International Accounting
DOI: 10.21070/ijler.v19i3.1208

Ensuring Security in Indonesia's Digital Landscape using Electronic Signature Validation


Menjamin Keamanan dalam Lanskap Digital Indonesia menggunakan Validasi Tanda Tangan Elektronik

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Electronic Signatures ITE Law Legal Validity Digital Transactions Indonesia

Abstract

Abstract: Digital technology enhances communication and transactions, but unauthorized document modifications necessitate secure electronic signatures due to the risk of unauthorized modifications. This research aims to identify electronic signatures compliant with the ITE Law in Indonesia to ensure their legal validity and enforceability. By utilizing a normative research method with a statute approach, this study examines primary sources, including Law No. 11 of 2008 on Electronic Information and Transactions, Ministerial Regulation No. 11 of 2008 on Electronic Certification, and Law No. 71 of 2019 on Electronic Systems and Transactions. The results indicate that electronic signatures must fulfill specific criteria outlined in Article 11 of the ITE Law to be considered legally binding. These criteria require that the data used for the electronic signature is solely associated with the signer and under their control at all times, along with mechanisms to track modifications and identify signers' approval. The novelty of this research lies in its comparative analysis of certified versus non-certified electronic signatures, contributing to a deeper understanding of their legal implications. The implications of this study highlight the necessity for enhanced authentication measures to safeguard the integrity of electronic transactions, ultimately promoting confidence in digital communications and transactions in Indonesia.

Highlights:

 

  1. Electronic signatures improve security in digital transactions.
  2. Compliance with ITE Law ensures legal validity.
  3. Valid signatures require data control and modification tracking.

 

Keywords: Electronic Signatures, ITE Law, Legal Validity, Digital Transactions, Indonesia

Introduction

Dengan adanya kemajuan teknologi digital pada masa kini, perkembangan informasi telah menjadikan teknologi informasi sebagai media yang digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi serta melakukan transaksi bisnis maupun non bisnis, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi waktu dan biaya. Namun, keamanan dokumen elektronik kepada penerima menjadi krusial karena kemungkinan adanya penyusup yang dapat memodifikasi dokumen sebelum dikirimkan kepada penerima. Maka, penggunaan tanda tangan elektronik diimplementasikan sebagai langkah pencegahan terhadap potensi modifikasi dokumen tersebut.[1]

Tanda tangan elektronik dan konvensional harus memiliki kekuatan hukum yang setara berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik, khususnya pada Pasal 11 ayat (1) yang mengamanatkan bahwa harus ada keterkaitan antara tanda tangan digital dengan informasi elektronik lain yakni sebagai bentuk alat verifikasi dan autentikasi. Namun, kendati aplikasi penyedia teknologi tanda tangan elektronik sudah ada, namun belum sepenuhnya menjamin keamanan. Hal ini membuat bukti kekuatan tanda tangan elektronik menjadi lemah jika terjadi sengketa.[2]

Dalam konteks ini, pentingnya keamanan dan perlindungan data pribadi konsumen menjadi sorotan utama. Perlu diingat bahwa keamanan tanda tangan elektronik terletak pada uniknya penggunaan kunci privat dan publik serta teknik enkripsi untuk melindungi informasi yang dikirimkan. Dalam penyediaan jasa tanda tangan elektronik, perusahaan diwajibkan untuk menggunakan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah berupa Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik Pasal 11 dan Pasal 12 Tentang Tanda Tangan Elektronik.[3]

Dengan adanya layanan penyedia berbasis digital, risiko terhadap aktivitas kejahatan juga tidak dapat diabaikan. Sebagai contoh, pada tahun 2022 terdapat enam mahasiswa Fakultas Hukum Universtas Lampung dan mengaku memalsukan dua tanda tangan pemohon menggunakan aplikasi Microsoft Word yang tidak tersertifikasi oleh lembaga PSRe (Penyelenggara Sertifikasi Elektronik) serta bertujuan untuk mengajukan judicial review UU Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi.

Hal ini berdampak buruk bagi pihak penandatangan karena keamanan yang diberikan kurang terjamin karena tidak tersertifikasi dan diawasi oleh lembaga PSrE. Jika ingin menggunakan tanda tangan online untuk keperluan pemberkasan yang penting atau perjanjian transaksi, diperlukan tanda tangan elektronik yang sudah tersertifikasi atau terdaftar di PsrE. Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah mengatur tentang pendaftaran tanda tangan elektronik melalui Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) supaya tanda tangan elektronik sah dan memiliki kekuatan hukum.[4]

Berdasarkan lembaga pengindeks lens.org dengan kata kunci “Digital signature” ditinjau dari sisi Hukum masih populer diperbincangkan dari tahun ke tahun, dapat dilihat pada Gambar.1 dan Gambar.2.

Figure 1. Data Lens.org kata kunci “Digital Signature” tahun 2020-2024

Figure 2. Data Lens.org kata kunci “Digital Signature” tahun 2020-2024

Ditemukan penelitian yang terdahulu dilakukan oleh Thamaroni Usman dengan judul penelitian “Keabsahan Tanda Tangan Eektronik Pada Perjanjian Jual Beli Barang Dari Persepsi Hukum Perdata” memberikan hasil yakni Konsekuensi hukum dari perjanjian yang ditandatangani secara online atau secara elektronik ketika salah satu pihak wanprestasi atau ingkar janji, serta keabsahan tanda tangan elektronik (scanned siganature) perjanjian dari perspektif hukum perdata.[5]

Yang kedua, penelitian yang terdahulu dilakukan oleh Arif Anggorojati dengan judul “Keabsahan Hukum Tanda Tangan Digital Dalam Perjanjian Elektronik Melalui Aplikasi Privyid” memberikan hasil meneliti legalitas tanda tangan digital dalam kontrak yang dibuat secara elektronik dengan aplkasi PrivyID dan memiliki kekuatan pembuktian sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku di Indonesia.[6]

Yang ketiga, penelitian yang terdahulu dilakukan oleh Shafti dan Salsabila Aulia dengan judul “Kekuatan Pembuktian Tanda Tangan Elektronik Tidak Tersertifikasi” memberikan hasil Untuk menilai keabsahan tanda tangan elektronik di Indonesia dan implikasi hukum penggunaan tanda tangan elektronik yang tidak tersertifikasi.[7]

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tanda tangan elektronik yang sesuai UU ITE sehingga memiliki kekuatan hukum dan sah. Selain itu, dijelaskan pula jenis-jenis tanda tangan elektronik yang sah menurt hukum di Indonesia.

Methods

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach). Sumber primer yang digunakan mencakup Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik, serta Undang-Undang No. 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Selain itu, data sekunder seperti jurnal dan artikel juga dimanfaatkan. Teknik analisis yang digunakan adalah kualitatif deskriptif untuk menarik kesimpulan deduktif mengenai perbandingan antara tanda tangan elektronik tersertifikasi dan non-sertifikasi. Teknik pengolahan data yang digunakan adalah literature review yakni digunakan untuk mensintesis hasil-hasil penelitian yang di ada di google scholar dan lens.org.

Result and Discussion

1. Standart Tanda Tangan Elektronik yang Benar Berdasarkan UU ITE

Indonesia saat ini telah mengalami berbagai transformasi digital sebagai hasil dari perkembangan teknologi digital. Salah satu contohnya adalah peluncuran Tanda Tangan Elektronik. Beberapa alasan mulai diberlakukannya penerapan tnda tangan elektronik yakni: Pertama, efisiensi waktu, dimana untuk menandatangani dokumen dikirim dari manapun sehingga dapat mempercepat pekerjaan; Kedua, lebih hemat biaya, karena penanda tanganan dan mengirim dokumen dapat dikerjakan di mana saja tanpa memungut biaya. Ketiga, ramh lingkungan, karena mengurangi emisi dari proses pembakaran kerta dalam kehidupan sehari-hari karena pengiriman dokumen berbentuk dokumen elektronik.[8]

Transaksi elektronik adalah transaksi sesuai hukum yang menggunakan perangkat elektronik, jaringan elktronik, dan/atau media elktronik lainnya. Salah satu aspek dari transaksi elektronik adalah sistem pembayaran, yang terdiri dari cara pembayaran tinai atau kredit untuk barang atau jasa yang diperoleh. Metode pembayaran tunai atau non-tunai merupakan pilihan yang dapat diterima.

Pasal 11 ayat (1) UU ITE menjeaskan bagaimana syarat – syarat tanda tangan elektronik. sebagai brikut:

a. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hannya kepada Penanda Tangan

b. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik selama proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penandatangan

c. Segala perubahan trehadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui

d. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik setelah waktu penandatanganan dapat terdeteksi.

e. Terdapat cara tertntu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya

f. Ada metode tertentu untuk menunjukkan bahwa Penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait..

Dari paparan di atas yang mengatur tentang tanda tangan elektronik, ternyata syarat-syarat agar tanda tangan elektronik sah dan memiliki kekuatan hukum juga didukung dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Yang dimana isi dari persyaratan tersebut tidak jauh berbeda dengan yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE.

Fenomena tanda tangan elektronik muncul sebagai bentuk hasil dari perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi informasi dan elektronik saat ini. Tanda tangan elktronik adalah tandatangan yang berisikan data dari mediaelektronik yang telah terhubung, ditautkan, atau diasosiasikan dengan data elektronik lain yang digunakan untuk autentfikasi dan verifikasi. menurut Pasal 1 butir 12 Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU ITE.

Inilah alasan di balik pembuatan UU ITE. Tidak dapat disangkal bahwa manusia mendapat manfaat dari kemajuan yang luar biasa ini, tetapi ada juga risiko yang harus ditanggung. Ketika penggunaan data dan transaksi elektronik digunakan secara tidak bertanggungjawab, hal ini dapat mengakhiri peran manusia. Tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik harus memenuhi dua persyaratan, yaitu:

1. Autentikasi pemilik tanda tangan elektronik menunjukkan bahwa penandatangan yang tercaatat pada dokumen elektronik adalah penandatangan yang sebenarnya.

2. Autentikasi dokumen ini memastikan bahwa dokumen digital tetap sesuai dengan aslinya setelah ditandatangani, sehingga dokumen asli tidak dapat dipalsukan.

Dalam bidang keamanan informasi, autentikasi dokumen dan penandatangan adalah cara untuk mencegah pemalsuan. Ini juga merupakan penerapan konsep "nonrepudiation". Nonrepudiation adalah jaminan bahwa dokumen aslinya atau yang dikirimkan benar. Ini digunakan untuk mencegah penandatangan dokumen (yang tidak menandatangani dokumen) dan pengirim (yang tidak mengirimkan dokumen).[9]

Menurut Pasal 11 UU ITE, transaksi elektronik yang ditulis dalam kontrak elektronik mengikat semua pihak, asalkan keduanya menandatangani secara elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap transaksi yang ditandatangani secara elektronik dapat dianggap sebagai akta, bahkan jika kekuatan pembuktiannya sama dengan akta. "Tanda tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi," menurut Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang ITE.

Beberapa pilihan teknologi untuk bentuk-bentuk tanda tangan elektronik yang dapat digunakan untuk transaksi elektronik., yakni :

a) Penggunaan kata kunci One Time Password(OTP)

One Time Password(OTP) adalah kata sandi sementara yang secara unik dikaitkan dengan kontrak dan pelanggan, yang dikirim melalui SMS dan digunakan sebagai tanda tangan elektronik untuk menutup kontrak. Kode OTP memanfaatkan keamanan sistem autentikasi dua faktor (2FA yang merupakan singkatan dari Two Factor Authentication) dan memastikan identitas pengguna yang kemudian dapat diidentifikasi jika terjadi perselisihan. Adapun mekanisme atau sistematika OTP yakni pertama-tama pengguna harus memasukkan kata sandi, yang merupakan faktor pertama, untuk mengakses akun mereka (atau mengklik tautan tanda tangan yang diterima di email mereka, dan ini juga dilindungi kata sandi), kemudian mereka harus mengetikkan kode numerik (faktor kedua) yang diterima melalui SMS di ponsel anda atau muncul di token atau perangkat fisik lainnya.

b) Tanda tangan dipindai secara elektronik(scanned signature)

Memindai tanda tangan secara elektronik(scanned signature) adalah memperoleh tanda tangan dengan dokumen kertas yang sebelumnya telah ditandatangani dengan tangan dan diubah ke dalam format digital (doc, pdf, dll.) dengan cara discan menggunakan perangkat elektronik. Untuk membuktikan keasliannya pihak yang bertanda tangan harus hadir dalam proses tanda tangan suatu dokumen tersebut atau dapat melakukan uji digital forensik.

c) Menggunaan fitur tombol tanda persetujuan(accept button)

penggunaan fitur tombol sebagai tanda persetujuan yang didukung oleh saluran komunikasi yang aman (lapisan socket yang aman) yang dimana cara ini kerap dilakukan dalam proses transaksi elektronik karena konsumen hanya dengan mengklik tombol “saya setuju” maka dapat dikatakan menyetujui isi dari dokumen tersebut.

d) Penggunaan tanda yang unik pada anggota badan(biometric)

Penggunaan tanda tangan elektronik dengan anggota badan (biometric) melibatkan pengukuran fisik atau biologis yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang. Pengenalan wajah, pemindaian retina, dan pemetaan sidik jari adalah beberapa jenis teknologi biometrik yang paling populer. Proses biometric termasuk melakukan pemindaian biometrik menggunakan perangkat keras penangkap biometrik untuk verifikasi identitas. Pemindaian ini menggunakan basis data yang tersimpan untuk memutuskan untuk menerima atau menolak akses ke sistem.

e) Penggunaan Tanda Tangan Elektronik yang berbasiskan enkripsi suatu pesan(digital signature)

Tanda tangan elektronik juga dikenal sebagai tanda tangan digital dibuat dengan menggunakan kunci privat yang unik untuk setiap orang. Kunci privat hanya dapat diketahui dan dimiliki oleh penandatangan. Kunci publik adalah pasangan kunci yang terkait secara matematis dengan kunci privat dan kemudian dilekatkan pada sertifikat elektronik serta dokumen elektronik lainnya yang telah dienkripsi menggunakan kunci publik. Kunci publik adalah informasi yang bersifat publik dan digunakan untuk memvalidasi tanda tangan digital seseorang.[10]

Figure 3.

Selanjutnya, dari beberapa paparan di atas terkait bentuk-bentuk tanda tangan elektronik yang sah mencakup tanda tangan menggunakan OTP (One Time Password), tanda tangan yang dipindai(Scanned Signature), tanda tangan biometrik, dan tanda tangan berbasis pesan enkripsi, asalkan dalam proses pembuatannya menggunakan perangkat pembuat tanda tangan elektronik yang telah tersertifikasi. Dengan menggunakan perangkat yang sudah tersertifikasi, keabsahan tanda tangan elektronik tersebut terjamin, karena dapat dibuktikan identitas penanda tangan serta keutuhan dan keautentikan informasi elektronik yang terkait, sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 ayat (1) PP Nomor 71 Tahun 2019.

Berbeda halnya dengan tanda tangan yang menggunakan tombol "Accept/Ok" (Accep Button), meskipun cara ini sangat efisien untuk transaksi elektronik karena prosesnya yang mudah, penggunaannya dalam penandatanganan dokumen elektronik dianggap kurang memadai dalam hal pembuktian apabila terjadi sengketa. Hal ini disebabkan karena tanda tangan dengan metode ini tidak mampu menunjukkan data penanda tangan dan tidak dapat membuktikan keautentikan dokumen elektronik tersebut.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat mewajibkan seluruh platform digital untuk mendaftarkan diri pada sistem Online Single Submission (OSS) agar lebih efektif dan dapat diakses di seluruh Indonesia, hal ini diperkuat dengan disahkannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Peraturan ini mempengaruhi layanan dan platform digital nasional serta perusahaan internasional seperti Tiktok, X, dan Instragram, dengan memberikan akses kepada pemerintah terhadap sistem dan data yang dikelola oleh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk meminimalisir ancaman di ruang media sosial.[11]

Meskipun demikian, sejumlah pasal dalam peraturan ini dinilai dapat membatasi kebebasan berpendapat di ruang digital, terutama Pasal 9 ayat (3), (4), (5), dan (6), yang dianggap terlalu luas dan tidak memiliki tolak ukur yang jelas dalam penafsirannya. Namun, ketetapan mengenai pengolahan akses data dan sistem ini juga dapat menjadi panduan standar bagi lembaga pemerintah dan penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya, dengan Kominfo sebagai panduan untuk memastikan pelaksanaan kewenangan tersebut berfokus pada perlindungan data pribadi dan prosedur yang adil.[12]

1. Konsep Kesepakatan

Tanda tangan merupakan manivestasi dari sebuah kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan untuk membuat perjanjian. Tidak ada persetujuan yang mempunyai kekuatan jika diberikan karena kesalahan, atau diperoleh melalui paksaan atau penipuan, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata.[13]

Syarat sahnya perjanjian: Untuk menentukan apakah suatu perjanjian itu sah, perjanjian tersebut harus dibandingkan dengan beberapa syarat dan syarat sahnya perjanjian. Terdapat empat syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Secara umum, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Persesuaian kehendak para pihak, atau pertemuan antara penawaran dan penerimaan, adalah apa yang dimaksudkan untuk disepakati. Agar kontrak dapat dianggap sah secara hukum, para pihak yang terlibat dalam persesuaian kehendak memberikan masukan mengenai peraturan yang akan dimasukkan ke dalam perjanjian.

b) Kecakapan

Kapabilitas seseorang untuk melakukan perbuatan suatu perjanjian dapat diidentifikasi melalui usia minimal 21 tahun.

c) Suatu hal tertentu

Menjelaskan perlunya objek perjanjian yang jelas. Artinya, tanpa adanya suatu objek tertentu, suatu perjanjian tidak dapat dibuat. Selain itu, Pasal 1333 Kode Hukum Perdata mengatur hal-hal tertentu, yang menyatakan bahwa objek perjanjian setidaknya harus dapat dipastikan.

d) Suatu sebab yang halal

Ini adalah klausul yang menetapkan bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum, kesusilaan umum, atau peraturan lainnya. Perjanjian ini tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat dinyatakan batal demi hukum jika ada ketentuan yang bertentangan dengan poin-poin yang diajukan.[14]

Dari beberapa paparan di atas tentang konsep kesepakatan yang sesuai dengan konsep tanda tangan, kesepakatan adalah hasil dari para pihak yang mengikatkan dirinya. Tanda tangan baik konvensional maupun elektronik, berfungsi untuk menunjukkan kesadaran dan pemahaman para pihak terhadap tindakan hukum yang dilakukan, serta melambangkan persetujuan atas isi dokumen tersebut. Kesepakatan merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan suatu perjanjian karena merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Berikut ini adalah teori-teori perjanjian tentang kesepakatan:

a. Teori Penawaran dan penerimaan(offer and acceptance)

Teori “penawaran dan penerimaan” berfungsi sebagai dasar dari kesepakatan kehendak. Ini berarti bahwa kesepakatan kehendak hanya dapat terjadi, secara teori, sebagai hasil dari penawaran yang dibuat oleh satu pihak dan diterima oleh pihak lainnya. Setiap sistem hukum pada umumnya menerima teori ini.

b. Teori Kehendak(wils theorie)

Menurut teori ini, kesepqkatan terjadi ketika penerima menyatakan kehendaknya, yang dapat terjadi dengan menulis surat pernyataan.

c. Teori Pengiriman (verzend theorie)

Menyatakan bahwa ketika pihak yang menerima penawaran menyatakan kehendak mereka, maka kesepakatan tercapai. Dengan kata lain, kesepakatan terbentuk ketika pihak yang menerima penawaran mengirimkan balasan, karena pengirim balasan kehilangan kendali atas surat yang ia kirimkan pada saat itu.

d. Teori Pengetahuan(vernemings theorie)

Menyatakan bahwa pihak yang menawarkan harus mengetahui bahawa tawaran yang diberikan telah disetujui.

e. Teori kepercayaan (vertrouwens theorie)

Kesepakatan tercapai ketika pihak yang menawarkan menganggap pernyataan kehendak (secara objektif) layak diterima.

g. Teori kotak pos (mail box theorie).

Menyatakan bahwa ketika surat balasan yang berisi penerimaan dikirimkan ke kotak pos, maka hal tersebut dianggap sebagai penerimaan tawaran kontrak dan kontrak dianggap telah dibuat.

Teori ucapan (uiting theorie).

Teori ini menyatakan bahwa ketika salah satu pihak menerima penawaran dan menyiapkan surat balasan yang menunjukkan penerimaan, maka terjadilah kesepakatan kehendak.

i. Teori dugaan.

Sejalan dengan teori ini, kesepakatan dianggap telah tercapai ketika pihak yang menerima penawaran mengirimkan surat balasan dan secara wajar dapat mengasumsikan bahwa pihak lain yang memberikan penawaran, telah menerima surat tersebut dan mengetahui isinya.

Dari beberapa paparan di atas tentang teori kesepakatan yang sesuai dengan konsep tanda tangan, yaitu teori kehendak, kesepakatan terjadi apabila kehendak pihak penerima dinyatakan. Tanda tangan bertujuan untuk menunjukkan bahwa pihak tersebut menyetujui isi dari dokumen tersebut.

Perjanjian dapat ditandatangani secara tertulis atau lisan. Setiap pihak dalam perjanjian selalu memiliki hak dan kewajiban sebagai akibat dari keduanya, sehingga perjanjian tersebut mengikat semua pihak. Meskipun demikian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1866 KUH Perdata, harus diperhatikan kemudahan pembuktian. Bukti tertulis, pernyataan, tuduhan, pengakuan, dan sumpah adalah contoh-contoh alat bukti. Jika perjanjian dibuat secara tertulis, mendapatkan bukti-bukti tersebut mudah; namun, jika dokumentasi tertulis tidak tersedia, hukum dapat memberikan bukti-bukti yang lain. Para pihak dalam perjanjian harus memenuhi beberapa persyaratan.

1. Syarat formal yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjan sebagai berikut :

a. Identitas para phak saat perjanjian dibuat

b. kewenangan penandatanganan masing - masing pihak

c. keahlian parapihak sesuai dengan hukum atautidak

d. Identitas objek yang akan disepakati

e. Keabsahan terhadap objek yang dispakati

f. Lokasi dan waktu proses penandatanganan para pihak

g. Tersedianya bukti kesepakatan antara para pihak jika terjadi perselisihan

2. Berikut syarat materil berikut ini diperlukan agar perjanjian dapat dilaksanakan:

a. Keinginan para pihak harus dinyatakan dengan jelas

b. Keinginan para pihak harus tunduk pada hukum yang masih berlaku

c. Perjanjian ini tidak dimaksudkan sebagai nasihat, penipuan, atau paksaan, dan tidak dibuat untuk mengambil keuntungan dari situasi tertentu

d. Kepercayaan dan persetujuan pihak lain yang didasarkan pada perjanjian

e. Pernyataan eksplisit dari masing-masing pihak yang menerima perjanjian secara keseluruhan.[15]

Setelah persyaratan tersebut dipenuhi, keinginan para pihak dituangkan dalam perjanjian dengan mempertimbangkan rancangan perjanjian serta dasar hukum yang akan mendasari setiap tindakan hukum yang diambil.

Conclusion

UU ITE No. 11 tahun 2008 menetapkan standar untuk tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik harus memenuhi beberapa persyaratan agar dapat dianggap mengikat secara hukum, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE. Persyaratan tersebut antara lain sebagai berikut: Data yang digunakan untuk membuat tanda tangan elektronik hanya boleh terkait dengan penanda tangan dan berada di bawah kendali mereka setiap saat. Penting untuk mengetahui setiap modifikasi yang dilakukan pada tanda tangan elektronik setelah proses penandatanganan, serta setiap penyesuaian yang dilakukan pada data elektronik terkait. Selain itu, harus ada cara untuk mengidentifikasi penandatangan dan menunjukkan persetujuan mereka terhadap informasi elektronik yang dimaksud. UU ITE juga mengakomodasi kebutuhan akan autentikasi yang lebih canggih untuk memastikan keamanan dan validitas transaksi elektronik.

References

  1. J. V. Tahapary, “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Ditinjau Dalam Hukum Acara Perdata = Electronic Signature Validity Evidence As Seen in the Legal Civil Procedure,” Universitas Indonesia Library. Accessed: Feb. 05, 2024. [Online]. Available: https://lib.ui.ac.id
  2. R. I. Tektona and S. R. Laoly, “Kepastian Hukum Tanda Tangan Digital Pada Platform PrivyID Di Indonesia,” Acta, vol. 6, no. 2, Art. no. 2, Jun. 2023, doi: 10.23920/acta.v6i2.1141.
  3. S. Anissa and M. T. Multazam, “Assessing Legal Measures for Addressing Personal Data Misuse in Commercial Settings: A Critical Analysis,” Indonesian Journal of Law and Economics Review, vol. 19, no. 2, Art. no. 2, May 2024, doi: 10.21070/ijler.v19i2.1012.
  4. M. R. I. Falaq and M. T. Multazam, “Pentingnya Sertifikasi Tanda Tangan Elektronik Pada Pinjaman Online,” Journal Customary Law, vol. 1, no. 3, pp. 9–9, Jul. 2024, doi: 10.47134/jcl.v1i3.2957.
  5. “Keabsahan Tanda Tangan Elektronik Pada Perjanjian Jual Beli Barang Dari Perspektif Hukum Perdata,” The Lens - Free & Open Patent and Scholarly Search. Accessed: Jul. 24, 2024. [Online]. Available: https://www.lens.org/lens
  6. A. Anggorojati, “Keabsahan Hukum Tanda Tangan Digital Dalam Perjanjian Elektronik Melalui Aplikasi PrivyID,” Jan. 2023. Accessed: Apr. 03, 2024. [Online]. Available: https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/42920
  7. S. A. Shafti, “Kekuatan Pembuktian Tanda Tangan Elektronik Tidak Tersertifikasi,” Thesis, Universitas Islam Indonesia, 2023. Accessed: Apr. 03, 2024. [Online]. Available: https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/47643
  8. R. Lapian, “Pengaturan Penggunaan Tanda Tangan Elektronik Menurut UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,” LEX PRIVATUM, vol. 13, no. 1, Art. no. 1, Jan. 2024. Accessed: Jul. 23, 2024. [Online]. Available: https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/53621
  9. S. A. P. S.H, “Cara Kerja Tanda Tangan Elektronik.” Accessed: Jul. 23, 2024. [Online]. Available: https://www.hukumonline.com/klinik/a/cara-kerja-tanda-tangan-elektronik-cl3/
  10. I. W. Ariadi, “Bentuk-Bentuk Digital Signature Yang Sah Dalam Transaksi Elektronik Di Indonesia,” jmhu, vol. 5, no. 1, p. 175, May 2016, doi: 10.24843/JMHU.2016.v05.i01.p16.
  11. “Perlindungan Hak Cipta Novel Dalam Bentuk Buku Elektronik Yang Diperdagangkan Tanpa Izin Pencipta Dan/Atau Pemegang Hak Cipta Di Aplikasi Instagram - UMS ETD-db.” Accessed: Aug. 12, 2024. [Online]. Available: https://eprints.ums.ac.id/114053/
  12. “Problematika Aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Di Indonesia,” Pancasakti Law Journal (PLJ). Accessed: Aug. 12, 2024. [Online]. Available: https://fh.pps-upstegal.ac.id/index.php/plj/article/view/8
  13. T. S. Slamet and M. M. Paliling, “Kekuatan Hukum Transaksi Dan Tanda Tangan Elektronik Dalam Perjanjen,” Paulus Law Journal, vol. 1, no. 1, Art. no. 1, Sep. 2019. Accessed: Jul. 23, 2024. [Online]. Available: https://ojs.ukipaulus.ac.id/index.php/plj/article/view/465
  14. N. F. Mediawati and S. B. Purwaningsih, “Buku Ajar Hukum Kontrak Dan Perikatan,” Umsida Press, pp. 1–104, 2018, doi: 10.21070/2018/978-602-5914-35-5.
  15. A. N. Salim, H. S. Budi, and S. A. Deswita, “Kesepakatan Dalam Perjanjian Untuk Mencegah Terjadinya Wanprestasi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” Jurnal Kewarganegaraan, vol. 8, no. 1, Art. no. 1, Jun. 2024, doi: 10.31316/jk.v8i1.6430.