kedua, penguasaan tersebut dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha, yang berpotensi membatasi persaingan sehat di pasar. Kedua unsur ini menjadi tolok ukur bagi otoritas persaingan usaha dalam menilai apakah suatu praktik usaha termasuk monopoli dan melanggar prinsip persaingan usaha yang sehat, serta menjadi dasar bagi tindakan pengawasan dan sanksi terhadap pelaku usaha yang menyalahgunakan posisinya [19].

Di Indonesia, keberadaan dominasi pasar tidak serta merta dilarang, sebagaimana diatur dalam UU 5/1999, khususnya pada Pasal 25 ayat (2). Undang-undang ini memperbolehkan pelaku usaha untuk memiliki posisi dominan, asalkan dominasi tersebut tidak melewati batas yang ditetapkan secara hukum. Posisi dominasi yang dianggap melanggar terjadi ketika satu pelaku usaha menguasai setidaknya 50% dari pangsa pasar, atau ketika dua hingga tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha bersama-sama menguasai setidaknya 75% dari pangsa pasar untuk satu jenis komoditas tertentu [20]. Jika salah satu kriteria ini terpenuhi, maka potensi penyalahgunaan posisi dominan dapat terjadi, karena dominasi yang berlebihan berisiko merugikan pelaku usaha lain, menghambat kompetisi, dan menciptakan kesulitan bagi pelaku usaha baru untuk masuk dan bersaing di pasar tersebut [21].

Monopoli dan dominasi dalam peraturan Tiongkok diatur dalam “Order of the President of the People’s Republic Of China No.68” tentang “The Anti-Monopoly Law of the People’s Republic of China, adopted at the 29th Meeting of the Standing Committee of the Tenth National People’s Congress of the People’s Republic of China on August 30, 2007” (“Selanjutnya disebut sebagai AML Tiongkok”) yang berlaku efektif pada 1 Agustus 2008 yang telah diubah sebagaimana dalam perubahan “China Anti-Monopoly Law (New AML) tahun 2022.” [22] Tiongkok juga menganggap bahwa Dominasi pasar itu tidak dilarang, undang-undang hanya melarang jenis perilaku tertentu sebagai penyalahgunaan posisi dominan [23]. Dalam peraturan ini juga membahas tentang penyalahgunaan posisi dominan, yang didefinisikan sebagai kemungkinan-kemungkinan terjadinya pengendalian harga atau jumlah barang, atau syarat transaksi lainnya dalam pasar yang relevan, atau untuk mencegah maupun mempengaruhi akses pelaku usaha lain ke dalam pasar tersebut [22].

Pasal 17 AML Tiongkok secara rinci mengatur bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dapat merugikan persaingan pasar dan konsumen. Beberapa praktik yang dikategorikan sebagai penyalahgunaan antara lain: pertama, menjual atau membeli barang dengan harga yang tidak wajar, baik terlalu tinggi maupun terlalu rendah, yang berpotensi menekan pasar atau merugikan pihak lain; kedua, menjual barang di bawah biaya produksi tanpa alasan yang sah, yang dapat merusak keseimbangan kompetitif dan menghambat keberlangsungan pelaku usaha lain; ketiga, menolak bertransaksi dengan mitra usaha tanpa dasar yang dapat dibenarkan, sehingga membatasi akses pasar bagi pihak lain. Selain itu, penyalahgunaan juga terjadi jika pelaku usaha memaksa rekanan untuk hanya bertransaksi dengan dirinya atau pihak yang ditunjuk, melakukan penjualan barang secara berikat (tying) atau menambahkan syarat perdagangan lain yang tidak wajar, serta menerapkan perbedaan harga atau ketentuan transaksi terhadap mitra usaha yang setara tanpa alasan yang sah. Di luar praktik-praktik tersebut, AML juga memberikan kewenangan kepada otoritas penegakan hukum di bawah Dewan Negara untuk menetapkan tindakan lain yang termasuk penyalahgunaan posisi dominan. Ketentuan ini menunjukkan pendekatan holistik Tiongkok dalam menegakkan persaingan usaha yang sehat, dengan tujuan mencegah dominasi pasar yang merugikan dan menjaga keseimbangan kompetisi di berbagai sektor ekonomi.

Posisi dominan suatu pelaku usaha tidak semata-mata ditentukan oleh ukuran atau skala perusahaan, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mencerminkan kekuatan dan pengaruhnya di pasar [22]. Pertama, pangsa pasar serta tingkat persaingan dalam pasar yang relevan menjadi indikator utama untuk menilai sejauh mana perusahaan menguasai pasar tertentu. Kedua, kemampuan pelaku usaha dalam mengendalikan pasar, baik dalam hal penjualan produk maupun pengadaan bahan baku dan barang setengah jadi, menunjukkan sejauh mana perusahaan dapat mempengaruhi mekanisme pasar. Ketiga, kekuatan finansial dan kondisi teknologi yang dimiliki perusahaan juga menjadi pertimbangan penting, karena sumber daya ini memungkinkan pelaku usaha mempertahankan atau memperluas dominasi di pasar. Keempat, tingkat ketergantungan pelaku usaha lain terhadap perusahaan tersebut dalam melakukan transaksi menunjukkan posisi tawar dan pengaruhnya dalam hubungan bisnis. Kelima, tingkat kesulitan yang dihadapi pelaku usaha baru atau pesaing untuk memasuki pasar terkait mencerminkan hambatan struktural yang memperkuat posisi dominan perusahaan.

Peraturan ini juga menetapkan kriteria kuantitatif untuk menilai apakah suatu perusahaan telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Menurut ketentuan tersebut, penyalahgunaan dapat diduga terjadi jika pangsa pasar perusahaan bersangkutan melebihi 50%. Selain itu, apabila pangsa pasar gabungan antara perusahaan tersebut dengan satu perusahaan lain melebihi 66,6%, atau gabungan dengan dua perusahaan lain melebihi 75%, maka perusahaan tersebut dianggap memiliki posisi dominan di pasar. Menariknya, pengaturan ini juga mengakui bahwa suatu perusahaan dapat memiliki posisi dominan meskipun tidak ada koordinasi atau kolusi dengan perusahaan lain; prinsip ini menunjukkan bahwa dominasi pasar dapat bersifat struktur dan tidak semata-mata bergantung pada perilaku anti-persaingan. Lebih lanjut, konsep ini menerapkan asas praduga yang dapat dibantah (rebuttable presumption), artinya dugaan posisi dominan dapat dibantah apabila perusahaan dapat menghadirkan bukti yang menunjukkan bahwa meskipun memenuhi ambang batas pangsa pasar, perilaku atau kondisi pasar tidak mencerminkan penyalahgunaan kekuatan pasar [23].

United Nations memberikan pengertian mengenai monopoli dan penyalahgunaan dominasi sebagai usaha yang bersifat membatasi (Restrictive business practices) yang berarti tindakan atau perilaku dari satu pelaku usaha yang dengan menggunakan penyalahgunaan posisi dominannya membatas akses pelaku usaha lain ke pasar atau dengan cara lain secara tidak semestinya mengekang persaingan, yang memiliki atau berpotensi memiliki dampak merugikan terhadap perdagangan internasional, khususnya kepada negara-negara berkembang, serta terhadap pembangunan ekonomi negara tersebut. Sedangkan di dalam point “Dominant position of market power” dalam “Definitions and scope of application” dijelaskan bahwa posisi dominan atas kekuatan pasar mengacu kepada suatu keadaan di mana sebuah perusahaan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama dengan beberapa perusahaan lain, berada dalam posisi untuk mengendalikan pasar yang relevan atas suatu barang atau jasa atau atas sekelompok barang dan jasa [24].

Bahwa konteks United Nations dalam pengaturan monopoli dan penyalahgunaan dominasi tidak mengikat secara hukum (non-binding soft law), akan tetapi dapat menjadi acuan normatif bagi negara berkembang dalam membentuk peraturan anti monopoli dan penyalahgunaan dominasi dalam pasar. Ketiadaan sebuah perjanjian spesifik yang mengatur praktek anti-monopoli swasta dalam kerangka World Trade Organization (“WTO”) tidak lantas menghilangkan komitmen organisasi tersebut terhadap persaingan yang adil (fair competition). Semangat persaingan yang sehat ini justru tersirat dalam berbagai aturannya, yang primernya menargetkan tindakan negara, bukan perilaku pelaku usaha, yang mencederai perdagangan. Dua contoh representatif adalah GATT Article XVII, yang menuntut BUMN agar tidak diskriminatif dan bertindak secara komersial [25], serta Perjanjian TRIMs, yang menolak penerapan langkah-langkah investasi yang memberikan keuntungan tidak adil bagi produk domestik dibandingkan produk impor [26]. Namun demikian, prinsip-prinsip yang terkandung dalam ketentuan WTO seperti non-discrimination, transparency, dan commercial considerations dapat diinterpretasikan sebagai dasar normatif bagi pengawasan terhadap praktik monopoli yang berpotensi menghambat perdagangan internasional dan merugikan negara berkembang. Sebagai contoh, General Agreement on Tariffs and Trade (“GATT”) Pasal XVII menegaskan bahwa State Trading Enterprises wajib beroperasi berdasarkan pertimbangan komersial yang wajar serta tanpa perlakuan diskriminatif terhadap mitra dagang. Ketentuan ini secara prinsipil menolak penyalahgunaan posisi dominan oleh entitas yang memiliki kekuatan pasar besar. Sementara itu, Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs) melarang kebijakan investasi yang bersifat proteksionis atau menciptakan ketimpangan kompetitif antara produk domestik dan impor.

Dari sudut pandang prinsip, baik UU 5/1999 di Indonesia, AML di Tiongkok, maupun prinsip-prinsip hukum internasional yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”) dan WTO, memiliki titik temu yang sama dalam menempatkan kesejahteraan konsumen (consumer welfare) dan efisiensi pasar sebagai tujuan utama dari sistem persaingan usaha. Namun, terdapat perbedaan orientasi normatif dan pendekatan kebijakan di antara ketiganya [27]. Di Indonesia, hukum persaingan usaha berorientasi pada perlindungan pelaku usaha kecil dan menengah serta pencegahan konsentrasi ekonomi agar tidak hanya dikuasai oleh segelintir entitas besar. Tujuannya bersifat sosial-ekonomi, yakni memastikan distribusi kesempatan berusaha yang adil dan menjamin kesejahteraan rakyat [28]. Sementara itu, Tiongkok melalui AML menempatkan hukum persaingan usaha sebagai instrumen kebijakan ekonomi nasional yang sejalan dengan tujuan makro negara, yaitu menjaga stabilitas pasar domestik, memperkuat kapasitas inovasi nasional, serta melindungi pasar dalam negeri dari dominasi korporasi asing.

Dalam kerangka ini, pendekatan Tiongkok terhadap hukum persaingan dapat digolongkan sebagai state-oriented competition law, di mana pemerintah memegang peran sentral dalam menentukan arah, batasan, dan implementasi praktik persaingan usaha [29]. Sementara itu, dalam tatanan hukum internasional, prinsip-prinsip yang dirumuskan dalam United Nations Set of Multilaterally Agreed Equitable Principles and Rules for the Control of Restrictive Business Practices (1980) menekankan perlunya menjaga keadilan ekonomi global sekaligus melindungi negara-negara berkembang dari praktik monopoli lintas negara dan dominasi pasar yang tidak seimbang [30]. Meski dokumen ini bersifat soft law dan tidak memiliki daya mengikat secara hukum, ia tetap berfungsi sebagai pedoman normatif bagi banyak negara dalam menyusun atau memperkuat undang-undang persaingan usaha nasional mereka. Indonesia maupun Tiongkok, misalnya, memanfaatkan prinsip-prinsip tersebut sebagai referensi dalam merancang kerangka hukum yang mampu menyeimbangkan kepentingan pasar, pelaku usaha, dan perlindungan konsumen secara efektif.

Adapun WTO sendiri tidak secara eksplisit mengatur tentang hukum anti-monopoli atau anti-dominasi, namun prinsip dasarnya tercermin dalam beberapa ketentuan penting seperti Pasal XVII General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 mengenai State Trading Enterprises dan Trade-Related Investment Measures (TRIMs) Agreement.⁵ Melalui ketentuan ini, WTO mendorong prinsip “fair competition” di pasar global, terutama dengan mencegah distorsi perdagangan yang diakibatkan oleh kebijakan negara atau praktik bisnis yang bersifat anti-persaingan.WTO berperan dalam menjaga agar perdagangan internasional tidak terganggu oleh tindakan diskriminatif atau kebijakan yang menghambat akses pasar. Dalam perspektif ini, pendekatan WTO lebih bersifat pro-pasar dan berbasis liberalisasi ekonomi, di mana persaingan dianggap sebagai mekanisme alami untuk mencapai efisiensi dan kesejahteraan global. Namun berbeda dari UU 5/1999 dan AML Tiongkok, WTO tidak memiliki rezim penegakan khusus terhadap praktik monopoli, melainkan mengandalkan mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan antarnegara yang bersifat state-to-state [31].

  • 1. Konsep dan Pengaturan Mengenai Monopoli Serta Dominasi Pasar Diatur dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Hukum Internasional
  • 2. Strategi Kemandirian Teknologi Tiongkok Diterapkan Sebagai Respons Terhadap Hegemoni Korporasi Barat di Bidang Teknologi dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha
  • Sejak tahun 2018, ketegangan ekonomi global meningkat tajam akibat pecahnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Konflik ini bukan sekadar perselisihan ekonomi, melainkan juga pertarungan geopolitik yang diwujudkan melalui instrumen hukum berupa kebijakan tarif dan regulasi perdagangan yang saling merugikan. Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Donald Trump menerapkan tarif impor yang sangat tinggi terhadap lebih dari USD 550 miliar produk asal Tiongkok sebagai bentuk tekanan terhadap defisit perdagangan dan upaya menekan dominasi manufaktur Tiongkok di pasar global. Sebagai respons, Tiongkok memberlakukan kebijakan serupa dengan mengenakan tarif balasan terhadap lebih dari USD 185 miliar produk asal Amerika Serikat. Eskalasi kebijakan saling membalas ini menciptakan efek domino terhadap rantai pasok global, meningkatkan biaya produksi internasional, dan menimbulkan ketidakstabilan di pasar keuangan dunia.
  • Memasuki tahun 2025, dampak eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok semakin terasa dalam dinamika ekonomi global. Pemerintah Amerika Serikat, yang masih mempertahankan semangat proteksionisme warisan era Donald Trump, memperluas kebijakan tarif tinggi dengan memberlakukan tambahan bea masuk hingga 32% terhadap produk asal Tiongkok. Tidak berhenti di situ, Washington juga merancang kebijakan tarif baru dengan kisaran 10% hingga 20% yang diberlakukan secara menyeluruh terhadap hampir semua jenis produk impor. Kebijakan tersebut menimbulkan ketegangan baru dalam hubungan dagang kedua negara, memperburuk situasi pasar global, dan menciptakan ketidakpastian dalam rantai pasok internasional. Sebagai respons, Tiongkok mengambil langkah strategis dengan mempercepat agenda economic self-reliance atau kemandirian ekonomi nasional. Langkah ini dilakukan melalui dua arah utama: pertama, memperkuat sektor teknologi domestik agar tidak bergantung pada komponen dan inovasi Barat; kedua, melakukan diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat [32].
  • Kondisi ini semakin kompleks karena dipengaruhi oleh dinamika geopolitik antara kedua negara besar tersebut, yang kemudian berdampak pada negara-negara di kawasan yang berada di antara mereka. Salah satu contohnya adalah Korea Selatan, yang menghadapi sanksi dari Tiongkok terhadap perusahaan-perusahaan lokalnya yang beroperasi atau bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam sektor maritim. Menurut Jamieson Greer, Perwakilan Dagang Amerika Serikat, tindakan balasan Tiongkok terhadap perusahaan swasta di berbagai belahan dunia ini merupakan bagian dari strategi tekanan ekonomi yang lebih luas [33]. Tujuan dari strategi tersebut adalah untuk memengaruhi kebijakan politik Amerika Serikat sekaligus mengendalikan rantai pasok global dengan membatasi investasi asing di sektor-sektor strategis, seperti perkapalan dan industri penting lainnya di Amerika Serikat. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi dan perdagangan Tiongkok tidak hanya bersifat domestik, tetapi juga dipakai sebagai alat geopolitik untuk memperkuat posisi negara tersebut dalam sistem ekonomi global, sekaligus menimbulkan ketegangan yang meluas bagi negara-negara mitra yang memiliki hubungan ekonomi dan strategis dengan kedua kekuatan besar tersebut.
  • Tiongkok melalui AML menerapkan konsep dualisme fungsi, di mana hukum persaingan tidak hanya berperan sebagai mekanisme pengawasan terhadap pelaku usaha, tetapi juga sebagai instrumen strategis dalam menjaga kedaulatan ekonomi nasional. Dalam praktiknya, AML dimanfaatkan untuk dua tujuan utama. Pertama, sebagai alat hukum untuk mendisiplinkan perusahaan teknologi domestik berskala besar seperti Tencent dan Alibaba yang dianggap memiliki kekuatan pasar berlebih dan berpotensi menyalahgunakan dominasinya. Langkah ini menunjukkan bahwa Tiongkok berupaya menegakkan prinsip keadilan pasar tanpa pandang bulu, termasuk terhadap korporasi yang berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
  • Kedua, AML juga digunakan sebagai sarana penegakan kedaulatan regulasi terhadap perusahaan asing yang beroperasi di pasar domestik. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah Tiongkok mempertahankan kontrol atas aktivitas bisnis lintas negara serta memastikan bahwa kebijakan ekonomi nasional tidak dapat dipengaruhi oleh tekanan eksternal. Untuk mendukung efektivitas penerapan hukum tersebut, State Administration for Market Regulation (“SAMR”) sebagai otoritas pengawas utama dalam bidang persaingan usaha telah secara aktif meluncurkan berbagai kampanye penegakan hukum yang menyasar baik perusahaan asing maupun raksasa teknologi domestik. Kampanye ini mencerminkan komitmen Tiongkok dalam membangun sistem persaingan yang sehat sekaligus memperkuat posisi negara dalam mengendalikan arah perkembangan ekonomi digital dan teknologi nasional [34].
  • Salah satu contoh paling menonjol dalam penegakan hukum persaingan usaha di Tiongkok adalah kasus yang menimpa Alibaba Group. Pada April 2021, State Administration for Market Regulation (SAMR) memberikan sanksi administratif berupa denda sebesar 18,23 miliar RMB atau sekitar 2,8 miliar dolar Amerika Serikat kepada perusahaan tersebut [35]. Keputusan ini diambil setelah SAMR menemukan bahwa Alibaba telah menyalahgunakan posisi dominannya di pasar e-commerce domestik, terutama melalui praktik yang dikenal sebagai exclusive dealing atau kebijakan “er xuan yi” (pilih satu dari dua) [36]. Kebijakan ini memaksa para pedagang untuk menjual produknya secara eksklusif melalui platform Alibaba, sehingga mereka tidak diperbolehkan bekerja sama dengan platform pesaing. Praktik semacam ini dianggap merusak prinsip persaingan usaha yang sehat, sebagaimana diatur dalam AML Tiongkok, karena menghambat kompetisi pasar, membatasi pilihan konsumen, dan berpotensi mengkonsolidasikan kekuatan ekonomi Alibaba secara tidak wajar.
  • Dalam merancang sistem kemandirian teknologinya dalam persaingan usaha, Tiongkok menciptakan 3 pilar utama dalam membantu AML atau secara khusus memberikan Tiongkok rancangan kemandirian Teknologinya, yaitu :
  • Made In China (MIC 2025) : MIC 2025 ini merupakan pondasi dari kebijakan hukum yang menetapkan target kuantitatif terhadap pasar dengan meningkatkan kandungan komponen inti dalam negeri hingga 70% pada tahun 2025 dan memprioritaskan 10 sektor teknologi tinggi. Rancangan MIC 2025 ini merupakan aksi Tiongkok untuk mewujudkan ambisinya dalam persaingan usaha untuk dapat menjadi kekuatan manufaktur skala global [37].
  • Dual Circulation Strategy (DCS) : DCS diperkenalkan oleh Xi Jinping pada tahun 2020 sebagai respons terhadap meningkatnya tekanan eksternal. Tujuannya untuk memperkuat ketahanan ekonomi Tiongkok dengan menjadikan sirkulasi domestik, yaitu produksi dan konsumsi dalam negeri, sebagai pilar utama pertumbuhan. Sementara itu, sirkulasi internasional berperan sebagai penunjang yang mendukung stabilitas dan posisi Tiongkok dalam rantai pasok global [38].
  • Tiongkok Standar 2035 : Standar ini merupakan evolusi dari MIC 2025 yang perencanaannya dimulai pada 2018 [39]. Jika MIC 2025 berfokus pada kemampuan membuat teknologi, maka Standar 2035 bertujuan untuk menetapkan aturan dan standar global untuk teknologi generasi mendatang. Ini merupakan langkah ambisius yang bertujuan untuk memperkuat dominasi Tiongkok dalam pasar teknologi global serta berpotensi menciptakan hambatan teknis bagi para pesaingnya [40].
  • Upaya Tiongkok untuk mencapai kemandirian teknologi telah menjadi prioritas utama pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, yang secara konsisten menekankan pentingnya pembangunan kapasitas ilmiah dan inovasi teknologi sebagai fondasi strategis bagi kemajuan nasional. Xi Jinping menegaskan bahwa penguatan penelitian dasar di bidang sains dan teknologi bukan sekadar kebijakan jangka pendek, melainkan suatu keharusan strategis agar Tiongkok mampu mandiri secara teknologi dan mampu bersaing sebagai kekuatan inovasi global [41]. Menurutnya, teknologi merupakan kekuatan produksi utama yang menentukan arah pertumbuhan ekonomi, sementara talenta dan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi aset fundamental, dan inovasi berfungsi sebagai penggerak utama yang memastikan keberlanjutan pembangunan. Pernyataan ini mencerminkan tekad pemerintah Tiongkok untuk menempatkan penguasaan teknologi sebagai pilar sentral pembangunan nasional, yang tidak hanya bertujuan untuk memperkuat kapasitas domestik, tetapi juga untuk memperkokoh posisi Tiongkok di panggung ekonomi dan teknologi internasional [42].
  • Pemerintah Tiongkok telah mengimplementasikan berbagai strategi konkret untuk mewujudkan tujuan ini, termasuk investasi besar-besaran dalam riset dan pengembangan, pengembangan ekosistem inovasi antara universitas, lembaga penelitian, dan sektor industri, serta program pelatihan talenta unggul yang fokus pada disiplin ilmu kritis. Pendekatan ini menekankan sinergi antara kebijakan publik dan inovasi swasta, sehingga mendorong terciptanya teknologi yang tidak hanya bersifat adaptif, tetapi juga mampu menembus batas-batas global. Melalui upaya sistematis ini, Tiongkok berharap dapat mengurangi ketergantungan pada teknologi asing, memperkuat kedaulatan teknologi nasional, dan pada akhirnya memastikan pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada inovasi serta kemampuan riset dalam negeri. Dengan demikian, kemandirian teknologi bukan sekadar simbol prestise nasional, melainkan strategi integral yang menghubungkan inovasi, pembangunan sumber daya manusia, dan daya saing global sebagai elemen kunci dalam pembangunan modern Tiongkok.
  • Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi kemandirian teknologi Tiongkok merupakan bentuk respons terstruktur terhadap dominasi korporasi Barat di bidang teknologi. Melalui instrumen hukum seperti AML, Tiongkok tidak hanya menegakkan prinsip persaingan usaha terhadap perusahaan domestiknya, tetapi juga menjadikan regulasi tersebut sebagai sarana mempertahankan kedaulatan ekonomi nasional di tengah hegemoni pasar global yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan Barat seperti Google, Apple, dan Meta [43]. Penerapan AML ini sering dilihat bukan murni sebagai penegakan hukum persaingan, melainkan sebagai bentuk "merkantilisme antitrust" yang strategis [44]. Penerapan kebijakan Made in China 2025, Dual Circulation Strategy, dan China Standards 2035 menunjukkan bahwa Tiongkok berupaya membangun basis kemandirian teknologi melalui integrasi antara kebijakan industri, hukum, dan geopolitik [45]. Strategi ini tidak semata-mata berorientasi pada perlindungan pasar domestik, melainkan juga menjadi alat untuk menggeser pusat gravitasi ekonomi dunia dari dominasi Barat menuju model persaingan yang lebih seimbang [46]. Strategi kemandirian teknologi Tiongkok tidak hanya berfungsi sebagai kebijakan ekonomi, tetapi juga sebagai instrumen hukum yang merefleksikan upaya negara untuk melawan ketimpangan struktural dalam ekonomi global. Dalam perspektif hukum persaingan usaha, langkah ini memperlihatkan bagaimana intervensi negara dapat menjadi bentuk counter-hegemony terhadap kekuatan korporasi Barat yang selama ini mendominasi pasar teknologi dunia [47].

Simpulan

Konsep pengaturan monopoli dan dominasi pasar di Indonesia, Tiongkok, serta dalam kerangka hukum internasional pada dasarnya memiliki tujuan yang sejalan, yakni mewujudkan efisiensi pasar dan melindungi kesejahteraan konsumen. Namun demikian, orientasi dan pendekatan yang digunakan oleh masing-masing sistem hukum memiliki perbedaan mendasar. Dalam konteks Indonesia, UU 5/1999 menegaskan bahwa monopoli tidak serta-merta dilarang, melainkan yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan di atas ambang batas 50%. Pendekatan ini berorientasi sosial-ekonomi dengan tujuan utama melindungi pelaku usaha kecil dan menengah agar tetap dapat bersaing secara sehat dalam pasar nasional. Sementara itu, Tiongkok melalui AML juga menerapkan prinsip yang serupa, yaitu tidak melarang posisi dominan, tetapi menindak tegas penyalahgunaannya. Namun, perbedaannya terletak pada orientasi kebijakan yang bersifat state-oriented. Artinya, hukum persaingan di Tiongkok tidak hanya berfungsi menjaga mekanisme pasar, tetapi juga menjadi instrumen kebijakan negara untuk memperkuat kontrol terhadap ekonomi domestik, melindungi industri strategis, serta mendorong inovasi dan kemandirian nasional.

Berbeda dengan beberapa yurisdiksi yang telah memiliki regulasi persaingan usaha yang jelas dan mengikat, pada tingkat internasional saat ini belum ada satu rezim hukum tunggal yang berlaku secara universal untuk mengatur praktik persaingan bisnis. Dalam konteks ini, PBB melalui dokumen United Nations Set of Multilaterally Agreed Equitable Principles and Rules for the Control of Restrictive Business Practices hanya menyediakan pedoman bersifat soft law. Pedoman ini tidak mengikat secara hukum, melainkan berfungsi sebagai acuan atau referensi bagi negara-negara, khususnya yang sedang berkembang, dalam merancang dan menyusun kebijakan persaingan usaha nasional mereka. Sementara itu, WTO tidak secara eksplisit memberlakukan aturan antimonopoli; fokusnya lebih pada menciptakan kondisi persaingan yang adil (fair competition) melalui mekanisme perdagangan internasional. Hal ini tercermin dalam penerapan prinsip liberalisasi perdagangan yang tertuang dalam GATT serta perjanjian terkait investasi, seperti TRIMs, yang secara tidak langsung mendorong terciptanya iklim persaingan yang sehat antar pelaku ekonomi di kancah global.

Strategi kemandirian teknologi yang dijalankan oleh Tiongkok merupakan respons sistematis terhadap dominasi korporasi Barat yang semakin menguat di tengah ketegangan geopolitik dan perang dagang global. Langkah ini tidak semata-mata bersifat ekonomi, tetapi juga merupakan strategi hukum dan politik yang terintegrasi untuk memperkuat kedaulatan nasional di bidang teknologi. Dalam perspektif hukum persaingan usaha, strategi tersebut diwujudkan melalui dua pendekatan utama. Pertama, penerapan AML Tiongkok dengan fungsi ganda atau dualisme fungsi. Di satu sisi, AML digunakan untuk menertibkan perusahaan teknologi domestik raksasa seperti Alibaba dan Tencent agar tidak menyalahgunakan kekuatan pasar serta tetap tunduk pada kepentingan nasional. Di sisi lain, AML juga berfungsi sebagai instrumen penegakan kedaulatan hukum terhadap perusahaan asing yang beroperasi di pasar Tiongkok, sehingga negara tetap memiliki kendali terhadap arus investasi dan aktivitas ekonomi lintas batas.

Kedua, penerapan instrumen hukum ini diintegrasikan dengan tiga pilar utama kebijakan industri strategis Tiongkok, yaitu Made in China 2025, Dual Circulation Strategy, dan China Standards 2035. Program Made in China 2025 bertujuan meningkatkan kemampuan manufaktur dalam sektor teknologi tinggi agar Tiongkok tidak hanya menjadi pusat produksi, tetapi juga pusat inovasi global. Strategi Dual Circulation menekankan pentingnya memperkuat pasar domestik sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga keseimbangan dengan aktivitas ekspor. Sementara itu, China Standards 2035 diarahkan untuk mentransformasikan posisi Tiongkok dari sekadar pengguna teknologi menjadi pembuat dan penentu standar teknologi global. Sinergi antara hukum persaingan dan kebijakan industri tersebut membentuk suatu mekanisme counter-hegemony yang efektif. Dengan cara ini, Tiongkok berupaya mengoreksi ketimpangan struktural dalam pasar global yang selama ini didominasi oleh korporasi Barat, serta menegaskan kemandiriannya dalam menentukan arah dan standar perkembangan teknologi dunia.

.

References

Hawin, M. et al., Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya. Yogyakarta: CICODS FH-UGM, 2009.

Hansen, K., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, 1st ed. Jakarta: Katalis Publishing, 2001.

Kurnia, K., “Analisis Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat Distribusi Aplikasi Digital oleh Google LLC,” Jurnal Persaingan Usaha, vol. 4, no. 1, pp. 7–15, 2024, doi: 10.55869/kppu.v4i1.97.

Amar, F., “Ketika Ideologi Hegemoni Barat Menguasai Dunia,” (Online article), n.d.

Konrad, K. A., “Dominance and Technology War,” European Journal of Political Economy, vol. 81, p. 1, 2023, doi: 10.1016/j.ejpoleco.2023.102493.

Ischinger, W. and Nye, J. S., Mind the Gap: Priorities for Transatlantic China Policy, Distinguished Reflection Group Report, 2021, doi: 10.47342/gxwk1490.

Ministry of Science and Technology of the PRC, Science and Technology Progress Law of the People’s Republic of China (2021 Revision), 2021.

Gunardi, D. J., “Unggul Jauh, China Menang dalam Perang Teknologi Melawan AS,” 2023.

Tandiah, K., “China Dorong Kemandirian Teknologi di Tengah Ketegangan Dengan AS,” 2023.

Soemitro, R. H., Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

HS, S. and Nurbani, E. S., Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Depok: Rajawali Pers, 2022.

Creswell, J. W., Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousand Oaks: Sage Publications, 2014.

Matheus, J. and Gunadi, A., “Pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi di Era Ekonomi Digital: Kajian Perbandingan dengan KPPU,” Justisi, vol. 10, no. 1, pp. 20–35, 2024.

Marzuki, P. M., Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2016.

Citrawinda, C., Hukum Persaingan Usaha. Surabaya: Jakad Media Publishing, 2021.

Bork, R. H. and Bowman, W. S. Jr., “The Crisis in Antitrust,” Columbia Law Review, vol. 65, no. 3, pp. 363–376, 1965.

OECD, Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law. Paris: OECD, 1996.

Sudiarto, Pengantar Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2021.

Usman, R., Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Heermann, P. W. and Hansen, K., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, 2nd ed. Jakarta: Katalis, 2002.

Alfarizi, M. F., “Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Perspektif Kejahatan Korporasi Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,” Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, vol. 1, no. 1, pp. 1–10, 2014.

People’s Republic of China, Anti-Monopoly Law of the People’s Republic of China, 2008 (amended 2022).

McKenzie, B., “Antitrust and Competition in China,” 2022.

United Nations, The Set of Multilaterally Agreed Equitable Principles and Rules for the Control of Restrictive Business Practices. Geneva: UNCTAD, 2000.

General Agreement on Tariffs and Trade, “GATT 1994, Article XVII,” 1994.

World Trade Organization, Agreement on Trade-Related Investment Measures, 1994.

Fox, E. M., “Economic Development, Poverty, and Antitrust: The Other Path,” Southwestern Journal of Law and Trade in the Americas, vol. 13, no. 2, pp. 211–230, 2007.

Arifin, M. A., “Perlindungan Usaha Kecil Menengah dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, vol. 25, no. 2, pp. 296–310, 2018.

Zhang, A., Chinese Antitrust Exceptionalism: How the Rise of China Challenges Global Regulation. Oxford: Oxford University Press, 2021.

UNCTAD, The Set of Multilaterally Agreed Equitable Principles and Rules for the Control of Restrictive Business Practices. Geneva: UNCTAD, 1980.

Mavroidis, P. C., “Competition Law and the WTO: Rethinking the Relationship,” in Limits and Control of Competition with a View to International Harmonization, J. Basedow, Ed. Leiden: Sijthoff/Nijhoff, 2007, pp. 159–180.

Ministry of Defense of Indonesia, “Perang Dagang AS–Tiongkok: Dampak, Peluang, Tantangan dan Solusi Strategis bagi Indonesia,” 2023.

Bloomberg News, “AS Peringatkan China soal Sanksi untuk Investor Asing – Global,” Bloomberg, 2023.

Dwi, C., “Duh! Alibaba & Tencent Terbukti Melakukan Praktik Monopoli,” 2022.

Khoo, K., Lai, S., and Chuyue, T., “The Alibaba Antitrust Saga: Unpacking China’s Digital Enforcement,” 2021.

Zhang, A. L., “Enforcing Anti-Monopoly Law Against Big Tech in China: A Case Study of Alibaba’s $2.8bn Fine from SAMR,” 2021.

PRC State Council, “Notice of the State Council on the Publication of ‘Made in China 2025’,” 2015.

Azizah, N., “Analisis Pertautan Kebijakan Antara Sirkulasi Ganda dan Belt and Road Initiative Berdasarkan Pendekatan Transformasi,” 2024.

Horizon Advisory, China Standards 2035, 2018.

Verband Deutscher Maschinen und Anlagenbau, “Standardization Strategy ‘China Standards 2035’,” 2020.

Kompas, “Disanksi AS dan Sekutunya, Xi Jinping Serukan China Mandiri Teknologi,” Kompas.com, 2023.

Sihite, E., “Poin-Poin Penting Pidato Xi Jinping di Kongres Partai Komunis China,” 2022.

Zhang, A. H., “Antitrust or Industrial Protectionism? Emerging International Issues in China’s Anti-Monopoly Law Enforcement Efforts,” St. Cloud Journal of International Law, vol. 14, no. 1, p. 109, 2016.

Barnett, J. M., “Antitrust Mercantilism: The Strategic Devaluation of Intellectual Property Rights in Wireless Markets,” Berkeley Technology Law Journal, vol. 38, no. 1, p. 263, 2023.

Qian, J., Governing China’s Digital Transformation: Industrial Policy, Regulatory Governance, and Innovation. Oxford: Oxford University Press, 2024.

Wattanayagorn, P. and Liu, P., “Industrial Policy in the Competition Between an Existing Hegemon and a Rising Superpower: The Case of the US and China,” Journal of Economic Policy Reform, vol. 28, no. 1, pp. 45–60, 2025.

de Farias, M. C. S. and Jabbour, E., “Industrial Policy, Techno-Nationalism and Industry 4.0: China–USA Technology War,” Revista de Economia Política, vol. 42, no. 4, pp. 899–915, 2022.