Stanley Muljadi Art (1), Gunardi Lie (2)
General Background: The application of the Business Judgment Rule (BJR) in Indonesia plays a crucial role in protecting directors from liability for business decisions that result in losses, provided such decisions are made in good faith and for corporate interests. Specific Background: In corruption cases involving directors of State-Owned Enterprises (SOEs), Indonesian courts show inconsistency in applying BJR, particularly when cases intersect with lex specialis provisions of the Anti-Corruption Law. Knowledge Gap: Existing studies have not comprehensively examined how judicial disparities affect legal certainty, protection, and the substantive realization of justice in corruption adjudication. Aims: This study analyzes the implementation of BJR in corruption cases, assesses the impact of judicial disparities on legal objectives, and identifies appropriate BJR application within the national legal framework. Results: Findings show that BJR is applied inconsistently—some cases acknowledge it as a valid protective doctrine, while others disregard it when corruption elements are proven under lex specialis rules. Novelty: This research bridges doctrinal analysis and case-based judicial evaluation to demonstrate how BJR interacts with principles of justice, legal certainty, and public benefit in corruption enforcement. Implications: The study highlights the need for clearer judicial guidelines to ensure consistent application of BJR without undermining the fight against corruption, thereby strengthening preventive legal protection and substantive justice.
Courts apply the Business Judgment Rule inconsistently in corruption cases.
Lex specialis principles often override BJR protection when corruption elements are proven.
Clearer judicial standards are needed to ensure fairness and legal certainty.
Keywords: Business Judgment Rule, Corruption Law, Judicial Disparity, Soe Directors, Legal Certainty
Fakultas Hukum
Pendahuluan
Korupsi adalah perilaku yang dijalankan oleh seseorang melalui penyalahgunaan wewenang yang dimiliki untuk mencapai kepentingan pribadi berupa memperoleh keuntungan secara sepihak. Akibat dari tindakan ini meliputi kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara. Perilaku korupsi dapat berdampak pada kerusakan mental masyarakat dengan berkelanjutan apabila tidak segera dilakukan pencegahan [1]. Tindak pidana korupsi sangat diperhatikan dalam penegakan hukum negara Indonesia karena akibatnya menyangkut stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Doktrin business judgment rule menjadi tepat untuk hakim ketika mengambil keputusan pada perkara korupsi sebagai pertimbangan dalam pemenuhan aspek perlindungan hukum dengan memberikan hasil putusan yang lebih komprehensif.
Doktrin business judgment rule (BJR) diterapkan dalam praktik kemudian menunjukan terdapat perbedaan dalam sejumlah putusan pada perkara korupsi. Ditemukan adanya sejumlah kasus yang mempunyai keadaan hukum setara, dimana pada penerapan BJR dalam kesimpulan yang ada pada kasus korupsi ditemukan perbedaan dengan beberapa kasus mengakomodir doktrin BJR dan untuk sisanya tidak.
Kita akan memulai dari kasus yang menimpa Dahlan Iskan dimana ia dituduh melakukan korupsi berupa penjualan aset yang dimiliki Pemerintah Daerah Jawa Timur saat menjabat sebagai Direktur Utama PT. P Jawa Timur. PT. P Jawa Timur kala itu dikenal sebagai suatu perusahaan ternama di wilayah Jawa Timur. Jaksa penuntut umum menyatakan kerugian sebesar Rp 11.071.112.899 dialami oleh negara imbas dari ketidakpatuhan dalam proses penjualan aset tersebut. Pada tingkat kasasi, hakim menilai untuk keputusan bisnis yang dilaksanakan Dahlan Iskan, sudah memperhatikan prinsip-prinsip Business judgment rule sehingga putusan bebas dari semua dakwaan diterima oleh Dahlan Iskan [2].
Permasalahan kedua yakni terdapat penanaman modal di Australia dimana Karen Agustiawan menjadi seseorang yang terjerat yang sebelumnya ia merupakan Direktur Utama Perseroan Terbatas. Tindak pidana korupsi didakwakan kepada Karen Agustiawan dengan adanya kerugian negara dari keputusan Karen tersebut, jumlah kerugiannya menyentuh Rp. 568.000.000.000. Karen Agustiawan diputuskan tidak bersalah oleh Pengadilan sebab perbuatan Karen dimaknai bahwa dalam bisnis terdapat yang namanya risiko dan tidaklah merupakan pelanggaran pidana sehingga ia dibebaskan dari seluruh tuntutan [3].
Permasalahan ketiga yakni pada kasus PT. PL yang menyasar Direktur Utamanya bernama Sofyan Basir, ia didakwa membantu melakukan suap sehubungan dengan proyek konstruksi PLTU Riau 1. Pemberian dukungan kepada mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar bernama Idrus Marham, lalu Eni Saragih dan Johannes Kotjo seorang pengusaha Blackgold Natural Resources menjadi hal yang didakwakan terhadap Sofyan Basir. Hal tersebut menjadi dugaan sebagaimana terbuka dalam hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Eni Saragih saat menjabat di DPR berposisi sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR. Idrus Marham dan Eni Saragih sama-sama menerima suap senilai total Rp. 4.700.000.000 yang Johannes Kotjo berikan. Di sisi lainnya, Mahkamah Agung memutus bahwa pertanggungjawaban atas perbuatannya tidak dapat dikenakan kepada Sofyan Basir dikarenakan semua pilihan yang diputuskan sudah sesuai dengan kewenangan penuh Direksi PT. PL dan selaras dengan pemenuhan prosedur hukum. Perlindungan dari hukum dapat ditunjukan terhadap direksi dalam hal pidana korupsi atas aksi korporasi yang menimbulkan kerugian. Pilihan yang dibuat telah mengikuti petunjuk yang dirumuskan dalam BJR [4].
Untuk sementara pertimbangan terkait dengan doktrin BJR memang termuat dalam beberapa putusan yang dijelaskan diatas, terdapat beberapa putusan lainnya yang tidak, walaupun kemiripan khususnya dimiliki oleh kasus-kasus tersebut dari aturan-aturan yang melatarbelakangi kegiatan bisnis. Dengan demikian menggambarkan terhadap doktrin BJR dipakai dengan tidak konsisten. Seperti yang akan dibahas nanti untuk sebagai contoh, kasus Hotasi Nababan dan Kasus Ronny Wahyudi adalah dua contoh bahwa doktrin BJR tidak dianut dalam putusan hakim. Kasus yang menjerat mantan Direktur Utama PT M bernama Hotasi Nababan berawal dari niat untuk menyewa satu unit Boeing 737-500 dan tiga unit Boeing 737-400 yang bertujuan guna menambah armada pada maskapai tersebut. Jaminan keamanan yang dapat dikembalikan (Refundable Security Deposit/RSD) senilai USD 1 Juta menjadi syarat melalui Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), tetapi kontrak tersebut tidak dilanjut sampai dengan selesai. Hotasi Nababan harus melaksanakan hukuman penjara selama empat tahun dan membayar denda Rp. 200.000.000 dalam gugatan yang diajukan terhadap dirinya [5].
Kasus Ronny Wahyudi menjadi kasus kedua yang tidak menerapkan doktrin BJR. Pada kasus ini mantan direktur utama dan direktur PT K terlibat. Ronny Wahyudi dengan berbagai dugaan korupsi dinyatakan bersalah pada waktu yang bersamaan. Dalam kerugian keuangan perusahaan perannya disebabkan oleh keterlibatan pada pengelolaan dana investasi produk discretionary fund di PT OKCM, Ronny Wahyudi dikenai denda Rp. 500.000.000 dan terkena hukuman penjara selama tujuh tahun. Pada tahun 2008 PT. K mengalami kerugian Rp. 100.000.000.000 imbas dari investasi yang sebagian besar dilakukan untuk menaikkan pemasukan perusahaan [5].
Rumusan masalah pada peenlitian ini terdiri dari dua pertanyaan yaitu bagaimana penerapan doktrin Business judgment rule dalam pengadilan pada kasus korupsi yang melibatkan direksi perusahaan milik pemerintah? dan Bagaimana dampak perbedaan putusan hakim pada kasus korupsi sehubungan dengan penerapan doktrin Business judgment rule?
Penelitian ini menitikberatkan dalam kajian terkait bagaimana penerapan doktrin BJR dalam praktik pengadilan, pengaruh perbedaan putusan hakim atas diterapkannya doktrin BJR terhadap perlindungan hukum dari sisi preventif, serta menawarkan saran untuk perbaikan sistem peradilan dalam penerapan doktrin BJR agar mencapai perlindungan dari kegunaan BJR secara lebih baik. Beranjak dari hal tersebut, maka penulis mempunyai maksud untuk menganalisa penerapan doktrin BJR dalam praktik pengadilan melalui hasil putusan hakim terkait kasus tindak pidana korupsi, dampak dari perbedaan putusan hakim terkait perkara tindak pidana korupsi dalam penerapan BJR yang direlevansikan dengan perlindungan hukum preventif dan penerapan doktrin BJR dalam kasus tindak pidana korupsi secara semestinya.
Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, penelitian yang meneliti hukum dalam beragam keadaan dengan norma, doktrin, teori, dan aturan serta literatur untuk memberikan penyelesaian bagi pertanyaan hukum yang sedang ditelusuri [6]. Spesifikasi penelitian yakni deskriptif analitis, dimana penelitian ini tidak sebatas menyampaikan penjelasan komprehensif tentang peristiwa yang diteliti, namun juga melakukan analisis data yang mendalam untuk mencari pola dan hubungan yang telah ada sebelumnya. Pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus terhadap putusan pengadilan untuk mengamati ketidakseragaman pola dan pengaruhnya terhadap tujuan hukum terkait kemanfaatan dalam konteks perlindungan preventif. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan mengkaji regulasi, doktrin, dan putusan pengadilan untuk menilai bagaimana doktrin BJR telah digunakan serta mengusulkan perbaikan pada sistem hukum.
Penelitian ini berfokus pada data sekunder yang dikumpulkan dari tinjauan pustaka. Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier semuanya tercakup dalam pengumpulan data. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, dan Undang Undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 merupakan beberapa bahan hukum primer. Terdapat pula sejumlah putusan, antara lain Putusan Mahkamah Agung Nomor 3029 K/Pid.Sus/2018, Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1111 K/Pid.Sus/2020, 417 K/Pid.Sus, dan 1401 K/Pid.Sus/2014 [7]. Bahan hukum sekunder yang dipakai adalah buku, jurnal, artikel ilmiah, dan pendapat para ahli juga digunakan untuk memberikan konteks teoritis dan memperkuat analisis terkait objek penelitian [8]. Bahan hukum tersier yang digunakan yaitu kamus dan ensiklopedia hukum, digunakan sebagai sumber pendukung untuk memperjelas terminologi atau konsep hukum yang dibahas.
Hasil dan Pembahasan
Aturan secara khusus yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan ketentuan dari kasus tindak pidana korupsi. Penerapan BJR pada kasus tindak pidana korupsi sering bersinggungan dengan frasa “Kerugian Keuangan Negara” dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. BJR dapat diabaikan apabila tindak pidana korupsinya terbukti berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali.
Business judgment ruleadalah sebuah doktrin yang dapat memberikan perlindungan terhadap direksi perusahaan dengan adanya pernyataan bahwasannya untuk direksi jika terjadi kerugian yang berupa konsekuensi dari persaingan bisnis yang diakibatkan oleh tindakan direktur dengan penuh kehati-hatian, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Menurut Black’s Law Dictionary BJR mendasarkan pembuatan penilaian dan arahan yang mengindikasikan penempatan kepentingan terbaik perusahaan diatas preferensi pribadi, sepanjang keputusan dilandasi dengan bukti dan sesuai dengan tujuan perusahaan. Berhasilnya implementasi doktrin BJR ditentukan oleh kriteria yang harus dipenuhi yaitu adanya tujuan yang sah, kehati-hatian, itikad baik, berperilaku dengan wajar demi kepentingan perusahaan yang terbaik 1.
Dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas termuat doktrin BJR yang rumusannya terdiri atas:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Pengelolaan telah dilaksanakan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perusahaan serta sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan;
c. Tidak memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dalam tindakan manajemen yang menimbulkan kerugian; dan
d. Telah mengambil langkah-langkah untuk menghentikan terjadinya kerugian;
Dalam Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas mengandung empat komponen diatas, yang kemudian akan dijabarkan lebih lanjut dan dijelaskan melalui analisis dengan fakta hukum yang terjadi, sehingga analisis penerapan doktrin BJR pada perkara korupsi ditelaah dengan pertimbangannya.
1 . Kasus Dahlan Iskan
a ) Kesalahan atau kelalaiannya tidak menyebabkan kerugian.
Kerugian negara sebesar Rp. 11.071.112.899,00 ditimbulkan oleh penjualan aset tanpa persetujuan DPRD Jawa Timur. Keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan kerugian yang timbul, alhasil hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak merugikan keuangan negara dan dianggap memberikan keuntungan. Melihat syarat kerugian tidak terpenuhi, dengan tegas fakta hukum ini menunjukkan Dahlan Iskan tidak melakukan kesalahan atau menggambarkan kecerobohan yang mengakibatkan terjadinya kerugian.
b ) Pengelolaan telah dilaksanakan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perusahaan serta sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan.
Dahlan Iskan selaku Direktur Utama dan Direktur PT P Jawa Timur, bertindak sesuai keinginannya guna membebaskan dan mengambil alih aset tersebut. Keputusan RUPS yang dibuat oleh otoritas perusahaan menjadi dasar dilakukannya tindakan tersebut. Gubernur Jawa Timur menerima surat untuk menindaklanjuti permintaan klarifikasi DPRD Jawa Timur, yang dimana mengatakan untuk pedoman keputusan mengacu pada regulasi Undang-Undang Perseroan Terbatas. Maka, aset terkait kemudian dibebaskan. Imam Utomo yang merupakan Gubernur Jawa Timur terbukti dengan surat Nomor 539/10546/022/2002 membolehkan likuidasi aset non produktif guna membiayai pendirian PT P Jawa Timur, sebuah perusahaan yang berdiri karena adanya penggabungan beberapa perusahaan daerah. Dahlan Iskan bersikap dengan kehati-hatian dengan mempertimbangkan berbagai hal secara itikad baik bertujuan demi kepentingan dan kemajuan perusahaan.
c ) Tidak memiliki kepentingan ataupun pengaruh dalam tindakan manajemen yang secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan kerugian
Dari kegiatan bisnis yang melibatkan aset tersebut terhadap perolehan keuntungan yang didapat Dahlan Iskan tidak terdapat hal yang menunjukkan atau mengarah pada bukti terkait cara apapun baik secara langsung maupun tidak langsung yang berdampak negatif. Hal ini berguna sebagai bukti bahwa penjualan aset sudah diawasi sebagaimana seharusnya dan uang hasil penjualan telah diberikan pada rekening pada bank perusahaan. Keterlibatan terdakwa tidak dapat dibuktikan ketika menentukan harga penjualan aset di bawah NJOP, dimana pada tanggal 24 Oktober 2003 atas nama Direksi PT Panca Wira Usaha menyiapkan laporan akuntansi independen yang menjadi sebuah dokumen bukti.
d ) Mengambil tindakan menghindari timbulnya kerugian atau menghentikannya terjadi di masa depan.
Seluruh langkah yang dibutuhkan untuk mencegah dan mengurangi kerusakan yang dialami PT P Jawa Timur telah dilaksanakan oleh Dahlan Iskan. Langkah yang dilaksanakan, salah satunya adalah mencari aset yang tidak mendatangkan keuntungan dan kemudian menjual aset tersebut dengan persetujuan pemegang saham. Lalu, uang hasil penjualan tersebut dipastikan masuk menuju ke kas perusahan. Kegiatan Dahlan Iskan terkualifikasi berdasarkan keadaan tersebut untuk dimaknai sebagai kegiatan yang memerlukan doktrin BJR dalam rangka perlindungan hukum.
a ) Kerugian yang diderita bukan akibat kesalahan atau kelalaian
Berikut adalah keadaan hukum yang mendasari adanya gugatan Karen Agustiawan sebagai Presiden Direktur PT Pn yakni PT Pn sudah melakukan tindakan yang tidak diinginkan oleh Karen Agustiawan kemudian menimbulkan kerugian atas akuisisi Participating Interest di Blok BMG:
1) Dengan cara yang dapat dimungkinkan melalui perjanjian jual beli, risiko telah tertangani dengan temuan uji tuntas, termasuk uji tuntas aspek hukum dan keuangan.
2) Telah dilaksanakan uji kelayakan pada Blok BMG yang merupakan sasaran investasi, dimana hasilnya memberikan adanya potensi cadangan minyak dan gas di Blok BMG layak untuk dianalisa lebih jauh.
b ) Pelaksanaan dengan itikad baik dan hati-hati telah dilakukan dalam pengelolaan untuk kepentingan sesuai dengan maksud dan tujuan
Dilakukannya uji tuntas dengan komprehensif serta menandatangani perjanjian kerahasiaan dinyatakan melalui Putusan Nomor 121 K/ Pid.Sus/2020 sebagai tindakan bertanggung jawab pada Karen Agustiawan. Saran-saran yang diberikan dilaksanakan oleh Karen dengan baik dan laporan uji tuntas final sudah dikeluarkan pada 23 April 2009. Pelaksanaan tugasnya dalam cakupan kewenangannya dilaksanakan Karen Agustiawan dengan penugasan kepada Dewan Komisaris agar menyetujui dan mengawasi transaksi terkait Blok BMG sebagaimana berdasar pada anggaran dasar perusahaan dan UU Perseroan Terbatas. Keputusan bisnis tersebut sudah selaras dengan RKAP 2009 yang ditujukan terhadap PT Pn dan sudah disahkan oleh Kementerian BUMN. Investasi di blok minyak dan gas dianggarkan lewat RKAP 2009 sejumlah USD 161 juta untuk pengeluaran kegiatan.
c ) Tidak memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan pengelolaan yang mengakibatkan kerugian
Majelis Hakim tingkat kasasi mengadili terdakwa Karen Agustiawan tanpa menyatakan lebih lanjut mengapa tidak ditemukan adanya konflik kepentingan dalam Putusan Nomor 121 K/Pid.Sus/2020. Dari putusan tingkat pertama yang merupakan pertimbangan judex facti Karen Agustiawan tidak terbukti mendapatkan keuntungan secara finansial. Ketika Karen mengakuisisi Blok BMG, ia tidak bertindak untuk kepentingan pribadi, sebaliknya kepentingan perusahaan justru menjadi landasan bertindak Karen yang saat itu memimpin perusahaan.
d ) Sudah mengambil langkah-langkah guna menghentikan terjadi atau berlanjutnya kerugian
Untuk menganalisa proses akuisisi Participating Interest pada Blok BMG Karen Agustiawan sudah membentuk tim kerja khusus untuk melihat dari berbagai aspek, seperti aspek hukum, teknologi, dan keuangan. Dengan begitu, menunjukkan bahwa penelitian yang mendalam sebelum memutuskan secara komersial telah dilaksanakan. Berangkat dari hasil analisa tersebut, Karen dapat melanjutkan proposal untuk membeli Participating Interest pada Blok BMG. Karena Blok BMG tidak ekonomis, ROC Ltd menghentikan produksi pada Agustus tahun 2010. PT Pn menolak keputusan dihentikannya produksi sebab meyakini bahwa Blok BMG masih bisa mendatangkan keuntungan dari operasionalnya, yang oleh Karen ingin diupayakan secara maksimal. PT Pn alhasil tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti keputusan mayoritas yang meminta produksi agar dihentikan karena hanya mempunyai 10 persen saham voting. Sesuai dengan rumusan Pasal 97 ayat (5) huruf d UU Perseroan Terbatas hal tersebut menunjukkan bahwa Karen sudah melaksanakan tindakan untuk menekan kemungkinan timbulnya kerugian akibat keputusan bisnisnya. Lebih lagi, serangkaian tindakan yang dilakukan itu merupakan sesuatu yang memenuhi empat kriteria perlindungan sesuai doktrin BJR.
3. Kasus Sofyan Basir
a ) Kesalahan atau kelalaiannya tidak mennimbulkan keurugian
Dalam korupsi tidak semua mencantumkan unsur kerugian keuangan negara contohnya dalam tindakan suap yang tidak merugikan keuangan negara, hal ini dinyatakan oleh mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M. Hamzah 2. Pada proyek pembangunan PLTU Riau I, dakwaan terkait memberi bantuan dalam transaksi suap yang tidak merugikan keuangan negara dialami oleh Sofyan Basir, kemudian karena tidak terdapat unsur kerugian yang harus dibuktikan dalam kasus tersebut maka unsur “kerugian yang timbul bukan dari akibat kesalahan atau kelalaiannya” sudah terpenuhi.
b ) Sudah melakukan pengurusan perseroan dengan kehati-hatian, itikad baik demi kepentingan perseroan, dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
Direktur Utama PT PL mempercepat proses penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Pembelian Tenaga Listrik Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) bersama PT PJBI, Blackgold Natural Resources Limited (BNR Ltd), serta China Huadian Engineering Company Limited (CHEC Ltd). Berdasarkan pengumuman resmi, tindakan tersebut menunjukkan adanya komitmen dari SB.Langkah ini tidak dilakukan atas permintaan pribadi SB maupun Eni Maulani Saragih, melainkan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah terkait pembelian listrik nasional. Mengingat tidak terdapat peraturan yang melarang pelaksanaan proyek PLTU MT Riau-1, proyek tersebut kemudian ditetapkan sebagai prioritas nasional.
Perjanjian jual beli listrik (PPA) yang ditandatangani oleh SB pada 29 September 2017 untuk sepuluh proyek PLTU MT, termasuk PLTU MT Riau-1, telah dikomunikasikan dan mendapat persetujuan dari seluruh jajaran Direksi PT PL sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016. Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, seluruh unsur pelaksanaan pengurusan telah dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian, serta berorientasi pada kepentingan dan tujuan Perseroan.
c ) Tidak memiliki dampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap keputusan manajemen yang mengakibatkan kerugian
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, SB tidak memiliki pengetahuan maupun keterlibatan dalam pemberian suap yang berkaitan dengan proyek PLTU Mulut Tambang (MT) Riau-1. Sementara itu, Eni Maulani Saragih terbukti menerima sejumlah uang secara bertahap dari Johanes Budisutrisno atau bentuk imbalan lainnya yang berhubungan dengan penandatanganan kerja sama Proyek Independent Power Producer (IPP). Selain itu, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa nama SB tidak tercantum dalam daftar pembagian dana sebesar USD 25 juta milik JBK, serta tidak ditemukan adanya aliran dana yang diteruskan kepada SB. Dengan demikian, berdasarkan alat bukti yang dipaparkan di persidangan, ketentuan mengenai “tidak adanya benturan kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atas tindakan pengurusan yang dapat menimbulkan kerugian” telah dinyatakan terpenuhi.
d ) Sudah mengambil tindakan-tindakan guna menghentikan terjadi atau berlanjutnya kerugian
Pernyataan terkait unsur “kerugian yang timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya” menegaskan bahwa aspek kerugian tidak menjadi elemen utama dalam perkara ini, mengingat kasus tersebut berkaitan dengan tindak pidana suap. Adapun unsur “telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian” dianggap telah terpenuhi, sebab elemen kerugian itu sendiri tidak terbukti ada. Berdasarkan fakta hukum yang telah dipaparkan sebelumnya, tindakan yang dilakukan oleh Sofyan Basir telah memenuhi seluruh ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas, sehingga yang bersangkutan berhak memperoleh perlindungan berdasarkan doktrin Business judgment rule (BJR).
4. Kasus Hotasi Nababan
a ) Kerugian yang ada bukan dari kesalahan maupun kelalaiannya
Hotasi Nababan, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT M, dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali (PK) terkait kasus penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 yang tidak tercantum dalam RKAP 2006. Untuk keperluan optimalisasi arus kas, fakta yang tercantum dalam poin 4.4.1.4 RKAP memberikan fleksibilitas dalam menentukan jenis dan jumlah pesawat. Dalam hal Thirdstone Aircraft Leasing Group gagal memenuhi komitmennya, HN menambahkan ketentuan pengembalian uang jaminan di LASOT dan, dengan bantuan pengacara asal Amerika Serikat, Lawrence Siburian, memastikan bahwa Thirdstone Aircraft Leasing Group adalah perusahaan yang terdaftar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, fakta hukum menunjukkan bahwa keputusan bisnis yang diambil Hotasi Nababan tidak didasarkan pada kesengajaan atau kelalaian.
b ) Sudah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan teliti untuk kepentingan serta maksud dan tujuan perusahaan
Thirdstone Aircraft Leasing Group, sebagai pemberi pinjaman, tetap bersikeras agar uang jaminan dibayarkan secara tunai, meskipun Hotasi Nababan telah berupaya mencegah metode tersebut. Untuk memenuhi permintaan Thirdstone Aircraft Leasing Group, Hotasi Nababan mengusulkan agar dana disalurkan melalui pihak ketiga, dengan firma hukum Hume & Associates dipilih untuk menjalankan tugas ini. Langkah tersebut menunjukkan bahwa Hotasi Nababan bertindak dengan kehati-hatian dan itikad baik selama pelaksanaan perjanjian. Kewaspadaan dalam pengambilan keputusan juga tercermin dari keterlibatan seorang pengacara Indonesia yang memiliki kewarganegaraan Amerika untuk memverifikasi legalitas firma hukum yang akan bertindak sebagai pihak ketiga dalam penyimpanan uang jaminan. Aspek “sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan” dapat dilihat dari poin 4.4.1.4 RKAP PT MNA tahun 2006, yang menekankan bahwa perusahaan bertujuan memilih jenis pesawat yang dapat mengoptimalkan arus kas positif, dengan mempertimbangkan ketersediaan pesawat dan fluktuasi harga sewa yang dinamis di industri penerbangan.
c ) Tidak memiliki pengaruh pada keputusan manajemen yang secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian
Bahwa Hotasi Nababan pada faktanya mengambil tindakan hukum, baik secara perdata maupun pidana, terhadap Thirdstone Aircraft Leasing Group terkait penipuan karena tidak dikembalikannya security deposit yang telah disepakati, dan berhasil memenangkan perkara tersebut, menunjukkan bahwa tidak terdapat konflik kepentingan. Tidak ada benturan kepentingan antara Hotasi Nababan, selaku Direktur Utama PT M dengan mitra bisnisnya, Thirdstone Aircraft Leasing Group, mengingat Hotasi Nababan bertindak sebagai pihak yang menjadi korban dari penipuan dan wanprestasi yang dilakukan Thirdstone Aircraft Leasing Group.
d ) Langkah-langkah sudah diambil untuk menghentikan terjadi atau berlanjutnya kerugian
Dalam upaya memperoleh kembali uang jaminan, Thirdstone Aircraft Leasing Group dituduh melakukan penipuan dan wanprestasi. Menanggapi hal tersebut, Hotasi Nababan segera merespons panggilan pengadilan dan mengajukan gugatan perdata di US District Court for the District of Columbia, dibantu oleh Jaksa Pengacara Negara, terhadap Thirdstone Aircraft Leasing Group dan Alan Messner. Hotasi Nababan berhasil memenangkan perkara tersebut, sehingga Thirdstone Aircraft Leasing Group diwajibkan mengembalikan uang jaminan beserta bunganya kepada PT M.
Tindakan Hotasi Nababan menunjukkan langkah preventif untuk mencegah kerugian lebih lanjut dan mengembalikan kondisi sebelum terjadinya krisis dengan menuntut Thirdstone Aircraft Leasing Group atas pelanggaran kontrak serta membuktikan keterlibatan Thirdstone Aircraft Leasing Group dalam penipuan. PT M juga berhak menerima penggantian atas kerugian yang timbul. Secara prinsip, tindakan Hotasi Nababan memenuhi syarat perlindungan berdasarkan Business judgment rule (BJR). Namun, dalam penerapan hukum, asas lex specialis derogat legi generali tetap dijadikan pedoman, sehingga perlindungan BJR dapat dikesampingkan oleh peraturan khusus, yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hakim memutuskan Hotasi Nababan bersalah karena unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, telah terpenuhi. Kasus ini terkait sewa menyewa senilai USD 1 juta yang tidak dilakukan melalui mekanisme letter of credit atau escrow account, melainkan secara tunai ke rekening Hume & Associates PC. Kasus Hotasi Nababan menunjukkan bahwa meskipun unsur BJR telah terpenuhi secara substansial, penilaian hakim mengenai tingkat kehati-hatian dan potensi kerugian negara tetap menjadi pertimbangan utama dalam putusan hukum.
5. Kasus Ronny Wahyudi
a ) Adanya kerugian timbul bukan dari akibat kesalahan maupun kelalaiannya
Selaku Direktur Utama dan Direktur PT K, Ronny Wahyudi ditetapkan sebagai terdakwa dalam perkara dugaan persekongkolan antara manajer investasi dan reksa dana. Dalam kapasitasnya tersebut, Ronny Wahyudi pertama kali berkomunikasi dengan Dewan Komisaris PT K melalui surat No. KU.002/II/1/KA-2008, tertanggal 22 Februari 2008. Dengan agunan berupa Surat Utang Negara (SUN), Ronny Wahyudi menjanjikan kepada manajer investasi keterlibatan PT K dalam pengelolaan sebagian dana perusahaan yang bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dengan tingkat pengembalian minimal 12% per tahun.
Kelalaian Ronny Wahyudi untuk meminta jaminan sebelumnya dinilai melanggar Perjanjian Pengelolaan Investasi antara PT O dan PT K. Berdasarkan Pasal 7 angka 2 perjanjian tersebut, PT O berkewajiban memberikan jaminan kepada PT K melalui portofolio investasi sebesar 120% dari total dana yang diinvestasikan, atau sekitar Rp120.000.000.000 (seratus dua puluh miliar rupiah). Pada tanggal 24 Juni 2008, perjanjian kerja sama investasi tersebut ditandatangani tanpa adanya jaminan berupa obligasi pemerintah atau Surat Utang Negara (SUN), yang disebabkan oleh kelalaian Ronny Wahyudi dalam menjamin keberlangsungan investasi perusahaan. Untuk memastikan jaminan yang telah disepakati dapat digunakan sebagai perlindungan terhadap kerugian, Ronny Wahyudi seharusnya melakukan verifikasi atas keberadaan jaminan tersebut.
b ) Melakukan pengurusan dengan hati-hati dan itikad baik sesuai maksud dan tujuan perusahaan
Berlandaskan pada fakta yang tersedia, kegiatan usaha yang dijalankan Ronny Wahyudi, khususnya terkait cara manajer investasi mengelola dana perusahaan, sepenuhnya bertentangan dengan Pasal 3 Anggaran Dasar PT K Nomor 2, yang ditetapkan pada 1 Juni 1999 dan berlaku untuk tahun anggaran 2008. Selain itu, di bawah kepemimpinan Ronny Wahyudi, tujuan dan sasaran perusahaan tidak tercapai sebagaimana diharapkan. Tindakan Ronny Wahyudi yang menunjukkan sikap tidak menghormati kuasa hukum Saksi Mulyana, Saksi Bambang Sulistyo, dan Saksi Achmad Kuntjoro selaku Direktur Keuangan PT K juga mencerminkan kurangnya integritas. Meskipun Ronny Wahyudi menulis surat kepada Dewan Komisaris PT K untuk memperoleh izin bekerja sama dengan manajer investasi dalam mengelola sebagian aset perusahaan, perilaku tersebut tetap melanggar ketentuan Pasal 97 ayat (5) huruf b UU Perseroan Terbatas.
c ) Tidak memiliki pengaruh pada keputusan manajemen yang berakibat kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung
Ronny Wahyudi dinyatakan bersalah dan terbukti secara meyakinkan terlibat dalam tindak pidana korupsi selama menjabat sebagai Direktur Utama PT K. Mengingat bahwa PT Omengeluarkan cek perjalanan untuk sejumlah karyawan PT K, kasus ini menimbulkan potensi adanya konflik kepentingan. Meskipun tindakannya tidak memberikan keuntungan langsung bagi dirinya sendiri, perbuatannya tetap memberikan manfaat bagi pihak lain. Dengan demikian, konflik kepentingan secara tidak langsung tetap mungkin terjadi, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik kepentingan langsung.
Ronny Wahyudi, selaku Direktur Utama PT K, meminta Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara untuk mengubah status dana investasi yang telah dialihkan ke PT O sebagai manajer investasi menjadi utang piutang. Dengan langkah ini, PT K berposisi sebagai kreditur yang berhak menagih kembali dana investasi yang tidak dikembalikan oleh PT O. Sesuai ketentuan perjanjian, dana tersebut wajib dikembalikan.
Sebagai Direktur Utama PT K tindakan Ronny Wahyudi menunjukkan upaya untuk mencegah kerugian lebih lanjut, karena ia berusaha menagih kembali dana investasi yang menjadi hak perusahaan serta memperoleh pendapatan dari PT O sebagai manajer investasi. Berdasarkan Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas, doktrin Business judgment rule (BJR) hanya melindungi direksi apabila semua unsur dari huruf a hingga huruf d terpenuhi secara keseluruhan 3. Dari fakta yang ada, terlihat bahwa tindakan RW tidak memenuhi syarat kumulatif BJR, sehingga perlindungan tersebut tidak berlaku bagi RW. Selain itu, hakim menilai bahwa perbuatan RW telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ketentuan ini merupakan aturan khusus (lex specialis) yang dapat mengesampingkan perlindungan berdasarkan BJR.
Kasus-kasus yang telah dibahas menunjukkan adanya perbedaan dalam penerapan doktrin Business judgment rule (BJR) oleh hakim di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tindak pidana korupsi selalu melibatkan unsur kerugian negara, sehingga hakim wajib mempertimbangkan ketentuan khusus dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali. Doktrin BJR tidak tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga perlindungan tersebut dapat diabaikan. Selain itu, variasi putusan di berbagai tingkat peradilan juga terlihat pada beberapa kasus yang telah dibahas sebelumnya.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dalam konteks pelaksanaan fungsi peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini pun ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim dalam ketentuan tersebut dinyatakan bukan hanya sebatas corong undang-undang yang memutus perkara dengan hanya memandang aturan tertulis saja.
Sifat tidak mutlak dan tentunya mempunyai batasan terdapat pada kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dibatasinya hal ini meliputi tanggung jawab dari beragam aspek. Seperti misalnya, tanggung jawab terhadap ketentuan hukum, kepatuhan sumpah jabatan, kewajiban moral dan agama dan kepatuhan pada kode etik kehormatan hakim. Di sisi lain, atas keputusan-keputusan yang dipilih memuat akuntabilitas, dan penggunaan hati nurani sebagai dasar menjalankan keadilan dengan kejujuran adalah menjadi limitasi penting untuk menjaga independensi peradilan 4. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak bersifat mutlak karena setiap keputusan hakim wajib disertai dengan alasan dan dasar hukum yang jelas, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab atas kemerdekaan hakim, sehingga keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan keyakinan pribadi, melainkan juga dapat diuji secara objektif dan berdasarkan hukum.
Tiga pilar utama dalam setiap keputusan hakim harus tercermin dalam sistem hukum yang ideal harus, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketiga pilar ini saling melengkapi dan harus disatukan secara harmonis agar perlindungan dapat tercapai secara optimal. Menurut Sudikno Mertokusumo, ketiga unsur tersebut perlu diberi bobot yang seimbang dalam penerapannya. Hal ini berbeda dengan teori prioritas baku dari Gustav Radbruch yang menekankan bahwa nilai keadilan harus didahulukan dibandingkan kepastian hukum dan kemanfaatan, dengan penempatan nilai kepastian hukum di bawah nilai kemanfaatan dalam proses penegakan hukum 5.
Perbedaan putusan dalam kasus korupsi terkait penerapan doktrin Business judgment rule (BJR), sebagaimana dibahas sebelumnya, menunjukkan ketidaksesuaian dalam sistem peradilan di Indonesia. Namun, perbedaan tersebut tidak serta-merta berarti tujuan perlindungan secara hukum belum terlaksana, karena setiap keputusan hakim didasarkan pada dasar hukum yang kuat. Pertama, dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman diatur asas kebebasan hakim dalam mengambil keputusan serta asas penggunaan hati nurani. Selain itu, tidak diterapkannya doktrin BJR dalam beberapa putusan korupsi juga didukung oleh aturan hukum yang berlaku, dimana hakim mengacu pada asas lex specialis derogat legi generali. Dengan kata lain, hakim mengesampingkan doktrin BJR karena ada ketentuan khusus dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh sebab itu, perbedaan ini tidak bisa dianggap sebagai kegagalan dalam merealisasikan tujuan perlindungan hukum.Dari perspektif kepastian hukum yang menghendaki agar peraturan perundang-undangan dibuat secara tertulis guna menjamin kejelasan hukum positif yang berlaku, konsep ini memiliki urgensi peran yang perlu diperhatikan 6. Pada kasus-kasus tindak pidana korupsi yang telah dibahas, asas kepastian hukum mengharuskan adanya penilaian apakah fakta-fakta hukum memenuhi unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan. Analisis menunjukkan bahwa hakim telah menilai kasus tersebut berdasarkan asas kepastian hukum dengan merujuk pada aturan hukum yang berlaku secara spesifik. Tidak diterapkannya doktrin Business judgment rule(BJR) dalam beberapa putusan korupsi juga didasarkan pada asas lex specialis derogat legi generali, yang berarti hakim mengesampingkan doktrin BJR karena adanya peraturan khusus, yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, tidak tepat jika dikatakan kepastian hukum belum direalisasikan. Selain itu, keputusan hakim mempunyai dasar yuridis yang kuat, termasuk asas kebebasan hakim dalam memutus perkara dan asas penggunaan hati nurani sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Hal inilah yang menjelaskan munculnya perbedaan pendapat antar hakim dalam kasus-kasus yang secara kasat mata tampak serupa, namun memiliki kompleksitas yang berbeda.
Asas keadilan menjamin bahwa hak diberikan kepada setiap individu sesuai dengan kapasitasnya secara adil dan proporsional. Asas ini juga dimaknai sebagai pemberian hak secara setara berdasarkan prinsip keseimbangan yang wajar 7. Dalam setiap perkara, keadilan menuntut pertimbangan individual dengan memperhatikan konteks dan keadaan sekitar kasus tersebut. Oleh karena itu, apa yang dianggap adil bagi satu pihak dalam situasi tertentu belum tentu sama untuk pihak lain yang berbeda kondisinya. Perbedaan dalam putusan dapat menimbulkan kesan bahwa hukum tidak diterapkan secara adil dan objektif, melainkan bergantung pada interpretasi hakim dalam situasi spesifik. Ketika perbedaan ini muncul akibat perbedaan penerapan doktrin Business judgment rule (BJR) oleh hakim, maka keadilan hukum akan terganggu jika perbedaan tersebut tidak didasari oleh alasan hukum yang jelas dan rasional sehingga validitas perlindungan dari sisi hukum akan menjadi perbincangan. Doktrin BJR sendiri tidak dapat dijadikan satu-satunya patokan dalam memutus kasus tindak pidana korupsi. Analisis menunjukkan bahwa disparitas putusan terjadi karena hakim menyesuaikan penggunaan doktrin BJR dengan fakta konkret dan kondisi perkara yang relevan. Hal ini merupakan bentuk implementasi keadilan substantif, di mana hakim tidak hanya mengikuti aturan normatif, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, proporsionalitas, dan dampak sosial dari putusannya 8.
Hakim dalam mencetuskan sebuah keputusannya harus mempertimbangkan aspek kemanfaatan selain kriteria keadilan dan kepastian hukum. Selain dua konsep tersebut, terdapat pula asas kemanfaatan yang berfungsi memastikan bahwa keputusan hukum membawa manfaat bagi masyarakat luas dan individu pencari keadilan. Asas ini didasarkan pada anomali bahwa hukum seharusnya dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat, meskipun tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan setiap individu secara sempurna. Dengan demikian, mayoritas masyarakat tetap akan memperoleh manfaat dari hukum tersebut. Doktrin Business judgment rule (BJR) tidak dapat dijadikan sebagai standar mutlak dalam menilai legalitas tindakan pelaku, mengingat ranah hukum pidana menitikberatkan pada niat jahat (mens rea) dan dampak hukum terhadap kepentingan publik, khususnya negara.
Jika BJR dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur dalam menilai berbagai putusan, hal ini berisiko mengabaikan fungsi hukum sebagai sarana untuk kemanfaatan sosial. Berdasarkan analisis kasus, BJR hanya merupakan salah satu alat analisis yang dipertimbangkan secara cermat berdasar fakta, motif, dan akibat hukum, sehingga penerapannya justru menguatkan kemanfaatan hukum. Artinya, hukum tidak diterapkan secara membabi buta untuk menghakimi pebisnis yang mengambil risiko dengan jujur, namun juga tidak membiarkan bisnis digunakan sebagai kedok untuk menghindari hukuman atas perilaku korupsi 9.
Sebuah gagasan yang memberikan perlindungan terhadap direksi dari tanggung jawab hukum atas keputusan yang diambil terdapat dalam Business judgment rule, bahkan apabila keputusan itu berakibat pada kerugian keuangan bagi perusahaan. Kriteria yang harus dipenuhi perlu mengingat bahwasannya terkandung niat baik, teknik yang tepat, kehati-hatian, tujuan yang jelas, serta penalaran yang masuk akal 10. Selaras dengan asas lex specialis derogat legi generali, dalam tindak pidana korupsi doktrin BJR penerapannya dilakukan tanpa mengecualikan regulasi khusus yang mengaturnya yakni UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika terdapat dua aturan yang mengatur hal yang sama namun dengan spesifikasi berbeda, maka harus menerapkan aturan yang lebih detail berdasar pada asas tersebut.
Ruang untuk pertanggungjawaban pidana korporasi dibuka ruangnya melalui Pasal 20 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi, tidak seluruh keputusan bisnis yang berakhir dengan kerugian dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana. Peran BJR sebagai sebuah doktrin dalam hal ini adalah melindungi keputusan bisnis oleh pengurus atas kriminalisasi, dengan catatan keputusannya tersebut diputuskan secara rasional, wajar dan tidak terdapat niat jahat. Pada kasus korupsi penerapan doktrin BJR yang semestinya merupakan alat penyaring dengan tujuan secara tegas mampu membedakan antara perbuatan bisnis yang salah pengelolaan yang masih termasuk pada batasan kebijakan bisnis secara rasional, dengan tindakan koruptif yang disamarkan melalui keputusan bisnis.
Menjadikan Business judgment rule sebagai tolok ukur tunggal dalam penilaian perkara tindak pidana korupsi, sambil mengesampingkan fakta yang terungkap di persidangan serta prinsip-prinsip dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menjamin keadilan dan keterbukaan, berpotensi menurunkan peran hakim menjadi sekadar pelaksana undang-undang. Di sisi lain, Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan dasar bagi penerapan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, namun tetap menuntut adanya penilaian kontekstual untuk membedakan antara keputusan bisnis yang dilakukan dengan itikad buruk dan yang semata-mata bersifat manajerial. Oleh karena itu, penerapan BJR seharusnya dilakukan secara hati-hati dan terbatas sebagai alat analisis hukum, bukan sebagai sarana pembenaran untuk menghindari tanggung jawab pidana. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran bahwa hukum tidak dapat dipahami semata-mata sebagai kumpulan norma tertulis, melainkan juga sebagai refleksi dari nilai moral dan keadilan yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Nilai-nilai tersebut perlu dihayati serta diintegrasikan melalui proses pendidikan hukum. Dengan demikian, hukum bukan sekadar susunan teks yang berisi aturan normatif, tetapi juga perwujudan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang berasal serta ditujukan bagi kehidupan suatu bangsa 11
Penerapan Business judgment rule semestinya diarahkan untuk mendukung terwujudnya keadilan yang bersifat substantif, bukan menjadi sarana bagi pelaku untuk menghindari tanggung jawab hukum. Dalam konteks perkara tindak pidana korupsi, doktrin BJR perlu diintegrasikan dengan nilai-nilai perlindungan hukum, keadilan sosial, serta pembinaan kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana menjadi tujuan dari sistem hukum nasional. Dengan demikian, BJR tidak boleh diposisikan hanya sebagai mekanisme teknis dalam pertanggungjawaban korporasi, melainkan sebagai instrumen yang berkontribusi terhadap pembentukan masyarakat hukum yang berkeadilan dan berintegritas. Doktrin Business judgment rule menurut Hendra Setiawan Boen berasal dari negara-negara dengan sistem hukum common law dan memiliki akar dalam doktrin fiduciary duty, yaitu kewajiban yang melekat pada direksi perusahaan. BJR berkembang sebagai konsekuensi logis dari penerapan fiduciary duty, khususnya prinsip duty of skill and care. Dengan demikian, apabila seorang direksi telah melaksanakan prinsip ini, kesalahan atau kekeliruan dalam pengambilan keputusan tidak serta-merta menimbulkan tanggung jawab pribadi, selama tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan standar kehati-hatian dan kemampuan yang wajar 12. Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur penerapan Business judgment rule dalam sistem hukum Indonesia. Ketentuan ini menyatakan bahwa direksi beserta anggotanya tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kerugian sebagaimana diatur pada ayat (3), apabila mereka dapat membuktikan hal-hal berikut:
1. Kerugian yang terjadi bukanlah akibat kesalahan atau kelalaian mereka;
2. Pengelolaan perusahaan dilakukan dengan itikad baik serta kehati-hatian, untuk kepentingan perseroan, dan sesuai dengan tujuan serta maksud perseroan;
3. Direksi tidak memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung dalam tindakan manajerial yang menimbulkan kerugian;
4. Langkah-langkah pencegahan atau mitigasi telah diambil untuk menghentikan atau mengurangi kerugian tersebut.
Keempat kriteria tersebut harus dipenuhi secara bersamaan agar direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Gunawan Widjaja berpendapat bahwa Business judgment rule menekankan pentingnya menilai baik prosedur maupun substansi keputusan direksi sebagai faktor utama sebelum menentukan adanya pertanggungjawaban. Seluruh tahapan formal dan langkah-langkah dalam proses pengambilan keputusan perusahaan dievaluasi sepanjang proses berlangsung, sesuai prinsip yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada dasarnya, fokus utama dari prinsip ini adalah sejauh mana keputusan yang diambil memberikan manfaat bagi perusahaan. Apabila salah satu kriteria tidak terpenuhi, direksi dapat dikenai tuntutan perdata (termasuk tuntutan derivatif) maupun proses pidana, mengingat sifat kumulatif dari persyaratan tersebut yang menimbulkan konsekuensi hukum 13.
Penjelasan lebih rinci mengenai batasan-batasan Business judgment rule termuat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 memberikan, yang mencakup ketiadaan unsur penipuan (fraud), konflik kepentingan, tindakan melawan hukum, serta kesalahan yang dilakukan dengan sengaja. Putusan ini menegaskan doktrin BJR dan sekaligus menjadi peringatan bagi hakim yang menangani perkara dugaan korupsi agar tidak menilai secara langsung substansi dari keputusan bisnis yang diambil oleh direksi.
Sebagai upaya preventif untuk mencegah organ perusahaan melanggar Business judgment rule salah satunya adalah dengan memastikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bahwa direksi yang dipercayakan dengan tanggung jawab manajerial memiliki pengetahuan akademik yang memadai, keterampilan kepemimpinan yang mumpuni, serta integritas yang kuat. Selain itu, perusahaan perlu secara berkala memperbarui peraturan internal, termasuk prosedur operasional standar (SOP), seiring dengan perkembangan bisnis. Langkah lain yang penting adalah membangun sistem yang efektif untuk meminimalkan potensi konflik kepentingan antara komisaris dan direksi. Di sisi lainnya, penyampaian pendidikan bidang hukum juga harus diberikan tidak hanya kepada aparat penegak hukum, tetapi juga kepada kalangan pengusaha serta masyarakat umum. Upaya ini berperan sebagai salah satu sarana untuk mengurangi risiko terjadinya tindak pidana korupsi dalam lingkungan perusahaan 11.
Simpulan
Dalam penanganan tindak pidana korupsi Penerapan Business judgment rulesaat ini bervariasi karena adanya unsur kerugian negara yang menuntut hakim mempertimbangkan regulasi terkait. BJR dapat diabaikan jika fakta persidangan menunjukkan terjadinya tindak pidana korupsi. Meskipun terdapat disparitas putusan, hal ini tetap memiliki dasar yuridis, mengingat asas kebebasan hakim dan penggunaan hati nurani dalam memutus perkara yang diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Doktrin BJR diterapkan tanpa mengesampingkan aturan khusus seperti yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, BJR tidak boleh dijadikan satu-satunya patokan untuk menghindari disparitas putusan. Mengabaikan fakta persidangan, Pasal 197 KUHAP, asas kebebasan hakim, asas hati nurani, dan asas lex specialis derogat legi generali justru menempatkan hakim hanya sebagai corong undang-undang, bukan sebagai penegak keadilan substantif.
Margono, Mencegah Disparitas Putusan Hakim Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, Indonesia: Damera Press, 2023.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 3029 K/Pid.Sus/2018, 2018.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020, 2020.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1111 K/Pid.Sus/2020, 2020.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 417 K/Pid.Sus/2014, 2014.
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. Mataram, Indonesia: Mataram University Press, 2020.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1401 K/Pid.Sus/2014, 2014.
J. Matheus and A. Gunadi, “Pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi di Era Ekonomi Digital: Kajian Perbandingan dengan KPPU,” Justisi, vol. 10, no. 1, pp. 20–35, 2024.
E. Priyono, A. Surono, and Sadino, “Doktrin Business Judgment Rule dalam Memberikan Perlindungan Hukum kepada Direksi BUMN (Studi Kasus PT PLN),” Jurnal Hukum dan Kesejahteraan Universitas Al Azhar Indonesia, no. 2, 2022.
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, “Chandra M. Hamzah: Apa Itu Korupsi?,” 2017.
M. R. Gandaria, S. Suseno, and A. Suryamah, “Penerapan Doktrin Business Judgment Rule dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,” Jurnal Tana Mana, vol. 4, no. 1, p. 273, 2023.
Y. Siregar and Z. Erma, Kekuasaan Kehakiman. Tasikmalaya, Indonesia: Perkumpulan Rumah Cemerlang Indonesia, 2023.
S. Rahardjo, Ilmu Hukum, 5th ed. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2000.
M. Julyano and A. Y. Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,” Crepido, vol. 1, no. 1, pp. 13–22, Jul. 2019, doi: 10.14710/crepido.1.1.13-22.
O. Yanto, Negara Hukum: Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan Hukum (Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia). Bandung, Indonesia: Pustaka Reka Cipta, 2020.
K. N. Aulia, A. Lestari, L. M. Latief, and N. K. Fajarwati, “Kepastian Hukum dan Keadilan Hukum dalam Pandangan Ilmu Komunikasi Keysha,” Jurnal Sains Student Research, vol. 2, no. 1, pp. 713–724, 2024.
F. Afifah and S. Warjiyati, “Tujuan, Fungsi dan Kedudukan Hukum,” Jurnal Ilmu Hukum Wijaya Putra, vol. 2, no. 2, p. 114, 2024.
A. N. Mulyana, Business Judgment Rule: Praktik Peradilan terhadap Penyimpangan dalam Pengelolaan BUMN/BUMD. Jakarta, Indonesia: PT Grasindo, 2018.
G. T. Batubara and F. Arifin, “Model Pendidikan Hukum dalam Mewujudkan Upaya Kesadaran Hukum Siswa Sejak Dini,” Jurnal Litigasi, vol. 20, no. 1, p. 21, 2019.
E. Setiawan, “Penerapan Doktrin Business Judgment Rule di Indonesia,” 2024.
D. Anandya, K. Ramadhana, and L. Easter, Mendudukan Kembali Implementasi Prinsip Business Judgment Rule dalam Perkara Korupsi. Jakarta, Indonesia: Indonesia Corruption Watch, 2023.