Login
Section Private Law

The Application of the Strict Liability Principle in the Protection of Consumers of Digital Logistics Services

Penerapan Prinsip Strict Liability Dalam Perlindungan Konsumen Jasa Logistik Digital
Vol. 20 No. 4 (2025): November:

Diana Diana (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General background: The advancement of digital technology has revolutionized the logistics sector through application-based services that offer efficiency and convenience for consumers. Specific background: Nevertheless, the increasing reliance on digital logistics services has created new legal vulnerabilities, particularly when losses are caused by the actions of courier partners as third parties. Knowledge gap: Indonesia still lacks clear regulations governing the application of strict liability within digital logistics services, resulting in uncertainty regarding which party is legally responsible for consumer losses. Aims: This study aims to analyze the application of the strict liability principle in consumer protection within digital logistics services by examining the legal foundations, contractual structures, and implications of liability between companies and their courier partners. Results: The findings show that although the Consumer Protection Law requires business actors to bear consumer losses without proof of fault, its implementation remains weak due to standard contractual clauses that waive company responsibility, low consumer awareness, and limited government oversight. Novelty: This study provides a comprehensive understanding of the multilayered legal relationships between companies, partners, and consumers, highlighting the need for a vicarious liability approach within digital ecosystems. Implications: Strengthening the application of strict liability is essential to ensure fair compensation, increase public trust, and enhance accountability within Indonesia’s digital logistics services.


Highlights:




  • Strict liability strengthens consumer protection in digital logistics services.




  • Legal ambiguity persists due to weak regulation and unclear contractual clauses.




  • Companies remain the primary responsible party despite third-party courier involvement.




Keywords: Strict Liability, Consumer Protection, Digital Logistics, Legal Responsibility, Courier Partners

Author Biographies

Diana Diana, Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Faculty of Law

Gunardi Lie, Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara

Faculty of Law

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Pada saat ini dunia bisnis berlomba lomba untuk dapat mengembangkan usahanya. Banyak pelaku usaha berusaha mementingkan peranan calon pembeli sebagai bentuk kemajuan usahanya. Memenuhi kebutuhan kehidupan sekarang di era modern saat ini tidak terlihat pada saat zaman dahulu yang harus selalu berbelanja di toko offline tapi bisa dilakukan dengan menggunakan ponsel pintar dimanapun dan kapanpun tanpa harus memakan waktu banyak dan secara fleksibilitas. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi informasi pada saat ini yang telah membawa perubahan yang sangat pesat [1]. Dalam menjalankan bisnis saat ini pelaku usaha selalu mementingkan aspek dari keinginan para konsumen, maka dari itu hubungan kemajuan transformasi digital berkaitan erat dengan bisnis, salah satunya sektor logistik digital yang digunakan untuk dapat mengantarkan barang dengan mudah, efisien, dan fleksibel [2]. Konsumen menginginkan segala pengiriman barang dilakukan dengan cepat dan mudah serta kapan saja bisa dilakukan, maka dari itu pelaku usaha mengembangkan usaha logistik digital yang dapat diakses secara online untuk dapat mempermudahkan konsumen mengantarkan barangnya sampai ke tujuan dengan waktu yang diinginkan. Kemudahan yang ditawarkan oleh jasa logistik digital telah meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan layanan berbasis online ini.

Namun, seiring dengan adanya peningkatan ketergantungan konsumen pada platform digital tersebut, risiko yang dihadapi konsumen juga semakin kompleks. Salah satu risiko yang sering dihadapi adalah kerugian atas tindakan oleh oknum mitra kurir yang dimana sebagai pihak perantara dari pelaku usaha perusahaan logistik digital. Kerugian ini merupakan salah satu hal yang tidak dapat dikontrol oleh konsumen maupun dari pihak pelaku usaha. Misalnya, pencurian barang, atau kerusakan barang yang terjadi selama proses pengiriman yang dapat menyebabkan kerugian finansial maupun materil bagi pihak konsumen [3]. Sementara dalam hal ini konsumen tidak memiliki peran dalam kerugian tersebut, maka dari itu pertanggungjawaban ini menjadi isu hukum yang sangat dipertanyakan kepastiannya. Prinsip ini menjadi pondasi perlindungan bagi konsumen secara adil dan proporsional. Salah satu konsep hukum yang relevan dalam menangani hal ini adalah dengan menggunakan prinsip strict liability atau dikenal dengan tanggung jawab yang mutlak. Prinsip ini memberikan penegasan bahwasannya pelaku usaha berhak bertanggung jawab tanpa adanya pembuktian kesalahan dari pihak perusahaan [4]. Dengan artian konsumen tidak terbebani dengan pembuktian kesalahan, melainkan perusahaan logistik digital yang akan bertanggung jawab atas segala risiko yang muncul dari penggunaan layanannya. Penerapan prinsip ini memang sangat penting dikarenakan perusahaan logistik digital melibatkan pihak ketiga dalam kegiatan layanannya, apabila terjadi suatu keadaan yang tidak terduga.

Dalam prakteknya di lapangan penerapan strict liability pada jasa logistik digital ada beberapa yang menghadapi tantangan tersendiri. Pertama, penerapan strict liability ini belum ada regulasi secara spesifik yang mengatur tentang tanggung jawab mutlak bagi perusahaan logistik digital, bahkan dalam peraturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK No. 8 Tahun 1999) yang memberikan dasar-dasar hukum mengenai hak untuk perlindungan konsumen dan kewajiban dari pihak pelaku usaha [5]. Kedua, penyelesaian sengketa antara konsumen dan pihak perusahaan yang masih menjadi hambatan, termasuk kurangnya akses informasi, prosedur tata cara penyelesaian yang kurang kompleks, dan waktu penyelesaian yang cenderung lama. Ketiga, perusahaan sering memakai syarat dan ketentuan yang membatasi tanggung jawab mereka, sehingga membuat posisi dari pihak konsumen lemah ketika mengalami kerugian. Sebenarnya penerapan prinsip dirasa tidak ada keadilan pada pihak perusahaan karena menitikberatkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pihak perusahaan, namun ini jika dilihat dari pentingnya upaya peningkatan kualitas layanan serta membangun kepercayaan konsumen. Dengan adanya kewajiban tanggung jawab yang jelas, perusahaan logistik digital akan terdorong untuk menerapkan standar keamanan dan protokol operasional yang lebih ketat, termasuk adanya penggunaan tracking pada aplikasi layanan berjalan milik perusahaan, verifikasi identitas pihak mitra, serta sistem keluhan konsumen secara cepat dan juga efektif. Hal ini tidak hanya melindungi pihak konsumen tapi juga menjaga nama baik perusahaan di era persaingan dunia bisnis yang ketat [6].

Dengan adanya kewajiban tanggung jawab tanpa kesalahan, perusahaan akan mendorong untuk dapat memperbaiki sistem keamanan digitalnya, memperketat rekrutmen mitra kurir, serta menguatkan sistem pengawasan internal. Lebih dalamnya, penerapan prinsip strict liability dalam sektor logistik digital juga berkaitan dengan upaya negara untuk menciptakan ekosistem ekonomi digital yang berkeadilan. Pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), perlu memperkuat regulasi mengenai tanggung jawab pelaku usaha digital agar sejalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Selain dari aspek regulatif, penting juga untuk dapat memperhatikan mekanisme penyelesaian sengketa umumnya dilakukan melalui layanan pelanggan internal perusahaan atau mediasi online [7]. Namun efektivitasnya sering diragukan karena posisi konsumen yang lebih lemah dan keterbatasan akses terhadap lembaga penyelesaian sengketa formal seperti Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) [8]. Oleh sebab itu, sistem perlindungan konsumen dalam era digital perlu diarahkan untuk memperkuat hak konsumen dalam memperoleh informasi, jaminan keamanan, serta kompensasi yang adil atas kerugian yang dialami konsumen.

Dimana penerapan prinsip strict liability dalam jasa logistik digital juga menjadi penting karena bidang logistik merupakan bidang baru yang terus berkembang dan memiliki karakteristik dengan sifat layanan yang cepat, melibatkan pihak ketiga, dan berbasis teknologi yang menuntut pendekatan hukum yang adaptif dan spesifik. Maka dari itu, studi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme tanggung jawab hukum, batasan kewajiban pelaku usaha, serta implikasi regulasi yang kompleks dalam perlindungan konsumen digital. Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini mengambil fokus mengenai penerapan prinsip strict liability yang fokus pada perlindungan konsumen dalam jasa logistik digital di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dan praktis bagi pengembangan hukum perlindungan konsumen, memperkuat posisi konsumen dalam hak yang dimilikinya, serta mendorong perusahaan logistik digital untuk meningkatkan standar kualitas layanan. Selain itu, penelitian ini juga menjadi dasar bagi pembuat regulasi agar terciptanya rekomendasi yang menjadi acuan yang lebih jelas dan efektif dalam penyeimbangan kepentingan konsumen dan pelaku usaha.

Berdasarkan uraian latar belatang diatas, permasalahan yang akan dikaji yaitu, bagaimana kedudukan hukum antara konsumen, pihak mitra, dan penyedia layanan jasa dalam karakteristik kontrak perjanjian dan bagaimana implementasi prinsip strict liability pada perusahaan logistik digital akibat dari kerugian konsumen?

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang berfokus pada kajian terhadap norma, asas, dan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual. Dengan peraturan perundang-undangan, penelitian ini akan menganalisis ketentuan hukum positif tentang bagaimana perlindungan konsumen dan tanggung jawab dari pelaku usaha, seperti yang diatur dalam UUPK No. 8 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE No 11 Tahun 2008), serta Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Sedangkan pendekatan konseptual akan digunakan untuk menelaah penerapan prinsip strict liability yang berkaitan dengan hubungan konsumen, mitra, dan perusahaan logistik digital. Data yang diambil melalui studi kepustakaan dengan menelaah literatur ilmiah, jurnal, peraturan, ataupun putusan pengadilan yang relevan. Analisis ini dilakukan secara kualitatif deskriptif, yaitu dengan menguraikan, menafsirkan, serta menarik kesimpulan sesuai dengan regulasi hukum yang berlaku dan teori dari perlindungan konsumen itu sendiri.

Hasil dan Pembahasan

A. Bentuk Kedudukan Hukum Antara Konsumen, Pihak Mitra, d an Penyedia Layanan Jasa d alam Karakteristik Kontrak Perjanjian.

Seperti yang kita ketahui bahwasannya perkembangan pengiriman barang melalui pemanfaatan teknologi sangat membantu konsumen yang ingin efisiensi dengan instan dalam hal ini bukan hanya konsumen yang mendapatkan keuntungan tetapi pelaku usaha mendapatkan banyak keuntungannya juga mulai dari tidak perlunya menyediakan armada sendiri dan bisa menggunakan jasa yang telah disediakan oleh layanan perusahaan logistik digital sebagai bentuk kemajuan teknologi di era modern saat ini serta membuka banyak peluang pekerjaan bagi mitra yang direkrut oleh pihak perusahaan untuk dapat bekerja sama dalam proses pengantaran dari pelaku usaha kepada pihak konsumen sesuai dengan ketentuan waktu yang telah ditentukan oleh sistem. Perkembangan pengiriman barang oleh pihak perusahaan logistik digital membuat adanya hubungan hukum yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya melalui kontrak elektronik. Kontrak ini biasanya dituangkan dalam syarat dan ketentuan penggunaan aplikasi yang disetujui oleh pengguna secara digital.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 17 UU ITE, kontrak elektronik ini merupakan perjanjian yang dibuat dengan sistem elektronik, yang dimana selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 18 ayat 1 UU ITE bahwa transaksi elektronik dikatakan sah apabila para pihak menyatakan persetujuannya secara elektronik, yang artinya apabila konsumen menekan tombol “setuju” pada aplikasi logistik digital, maka disaat itulah hubungan hukum telah terbentuk. Kontrak ini sifatnya perjanjian baku yang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat 10 UUPK, karena seluruh klausulnya telah ditetapkan sepihak oleh pihak perusahaan tanpa adanya negosiasi dengan konsumen, karena dasar perusahaan logistik digital hanya sebatas sebagai jasa penyedia platform [9].

Pada dasarnya tiga subjek hukum utama yang di posisi ini dengan memiliki tanggung jawab yang berbeda, yang pertama konsumen sebagai pihak pengguna jasa layanan dari logistik digital sebagai pengirim maupun penerima barang. Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUPK, ditegaskan sebagai pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia, maka dari itu konsumen berhak atas keamanan dan juga keselamatan yang tertuang dalam Pasal 4 huruf a UUPK; kejelasan informasi yang benar dalam Pasal 4 huruf c UUPK; serta adanya kompensasi ganti rugi apabila jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dalam Pasal 4 huruf h UUPK. Sekalipun peraturan hak mengenai konsumen telah tertulis, posisi konsumen masih cenderung lemah secara hukum, karena konsumen tidak memiliki ruang untuk dapat menegosiasikan mengenai isi kontrak dan sering tidak memahami secara mendalam konsekuensi dari syarat dan ketentuan isi persetujuan yang diberikan dalam suatu perjanjian di aplikasi [10].

Selain hubungan konsumen dengan pihak perusahaan, konsumen juga berhubungan langsung dengan pihak ketiganya yaitu mitra. Sebagai pihak perantara mitra berkewajiban untuk dapat menerima pesanan dan mengantarkan pesanan sesuai dengan keinginan dari konsumen. Dalam praktik lapangan bukan berarti karena ada pihak ketiga perusahaan tidak memperhatikan kinerja mitranya, karena dibalik itu perusahaan akan berperan untuk tetap mewaspadai kerja mitranya yang kita sebut melalui sistem tracking yang berfungsi untuk dapat melacak keberadaan mitra saat bergerak [11]. Akan tetapi kenyataan di lapangan tidak semua hal itu bisa di handle oleh pihak perusahaan, ada celah yang bisa dilakukan oleh mitra kurir yang tidak bertanggung jawab dengan berbuat curang untuk mematikan fitur tracking agar tidak terlacak dan mengambil barang milik konsumen dengan penipuan ataupun penggelapan. Hal ini merupakan suatu kuasa di luar kendali pihak perusahaan, yang artinya sebenarnya jika dilihat pihak perusahaan dan konsumen akan mengalami kerugian dimana perusahaan performanya akan menurun jika masalah tidak terselesaikan dengan baik akibat kelalaian yang tidak terbendung dan konsumen merasa dirugikan atas kehilangan barang tersebut apalagi jika nilai barangnya tinggi.

Maka dari itu perlu diteliti bagaimana hubungan hukum antara perusahaan logistik digital dengan mitra kurirnya yang pada dasarnya didasarkan pada perjanjian kemitraan, bukan hubungan kerja langsung, karena perusahaan menempatkan mitra sebagai pihak yang independen yang hanya bertugas mengantarkan barang sesuai dengan aplikasi yang telah tersedia. Aplikasi yang dimaksud ini bisa mencakup pada Lalamove, Go Send, dan Grab box. Meskipun demikian perusahaan tetap memiliki kendali yang dominan terhadap sistem operasional, seperti sistem pembayaran, tarif jasa, dan penilaian kerja mitra. Hal ini sudah pasti telah disampaikan pihak perusahaan kepada mitranya pada saat merekrut untuk menjadi bagian kerjasama mereka yang terjadi secara internal tertuang dalam kontrak perjanjian kerja. Dimana menurut Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KuhPer) menyatakan bahwa setiap perjanjian itu berlaku sebagai bagi para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik [12]. Sebagaimana perjanjian yang telah dibuat harus mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Terlaksanakannya kewajiban belum tentu sepenuhnya, karena ada beberapa pihak mitra yang melanggar hal tersebut untuk mengambil kesempatan seperti kurir yang mengantarkan barang tidak menyelesaikan pengantarannya dan membawa kabur barang curian, kejadian ini yang membuat kerugian konsumen secara materil dan imateril. Permasalahan ini yang kemudian akan menjadi suatu pertanyaan untuk titik tanggung jawab hanya pada mitra atau dengan pihak perusahaan.

Kedudukan hukum antara konsumen dengan perusahaan logistik digital yang sifatnya kontraktual secara elektronik tersebut tertuang dalam Pasal 1320 KuhPer mengenai syarat sah perjanjian yaitu mengatur mengenai kesepakatan para pihak, kecakapan, objek tertentu, dan suatu sebab yang halal. Karena itu, hubungan hukum antara konsumen dan pihak perusahaan tidak bersifat informal, melainkan perikatan hukum yang sah di bawah naungan prinsip pacta sunt servanda yaitu perjanjian yang mengikat para pihak seperti undang-undang. Apabila konsumen mengalami kerugian sebagaimana yang telah disampaikan, maka konsumen dapat menuntut kerugian akibat pencurian oleh pihak mitra berdasarkan pelanggaran kontrak (wanprestasi) karena gagal telah memenuhi kewajiban pengiriman barang secara utuh dan aman. Maka dari itu, kedudukan hukum antara ketiga belah pihak sangat berkaitan satu sama lain dengan pionir utamanya terletak pada pihak perusahaan jasa logistik sebagai pemeran utama dalam terselenggarakannya kegiatan.

B. Implementasi Prinsip Strict Liability pada Perusahaan Logistik Digital Akibat dari Kerugian Konsumen.

Prof Sidharta pernah mengatakan dalam hukum perlindungan konsumen Indonesia menegaskan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) harus tetap diterapkan kepada pihak pelaku usaha yang menerima keuntungan dari suatu sistem yang dikendalikannya, sekalipun kerugian tersebut bukan disebabkan oleh pihak pelaku usaha tetapi oleh pihak ketiganya [13]. Dimana pernyataan ini yang nantinya akan sejalan dengan implementasi prinsip strict liability kepada perusahaan logistik digital dapat diterapkan tanpa adanya pihak yang merasa tidak adil melainkan ini merupakan suatu kepastian hukum yang sudah menjadi tanggung jawab perusahaan sebagai penyedia layanan jasa. Dasar hukum prinsip ini dapat ditemukan dalam UUPK. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPK menegaskan mengenai pelaku usaha wajib bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dan dalam Pasal 19 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa pemberian ganti rugi dapat berupa pengembalian uang, penggantian barang, atau perawatan dan/atau pemberian santunan, serta Pasal 22 UUPK juga melarang pelaku usaha untuk mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain. Prinsip strict liability ini bukan semata-mata hanya untuk memberatkan pihak perusahaan tapi hal ini sejalan dengan Pasal 1367 KuhPer yang menyatakan seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan atas perbuatannya sendiri, akan tetapi juga atas perbuatan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. Dengan demikian, apabila pihak mitra bertindak di luar kendali perusahaan dalam pelaksanaan tugasnya mengantarkan barang serta merugikan konsumen, maka secara hukum tetap perusahaan yang bertanggung jawab karena mitra hanya bertindak dalam ruang lingkup pekerjaan di perusahaan.

Ekosistem logistik digital dalam hubungan hukum para pihak untuk penerapan strict liability ini menunjukkan struktur vertikal di mana pihak perusahaan berada pada posisi puncak sebagai pengendali sistem, mitra sebagai pelaksana lapangan, dan konsumen sebagai pihak pengguna terakhir. Struktur inilah yang menjadi dasar penerapan strict liability, karena konsumen tidak memiliki kendali terhadap perilaku mitra, dan sementara perusahaan memiliki kewajiban hukum untuk menjamin keamanan dan pengawasan sistem layanan yang disediakan. Hadirnya penelitian ini menunjukkan bahwa pada saat ini banyak kasus yang terjadi dan laporan dari konsumen yang meresahkan [14]. Laporan tidak akan banyak jika pihak perusahaan benar-benar memperhatikan aspek pengawasan dengan baik. Salah satu contoh kasus yang terjadi di daerah Penjaringan, Jakarta Utara adanya tindakan pencurian barang oleh mitra kurir lalamove dengan membawa kabur barang kiriman konsumen berupa iphone setelah menerima orderan melalui aplikasi. Kejadian ini akhirnya dilaporkan oleh konsumen kepada pihak perusahaan, namun laporan tersebut hanya dijawab perusahaan untuk menyarankan konsumen untuk melapor ke polisi dan tidak ada tindakan pemberian ganti rugi secara langsung yang padahal kerugian konsumen tersebut mencapai puluhan juta. Setelah ditelusuri lebih jauh yang ternyata pelaku membeli akun aktif salah satu mitra di facebook yang dijual sebesar Rp 300.000 dan kemudian digunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan aksinya dengan bergerak seakan-akan sebagai bagian dari mitra kurir lalamove, dan mereka juga menggunakan identitas palsu seperti, plat nomor, dan nomor hp bodong. Orang-orang yang melakukan ini adalah kelompok yang mengetahui titik kelemahan dari pihak perusahaan itu sendiri.

Dari hal ini jika ditarik kesimpulannya bahwa pihak perusahaan bukan hanya lalai dalam pengecekan dan perekrutan mitra, serta bagaimana bisa mitra yang telah tidak beroperasi lagi akunnya dapat diperjual belikan, yang kemudian penanganan suatu komplain dari konsumen tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa memperhatikan aspek hukum yang sebagaimana harusnya dipatuhi oleh pihak perusahaan sebagai penyedia layanan jasa. Perusahaan seharusnya memberikan kompensasi terlebih dahulu kepada konsumen dalam bentuk tanggung jawab hukum, yang kemudian menuntut mitra secara perdata atau pidana atas perbuatan yang dilakukannya, sebagaimana ada 2 tanggung jawab yaitu eksternal antara perusahaan dengan konsumen dan secara internal antara perusahaan dan mitranya. Sistem ganti rugi ini juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (3) UUPK, bahwa pemberian ganti rugi harus dilakukan dalam kurun waktu paling lama 7 hari setelah tanggal transaksi. Di sisi lain, perusahaan juga memiliki hak hukum untuk dapat menuntut kembali kerugian dari mitra betdasarkan dalam Pasal 1366 KuhPer, yaitu melalui gugatan regres [15]. Dimana gugatan regres ini merupakan bentuk pertanggungjawaban pribadi mitra atas perbuatannya, tetapi tidak menghapus kewajiban utama perusahaan terhadap konsumen, maka itu struktur tanggung jawabnya bersifat berlapis.

Meskipun prinsip strict liability ini telah diatur secara jelas dalam UUPK, kenyataannya implementasi di sektor jasa logistik digital masih menghadapi beberapa hambatan. Pertama, kurangnya kesadaran konsumen akan suatu hak hukumnya yang membuat banyak kasus kerugian tidak dilaporkan secara resmi. Banyak konsumen yang hanya melaporkan melalui layanan pelanggan perusahaan tanpa mengajukan gugatan perdata atau pengaduan kepada Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPSK). Kedua, terdapat adanya ketentuan elektronik antara pihak perusahaan dan konsumen yang dalam terms and conditions aplikasi , yang biasanya terdapat pembatasan tanggung jawab bahwa pihak perusahaan tidak bertanggung jawab atas perbuatan dari mitranya. Padahal klausul ini telah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK, karena berpotensi menghilangkan hak dari konsumen untuk menuntut ganti rugi. Namun, banyak juga konsumen yang menyetujui hal tersebut tanpa membaca secara detail mengenai haknya. Ketiga, kurangnya pengawasan pemerintah terhadap pelaku usaha digital yang masih terbatas. Meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewajibkan setiap penyelenggara sistem elektronik (PSE) untuk bertanggung jawab atas keamanan data dan layanan, belum ada mekanisme penegakan hukum yang efektif untuk memastikan bahwa prinsip strict liability diterapkan dalam seluruh sistem layanan digital. Selain itu, belum ada juga regulasi yang mengatur secara khusus mengenai prinsip ini. Padahal, dalam praktiknya bisnis modern, perusahaan logistik digital beroperasi sebagai ekosistem digital yang kompleks.

Upaya perlindungan hukum bagi konsumen atas kerugian tersebut dibentuk dalam perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan secara preventif yang dilakukan melalui regulasi dan pengawasan terhadap penyelenggara jasa logistik digital untuk mematuhi ketentuan dari UUPK dan PP PMSE. Pemerintah melalui kementerian perdagangan dan kominfo perlu memastikan bahwa setiap pelaku usaha digital memberikan informasi yang jelas tentang hak-hak konsumen, mekanisme pengaduan, serta jaminan ganti rugi atas kerugian yang timbul. Sementara itu, perlindungan represif dilakukan setelah terjadinya kerugian. Konsumen dapat mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 45 UUPK, baik secara pribadi maupun lembaga BPSK [16]. Dari sisi internal, perusahaan juga dapat memperkuat sistem tanggung jawabnya dengan menyediakan adanya asuransi pengiriman atau kompensasi otomatis untuk setiap kehilangan atau kerusakan barang. Meskipun, nilainya masih terbatas hal ini sudah menunjukkan arah positif menuju penerapan prinsip strict liability secara nyata. Penerapan prinsip ini tidak hanya memberikan keadilan kepada konsumen saja akan tetapi juga mendorong perusahaan untuk lebih berhati-hati dalam merekrut mitranya serta dapat meningkatkan rasa kepercayaan konsumen dalam penggunaan jasa.

Akan tetapi saat ini sistem ganti rugi yang diterapkan oleh salah satu pihak jasa logistik digital yaitu Lalamove, apabila mendapatkan laporan dimana mereka akan menerima dan memeriksa serta akan dibuatkan suatu perjanjian secara elektronik suatu bentuk tanggung jawab perusahaan hanya sebesar Rp 2.000.000 saja baik kerugian konsumen secara besar ataupun kecil. Namun, apabila konsumen tidak menyetujui hal tersebut dengan kompensasi kecil dan tidak sebanding dengan kerugian, maka pihak perusahaan akan mencabut perjanjian kompensasi tersebut dan konsumen tidak akan mendapatkan sepeserpun ganti rugi dari perusahaan. Maka dari itu, hal ini jika menjadi celah bagi perusahaan berdalih bahwa telah memenuhi ketentuan tanggung jawab ganti rugi dan menerapkan prinsip strict liability. Karena pada dasarnya prinsip ini masih sifat mengambang apakah kerugian digantikan secara penuh atau hanya beberapa persen saja dari kerugian yang dialami oleh konsumen.

Apabila kita bandingkan secara global, Indonesia sudah mengadopsi prinsip strict liability secara normatif, tetapi belum maksimal dalam penerapan terhadap platform logistik digital. Negara lain seperti AS, Uni Eropa, dan Singapura sudah menegaskan bahwa perusahaan tidak dapat lepas tanggung jawab atas tindakan mitra yang bekerja di bawah sistem mereka. Dengan demikian, prinsip strict liability akan benar-benar efektif sebagai instrumen perlindungan hukum bagi konsumen yang mengalami kerugian. Dimana menurut Abdulkadir Muhammad tanggung jawab pelaku usaha harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kepastian hukum, bukan pada status formal hubungan kerja. Ia menegaskan bahwa konsumen sebenarnya tidak berkewajiban mengetahui siapa yang sebenarnya melakukan kesalahan, melainkan hanya berhak atas perlindungan dan ganti rugi saja.

Simpulan

Kedudukan hukum antara konsumen, mitra, dan penyedia layanan jasa logistik digital menunjukkan adanya hubungan hukum berlapis. Pertama, terdapat kontrak elektronik pada pihak perusahaan dan konsumen yang bersifat hubungan hukum konsumen berdasarkan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 4 UUPK. Kontrak ini yang bersifat baku dan menempatkan pihak perusahaan sebagai pihak yang berkewajiban memberikan perlindungan, keamanan, serta adanya jaminan atas layanan yang telah disediakan. Kedua, terdapat Kedua, terdapat perjanjian kemitraan antara perusahaan dan mitra kurir, yang pada dasarnya bersifat hubungan kerja independent contractor, di mana mitra bertugas melaksanakan pengiriman berdasarkan sistem yang dikendalikan oleh perusahaan. Namun, meskipun mitra disebut pihak independen, secara hukum posisi perusahaan tetap lebih dominan karena memiliki kontrol penuh atas sistem, tarif, dan kebijakan operasional. Dengan demikian, karakteristik kontrak ini menempatkan perusahaan sebagai subjek hukum utama yang bertanggung jawab atas akibat hukum terhadap konsumen. Klausula perjanjian yang berupaya melepaskan tanggung jawab perusahaan kepada mitra bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a sampai g dalam UUPK, karena berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam perspektif hukum perlindungan konsumen, kedudukan perusahaan tetap sebagai pihak yang memikul tanggung jawab utama atas segala risiko yang timbul dari pelaksanaan jasa logistik digital.

Implementasi prinsip strict liability pada perusahaan logistik digital merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen atas kerugian yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian mitra dalam melaksanakan pengiriman. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerusakan atau kerugian yang dialami konsumen akibat jasa yang diperdagangkan, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Prinsip ini relevan diterapkan dalam konteks bisnis logistik digital karena perusahaan memiliki kendali penuh atas sistem, algoritma, dan tata kelola operasional, sehingga tidak dapat melepaskan tanggung jawab dengan alasan bahwa mitra adalah pihak independen. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa banyak perusahaan logistik digital belum menerapkan prinsip ini secara konsisten. Sebagian besar perusahaan menggunakan klausula baku untuk mengalihkan tanggung jawab kepada mitra atau menolak klaim konsumen dengan alasan di luar kendali sistem. Padahal, secara normatif, pengalihan tanggung jawab demikian bertentangan dengan semangat Pasal 7 huruf f dan Pasal 18 ayat (1) UUPK, serta tidak sejalan dengan asas keadilan dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha. Oleh karena itu, penerapan strict liability harus dilihat sebagai kewajiban hukum perusahaan, bukan sekadar pilihan moral atau kebijakan internal, guna menjamin perlindungan hukum yang efektif bagi konsumen di era ekonomi digital.

Perusahaan logistik digital perlu melakukan penyesuaian dalam kontrak elektronik dan perjanjian kemitraan agar selaras dengan prinsip perlindungan konsumen. Pertama, klausula baku antara perusahaan dan konsumen harus menjamin hak atas ganti rugi dan mekanisme penyelesaian sengketa yang mudah, sebagaimana diamanatkan Pasal 45 UUPK. Kedua, hubungan antara perusahaan dan mitra perlu diperjelas dalam kerangka vicarious liability, sehingga tanggung jawab tidak sepenuhnya dibebankan kepada mitra apabila terjadi kerugian konsumen. Pemerintah juga perlu memperkuat regulasi turunan mengenai perlindungan konsumen dalam platform digital, agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam hubungan ini. Selain itu, konsumen perlu diberikan edukasi mengenai hak-hak hukumnya dalam kontrak elektronik. Dengan demikian, tercipta keseimbangan antara kepentingan bisnis perusahaan, hak-hak mitra, serta perlindungan hukum bagi konsumen sebagai pihak yang paling rentan dalam sistem ekonomi digital.

Diperlukan upaya konkret dari perusahaan logistik digital, pemerintah, dan lembaga perlindungan konsumen untuk memperkuat penerapan prinsip strict liability. Perusahaan harus membangun mekanisme ganti rugi otomatis bagi konsumen yang mengalami kerugian akibat layanan pengiriman, tanpa harus melalui proses pembuktian yang rumit. Pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan dan Otoritas Perlindungan Konsumen Nasional, perlu mengeluarkan peraturan pelaksana khusus yang menegaskan tanggung jawab mutlak perusahaan logistik digital atas tindakan mitranya. Selain itu, perlu ada pengawasan berkala terhadap kontrak baku agar tidak memuat klausula yang bertentangan dengan UUPK. Di sisi lain, masyarakat harus diberikan edukasi mengenai hak-haknya sebagai konsumen digital, agar mampu menuntut pertanggungjawaban hukum secara tepat. Dengan penerapan prinsip strict liability yang tegas, diharapkan tercipta sistem perlindungan konsumen yang adil, transparan, dan berorientasi pada kepastian hukum dalam ekosistem logistik digital Indonesia.

References

J. Matheus and A. Gunadi, “Pembentukan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi di Era Ekonomi Digital: Kajian Perbandingan Dengan KPPU,” JUSTISI, vol. 10, no. 1, pp. 20–35, 2024.

F. N. Eleanora, “Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Pelaku Usaha Terhadap Ketentuan Pasal 27 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,” Krtha Bhayangkara, vol. 12, no. 2, pp. 207–228, 2018.

M. Sadar et al., Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Akademia, 2012.

Y. H. Nur and D. W. Prabowo, “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) dalam Rangka Perlindungan Konsumen,” Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, vol. 5, no. 2, pp. 177–195, 2011.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, 1999.

G. Widjaja and A. Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta, Indonesia: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Y. Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2009.

H. Tjandrasari, “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen,” 2025.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, 2019.

A. Nasution, Konsumen dan Hukum. Jakarta, Indonesia: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

I. Samsul, “Ringkasan Disertasi Prinsip Tanggung Jawab Mutlak,” in Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta, Indonesia: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, 2003, p. 22.

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), 1848.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta, Indonesia: Grasindo, 2004.

A. Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta, Indonesia: PT Raja Grafindo Persada, 2013.

R. Labatjo, “Analisis Yuridis Tentang Kedudukan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute of Liability) dalam Penyelenggaraan Pengangkutan Barang Dengan Kapal Laut di Indonesia,” Jurnal Yustisiabel, vol. 3, no. 1, pp. 1–15, 2019.

D. Afrilia and H. P. Sulistyaningrum, “Implementasi Prinsip Strict Liability (Prinsip Tanggung Jawab Mutlak) dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen,” Simbur Cahaya, pp. 4949–4960, 2017.