Login
Section Corporate Law

The Business Judgment Rule in the Context of Directors’ Liability: A Comparative Study of the United States, Canada, and Indonesia

Business Judgment Rule dalam Perspektif Pertanggungjawaban Direksi: Studi Perbandingan Amerika Serikat, Kanada, dan Indonesia
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Alicia Andromeda Sanyoto (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General background: Directors hold a strategic role in corporate governance, yet not all business decisions generate profits, exposing them to potential personal liability. Specific background: Differentiating reasonable business risks from negligence or bad faith remains a legal challenge across jurisdictions. Knowledge gap: Although the Business Judgment Rule, BJR, aims to protect directors who act prudently, in good faith, and based on adequate information, its formulation and judicial application differ significantly in the United States, Canada, and Indonesia, with Indonesia showing limited and inconsistent enforcement. Aims: This study analyzes the regulation and implementation of BJR in the three jurisdictions to evaluate how each balances managerial discretion and legal accountability. Results: The United States applies BJR as a strong presumption safeguarding informed and loyal decisions, Canada emphasizes judicial restraint based on the fairness of the decision-making process, and Indonesia codifies BJR principles but lacks clear evaluative standards in practice. Novelty: The study provides a comparative understanding of doctrinal and structural differences that shape the scope of director protection. Implications: Strengthening BJR interpretation and judicial guidelines in Indonesia is crucial to prevent hindsight bias, support responsible risk-taking, and enhance legal certainty in corporate governance.


Highlights:




  • The Business Judgment Rule protects directors who act in good faith, prudently, and with adequate information.




  • The United States and Canada apply BJR through strong judicial restraint, while Indonesia’s application remains limited.




  • Clearer BJR standards in Indonesia are essential to reduce hindsight bias and strengthen corporate governance.




Keywords: Business Judgment Rule, Directors’ Liability, Comparative Corporate Law, Fiduciary Duty, Legal Accountability.

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Direksi merupakan organ penting dalam struktur perseroan yang memiliki fungsi utama dalam mengelola, mengatur, dan menentukan arah kebijakan perusahaan. Dalam konteks tata kelola perusahaan yang baik, direksi berperan sebagai penggerak utama dalam pengambilan keputusan strategis yang menentukan keberhasilan atau kegagalan perusahaan [1]. Direksi tidak hanya bertanggung jawab terhadap operasional sehari-hari, tetapi juga terhadap tercapainya tujuan jangka panjang perseroan. Oleh karena itu, direksi dituntut untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan kehati-hatian sesuai dengan prinsip fiduciary duty yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) [2]. Prinsip ini menegaskan bahwa direksi memikul tanggung jawab hukum atas segala tindakan pengurusan yang dilakukan atas nama perusahaan.

Namun demikian, dalam praktiknya tidak semua keputusan bisnis yang diambil oleh direksi menghasilkan keuntungan. Dalam dunia usaha yang penuh ketidakpastian, kerugian sering kali merupakan konsekuensi logis dari risiko bisnis yang melekat pada setiap keputusan manajerial. Permasalahan muncul ketika kerugian tersebut dikaitkan dengan tanggung jawab pribadi direksi. Penting untuk membedakan antara kerugian yang timbul karena keputusan bisnis yang wajar (business risk) dengan kerugian akibat tindakan yang disengaja, lalai, atau dilakukan dengan itikad buruk. Jika kerugian terjadi karena keputusan bisnis yang diambil dengan pertimbangan rasional dan informasi yang memadai, maka secara normatif direksi seharusnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum [3]. Sebaliknya, jika kerugian timbul akibat pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian, penyalahgunaan wewenang, atau adanya benturan kepentingan, maka direksi dapat dimintai tanggung jawab secara pribadi.

Dalam menghadapi dilema tersebut, doktrin Business Judgment Rule (BJR) menjadi prinsip hukum yang memberikan perlindungan terhadap direksi atas keputusan bisnis yang menimbulkan kerugian sepanjang keputusan tersebut diambil dengan itikad baik, kehati-hatian, dan didasarkan pada informasi yang memadai [4]. Doktrin ini pertama kali berkembang di Amerika Serikat melalui yurisprudensi common law, dan kemudian diikuti oleh berbagai negara lain seperti Kanada. Melalui BJR, pengadilan di negara-negara tersebut enggan untuk menilai substansi keputusan bisnis direksi sepanjang keputusan tersebut diambil secara rasional, bebas dari konflik kepentingan, dan berdasarkan informasi yang memadai. BJR berfungsi untuk mencegah judicial hindsight bias, yaitu kecenderungan pengadilan menilai keputusan bisnis berdasarkan hasil akhirnya, bukan pada proses pengambilan keputusan itu sendiri. Doktrin ini juga memperkuat prinsip otonomi manajerial dan kebebasan berbisnis, yang menjadi pilar penting dalam sistem ekonomi modern.

Sayangnya, penerapan doktrin BJR di Indonesia masih menghadapi tantangan baik secara normatif maupun praktis. Meskipun Pasal 97 ayat (5) UUPT telah mengandung semangat yang serupa dengan prinsip BJR yakni memberikan pembebasan tanggung jawab kepada direksi yang dapat membuktikan telah bertindak dengan itikad baik dan kehati-hatian namun belum ada pengaturan yang eksplisit dan konsisten dalam praktik peradilan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi direksi, karena batasan antara kesalahan bisnis yang wajar dengan kelalaian hukum belum diuraikan secara tegas. Selain itu, sistem hukum Indonesia yang berakar pada tradisi civil law menyebabkan pengembangan doktrin seperti BJR belum berkembang melalui yurisprudensi sebagaimana di negara-negara common law. Akibatnya, ruang perlindungan hukum terhadap direksi di Indonesia masih terbatas dan rentan menimbulkan kriminalisasi terhadap keputusan bisnis yang gagal.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan judul Business Judgment Rule dalam Perspektif Pertanggungjawaban Direksi: Studi Perbandingan Indonesia, Amerika Serikat, dan Kanada. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis komparatif mengenai pengaturan dan penerapan prinsip BJR di ketiga negara tersebut. Melalui pendekatan perbandingan hukum (comparative approach), diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana sistem hukum common law di Amerika Serikat dan Kanada menerapkan prinsip BJR secara efektif, serta bagaimana prinsip tersebut dapat diadaptasi dalam konteks hukum Indonesia yang berbasis civil law. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap penguatan perlindungan hukum bagi direksi dalam menjalankan tugasnya, sekaligus menjadi dasar bagi pembaharuan hukum korporasi nasional yang selaras dengan prinsip Good Corporate Governance dan kepastian hukum.

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang berfokus pada norma-norma hukum positif yang berlaku, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun prinsip-prinsip hukum yang berkembang melalui doktrin dan yurisprudensi [5]. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan utama. Pertama, pendekatan perbandingan hukum (comparative approach) digunakan untuk membandingkan pengaturan dan penerapan prinsip BJR di tiga yurisdiksi, yakni Indonesia, Amerika Serikat, dan Kanada. Kedua, pendekatan perundang-undangan (statute approach) diterapkan dengan menelaah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tanggung jawab direksi dan perlindungan terhadap keputusan bisnis dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, serta regulasi korporasi di Amerika Serikat dan Kanada. Ketiga, pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep dasar BJR, hubungan dengan prinsip fiduciary duty, serta relevansinya terhadap prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas direksi.

Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan di ketiga negara; bahan hukum sekunder berupa literatur akademik, buku teks, dan artikel jurnal hukum; sedangkan bahan hukum tersier meliputi kamus hukum dan ensiklopedia hukum korporasi. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif-komparatif dengan interpretasi hukum normatif, yaitu dengan menggambarkan dan menafsirkan secara sistematis pengaturan serta praktik penerapan Business Judgment Rule di masing-masing negara, untuk kemudian dianalisis secara komparatif guna memperoleh pemahaman yang utuh mengenai posisi dan relevansi doktrin tersebut dalam konteks tanggung jawab direksi.

Hasil dan Pembahasan

Prinsip BJR di Amerika Serikat merupakan hasil evolusi panjang dari praktik peradilan common law yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad. Dalam sistem hukum Anglo-Saxon, norma hukum tidak hanya lahir dari undang-undang, tetapi dibangun melalui preseden pengadilan yang berkembang secara gradual dan empiris. BJR lahir sebagai respon terhadap kebutuhan hukum korporasi untuk menyeimbangkan dua kepentingan: pertama, memberikan ruang kebebasan bagi direksi dalam mengambil keputusan bisnis yang mengandung risiko; dan kedua, memastikan agar keputusan tersebut tetap berada dalam batas tanggung jawab hukum yang wajar. Oleh karena itu, BJR menjadi prinsip fundamental yang menegaskan bahwa pengadilan tidak dapat menghukum direksi hanya karena suatu keputusan bisnis berujung pada kerugian, selama keputusan tersebut dibuat dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tujuan untuk kepentingan terbaik perusahaan.

Secara konseptual, BJR pada mulanya dimaknai sebagai doktrin abstensi (abstention doctrine), yaitu prinsip yang menegaskan bahwa pengadilan seharusnya menahan diri (to abstain) dari melakukan penilaian terhadap substansi keputusan bisnis yang diambil oleh direksi suatu korporasi. Doktrin ini lahir dari pemikiran bahwa keputusan bisnis memiliki karakteristik yang sangat kompleks dan sarat dengan risiko, sehingga penilaiannya tidak dapat disamakan dengan kesalahan administratif atau pelanggaran hukum biasa. Doktrin ini pertama kali tampak dalam kasus Percy v. Millaudon (8 Mart. (n.s.) 68, La. 1829), yang diputus oleh Mahkamah Agung Louisiana [6]. Dalam kasus tersebut, penggugat menuduh direksi lalai karena keputusan bisnisnya menimbulkan kerugian. Namun, pengadilan menolak gugatan tersebut dan menyatakan bahwa: “Directors cannot be held liable for honest mistakes of judgment when they act with reasonable care and in good faith.”

Pernyataan tersebut menjadi tonggak lahirnya doktrin abstensi, yaitu prinsip di mana pengadilan menolak untuk mencampuri ranah keputusan bisnis selama keputusan yang diambil oleh direksi didasarkan pada kehati-hatian (due care) dan kejujuran (good faith). Doktrin ini mencerminkan pengakuan yuridis bahwa risiko merupakan bagian inheren dari aktivitas bisnis, dan oleh karenanya tidak setiap kerugian yang timbul akibat keputusan manajerial dapat dikategorikan sebagai kelalaian hukum. Dengan kata lain, kesalahan dalam pertimbangan ekonomi (business misjudgment) tidak serta-merta berarti kesalahan dalam konteks hukum (legal negligence). Prinsip ini menegaskan perlunya batas antara tanggung jawab hukum direksi dan kebebasan profesional dalam mengambil keputusan bisnis, agar pengadilan tidak menilai hasil akhir semata, melainkan mempertimbangkan proses pengambilan keputusan yang rasional dan beritikad baik.

Memasuki abad ke-20, prinsip abstensi berevolusi menjadi standar peninjauan yudisial (standard of review) yang lebih terstruktur, terutama melalui peran Pengadilan Delaware, yang diakui sebagai yurisdiksi paling berpengaruh dalam pengembangan hukum korporasi Amerika Serikat. Perkembangan ini menandai pergeseran dari sekadar prinsip non-intervensi menjadi suatu presumsi hukum yang memberikan perlindungan terhadap keputusan bisnis direksi sepanjang memenuhi kriteria tertentu [7]. Pergeseran tersebut terlihat jelas dalam perkara Aronson v. Lewis (473 A.2d 805, Del. 1984), yang dianggap sebagai yurisprudensi klasik dari doktrin Business Judgment Rule (BJR) modern. Dalam putusannya, Mahkamah Agung Delaware merumuskan BJR sebagai berikut: “The business judgment rule is a presumption that in making a business decision the directors of a corporation acted on an informed basis, in good faith, and in the honest belief that the action was in the best interest of the company.” Rumusan ini menandai lahirnya BJR sebagai alat evaluasi hukum (legal review tool) bukan lagi sekadar prinsip abstensi. Pengadilan tidak lagi otomatis menahan diri, tetapi melakukan review terbatas untuk memastikan apakah keputusan direksi diambil secara informed, in good faith, dan tanpa konflik kepentingan. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka keputusan bisnis tidak dapat diganggu oleh pengadilan.

Setahun kemudian, Mahkamah Agung Delaware mempertegas fungsi BJR sebagai standard of review melalui perkara Smith v. Van Gorkom (488 A.2d 858, Del. 1985). Dalam kasus ini, direksi TransUnion memutuskan menjual perusahaan tanpa melakukan penilaian independen terhadap harga saham dan tanpa konsultasi ahli keuangan eksternal [6]. Pengadilan menilai bahwa para direksi tidak memenuhi unsur “informed decision”, dan karenanya tidak dilindungi oleh BJR. Putusan tersebut berbunyi: “Directors have a duty to inform themselves, prior to making a business decision, of all material information reasonably available to them.” Kasus ini mempertegas bahwa BJR tidak bersifat absolut. Perlindungan hukum bagi direksi hanya berlaku bila proses pengambilan keputusan dilakukan secara hati-hati, rasional, dan berbasis informasi yang memadai. Dengan demikian, Smith v. Van Gorkom menjadi preseden penting yang mengubah BJR menjadi standar hukum substantif dalam menilai tanggung jawab direksi.

Perkembangan tersebut kemudian dikodifikasi dalam Model Business Corporation Act (MBCA) 2016, yang disusun oleh American Bar Association sebagai rujukan bagi legislasi korporasi di berbagai negara bagian. MBCA 2016 menegaskan dua kewajiban utama direksi, yaitu duty of care dan duty of loyalty. Pasal 8.30(a) mengatur bahwa setiap direktur wajib bertindak dengan itikad baik (good faith) dan untuk kepentingan terbaik perusahaan (best interest of the corporation). Sementara Pasal 8.30(b) mengatur bahwa setiap direktur harus bertindak dengan kehati-hatian (due care), menggunakan informasi yang layak dipercaya, serta melakukan pertimbangan yang rasional. MBCA 2016 menjadikan BJR sebagai norma hukum tertulis (codified rule), yang menetapkan bahwa keputusan direksi yang memenuhi unsur-unsur tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, meskipun hasilnya merugikan perusahaan.

Pasal 8.31 MBCA 2016 memperjelas batas penerapan BJR, yaitu bahwa direktur tidak dapat dilindungi apabila: (a) memperoleh keuntungan pribadi yang tidak semestinya, (b) bertindak dengan niat jahat untuk merugikan perusahaan, (c) melakukan tindak pidana, (d) menyalahgunakan peluang bisnis perusahaan, atau (e) melakukan transaksi dengan konflik kepentingan. Pengaturan ini mencerminkan keseimbangan antara kebebasan manajerial dan tanggung jawab hukum. Dengan demikian, MBCA 2016 mengubah BJR dari sekadar doctrinal presumption menjadi statutory standard of corporate accountability, yang memastikan bahwa kebijakan bisnis tetap dilindungi selama memenuhi prinsip kehati-hatian, kejujuran, dan loyalitas korporatif [8] Selain MBCA, The American Law Institute (ALI) berperan besar dalam merumuskan prinsip-prinsip normatif BJR melalui publikasinya Principles of Corporate Governance: Analysis and Recommendations (1994). Dalam Bagian §4(c), ALI menyatakan bahwa direktur atau pejabat korporasi memenuhi duty of care jika: (1)Tidak memiliki kepentingan pribadi atas keputusan bisnis tersebut; (2) Memiliki informasi yang cukup dan relevan sebelum mengambil keputusan; dan (3) Secara rasional meyakini bahwa keputusan tersebut untuk kepentingan terbaik perusahaan [8].

Dari ketentuan ini, para akademisi seperti Branson dan Weinberger mengidentifikasi delapan unsur utama BJR di Amerika Serikat, yakni: (1) adanya keputusan bisnis; (2) didasarkan pada informasi yang dapat dipercaya; (3) diambil dengan itikad baik; (4) dilakukan dengan kehati-hatian; (5) bebas dari konflik kepentingan; (6) tidak mengandung unsur curang atau melanggar hukum; (7) bersifat rasional; dan (8) tidak mengandung unfair dealing [8]. Unsur-unsur ini kemudian menjadi standar evaluatif yang digunakan oleh pengadilan di seluruh yurisdiksi Amerika. Dengan perkembangan tersebut, BJR di Amerika Serikat telah mengalami transformasi dari doktrin yurisprudensial menjadi suatu kewajiban hukum yang bersifat kodifikatif (statutory obligation). Prinsip ini kini berfungsi sebagai mekanisme perlindungan hukum bagi direksi yang bertindak dengan profesionalitas dan integritas, sekaligus sebagai alat kontrol bagi pengadilan untuk memastikan kepatuhan terhadap fiduciary duties. Melalui kombinasi antara preseden Pengadilan Delaware, kodifikasi dalam Model Business Corporation Act 2016, dan prinsip-prinsip dari American Law Institute, BJR telah menjelma menjadi pilar utama sistem hukum korporasi Amerika, yang menjamin keseimbangan antara kebebasan mengambil risiko bisnis dan tanggung jawab hukum terhadap pemegang saham serta korporasi itu sendiri.

  • A.Business Judgement Rule di Amerika Serikat
  • B.Business Judgement Rule di Kanada

Konsep BJR di Kanada berkembang dari prinsip-prinsip common law yang menekankan pada duty of care dan fiduciary duty direksi, sebagaimana diadopsi dari sistem hukum Anglo-Amerika. BJR di Kanada bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap direksi yang telah mengambil keputusan bisnis secara wajar dan beritikad baik, sembari menahan intervensi pengadilan terhadap kebijakan manajerial yang bersifat ekonomis. Prinsip ini berangkat dari kesadaran bahwa pengadilan tidak memiliki kompetensi teknis untuk menilai kebijakan bisnis yang kompleks, dan karena itu harus menghormati ruang diskresi direksi. Mahkamah Agung Kanada menegaskan bahwa BJR merupakan mekanisme untuk memastikan keseimbangan antara perlindungan hukum bagi direksi dan akuntabilitas terhadap pemegang saham serta kepentingan perusahaan secara keseluruhan.

Secara normatif, dasar penerapan Business Judgment Rule (BJR) dalam sistem hukum korporasi Kanada tertuang secara eksplisit dalam Canada Business Corporations Act (CBCA) 2019, khususnya pada Pasal 122 ayat (1) huruf (a) dan huruf (b). Pasal 122(1)(a) menetapkan prinsip duty of loyalty, yakni kewajiban moral dan hukum bagi setiap direksi untuk bertindak dengan kejujuran, integritas, dan itikad baik demi kepentingan terbaik perusahaan (to act honestly and in good faith with a view to the best interests of the corporation). Sementara itu, Pasal 122(1)(b) menegaskan prinsip duty of care, yang menuntut agar direksi menjalankan tugasnya dengan tingkat kehati-hatian, ketelitian, serta keahlian yang pantas dimiliki oleh seseorang yang bijaksana dan berpengalaman dalam situasi serupa (to exercise the care, diligence and skill that a reasonably prudent person would exercise in comparable circumstances). Kedua ketentuan ini membentuk fondasi normatif bagi pengujian penerapan BJR di Kanada, karena dari sinilah pengadilan menilai apakah direksi telah mengambil keputusan bisnis secara wajar dan profesional. Selama direksi bertindak berdasarkan informasi yang memadai, mempertimbangkan berbagai alternatif secara objektif, dan melandaskan tindakannya pada niat baik untuk kepentingan korporasi, maka keputusan tersebut berada dalam perlindungan prinsip BJR. Artinya, direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum hanya karena hasil dari keputusan bisnisnya ternyata tidak menguntungkan, selama proses pengambilan keputusan tersebut memenuhi standar kewajaran dan kehati-hatian sebagaimana diatur dalam CBCA.

Penerapan doktrin BJR di Kanada pertama kali dijelaskan secara menyeluruh melalui perkara Maple Leaf Foods Inc. v. Schneider Corp. (1998) yang diputus oleh Ontario Court of Appeal. Dalam perkara tersebut, pengadilan menekankan bahwa penilaian terhadap tindakan direksi tidak didasarkan pada hasil akhir keputusan bisnis, melainkan pada proses pengambilan keputusannya. Pengadilan menyatakan bahwa yang menjadi ukuran utama adalah apakah direksi bertindak dengan itikad baik, penuh kejujuran, dan berdasarkan pertimbangan yang wajar dalam menghadapi situasi yang ada pada saat keputusan diambil [9]. Artinya, standar yang diterapkan bukanlah kesempurnaan hasil, melainkan kewajaran dalam proses pengambilan keputusan (reasonableness). Selama direksi dapat menunjukkan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada informasi yang memadai, melalui proses analisis yang rasional, dan mempertimbangkan kepentingan terbaik perusahaan, maka pengadilan tidak akan mencampuri atau mengoreksi keputusan tersebut meskipun ternyata hasilnya tidak optimal. Prinsip ini menegaskan bahwa BJR berfungsi sebagai bentuk perlindungan yuridis bagi direksi, agar mereka tidak dipidana atau digugat secara perdata hanya karena keputusan bisnisnya tidak menghasilkan keuntungan, selama keputusan itu diambil secara jujur, hati-hati, dan dalam kerangka pertimbangan yang logis.

Perkembangan signifikan berikutnya terjadi dalam kasus landmark Peoples Department Stores Inc. (Trustee of) v. Wise (2004) 3 S.C.R. 461, yang menjadi tonggak penerapan modern BJR di bawah CBCA. Dalam perkara ini, Mahkamah Agung Kanada menyatakan [10]: “Directors and officers will not be found to have breached the duty of care under s.122(1)(b) CBCA if they act prudently and on a reasonably informed basis. Courts are ill-suited to second-guess business decisions made honestly and reasonably.” Putusan ini mengukuhkan bahwa pengadilan tidak akan melakukan second guess terhadap keputusan bisnis yang telah dibuat dengan dasar informasi yang memadai, penuh kehati-hatian, dan itikad baik. Mahkamah menegaskan bahwa “kesempurnaan tidak dituntut” dalam menilai keputusan bisnis, dan bahwa pengadilan hanya akan menilai apakah proses pengambilan keputusan memenuhi standar kehati-hatian yang wajar (reasonable business judgment). Ini menjadi dasar doktrinal bagi pendekatan BJR Kanada yang menekankan pada process over outcome bahwa yang dinilai bukan hasil keputusan, melainkan bagaimana keputusan tersebut dibuat.

Dari berbagai preseden di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan BJR di Kanada mengombinasikan unsur duty of care dan fiduciary duty dalam satu kerangka evaluatif terpadu. Unsur-unsur utama BJR di Kanada meliputi: (1) keputusan bisnis diambil secara wajar dan rasional; (2) didasarkan pada informasi yang memadai; (3) dilakukan dengan kehati-hatian dan keahlian yang layak; (4) dilakukan dengan itikad baik; (5) bebas dari konflik kepentingan; (6) tidak menyalahgunakan posisi atau keuntungan pribadi; (7) menjaga kerahasiaan perusahaan; dan (8) bertindak loyal demi kepentingan terbaik korporasi [11]. Delapan unsur ini, sebagaimana dikembangkan dalam putusan Peoples v. Wise dan diatur lebih lanjut dalam Canada Business Corporations Act (CBCA) 2019, mencerminkan pendekatan khas Kanada yang menekankan keseimbangan antara kebebasan direksi dalam mengambil keputusan bisnis dengan tanggung jawab hukum yang melekat pada jabatan tersebut.

    • C. Business Judgement Rule di Indonesia

    Konsep BJR di Indonesia secara eksplisit diadopsi melalui UUPT. Berbeda dengan Amerika Serikat dan Kanada yang mengenal BJR sebagai hasil evolusi common law dan preseden pengadilan, Indonesia mengatur BJR secara kodifikatif sebagai bentuk perlindungan hukum bagi anggota direksi dan dewan komisaris yang menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan kehati-hatian. Pengadopsian BJR dalam sistem civil law ini menunjukkan adanya keinginan pembentuk undang-undang untuk memberikan ruang kebebasan bisnis yang sehat bagi organ perseroan tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas hukum.

    Pasal 97 ayat (5) UUPT dapat dipahami sebagai bentuk konkret dari penerapan BJR dalam sistem hukum Indonesia. Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum kepada anggota direksi sepanjang mereka dapat membuktikan empat hal utama: pertama, kerugian yang dialami perseroan tidak disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian mereka; kedua, tindakan yang dilakukan didasarkan pada itikad baik serta kehati-hatian demi kepentingan terbaik bagi perusahaan; ketiga, mereka tidak memiliki benturan kepentingan dalam pengambilan keputusan tersebut; dan keempat, telah berupaya mencegah timbulnya maupun berlanjutnya kerugian bagi perseroan [12]. Keempat unsur tersebut menggambarkan prinsip dasar tanggung jawab direksi yang berlandaskan pada duty of care dan duty of loyalty. Pasal ini bukan sekadar norma formal, melainkan juga refleksi dari nilai-nilai universal dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), yang menegaskan bahwa selama direksi bertindak secara rasional, penuh kehati-hatian, dan tanpa kepentingan pribadi, maka keputusan bisnis yang diambil tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban hukum.

    Konstruksi serupa juga diterapkan dalam konteks kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 ayat (4) UUPT [13]. Dalam hal perseroan dinyatakan pailit, anggota direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab pribadi jika mampu membuktikan bahwa kepailitan bukan akibat kesalahan atau kelalaiannya, bahwa mereka telah menjalankan pengurusan secara hati-hati dan penuh tanggung jawab, serta tidak memiliki konflik kepentingan dalam tindakan yang dilakukan [14]. Norma ini menegaskan bahwa tanggung jawab direksi dalam kondisi ekstrem seperti pailit tetap tunduk pada prinsip yang sama: direksi hanya bertanggung jawab atas tindakan yang menyimpang dari prinsip kehati-hatian dan itikad baik. Selain UU PT, BJR juga diadopsi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan OJK No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 13 ayat (2) peraturan ini secara substantif mengulang rumusan UUPT, dengan menegaskan bahwa “anggota direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan publik apabila dapat membuktikan empat hal serupa: tidak bersalah atau lalai, telah bertindak dengan itikad baik dan penuh kehati-hatian, bebas dari benturan kepentingan, serta telah mengambil langkah pencegahan kerugian”. Pengaturan oleh OJK memperluas penerapan BJR ke ranah corporate governance perusahaan publik, sekaligus mengintegrasikan prinsip tanggung jawab manajerial dengan standar tata kelola yang transparan.

    Dalam konteks praktik peradilan di Indonesia, penerapan BJR masih berada pada tahap yang relatif awal dan belum membentuk pola yurisprudensi yang konsisten seperti yang terjadi di negara-negara dengan tradisi hukum common law seperti Amerika Serikat atau Kanada. Pengadilan Indonesia pada umumnya lebih berfokus pada hasil akhir dari suatu keputusan bisnis dibandingkan dengan proses pengambilan keputusan itu sendiri, padahal esensi utama dari doktrin BJR justru terletak pada penilaian terhadap proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh direksi. Akibatnya, ketika perusahaan mengalami kerugian, hal tersebut kerap serta-merta dikaitkan dengan kelalaian atau kesalahan direksi, tanpa terlebih dahulu menelaah apakah keputusan tersebut telah dibuat berdasarkan itikad baik, penuh kehati-hatian, dan dengan pertimbangan informasi yang memadai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT. Pendekatan yang berorientasi pada hasil semata ini menunjukkan masih terbatasnya pemahaman terhadap fungsi BJR sebagai mekanisme perlindungan hukum bagi direksi agar mereka dapat menjalankan fungsi manajerialnya dengan berani mengambil risiko bisnis yang wajar tanpa takut dikriminalisasi atau digugat secara pribadi.

    Salah satu faktor mendasar yang menyebabkan penerapan Business Judgment Rule (BJR) di Indonesia masih lemah terletak pada belum adanya parameter normatif yang jelas serta standar pembuktian yudisial yang tegas terkait makna “itikad baik”, “kehati-hatian”, dan “informasi yang memadai”. Padahal, ketiga unsur tersebut merupakan pilar utama yang membedakan antara kesalahan dalam pengambilan keputusan bisnis (bad business decision) dengan kelalaian yang bersifat hukum (legal negligence). Dalam praktik peradilan, hakim sering kali dihadapkan pada kesulitan untuk menentukan sejauh mana suatu tindakan direksi dapat dikategorikan sebagai bentuk kehati-hatian yang wajar atau justru kelalaian. Hal ini disebabkan belum adanya pedoman evaluatif yang bersifat komprehensif dan dapat dijadikan rujukan dalam menilai tindakan direksi. Akibatnya, penerapan doktrin BJR di Indonesia cenderung bersifat kasuistis dan bergantung pada interpretasi subjektif hakim dalam setiap perkara, alih-alih berdasarkan suatu kerangka konseptual yang sistematis dan konsisten sebagaimana diharapkan dalam penegakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)

    Kondisi ini mulai mengalami perubahan dengan munculnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan. Kasus ini menjadi landmark decision yang menunjukkan bagaimana prinsip BJR mulai dipertimbangkan dalam konteks hukum pidana korporasi [15]. Dalam perkara tersebut, Karen didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam investasi Pertamina pada proyek liquefied natural gas (LNG) di luar negeri, yang kemudian berujung pada kerugian keuangan negara. Namun, Mahkamah Agung dalam putusannya membatalkan vonis pidana sebelumnya dan menyatakan terdakwa bebas, dengan pertimbangan bahwa keputusan investasi tersebut merupakan kebijakan bisnis yang diambil secara kolektif, berdasarkan kajian teknis, dan tanpa adanya itikad buruk [16]. Putusan 121 K/Pid.Sus/2020 menjadi penting karena menggeser orientasi penilaian hakim dari hasil ke proses.

    Simpulan

    Secara konseptual, BJR di Amerika Serikat telah berevolusi dari doktrin yurisprudensial menuju norma hukum yang bersifat kodifikatif dan evaluatif. Berawal dari Percy v. Millaudon (1829) yang menegaskan abstention doctrine, prinsip ini berkembang menjadi standard of review melalui perkara Aronson v. Lewis (1984) dan Smith v. Van Gorkom (1985), hingga akhirnya dikodifikasi dalam Model Business Corporation Act (MBCA) 2016 dan dirumuskan oleh The American Law Institute (ALI). BJR di Amerika Serikat berfungsi sebagai perlindungan hukum bagi direksi yang mengambil keputusan dengan dasar informasi yang memadai, bebas dari konflik kepentingan, dan beritikad baik, sekaligus sebagai mekanisme akuntabilitas terhadap pelaksanaan fiduciary duty.

    Sementara itu, BJR di Kanada diatur dalam Canada Business Corporations Act (CBCA) 2019 Pasal 122(1)(a) dan 122(1)(b), yang menjadi dasar bagi penerapan duty of loyalty dan duty of care. Melalui perkara Peoples Department Stores Inc. (Trustee of) v. Wise (2004) dan Maple Leaf Foods Inc. v. Schneider Corp, Mahkamah Agung Kanada menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh melakukan second guess atas keputusan bisnis yang telah diambil secara rasional, jujur, dan berdasarkan informasi yang cukup. Dengan demikian, BJR di Kanada menekankan prinsip qualified abstention, yaitu penghormatan terhadap diskresi bisnis direksi dengan tetap menjaga standar kewajaran dalam proses pengambilan keputusan.

    Berbeda dengan kedua negara tersebut, BJR di Indonesia bersifat kodifikatif dan diatur dalam Pasal 97 ayat (5) serta Pasal 104 ayat (4) UUPT, serta diperkuat melalui Peraturan OJK No. 33/POJK.04/2014. Secara normatif, ketentuan ini memberikan perlindungan kepada direksi yang bertindak dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tanpa benturan kepentingan. Namun, penerapannya dalam praktik peradilan masih terbatas dan belum memiliki standar evaluatif yang jelas. Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 dalam perkara mantan Direktur Utama Pertamina menandai awal pengakuan yudisial terhadap BJR di Indonesia, dengan mengalihkan fokus penilaian dari hasil keputusan menuju proses pengambilannya.

References

E. Priyono, A. Surono, and Sadino, “Doktrin Business Judgment Rule dalam Memberikan Perlindungan Hukum kepada Direksi BUMN: Studi Kasus PT PLN,” Jurnal Hukum dan Kesejahteraan, vol. 2, 2022.

B. Nasution, Prinsip Good Corporate Governance pada Perseroan. Medan, Indonesia: USU Press, 2009.

M. H. Akram and N. P. Fanaro, “Implementasi Doktrin Business Judgement Rule di Indonesia,” Ganesha Law Review, vol. 1, no. 1, pp. 78–90, 2019.

G. P. Wardhana, “Business Judgement Rule sebagai Perlindungan atas Pertanggungjawaban Pribadi Direksi Perseroan,” Jurnal Riset Manajemen dan Bisnis, vol. 14, no. 1, pp. 60–70, 2019.

B. Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: RajaGrafindo Persada, 2003.

D. S. Wardani, “Perlindungan Direksi terhadap Keputusan Bisnis melalui Penerapan Prinsip Business Judgement Rules di Amerika Serikat, Jepang, dan Indonesia,” Dharmasisya: Jurnal Program Magister Hukum FHUI, vol. 2, no. 3, pp. 1141–1153, 2023.

Supreme Court of Delaware, “Aronson v. Lewis, 473 A.2d 805,” Delaware Supreme Court Reports, 1984.

Y. Y. W. Rissy, “Ketentuan dan Pelaksanaan Business Judgement Rule di Amerika, Australia, dan Indonesia,” Masalah-Masalah Hukum, vol. 49, no. 2, pp. 162–174, 2020.

Maple Leaf Foods Inc. v. Schneider Corp., 1998 CanLII 5121 (ON CA), Ontario Court of Appeal Reports, 1998.

Peoples Department Stores Inc. (Trustee of) v. Wise, Supreme Court of Canada, [2004] 3 S.C.R., 2004.

Y. Y. W. Rissy, “Business Judgement Rule: Ketentuan dan Pelaksanaannya oleh Pengadilan di Inggris, Kanada, dan Indonesia,” Mimbar Hukum, vol. 32, no. 2, pp. 284–300, 2020.

M. R. Gandaria, S. Suseno, and A. Suryamah, “Penerapan Doktrin Business Judgement Rule dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,” Jurnal Tana Mana, vol. 4, no. 1, pp. 273–285, 2023.

A. Kiemas, J. Matheus, and A. Gunadi, “Redefining Bankruptcy Law: Incorporating the Principle of Business Continuity for Fair Debt Resolution,” Rechtsidee, vol. 11, no. 2, pp. 1–18, Dec. 2023.

R. Panjaitan, M. Anggusti, and R. Nababan, “Penerapan Prinsip Business Judgment Rule terhadap Direksi yang Melakukan Kebijakan yang Merugikan Perusahaan,” Jurnal Hukum PATIK, vol. 10, no. 1, pp. 1–10, 2021.

N. A. Siltor, “Landmark Decision: Business Judgement Rule Kasus Direktur Utama Pertamina,” 2025.

S. N. Intihani, “Penerapan Doktrin Business Judgement Rule pada Tindak Pidana Korupsi Perkara Direktur PT Pertamina – Karen Agustiawan,” Jurnal Hukum Jurisdictie, vol. 5, no. 2, pp. 26–50, 2023.