Abstract: The increasing globalization of markets has raised significant legal questions regarding the registration of geographical indications (GIs), particularly concerning the validity of registering names from regions outside Indonesia. This research adopts a normative research method utilizing a statute approach to explore the legal framework governing GIs in Indonesia and compare it with international standards. The knowledge gap identified in this study pertains to the lack of comprehensive understanding regarding the requirements for registering foreign geographical names as GIs in Indonesia. The aim of this research is to provide an in-depth analysis of the legal validity of such registrations, focusing on the specific requirements and implications under Indonesian law. Preliminary findings indicate that while foreign regional names can be registered as trademarks if they meet specific criteria, they cannot be registered as GIs due to the absence of unique characteristics attributable to the geographical factors of the foreign country. This study's novelty lies in its comparative perspective, highlighting the discrepancies between local and international GI regulations, thereby enriching the discourse on intellectual property rights in a global context. The implications of this research are significant for policymakers and legal practitioners, as it underscores the necessity for clearer regulations and standards governing the use of foreign geographical names, ultimately aiming to protect consumers and uphold the integrity of Indonesian GIs.
Highlights:
Keywords: Geographical Indications, Trademark Registration, International Law, Indonesia, Legal Framework
Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Proses pendaftaran merek melibatkan serangkaian tahapan formal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Merek. Merek merupakan salah satu dari tujuh jenis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang diatur dalam hukum HKI di Indonesia. Pemegang merek yang berhasil mendaftarkannya akan memperoleh hak eksklusif untuk menggunakan merek tersebut, serta berwenang untuk melarang pihak lain menggunakan merek tersebut secara keseluruhan atau serupa. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG), merek diartikan sebagai identifikasi visual seperti gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna dalam format 2 dimensi dan/atau 3 dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 atau lebih unsur tersebut. Tujuannya adalah untuk membedakan produk dan/atau layanan yang dihasilkan oleh individu atau entitas hukum selama kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Secara umum, setiap individu memiliki hak untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek ke Kantor Merek, asalkan memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek). Meskipun demikian, keberhasilan pendaftaran tidak dapat dijamin karena terdapat faktor-faktor kritis yang menjadi persyaratan dan pertimbangan saat dilakukan pemeriksaan substantif oleh pemeriksa merek di DJKI.[1]
Dalam era perdagangan modern, banyak pemilik usaha atau produsen yang menggunakan nama daerah luar negeri atau luar Indonesia untuk mendukung merek usahanya. Sebagai contoh, LBC (London Beauty Centre) yang merupakan sebuah klinik kecantikan yang berdiri di Indonesia terdaftar dengan kode kelas 44 jenis barang atau jasa, selain itu Kebab Turki Baba Rafi yang merupakan bisnis dalam bidang merek sebuah makanan yang cukup terkenal di Indonesia terdaftar dengan kode kelas 30 baranga atau jasa dan CFC (California Fried Chicken) yang merupakan sebuah usaha yang bergerak dalam bidang restoran cepat saji terdaftar dengan kode kelas 43 jenis barang atau jasa. Dari ketiga contoh tersebut menunjukkan bahwa pendaftaran merek yang dilakukan oleh WNI (warga negara Indonesia) melalui DJKI mengandung unsur nama suatu daerah di luar Indonesia. Perlu dipahami terlebih dahulu definisi dari hak atas merek sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU MIG: Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Pada dasarnya pendaftaran merek memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas merek. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 UU MIG yaitu: Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar.[2]
Meskipun merek indikasi geografis (IG) menawarkan perlindungan bagi produk khas daerah tertentu, muncul pertanyaan terkait keabsahan pendaftaran IG dengan menggunakan nama daerah di luar Indonesia. Hal ini
menimbulkan keraguan, apakah praktik tersebut diperbolehkan dan apa dasar hukum yang mengaturnya. Lebih lanjut, pertimbangan hukum internasional terkait pendaftaran IG dengan nama daerah luar Indonesia perlu dikaji. Apakah terdapat ketentuan internasional yang melarang atau membatasi praktik tersebut? Memahami kompleksitas isu ini menjadi penting untuk memastikan perlindungan produk-produk lokal dan memastikan kepatuhan terhadap norma hukum yang berlaku, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Terdapat penelitian yang ditulis oleh Devica Rully Masrur dalam penelitiannya yang berjudul “Perlindungan Hukum Indikasi Geografis Yang Telah Didaftarkan Sebagai Merek Berdasarkan Instrumen Hukum Nasional Dan Hukum Internasional” yang mana dalam Penelitian ini terkait tentang perlindungan Indikasi Geografis (IG) di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penelitian ini menemukan beberapa poin penting, antara lain: Sistem konstitutif (first to file) dalam indikasi geografis tidak didukung dengan kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan produk IGnya. Indikasi Geografis memiliki prioritas perlindungan dibandingkan merek dalam UU Merek dan Indikasi Geografis. Namun, dalam implementasi, terdapat celah hukum dan ketidakadilan. Indonesia perlu meratifikasi Perjanjian Lisabon untuk memanfaatkan sistem pendaftaran internasional Indikasi Geografis.[3]
Penelitian yang ditulis oleh Tomy Pasca Rifai dalam penelitiannya yang berjudul “Kesiapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean” yang mana dalam Penelitian ini membahas tentang kesiapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek dan IG) dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Penelitian ini mengkaji pembaruan substansial perlindungan hukum merek dan Indikasi Geografis menurut Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, serta kesiapan UU tersebut dalam menghadapi MEA. Beberapa poin penting dari penelitian ini: UU Merek dan Indikasi Geografis memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi merek dan Indikasi Geografis Indonesia. UU ini juga mempermudah pendaftaran merek dan Indikasi Geografis Indonesia perlu meningkatkan kesiapannya dalam menghadapi MEA, termasuk dalam hal perlindungan merek dan IG.[4]
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan dan memberikan analisis mendalam tentang keabsahan pendaftaran IG dengan nama daerah luar Indonesia. Dengan memahami dasar hukum dan pertimbangan hukum internasional dengan perspektif komparasi pengaturan indikasi geografis di luar negeri. Dengan memahami persyaratan Indikasi Geografis di negara lain, diharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang sistem IndikasiGeografis secara keseluruhan untuk mengembangkan kebijakan dan praktik Indikasi Geografis yang lebih baik.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif. Dengan Pendekatan perundang-undangan (statute approach).Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan bahan hukum adalah studi pustaka, yaitu melalui pencarian dan kajian literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.
A. Analisis Merek dan Indikasi Geografis Yang Ditolak Oleh Lembaga Merek Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
Naskah Merek adalah elemen penting dalam bisnis dan memiliki banyak manfaat bagi perusahaan yang memilikinya. Merek yang kuat dapat membantu perusahaan untuk meningkatkan penjualan, membangun loyalitas pelanggan, dan meningkatkan nilai bisnis mereka. Pada Pasal 20 huruf C Undang-Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis No. 20 Tahun 2016 menegaskan bahwa merek ditolak jika,“memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;”.[5] Berikut penjelasannya:
1. Unsur yang menyesatkan masyarakat, dimana pasal ini melarang pendaftaran merek yang mengandung unsur- unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang beberapa hal, yaitu:
a. Asal barang dan/atau jasa: Merek tidak boleh memberikan kesan bahwa barang atau jasa berasal dari tempat yang sebenarnya bukan tempat asalnya. Contoh: "Roti Prancis" untuk roti yang tidak dibuat di Prancis, "Kopi Jawa" untuk kopi yang tidak berasal dari Jawa, dan"Minuman Herbal Alami" untuk minuman yang mengandung bahan kimia sintetis.
b. Kualitas barang dan/atau jasa: Merek tidak boleh melebih-lebihkan atau memberikan kesan yang salah tentang kualitas barang atau jasa. Contoh: "Sabun Ajaib" untuk sabun yang tidak memiliki efek ajaib, "Minuman Sehat Instan" untuk minuman yang tidak memiliki kandungan gizi yang baik, dan "Kosmetik Anti-Aging" untuk kosmetik yang tidak terbukti efektif menghilangkan keriput.
c. Jenis, ukuran, macam, dan tujuan penggunaan barang dan/atau jasa: Merek tidak boleh memberikan informasi yang salah tentang jenis, ukuran, macam, atau tujuan penggunaan barang atau jasa. Contoh: Minyak Goreng Sehat" untuk minyak goreng yang tidak memiliki kandungan lemak jenuh rendah, "Sabun Pemutih Pakaian" untuk sabun yang tidak mengandung bahan pemutih, dan "Obat Pelangsing" untuk obat yang tidak terbukti efektif menurunkan berat badan.
2. Nama Varietas Tanaman yang Dilindungi, dimana pasal ini juga melarang pendaftaran merek yang menggunakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis. Varietas tanaman yang dilindungi adalah varietas tanaman yang telah didaftarkan dan mendapatkan hak perlindungan varietas tanaman. Penggunaan nama varietas tanaman yang dilindungi tanpa izin dari pemegang haknya merupakan pelanggaran hak intelektual. Contoh: "Beras IR64" untuk beras yang bukan berasal dari varietas padi IR64, "Apel Fuji" untuk apel yang bukan berasal dari varietas apel Fuji, dan "Kopi Arab Robusta" untuk kopi yang bukan campuran kopi Arab dan Robusta.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman merupakan landasan hukum yang kuat bagi para pemulia tanaman di Indonesia. Undang-undang ini memberikan perlindungan hukum atas varietas tanaman yang dihasilkan melalui proses pemuliaan yang panjang dan kompleks. Dengan adanya perlindungan ini, para pemulia terdorong untuk terus berinovasi menciptakan varietas unggul yang memiliki karakteristik unik, stabil, dan seragam. Hal ini tidak hanya memberikan manfaat bagi pemulia, tetapi juga bagi petani, konsumen, dan negara. Petani dapat mengakses varietas unggul yang berpotensi meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen, sementara konsumen dapat menikmati beragam produk pertanian yang lebih baik. Pada skala yang lebih luas, perlindungan varietas tanaman berkontribusi terhadap peningkatan daya saing produk pertanian Indonesia di pasar global serta mendukung ketahanan pangan nasional.
Penolakan permohonan pendaftaran merek oleh DJKI umumnya didasari oleh evaluasi menyeluruh terhadap merek yang diajukan. DJKI akan memeriksa apakah merek tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan terkait. Beberapa alasan umum penolakan meliputi:
1. Persamaan dengan Merek Lain: Merek yang diajukan dianggap terlalu mirip atau identik dengan merek yang sudah terdaftar atau sedang dalam proses pendaftaran untuk barang atau jasa yang sejenis. Hal ini bertujuan untuk menghindari kebingungan konsumen dan melindungi hak merek yang sudah ada.
2. Bertentangan dengan Ketentuan Hukum: Merek dapat ditolak jika mengandung unsur yang bertentangan dengan hukum, seperti melanggar moral, agama, atau ketertiban umum. Selain itu, merek yang bersifat generik, deskriptif, atau menyesatkan juga akan ditolak. Merek generik adalah merek yang telah menjadi sebutan umum untuk suatu jenis produk atau jasa. Merek ini telah kehilangan daya pembedanya karena terlalu sering digunakan untuk menyebut seluruh produk atau jasa dalam kategori tersebut, bukan hanya produk atau jasa dari satu produsen tertentu. Merek deskriptif adalah merek yang secara langsung menggambarkan kualitas, karakteristik, tujuan, atau kegunaan dari suatu produk atau jasa. Merek ini dianggap tidak dapat membedakan produk atau jasa satu produsen dengan produsen lainnya. Untuk membangun merek yang kuat dan dilindungi hukum, perusahaan harus memilih merek yang unik, distintif, dan tidak bersifat generik atau deskriptif.
3. Melanggar Hak Orang Lain: Jika merek yang diajukan mengandung unsur yang melanggar hak kekayaan intelektual pihak lain, seperti hak cipta, paten, atau desain industri, maka permohonan tersebut akan ditolak.
4. Tidak Memenuhi Syarat Formal: Permohonan dapat ditolak jika tidak memenuhi persyaratan formal yang telah ditetapkan, seperti kekurangan dokumen persyaratan atau kesalahan dalam pengisian formulir.
Merek yang menyesatkan konsumen dapat memberikan dampak yang negatif. Membuat konsumen membeli produk yang tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Selain itu juga merugikan pihak perusahaan, karena penggunaan merek yang menyesatkan dapat menghilangkan kepercayaan konsumen dan merusak reputasi perusahaan.[6]
B. Analisis Merek dan Indikasi Geografis Yang Tidak Dapat Didaftarkan Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 telah mengatur secara komprehensif mengenai persyaratan dan larangan dalam pendaftaran merek. Salah satu poin penting yang diatur adalah mengenai jenis merek yang tidak dapat didaftarkan. Secara umum, merek yang tidak dapat didaftarkan adalah merek yang tidak memiliki daya pembeda, bertentangan dengan hukum, atau melanggar hak pihak lain. Merek yang bersifat generik yaitu sebutan umum untuk suatu jenis produk atau jasa dan deskriptif yaitu langsung menggambarkan produk atau jasa, atau yang menyesatkan konsumen juga tidak dapat didaftarkan. Selain itu, merek yang melanggar moral, agama, atau ketertiban umum juga dilarang. Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk menjaga ketertiban dalam dunia perdagangan, melindungi konsumen, dan memastikan bahwa hanya merek yang benar-benar unik dan dapat dibedakan yang mendapatkan perlindungan hukum.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, terdapat Indikasi Geografis yang tidak dapat didaftarkan. Yang pertama, Indikasi Geografis yang Bertentangan dengan Ideologi negara yaitu Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasar dan cita-cita bangsa Indonesia. Kedua, Peraturan perundang-undangan yaitu Indikasi Geografis tidak boleh bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Ketiga, adanya Moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum yaitu Indikasi Geografis tidak boleh melanggar norma dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Setelah itu, terdapat Indikasi Geografis yang
tidak dapat didaftarkan karena Indikasi Geografis yang Menyesatkan atau Memperdaya Masyarakat. Indikasi Geografis tidak boleh menyesatkan masyarakat mengenai asal usul, kualitas, karakteristik, atau reputasi produk. Indikasi Geografis tidak boleh membuat masyarakat salah paham tentang produk yang sebenarnya. Selain itu, Indikasi Geografis yang Telah Memperoleh Pengakuan dan/atau Terdaftar Sesuai dengan Ketentuan yang Berlaku di Negara Asalnya artinya, Indikasi Geografis yang telah dilindungi di negara asalnya tidak dapat didaftarkan di Indonesia jika tidak ada persetujuan dari negara asal tersebut. Selain itu, Nama varietas tanaman yang telah dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan varietas tanaman tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis. Nama yang telah digunakan sebagai varietas tanaman dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis, kecuali ada penambahan padanan kata yang menunjukkan faktor indikasi geografis yang sejenis.[7]
Contoh Indikasi Geografis yang tidak dapat didaftarkan:
a. "Kopi Toraja" yang diproduksi di luar wilayah Toraja. Indikasi Geografis "Kopi Toraja" hanya dapat diberikan kepada kopi yang ditanam, diolah, dan diproduksi di wilayah Toraja, Sulawesi Selatan. Kopi yang diproduksi di luar wilayah Toraja, meskipun menggunakan nama "Kopi Toraja", tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis karena tidak memenuhi unsur geografis yang menjadi ciri khasnya.
b. "Batik Pekalongan" yang dibuat dengan motif dan teknik yang berbeda dari Batik Pekalongan asli. Indikasi Geografis "Batik Pekalongan" hanya dapat diberikan kepada batik yang dibuat dengan motif dan teknik khas Pekalongan, Jawa Tengah. Batik yang dibuat dengan motif dan teknik yang berbeda dari Batik Pekalongan, meskipun diproduksi di Pekalongan, tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis karena tidak memiliki ciri khas geografis yang sama.
c. Nama Varietas Tanaman: Nama varietas tanaman yang telah dilindungi berdasarkan peraturan perundang- undangan tentang perlindungan varietas tanaman tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis. Contohnya, nama varietas padi "IR64" tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis karena telah dilindungi sebagai varietas tanaman.
d. Nama yang Telah Digunakan Sebagai Varietas Tanaman dan Digunakan Bagi Varietas Tanaman yang Sejenis:Nama yang telah digunakan sebagai varietas tanaman dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis, kecuali ada penambahan padanan kata yang menunjukkan faktor indikasi geografis yang sejenis. Contohnya, nama "Padi Ciherang" tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis untuk varietas padi lainnya, kecuali ada penambahan padanan kata seperti "Padi Ciherang Unggul" atau "Padi Ciherang Super".[8]
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai perlindungan terhadap indikasi geografis (IG). Namun, tidak semua tanda geografis dapat didaftarkan sebagai IG. Undang-undang ini secara tegas menyebutkan beberapa kriteria yang menyebabkan suatu tanda geografis tidak dapat didaftarkan. Secara umum, suatu tanda geografis tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis jika tidak memiliki hubungan yang spesifik dengan daerah asal. Tanda tersebut harus memiliki kaitan erat dengan karakteristik geografis, alam, manusia, atau kombinasi keduanya yang memberikan reputasi, kualitas, atau karakteristik tertentu pada produk tersebut. Tanda geografis tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan konsumen mengenai asal, kualitas, atau karakteristik produk. Tidak boleh mengandung nama generik atau deskriptif, tanda yang hanya merupakan nama umum untuk jenis produk tertentu atau deskripsi dari produk tersebut tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis. Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan, tanda yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika masyarakat tidak dapat dilindungi sebagai IG. Merupakan tanda yang telah lebih dahulu didaftarkan sebagai merek, jika suatu tanda telah terdaftar sebagai merek, maka tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis. Tujuan dari pembatasan pendaftaran Indikasi Geografis ini adalah untuk menjaga integritas sistem pendaftaran Indikasi Geografis agar hanya produk yang benar-benar memiliki keunikan geografis yang dilindungi. Mencegah penyalahgunaan system agar tidak ada pihak yang mencoba memanfaatkan sistem Indikasi Geografisuntuk tujuan yang tidak sah. Memberikan perlindungan yang adil bagi konsumen agar konsumen tidak tertipu oleh klaim asal-usul produk yang tidak benar.
C. Sistem Pemeriksaan Merek dan Indikasi Geografis di Indonesia
Siapapun yang menciptakan atau memiliki merek dagang berhak untuk mendaftarkan merek tersebut. Baik itu individu, perusahaan, atau badan hukum lainnya. Pendaftaran merek ini bertujuan untuk mendapatkan perlindungan hukum atas hak eksklusif atas penggunaan merek tersebut. Dengan mendaftarkan merek, pemilik merek akan memiliki hak untuk mencegah pihak lain menggunakan merek yang sama atau mirip sehingga dapat menghindari terjadinya persaingan tidak sehat dan melindungi reputasi produk atau jasa yang diidentifikasikan dengan merek tersebut. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua merek dapat didaftarkan. Ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, seperti merek harus bersifat khas, tidak mengandung unsur yang menipu, dan tidak bertentangan dengan hukum atau moral.
Sistem pemeriksaan merek di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis Nomor 20 Tahun 2016 ("UU Merek") dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Pendaftaran Merek ("Permenkumham 19/2019"). Berikut adalah tahapan-tahapan dalam sistem pemeriksaan merek di Indonesia:
1. Pengajuan Permohonan Pendaftaran Merek: Pemohon mengajukan permohonan pendaftaran merek ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Permohonan harus memenuhi persyaratan formal yang diatur dalam UU Merek dan Permenkumham 19/2019.
2. Pemeriksaan Formalitas: DJKI melakukan pemeriksaan formalitas terhadap permohonan pendaftaran merek untuk memastikan bahwa permohonan tersebut telah memenuhi persyaratan formal. Jika permohonan tidak memenuhi persyaratan formal, DJKI akan memberitahukan kepada pemohon dan memberikan kesempatan untuk memperbaikinya.
3. Pemeriksaan Substantif: Jika permohonan telah memenuhi persyaratan formal, DJKI akan melakukan pemeriksaan substantif terhadap merek yang dimohonkan pendaftarannya.
Pemeriksaan substantif bertujuan untuk memastikan bahwa merek tersebut tidak termasuk dalam kategori merek yang dilarang untuk didaftarkan sebagaimana diatur dalam UU Merek. DJKI akan melakukan penelusuran merek terdahulu dan mempertimbangkan keberatan dari pihak lain.
4. Pengumuman Merek: Jika merek tersebut dinyatakan memenuhi syarat untuk didaftarkan, DJKI akan mengumumkan merek tersebut di Berita Resmi Merek. Pengumuman ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan terhadap pendaftaran merek tersebut.
5. Pendaftaran Merek: Jika tidak ada keberatan yang diajukan dalam jangka waktu yang ditentukan, DJKI akan menerbitkan sertifikat pendaftaran merek. Sertifikat pendaftaran merek merupakan bukti bahwa merek tersebut telah terdaftar secara resmi di Indonesia.[9]
Sistem pemeriksaan merek di Indonesia merupakan proses yang kompleks dan membutuhkan keahlian khusus. Pemohon pendaftaran merek harus memastikan bahwa mereknya memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam UU Merek dan Permenkumham 19/2019 agar permohonannya dapat diterima dan mereknya dapat terdaftar secara resmi di Indonesia.
Siapapun berhak mengajukan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis adalah lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa sumber daya alam, barang kerajinan tangan, atau hasil industri. Ini berarti, kelompok masyarakat atau koperasi yang memiliki keterkaitan langsung dengan produk khas suatu daerahlah yang umumnya mengajukan permohonan ini. Tujuannya adalah untuk melindungi kekhasan dan kualitas produk mereka, serta mencegah penyalahgunaan nama atau reputasi produk tersebut oleh pihak lain. Sebagai contoh, kelompok pengrajin batik dari suatu desa tertentu bisa mengajukan permohonan Indikasi Geografis untuk batik khas desa mereka. Dengan begitu, batik tersebut akan diakui secara hukum sebagai produk asli dari desa tersebut dan tidak bisa sembarangan digunakan oleh pihak lain.
Proses pendaftaran Indikasi Geografis melibatkan beberapa tahap yang cukup kompleks, mulai dari persiapan dokumen hingga penerbitan sertifikat. Pemohon, yang umumnya adalah lembaga perwakilan masyarakat di suatu kawasan geografis, harus menyiapkan dokumen-dokumen yang lengkap dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Dokumen-dokumen tersebut kemudian akan melalui proses pemeriksaan administratif dan substansif oleh pihak yang berwenang. Setelah dinyatakan memenuhi syarat, permohonan akan diumumkan ke publik untuk memberikan kesempatan bagi pihak lain mengajukan keberatan. Jika tidak ada keberatan yang berarti, maka akan diterbitkan sertifikat pendaftaran Indikasi Geografis yang memberikan perlindungan hukum atas produk khas tersebut. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemohon, konsultan hukum, hingga lembaga pemerintah.
Pendaftaran merek dan indikasi geografis di Indonesia memiliki perbedaan yang signifikan. Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan barang atau jasa dari satu perusahaan dengan perusahaan lain. Pendaftaran merek memberikan hak eksklusif kepada pemilik merek untuk menggunakan tanda tersebut. Sementara itu, indikasi geografis adalah tanda yang menunjukkan asal suatu produk yang memiliki reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu karena faktor lingkungan geografis. Pendaftaran indikasi geografis bertujuan untuk melindungi reputasi dan kualitas produk yang terkait dengan daerah asalnya. Perbedaan utama terletak pada objek perlindungan: merek melindungi tanda yang digunakan untuk membedakan barang atau jasa, sedangkan indikasi geografis melindungi asal geografis suatu produk. Selain itu, persyaratan dan prosedur pendaftarannya pun berbeda. Merek lebih fokus pada keunikan tanda, sedangkan indikasi geografis lebih menekankan pada hubungan antara produk dengan daerah asalnya dan faktor-faktor geografis yang mempengaruhinya.
D. Perbedaan Perlindungan Indikasi Geografis Secara Nasional dan Internasional
Perlindungan hukum terhadap indikasi geografis memiliki sifat teritorial. Artinya, perlindungan hukum atas suatu produk yang berasal dari wilayah geografis tertentu hanya berlaku di negara tempat pendaftaran dilakukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya kedaulatan masing-masing negara dalam mengatur hukum diwilayahnya, perbedaan sistem hukum di setiap negara, serta kepentingan ekonomi nasional. Sifat teritorial ini menimbulkan sejumlah tantangan, seperti penyalahgunaan indikasi geografis, pendaftaran ganda, dan kompleksitas dalam perlindungan internasional. Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan upaya-upaya seperti pendaftaran indikasi geografis di berbagai negara, kerja sama internasional, sosialisasi kepada masyarakat, serta penegakan hukum yang tegas. Dengan demikian, perlindungan indikasi geografis dapat diperkuat dan manfaatnya dapat dirasakan oleh produsen, konsumen, dan negara.
Pendaftaran IG merek yang mengandung nama daerah merupakan salah satu upaya untuk melindungi kekayaan intelektual dan identitas suatu wilayah. Namun, perlu dipahami bahwa perlindungan IG memiliki sifat teritorial. Artinya, perlindungan hukum yang diberikan hanya berlaku di negara tempat pendaftaran dilakukan. Misalnya, "Parma Ham" adalah IG yang dilindungi di Italia. Jika produsen di negara lain memproduksi produk serupa dan menggunakan nama "Parma Ham" tanpa izin, hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak atas IG di Italia. Namun, jika produsen tersebut tidak melakukan kegiatan bisnis di Italia, maka tindakan hukum hanya dapat dilakukan di negara tempat produsen tersebut beroperasi.
Indikasi geografis merupakan sebuah tanda yang menunjukkan asal usul suatu barang atau produk. Asal usul ini memberikan nilai tambah pada produk karena faktor lingkungan alam dan/atau keahlian manusia di daerah tersebut yang menghasilkan kualitas, reputasi, atau karakteristik unik. Sebagai contoh, kopi Gayo terkenal dengan cita rasanya yang khas karena tumbuh di daerah Gayo, Aceh. Kaitan erat antara produk dan tempat asal menjadi dasar dari indikasi geografis. Kualitas, reputasi, atau karakteristik khas suatu produk secara langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis seperti tanah, iklim, atau proses produksi tradisional. Nama geografis yang digunakan sebagai indikasi geografis harus sudah memiliki reputasi baik dan dikaitkan dengan kualitas produk yang tinggi. Perlindungan hukum diberikan untuk mencegah penyalahgunaan nama dan menjaga kualitas produk. Dengan perlindungan ini, produsen asli dapat menjaga reputasi produknya dan mencegah persaingan tidak sehat dari pihak yang tidak berhak. Manfaat ekonomi juga sangat signifikan. Indikasi geografis meningkatkan nilai tambah produk, sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi di pasar domestik maupun internasional. Selain itu, indikasi geografis berperan penting dalam melestarikan budaya dan pengetahuan tradisional. Proses produksi yang telah diwariskan secara turun-temurun menjadi bagian integral dari identitas suatu daerah. Dengan melindungi indikasi geografis, kita turut melestarikan warisan budaya tersebut. Indikasi geografis sangat penting. Pertama, untuk mencegah penyalahgunaan nama yang dapat merugikan konsumen dan produsen asli. Kedua, untuk meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat produsen. Ketiga, melindungi konsumen dengan memberikan jaminan kualitas. Terakhir, mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan produk lokal dan peningkatan ekspor. Singkatnya, indikasi geografis adalah sebuah alat yang sangat penting untuk melindungi kekayaan intelektual, meningkatkan nilai tambah produk, dan melestarikan budaya lokal. Dengan memahami konsep ini, kita dapat lebih menghargai produk-produk lokal yang memiliki keunikan dan kualitas yang tinggi. Perbedaan utama antara sistem indikasi geografis (IG) nasional dan internasional terletak pada cakupan wilayah dan standar perlindungan. Dalam skala nasional Sistem IG nasional hanya berlaku di wilayah negara masing-masing. Artinya, Indikasi Geografis yang terdaftar di Indonesia hanya dilindungi di Indonesia, dan tidak dilindungi di negara lain.
No | Aspek | Perlindungan. Nasional | Perlindungan Internasional |
1 | Dasar Hukum | Peraturan Perundang- undangan Nasional | Peraturan Perundang- undangan Internasional |
2 | Cakupan Wilayah | Hanya berlaku di wilayah negara yang bersangkutan | Berlaku di wilayah negara-negara anggota perjanjian |
3 | Pendaftaran dan Penegakan Hukum | Dilakukan oleh Otoritas Nasional | Dilakukan oleh Organisasi Internasional |
4 | Contoh | Kopi Toraja (Indonesia) | Champagne (Lisbon Agreement) |
Secara Internasional Sistem IG internasional berlaku di negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional terkait IG, seperti Perjanjian Lisabon tentang Perlindungan Indikasi Geografis dan Asal Barang (Lisbon Agreement on Appellations of Origin and Indications of Geographical Source). Artinya, IG yang terdaftar di bawah sistem internasional dilindungi di semua negara anggota perjanjian. Hingga saat ini, terdapat 29 negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional, yaitu Perjanjian Lisbon tentang Perlindungan Indikasi Geografis dan Asal Barang (Lisbon Agreement on Appellations of Origin and Indications of Geographical Source).[10]
Uni eropa memiliki sistem Indikasi Geografis yang komprehensif dengan melindungi nama produk dari daerah tertentu yang memiliki kualitas tertentu dan reputasi tertentu, melalui label khusus. Sistem Eropa mempunyai dua jenis indikasi atau label yaitu PDO (Protected Designation of Origin) dan PGI (Protected Geographical Indication). Label PDO diberikan pada bahan pangan yang setiap bagian produksi, pengolahan, dan proses penyiapannya dilakukan di wilayah tertentu. Misalnya Minyak zaitun kalamata, memenuhi syarat karena seluruhnya diproduksi di wilayah Kalamata di Yunani selatan. Sedangkan agar produk diberi label PGI, setidaknya salah satu tahapan produksi, pemrosesan, atau penyiapan harus dilakukan di wilayah tertentu, contoh yang bagus adalah keju Gouda Holland. Ada juga Indikasi Geografis untuk minuman beralkohol seperti wiski irlandia, setidaknya salah satu tahap penyulingan atau penyiapan minuman beralkohol dilakukan di wilayah geografis yang relevan dan pelabelan bersifat opsional. Melalui Indikasi Geografis, Uni Eropa bertujuan untuk mendorong diversifikasi produksi pertanian dan berkontribusi terhadap pembangunan daerah pedesaan. Serta meningkatkan nilai unsur-unsur pangan yang tidak berwujud khususnya cita rasa, keunikan dan katakteristik budaya. Saat ini, hampir 3.500 produk di UE dilindungi oleh Indikasi Geografis, senilai €80 miliar. Seperti semua hak kekayaan intelektual, hak tersebut dilindungi dari peniruan oleh hukum UE. Indikasi Geografis memainkan peran penting dalam negoisasi perdagangan antara UE dan negara lain. Dengan peraturan yang di revisi, UE telah memperkuat Indikasi Geografis dengan memberikan perlindungan yang lebih baik di internet dan mengatasi kekurangan dalam kesadaran konsumen, penegakan hukum, dan keberlanjutan.
Indonesia termasuk dalam ratifikasi perjanjian internasional terkait Indikasi Geografis (IG), yaitu Perjanjian Lisbon tentang Perlindungan Indikasi Geografis dan Asal Barang (Lisbon Agreement on Appellations of Origin and Indications of Geographical Source). Indonesia meratifikasi Lisbon Agreement pada tanggal 12 November 2019 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2019. Pengesahan ini diumumkan di Berita Negara Republik Indonesia Nomor 206 Tahun 2019 pada tanggal 27 November 2019. Dengan meratifikasi Lisbon Agreement, Indonesia berkomitmen untuk melindungi IG dari negara-negara anggota lainnya. Hal ini berarti bahwa IG yang terdaftar di Indonesia juga akan dilindungi di negara-negara anggota Lisbon Agreement lainnya.[11]
Adapun manfaat ratifikasi Lisbon Agreement bagi Indonesia adalah untuk meningkatkan perlindungan Indikasi Geografis Indonesia di pasar internasional, meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar internasional, mendorong pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia, dan meningkatkan citra Indonesia sebagai negara yang menghargai kekayaan intelektual. Adapun Indikasi Geografis Indonesia yang telah terdaftar di bawah Lisbon Agreement, seperti Kopi Kintamani (Bali), Batik Pekalongan (Jawa Tengah), Tenun Songket Lombok (Nusa Tenggara Barat), Kopi Toraja (Sulawesi Selatan), dan Gula Aren Pangkajene dan Kepulauan (Sulawesi Selatan).[12]
Standar perlindungan Indikasi Geografis secara Nasional dapat berbeda-beda di setiap negara. Hal ini karena setiap negara memiliki undang-undang dan peraturan IG sendiri. Sedangkan, standar perlindungan Sistem internasional memiliki standar perlindungan IG yang seragam, yang diatur dalam Lisbon Agreement. Standar ini memastikan bahwa IG dilindungi secara konsisten di semua negara anggota perjanjian. Standar perlindungan IG di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Secara umum, standar perlindungan IG di Indonesia meliputi:
1. Hak Eksklusif: Pemegang IG terdaftar memiliki hak eksklusif untuk menggunakan IG tersebut pada barang atau jasa yang dihasilkan di wilayah geografis tertentu. Hak eksklusif ini meliputi hak untuk menempatkan IG pada barang atau jasa, memamerkan IG dalam promosi dan iklan, menuntut pihak lain yang menggunakan IG tanpa izin.
2. Pencegahan Peniruan: Pihak lain dilarang menggunakan IG yang terdaftar pada barang atau jasa yang tidak berasal dari wilayah geografis yang bersangkutan. Hal ini termasuk penggunaan IG yang Menimbulkan kesan bahwa barang atau jasa tersebut berasal dari wilayah geografis yang bersangkutan Menimbulkan kebingungan di kalangan konsumen.
3. Tindakan Hukum: Pemegang IG terdaftar dapat melakukan tindakan hukum terhadap pihak lain yang melanggar hak-haknya. Tindakan hukum ini dapat berupa gugatan perdata untuk ganti rugi, permohonan penghentian pelanggaran, dan tindakan pidana
4. Jangka Waktu Perlindungan: IG terdaftar dilindungi selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas IG tersebut masih ada. Artinya, tidak ada batas waktu tertentu untuk perlindungan IG.
5. Pembatalan dan Pencabutan Pendaftaran: Pendaftaran IG dapat dibatalkan atau dicabut dalam, yaitu IG tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk pendaftaran, pemegang IG terdaftar tidak menggunakan IG tersebut selama 3 tahun berturut-turut dan pemegang IG terdaftar melanggar hak-hak pihak lain.[13]
Lembaga yang Berwenang: Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) adalah lembaga yang berwenang untuk mendaftarkan, memeriksa, dan mengawasi IG di Indonesia.
Standar perlindungan IG di bawah Lisbon Agreement generally lebih kuat daripada standar perlindungan nasional di banyak negara. Hal ini karena Lisbon Agreement memiliki ketentuan yang lebih ketat tentang pencegahan peniruan dan tindakan hukum. Lisbon Agreement juga memiliki jangka waktu perlindungan yang lebih panjang untuk IG. IG terdaftar dilindungi selama setidaknya 10 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.[14] Pembatalan dan pencabutan pendaftaran pemegang IG terdaftar tidak menggunakan IG tersebut selama 5 tahun berturut-turut. Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) adalah lembaga yang berwenang untuk mendaftarkan, memeriksa, dan mengawasi IG di bawah Lisbon Agreement. Jadi, Perjanjian Lisbon provides a strong standard of protection for IGs. Negara-negara yang meratifikasi perjanjian ini dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi IG mereka di pasar internasional. Sistem IG nasional dan internasional memiliki perbedaan dalam hal cakupan wilayah, standar perlindungan, dan beberapa aspek lainnya.[15]
Sistem nasional umumnya lebih mudah dan murah untuk didaftarkan, tetapi hanya memberikan perlindungan di negara asal. Sedangkan, untuk Sistem Internasional memberikan perlindungan yang lebih luas, tetapi proses pendaftarannya lebih rumit dan mahal. Pemilihan sistem yang tepat untuk mendaftarkan IG tergantung pada kebutuhan dan tujuan pemilik IG.
E. Analisis Keabsahan Merek dan Indikasi Geografis jika Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Merek dan Indikasi Geografis merupakan dua konsep penting dalam dunia kekayaan intelektual, meskipun sering disalahartikan sebagai hal yang sama. Berikut perbedaan antara keduanya.
No | Aspek | Merek | Indikasi Geografis |
1 | Definisi | Tanda yang dapat dibedakan untuk membedakan barang dan/ atau jasa | Tanda yang menunjukkan asal usul suatu barang yang menunjukkan kualitas, reputasi, atau karakteristik khas yang disebabkan oleh faktor geografis |
2 | Syarat Pendaftaran | Harus memiliki daya pembeda, tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan dan tidak menyesatkan konsumen | Produk harus memiliki karakteristik khas yang disebabkan oleh faktor georafis, produk harus memiliki reputasi yang baik dikaitkan dengan daerah geografisnyadan batas-batas daerah asal produk harus didefinisikan dengan jelas |
3 | Hak yang Diberikan | Hak eksklusif untuk menggunakan merek sebagai produk atau jasa yang didaftarkan | Hak eksklusif kepada pemegang hak Indikasi Geografis untuk menggunakan nama tersebut sebagai produk yang berasal dari daerah asal geografis yang terdaftar |
4 | Contoh | Coca-cola, Adisas, Nike | Kopi Toraja, Batik Pekalongan, Parmigiano Regguano |
Contoh:
a. "Kopi Toraja": Bisa didaftarkan sebagai IG karena kopi Toraja memiliki karakteristik khas yang disebabkan oleh faktor geografis Toraja, Sulawesi Selatan, seperti rasa, aroma, dan tekstur yang khas.
b. "Pizza Roma": Bisa didaftarkan sebagai merek jika memenuhi syarat-syarat pendaftaran merek. Kemungkinan besar tidak dapat didaftarkan sebagai IG karena pizza tidak memiliki karakteristik khas yang disebabkan oleh faktor geografis Roma, Italia.
c. "Burger Los Angeles": Bisa didaftarkan sebagai merek jika memenuhi syarat-syarat pendaftaran merek. Kemungkinan besar tidak dapat didaftarkan sebagai IG karena burger tidak memiliki karakteristik khas yang disebabkan oleh faktor geografis Los Angeles, Amerika Serikat.
Merek dan Indikasi Geografis memiliki persamaan dalam tujuannya, yaitu untuk membedakan produk, memberikan informasi, dan melindungi hak pemilik. Namun, terdapat perbedaan yang signifikan dalam definisi, syarat pendaftaran, dan hak yang diberikan. Keduanya memiliki fokus yang berbeda, Indikasi geografis menekankan pada asal geografis suatu produk dan kualitas unik yang terkait dengan asal tersebut. Sedangkan, Merek menekankan pada pembedaan produk atau jasa dari produsen yang berbeda.[16] Selain itu, Indikasi Geografis bertujuan untuk Melindungi nama dan reputasi suatu daerah serta produk-produk yang berasal dari daerah tersebut. Sedangkan, Merek untuk melindungi identitas bisnis dan mencegah persaingan tidak sehat. Pemilihan antara merek dan IG untuk melindungi produk atau jasa harus dilakukan berdasarkan analisis yang cermat terhadap karakteristik produk, faktor geografis, dan strategi bisnis.[17] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai persyaratan dan perlindungan terhadap merek dan indikasi geografis. Merek dianggap sah jika unik, terdaftar, digunakan dalam perdagangan, dan tidak melanggar hukum. Sementara itu, indikasi geografis harus memiliki hubungan khusus dengan daerah asal, memiliki reputasi, dipengaruhi oleh faktor lingkungan geografis, dan terdaftar. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada fokus perlindungan, persyaratan pendaftaran, dan manfaat yang diberikan.[18]
Penggunaan nama produk di Indonesia yang menggunakan nama daerah luar negeri bisa didaftarkan sebagai merek jika memenuhi syarat-syarat pendaftaran merek, seperti memiliki daya pembeda dan tidak menyesatkan konsumen. Tetapi, Tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis karena tidak memiliki karakteristik khas yang disebabkan oleh faktor geografis negara tersebut.