General Background: The regulation of halal products in Indonesia is critical for ensuring compliance with Islamic dietary laws and consumer protection. Specific Background: The Halal Product Guarantee Agency (BPJPH), established in 2014, manages halal certification, but its effectiveness is hindered by limited public resources, complex certification processes, and low public awareness. Knowledge Gap: While existing literature addresses the legal aspects of halal regulation, there is insufficient exploration of the socio-legal dynamics influencing compliance and enforcement in Indonesia. Aims: This study aims to analyze BPJPH's regulatory effectiveness in the halal certification process, identify the challenges faced, and propose actionable solutions. Results: Utilizing socio-legal methods, including legal analysis and interviews with key stakeholders such as the Ministry of Religion and the Indonesian Ulema Council, the findings reveal that BPJPH's implementation efforts are hindered by resource constraints and public ignorance about halal certification's significance. Novelty: This research uniquely integrates legal and social perspectives to provide a comprehensive understanding of the regulatory landscape, highlighting the interplay between law and societal values in shaping halal compliance. Implications: The study emphasizes the need for improved socialization, inter-agency collaboration, and educational initiatives to raise public awareness and enhance enforcement of halal products in Indonesia.
Highlights:
Keywords: halal certification, BPJPH, socio-legal methods, regulatory effectiveness, public awareness
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar, dengan populasi muslim di dunia mencapai 240,62 juta jiwa pada 2023. menekankan konsumsi produk halal dengan pemerintah yang berperan penting melalui sertifikasi. Panduan ketat Islam, berakar pada Al-Quran dan Hadits, membedakan halal dan haram dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun mengonsumsi produk halal adalah kewajiban agama dan hak individu, tantangan muncul karena adanya produk tanpa sertifikasi. Produk halal, terkenal karena kualitas dan manfaat kesehatannya, seperti daging halal yang mematuhi prinsip penyembelihan Islami [1]. Kemampuan suatu produk untuk melewati proses jaminan kehalalan, yang mencakup pemeriksaan bahan, tata cara pembuatan, penyimpanan, pengemasan, penjualan, dan penyajian produk, ditunjukkan dengan sertifikasi halalnya. Proses ini memastikan kehalalannya dengan memeriksa bahan, prosedur pembuatan, penyimpanan, pengemasan, penjualan, dan penyajian produk yang diakui melalui sertifikasi halal [2]. Sertifikasi halal dikeluarkan oleh BPJPH dengan tujuan untuk memberikan jaminan kehalalan suatu produk pangan olahan bagi konsumen Muslim. Proses sertifikasi melibatkan penilaian menyeluruh, memberikan jaminan keamanan dan status halal. Tahapan-tahapan proses sertifikasi yang diatur oleh pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, seperti Kementerian Agama, LPPOM MUI, dan BPJPH. Tahapan tersebut mencakup pendaftaran, audit, verifikasi, rekomendasi fatwa halal, dan penerbitan sertifikat halal. Melalui proses ini, diharapkan bahwa produk pangan olahan yang telah mendapatkan sertifikasi halal telah memenuhi standar kehalalan yang ditetapkan [3].
Namun demikian, proses sertifikasi halal juga dapat dihadapi oleh berbagai tantangan, seperti persyaratan kelengkapan dokumen, modal yang minim, proses yang masih manual. Oleh karena itu, meskipun proses sertifikasi halal dimaksudkan untuk memberikan jaminan kehalalan, tetap diperlukan pengawasan dan penegakan standar yang ketat untuk memastikan keabsahan dari sertifikasi halal tersebut. Pengamanan terhadap produk halal harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalisme. Sistem hukum harus didasarkan pada prinsip keterbukaan dan transparansi, di mana proses penegakan hukum dilakukan secara terbuka dan informasi tentang kasus hukum dapat diakses oleh publik. Hal ini memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dapat memahami proses hukum dan menilai keadilan dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, jaminan implementasi pada saat ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Informasi produk yang jelas diperlukan untuk perlindungan konsumen [4].
Masyarakat dapat mengetahui apakah suatu produk halal atau tidak dengan melihat label halal yang diperoleh berdasarkan sertifikat halal. Sertifikat ini dikeluarkan oleh Badan Penjaminan Produk Halal (BPJPH), setelah melalui proses penelitian oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) atas fatwa yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dengan adanya label halal ini, konsumen dapat memastikan bahwa produk tersebut telah melewati proses penelitian yang ketat untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip halal yang ditetapkan oleh otoritas agama.
BPJPH, badan penyelenggara jaminan produk halal di Indonesia, memiliki wewenang untuk menegakkan kepatuhan terhadap standar halal melalui berbagai tindakan jika terdeteksi adanya pelanggaran. Tindakan ini dapat mencakup pemberian sanksi administratif, pencabutan sertifikasi halal, atau melibatkan otoritas penegak hukum jika diperlukan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Imam Satudi selaku Sekertaris Umum MUI Kab. Sidoarjo menyikapi Bagaimana dengan pengawasan setelah sertifikat halal diberikan dan langkah yang diambil jika ada pelanggaran oleh produsen? dalam wawancara yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
“Ya, setelah sertifikat halal diberikan, MUI melakukan monitoring rutin untuk memastikan kepatuhan terhadap standar halal. Ada tim khusus yang bertugas untuk melakukan inspeksi dan pengawasan secara berkala. Jika ditemukan pelanggaran, sertifikat halal bisa dicabut. Langkah pertama adalah memberikan peringatan dan pembinaan. Jika pelanggaran terus berlanjut, sertifikat halal akan dicabut dan produk tersebut tidak boleh dipasarkan sebagai produk halal. Jika pelanggarannya serius, bisa dilaporkan ke pihak berwenang untuk tindakan hukum lebih lanjut.”
Untuk memastikan pelaksanaan tugas yang tepat dan kepatuhan terhadap standar yang ditetapkan, BPJPH melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap lembaga sertifikasi halal, serta melakukan audit terhadap produsen untuk memverifikasi kepatuhan terhadap standar halal.Ruang lingkup tanggung jawab BPJPH meliputi pengawasan terhadap Lembaga Penyelenggara Halal, memastikan status kehalalan produk, memantau masa berlaku sertifikat halal, dan memastikan pencantuman label halal dengan tidak mencantumkan informasi yang tidak halal. Selain itu, BPJPH memastikan pemisahan tempat, peralatan, pengemasan, penyimpanan, penjualan, pendistribusian, atau penyajian antara produk halal dan non-halal [5]. Beberapa lembaga pensertifikasi halal seperti halal center umsida juga senantiasa melakukan pengawasan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bu Puspita selaku penyelia halal center umsida dalam wawancara sebagai berikut:
“Halal Center UMSIDA juga melakukan pengawasan melalui audit internal sebelum audit oleh LPKHT dan MUI. Kami memastikan pelaku usaha tetap mematuhi aturan produksi barang halal. Audit internal dilakukan setahun sekali pada perusahaan besar.”
Pada kasus pelanggaran hukum, BPJPH berwenang untuk menegakkan sanksi administratif dan pidana. Selain itu, BPJPH menjamin kerahasiaan baik bagi pelapor maupun terlapor, kecuali jika pengungkapan diperlukan untuk tujuan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Manipulasi yang merajalela terhadap proses sertifikasi halal dalam industri produk makanan telah menjadi masalah yang terus berlanjut. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya pengawasan terhadap lembaga sertifikasi halal dan praktik-praktik yang tidak jujur dari beberapa pelaku usaha. Selain itu, tidak adanya standar yang jelas dan komprehensif untuk menentukan status halal suatu produk memperparah masalah ini [6]. Tujuan dari proses sertifikasi halal adalah untuk membantu konsumen dalam memilih produk halal, namun karena kemajuan teknologi dan tantangan dalam mengakses informasi produksi, menentukan ketiadaan unsur haram menjadi semakin menantang.
Bahkan ketika sebuah produk memiliki sertifikasi halal, hal tersebut tidak menjamin kepatuhannya terhadap standar halal. Kemajuan teknologi dalam rekayasa makanan telah menyebabkan meluasnya penggunaan bahan pengawet yang berbahaya, yang berpotensi menimbulkan risiko Kesehatan. Akibatnya, penggabungan konsep halal dalam bisnis sering kali hanya berfungsi sebagai gerakan simbolis tanpa memastikan kualitas atau status halal produk yang sebenarnya. Banyak produk yang menampilkan label halal tanpa sertifikasi yang tepat, sementara yang lain menampilkan label tersebut tanpa pandang bulu, tanpa memperhatikan status halal yang sebenarnya. Ketidaksesuaian antara pelabelan dan sertifikasi ini semakin memperparah masalah transparansi dan kepercayaan konsumen terhadap industri makanan halal.
Penelitian ini akan membahas Apakah regulasi BPJPH dapat memastikan atau menjamin kepatuhan masyarakat terhadap standar halal serta Bagaimana kerangka hukum yang ada mengatur prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, dan keadilan dalam konteks penegakan hukum oleh BPJPH terkait dengan sertifikasi produk halal di Indonesia. Salah satu alasan penting mengapa penegakan hukum dan kepastian standar kehalalan produk sangat diperlukan adalah untuk memastikan bahwa produk pangan olahan yang beredar di masyarakat benar-benar halal dan terlindungi dari bahan-bahan haram. Saat ini, masih ada banyak produk yang belum mendapatkan sertifikasi halal dan tidak ada penegakan hukum yang memastikan keabsahan klaim kehalalan mereka. Hal ini terjadi karena pencantuman label halal masih bersifat sukarela dan belum diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Karena label halal masih bersifat opsional, terminologi yang digunakan dalam label tersebut mungkin tidak sesuai dengan harapan dan ekspektasi komunitas Muslim. Contohnya, masih ada kasus ketidakjujuran di mana pengusaha menggunakan label halal tanpa memenuhi standar yang seharusnya. Salah satu contoh nyata adalah kasus Ajinomoto, di mana meskipun produknya sebelumnya telah bersertifikat halal pada tahun 1998, perusahaan memodifikasi proses pembuatannya dengan menggunakan bacti soytone yang berasal dari pankreas babi untuk mempercepat proses reaksi kimia. Dengan demikian, penegakan hukum dan kepastian standar kehalalan produk menjadi sangat penting untuk melindungi kepentingan konsumen, khususnya komunitas Muslim, dari produk-produk yang tidak sesuai dengan prinsip kehalalan.
Pada tahun 2018, kontroversi terkait produk mie instan Mie Telur yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat muslim karena diduga tidak bersertifikasi halal. Meskipun PT I. nyatakan produk tersebut telah halal. Namun, dianggap masih kurang adanya transparansi dan kepatuhan terhadap standar halal dalam industri makanan. Pada tahun 2019, kontroversi ditemukannya daging sapi yang tidak memiliki sertifikasi halal di beberapa restoran cepat saji junkfood di Indonesia. Penemuan tersebut menyoroti pentingnya pengawasan dan penegakan hukum terkait halla dalam industri makanan. Pada tahun 2023, penemuan adanya manipulasi data proses pengajuan sertifikasi halal nabidz produk jus buah anggur yang diduga oknum atau pelaku usahanya [7] dan pendamping usaha yang melakukan tindak manipulasi proses sertifikasi halal [8]. Penemuan tersebut merugikan para produsen makanan ataupun minuman sebab urusan kepercayaan masyarakat terhadap produk halal dan meragukan kejelasan serta kepastian hukum yang ada dalam menjamin standar kehalalan suatu produk pangan [9].
Suatu bangsa mempunyai hubungan antara negara dan masyarakat, di mana seiring berkembangnya hubungan tersebut, masyarakat memperoleh hak dan negara memperoleh kewajiban. Tujuan dari ini adalah untuk memastikan dan mengevaluasi efektivitas BPJPH dan tantangan yang dihadapi dalam menjamin kepatuhan masyarakat terhadap standar halal. Penelitian ini bertujuan untuk memastikan dan mengevaluasi efektivitas BPJPH dan tantangan yang dihadapi dalam menjamin kepatuhan masyarakat terhadap standar halal. Fokusnya adalah bagaimana BPJPH menjunjung tinggi nilai keadilan, kepastian hukum, transparansi, dan akuntabilitas dalam penegakan jaminan produk halal [10]. Dengan demikian, tujuan membangun landasan bagi produk halal adalah untuk menjamin kenyamanan, keamanan, dan pengetahuan masyarakat bahwa barang halal memang tersedia. Jaminan tersebut bertujuan memastikan kenyamanan, keamanan, dan pengetahuan anggota masyarakat bahwa barang halal memang tersedia.
Pada penelitian pertama oleh Ririn (2022) yang berjudul “Problematika Kewajiban Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di kabupaten Madiun” membahas terkait pelaku UMK di kabupaten Madiun yang menghadapi berbagai kendala terkait sertifikasi halal termasuk berkurangnya sosialisasi, keterbatasan ekonomi, kesulitan aksebilitas teknologi informasi, ketersediaan fasilitas produksi yang minim, dan persepsi bahwa sertifikasi halal hanya untuk usaha besar. Penelitian kedua oleh Siti (2021) yang berjudul “Prosedur dan Problematika Sertifikasi Halal di Indonesia” membahas alur proses pemasangan sertifikasi halal yang panjang menjadi rawan konflik kepentingan sehingga hubungan maksimal jumlah sertifikat halal dan berada di Indonesia berbanding terbalik dengan banyak yang berbeda impor dan ketidakpastian ekonomi oleh industri halal. Penelitian ketiga oleh Hery (2018) yang berjudul “Problematika Penetapan Hukum pada Pon Kritis Bahan Olahan dan Laboratorium Produk Halal” yang membahas problem yang banyak dijumpai dalam penetapan hukum terkait pengolahan dari bahan-bahan yang digunakan pada kemasan atau pendistribusian yang masih diragukan kehalalannya. Beberapa penelitian membahas dengan berfokus pada problematika atau permasalahan yang muncul pada penetapan hukum dalam proses sertifikasi halal. Namun, belum secara spesifik membahas terkait penegakan hukum dan jaminan kepada masyarakat terhadap standar halal. Oleh karena itu, pada penelitian ini ditujukan untuk menambah wawasan dalam memahami regulasi BPJPH dalam menindaklanjuti problematika yang ada dimasyarakat dengan berdasarkan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, Kesetaraan, dan keadilan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas telah menunjukkan bahwa pentingnya memahami regulasi BPJPH dalam menindaklanjuti problematika yang ada dimasyarakat, maka dari itu berdasarkan permasalahan yang ada, peneliti ingin meneliti terkait Konsistensi Regulasi BPJPH dengan judul Konsistensi Penegakan Hukum oleh BPJPH terkait Kasus Manipulasi pada Produk Olahan Pangan. Dalam hal ini peneliti akan membahas tentang beberapa pokok rumusan permasalahan sebagai berikut :
1.Apakah regulasi BPJPH dapat memastikan atau menjamin kepatuhan masyarakat terhadap standar halal?
2.Bagaimana kerangka hukum yang ada mengatur prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam konteks penegakan hukum oleh BPJPH terkait dengan sertifikasi produk halal di Indonesia?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sosio-legal, yang menggabungkan pendekatan hukum dan ilmu sosial untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana regulasi halal di Indonesia tidak hanya mempengaruhi dan dibentuk oleh norma hukum, tetapi juga oleh nilai-nilai dan praktik sosial masyarakat. Metode pengolahan data yang digunakan adalah teknik studi pustaka dan wawancara, dengan bahan hukum yang berasal dari data primer dan data sekunder.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi wawancara dengan pihak terkait yaitu Kementrian Agama Kab. Sidoarjo, Majelis Ulama Indonesia Kab. Sidoarjo, dan Halal Center Universitas Muhammadiyah Sidoarjo serta kajian hukum terkait regulasi BPJPH dan sertifikasi halal. Sementara itu, data sekunder berupa artikel, jurnal, dan literatur terkait digunakan untuk mendukung analisis.
1. Pendekatan penelitian melibatkan dua aspek utama yaitu :
a. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang memberikan hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan bagi konsumen dalam mengonsumsi produk halal.
b. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 mengenai Produk Halal, yang memberikan jaminan hukum bagi umat Islam terkait kehalalan produk di Indonesia.
c. PP No. 39 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Sektor Jaminan Produk Halal, yang membahas regulasi kewenangan BPJPH dalam menjamin kerahasiaan identitas pelapor dan yang dilaporkan kecuali dalam kepentingan penegakan hukum.
d. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yang menjamin hak-hak dasar warga negara, termasuk hak untuk menjalankan agama dan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
2. Pendekatan sosio-legal, penelitian ini mengeksplorasi bagaimana regulasi terkait sertifikasi halal tidak hanya mempengaruhi perilaku konsumen Muslim tetapi juga bagaimana norma dan nilai dalam masyarakat berkontribusi terhadap pembentukan dan pelaksanaan regulasi tersebut. Pendekatan ini memberikan pemahaman tentang interaksi antara hukum dan masyarakat, serta bagaimana hukum berlaku secara efektif dalam konteks sosial yang ada.
A. Regulasi Standar Halal di Indonesia
Sebagai negara yang memiliki penduduk dengan mayoritas beragama Islam, maka perlindungan atas kehalalan suatu produk adalah hak induvidu sekaligus hak sebagai warga negara Indonesia. Kebutuhan dan pengetahuan masyarakat terhadap suatu produk sangat penting apalagi dalam proses transaksi jual beli makanan agar konsumen mendapat manfaat dan tidak mengalami keraguan terhadap suatu produk. Sejauh ini disadari bahwa produk yang telah beredar luas di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya, meskipun mayoritas penduduk atau masyarakat Indonesia beragama Islam [11].
Standar halal di masyarakat mengacu pada kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh produk agar dianggap halal oleh umat Islam. Standar umum yang biasanya diterapkan dalam sertifikasi halal meliputi:
1. Bahan Baku, produk harus terbuat dari bahan-bahan yang halal dan tidak mengandung bahan haram seperti babi, alkohol, atau produk turunannya.
2. Proses Produksi, proses produksi harus memenuhi standar kebersihan dan kehalalan, termasuk pemisahan antara produk halal dan non-halal serta penggunaan peralatan yang bersih dan tidak tercemar.
3. Sertifikasi, produk harus disertifikasi oleh lembaga yang terakreditasi dan diakui oleh otoritas halal yang kompeten.
4. Labeling, produk harus memiliki label halal yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Standar halal ini bertujuan untuk memberikan kepastian kepada konsumen Muslim bahwa produk yang mereka konsumsi sesuai dengan ajaran agama Islam. Implementasi standar halal di masyarakat juga melibatkan kesadaran konsumen untuk memilih produk yang telah tersertifikasi halal serta dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait dalam memastikan kepatuhan terhadap standar halal.
Regulasi standar halal yang berlaku di masyarakat terdapat berbagai peraturan dan kebijakan yang mengatur proses sertifikasi dan penandaan kehalalan produk yang digunakan dan dikonsumsi oleh masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Di Indonesia, hal ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Sertifikasi Produk Halal.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi dasar utama dalam regulasi standar halal di Indonesia. Undang-Undang ini mengatur sertifikasi halal produk yang diolah dan dikonsumsi oleh masyarakat, memastikan bahwa produk yang beredar di pasar telah memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan ajaran Islam [12]. Undang-Undang ini menetapkan bahwa sertifikasi halal harus dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang telah diakui dan terakreditasi.
Perubahan ini sejalan dengan maksud Undang-Undang yang ingin mempermudah proses perizinan dan mengurangi birokrasi, sehingga pelaku usaha dapat lebih cepat mendapatkan sertifikasi halal untuk produk mereka. Dengan demikian, konsumen Muslim dapat lebih mudah memastikan kehalalan produk yang mereka konsumsi, sementara pelaku usaha juga mendapatkan kemudahan dalam memenuhi kewajiban sertifikasi halal.
B. Regulasi BPJPH
BPJPH didirikan untuk melaksanakan tugasnya sebagai lembaga yang mengurus sertifikasi halal. Selain UU JPH, BPJPH juga diatur oleh peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah. Setelah disetujui oleh Kementerian Agama, BPJPH resmi mengendalikan kegiatan dan tujuan dalam perannya sebagai penyelenggara jaminan produk halal. BPJPH dalam menjalankan tugasnya berdasar pada Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) serta peraturan-peraturan yang terkait yang dikeluarkan oleh pemerintah dan Kementerian Agama [13]. Hal ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi BPJPH dalam menjamin standar kehalalan suatu produk di masyarakat. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memiliki peran penting dalam memastikan standar kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat. Landasan hukum regulasi BPJPH, seperti Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019, menjadi pedoman fundamental dalam penyelenggaraan jaminan produk halal.
1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan landasan hukum utama bagi BPJPH dalam menjalankan tugasnya. Undang-undang ini menetapkan prinsip-prinsip dasar jaminan produk halal, kewajiban sertifikasi halal untuk produk yang diperdagangkan di Indonesia, penyelenggaraan sertifikasi melalui Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang terakreditasi, serta wewenang BPJPH dalam pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran ketentuan halal.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal mengatur proses sertifikasi halal secara rinci, termasuk persyaratan, prosedur permohonan sertifikat halal, serta mekanisme pengawasan dan penegakan hukum [14].
3. Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal menetapkan aturan tentang fatwa halal dan kerja sama BPJPH dengan MUI dalam sertifikasi halal. MUI berperan dalam menetapkan fatwa halal dan bekerja sama dengan BPJPH dalam pembinaan LPH.
4. Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Peraturan Internal BPJPH ini mengatur pedoman teknis sertifikasi halal, standar halal yang harus dipenuhi produk, serta sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memiliki peran penting dalam memastikan bahwa produk yang beredar di Indonesia memenuhi standar kehalalan sesuai dengan regulasi yang berlaku [15]. BPJPH didirikan untuk menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengurus sertifikasi halal berdasarkan kerangka hukum yang jelas Berikut adalah penjelasan terkait kerjasama BPJPH dengan berbagai pihak serta program-program terkait:
1. Kerjasama BPJPH dengan Kementerian Agama dan MUI
BPJPH bekerja sama erat dengan Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam pelaksanaan sertifikasi halal. Kementerian Agama, sebagai lembaga pemerintah yang mengawasi BPJPH, memiliki peran penting dalam memastikan bahwa BPJPH memenuhi kewajibannya sesuai dengan regulasi. MUI, sebagai lembaga yang menetapkan fatwa halal, memberikan dukungan dalam pembinaan LPH dan sertifikasi halal. MUI menyediakan layanan sertifikasi halal sebagaimana yang dijelaskan oleh Bapak Imam Satudi dalam wawancara sebagai berikut:
“Ada layanan yang kami sediakan, namanya Komisi Fatwa. Komisi ini mendampingi masyarakat sampai mendapatkan sertifikat. Kita punya layanan lengkap, kita kawal sampai ke Kemenag dan mana pun sampai jadi sertifikatnya. Jadi, dalam proses pendampingan itu ada sarana konsultasi dari masyarakat.”
“Tidak hanya itu kami sering dan masif melakukan pendampingan terhadap masyarakat. Mulai dari pusat, provinsi, sampai ke kabupaten dan kecamatan sangat masif. Kita mengadakan pelatihan, sosialisasi, dan terjunkan tim. MUI membagi produk halal secara garis besar menjadi dua: self-declare dan reguler. Self-declare itu yang istilahnya halalnya pasti, misalnya Sinom itu kan tidak ada unsur yang mencurigakan, kita bimbing dan gratis. Tidak butuh lab atau biaya, hanya kita akan teliti dan mereka tidak mengeluarkan uang sepeser pun, dan sertifikatnya juga diberikan gratis. Biasanya kita undang ke sini untuk diserahkan.”
BPJPH menginstruksikan semua produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha untuk bersertifikat halal maksimal pada Oktober 2024 melalui Program Wajib Halal Oktober. Program ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh produk yang beredar di Indonesia memenuhi standar halal yang ditetapkan.
2. Kerjasama Halal Center UMSIDA dengan BPJPH
Halal Center Universitas Muhammadiyah Sidoarjo bekerja sama dengan BPJPH dalam proses sertifikasi halal. Halal Center UMSIDA menyediakan layanan sertifikasi halal, termasuk pendampingan untuk self-declare dan sertifikasi reguler. Seperti yang telah disampaikan Bu Puspita selaku penyelia halal center umsida dalam wawancara sebagai berikut:
“Layanan Halal Center UMSIDA meliputi layanan terhadap pernyataan halal maupun sertifikasi halal, terutama bagi UKM. Kami menyediakan pendampingan untuk sertifikasi halal, yang terbagi menjadi dua jenis pelayanan: self declare dan sertifikasi halal reguler. Self declare mengikuti program Sehati dari BPJPH dan gratis bagi UKM dengan produk berisiko rendah, seperti keripik dan kue kering. Sertifikasi reguler digunakan oleh UKM dengan kapasitas lebih besar dan produk berisiko tinggi, seperti produk dengan bahan sembelihan.”
“Tidak hanya itu kami juga melakukan pendampingan bagi pelaku usaha dalam pengisian dokumen yang sering kali menjadi kendala, terutama bagi UMKM yang kurang paham teknologi. Namun, pelaku usaha sendiri yang mengunggah data, dan kami membantu jika ada kesulitan.”
Halal Center UMSIDA juga berperan dalam melaporkan progres pendampingan pelaku usaha kepada BPJPH, yang membantu BPJPH dalam mengawasi dan mengendalikan proses sertifikasi halal. Halal Center UMSIDA mendampingi pelaku usaha, terutama UMKM, dalam pengurusan dokumen dan sertifikasi halal, sehingga mendukung implementasi regulasi BPJPH. Dengan adanya Halal Center UMSIDA, BPJPH dapat memperluas jangkauan dan efektivitas program sertifikasi halal di lingkup mahasiswa dan masyarakat.
BPJPH menjalankan tugasnya berdasarkan berbagai peraturan dan undang-undang yang mengatur jaminan produk halal di Indonesia. Kerja sama antara BPJPH, Kementerian Agama, MUI, dan lembaga terkait seperti Halal Center UMSIDA memperkuat pelaksanaan sertifikasi halal. Program seperti Wajib Halal Oktober menunjukkan komitmen BPJPH dalam memastikan seluruh produk di Indonesia memenuhi standar halal. Halal Center UMSIDA berperan penting dalam mendukung BPJPH melalui pendampingan dan sosialisasi kepada pelaku usaha, menjamin bahwa sertifikasi halal terlaksana dengan baik dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memiliki peran penting dalam menjamin standar kehalalan suatu produk di masyarakat. BPJPH memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan sertifikasi produk halal di Indonesia. Selain itu, BPJPH juga bertanggung jawab untuk mengendalikan kegiatan dan tujuan dalam perannya sebagai penyelenggara jaminan produk halal berdasarkan Kementerian Agama. BPJPH juga harus memastikan bahwa produk yang disertifikasi halal telah memenuhi standar kehalalan yang ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Upaya BPJPH dalam mengimplementasikan regulasi jaminan produk halal tidak berhenti pada penetapan aturan. Peningkatan jumlah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, serta penguatan pengawasan dan penegakan hukum menjadi langkah BPJPH dalam mewujudkan kehalalan produk di tengah masyarakat.
C. Dasar Kepatuhan Masyarakat
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menegaskan bahwa produk yang beredar di Indonesia wajib memiliki sertifikasi halal. Hal ini mencerminkan komitmen negara untuk melindungi hak konsumen Muslim dalam mendapatkan produk halal dan memastikan peredaran produk yang aman dan berkualitas. Beberapa alasan mengapa masyarakat perlu taat pada aturan standar halal yang berlaku sesuai pasal tersebut:
1. Melindungi Hak Konsumen Muslim
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menggarisbawahi kewajiban sertifikasi halal sebagai bentuk perlindungan hak konsumen Muslim. Sertifikasi ini memastikan bahwa produk yang beredar di Indonesia sesuai dengan syariat Islam, sehingga konsumen Muslim memiliki jaminan mengenai kehalalan produk yang mereka konsumsi [16]. Halal Center UMSIDA berperan penting dalam hal ini dengan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kehalalan produk dan proses legalitas produk halal. Sosialisasi ini bertujuan untuk memperkenalkan masyarakat pada ketentuan yang berlaku dan meningkatkan pemahaman mereka tentang hak-hak mereka sebagai konsumen Muslim.
2. Menjaga Kesehatan dan Keselamatan
Standar halal bukan hanya terkait dengan kepatuhan agama, tetapi juga dengan aspek kesehatan dan keselamatan. Sertifikasi halal memastikan bahwa produk bebas dari bahan berbahaya dan haram. Dalam konteks ini, Halal Center UMSIDA berfokus pada edukasi dan pendampingan untuk memastikan bahwa UMKM yang mereka dampingi memproduksi makanan yang aman dan berkualitas. Kemenag, melalui kampanye halal, juga berkontribusi pada aspek ini dengan mengedukasi pelaku usaha tentang pentingnya sertifikasi halal dalam menjaga kesehatan konsumen.
3. Meningkatkan Kepercayaan Konsumen
Sertifikasi halal memberikan kepastian dan kepercayaan bagi konsumen Muslim dalam memilih produk. Halal Center UMSIDA, melalui layanan sertifikasi dan pelatihan, berperan dalam membangun kepercayaan konsumen dengan memastikan produk yang dihasilkan oleh UMKM memenuhi standar halal yang ditetapkan. Kemenag mendukung hal ini dengan kampanye yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha mengenai pentingnya sertifikasi halal.
4. Mendukung Ekonomi Umat Islam
Memilih produk bersertifikat halal mendukung pertumbuhan industri halal dan kesejahteraan pelaku usaha Muslim. Halal Center UMSIDA membantu UMKM dalam pengurusan sertifikasi halal dan menyediakan pelatihan yang meningkatkan kapasitas pelaku usaha dalam memproduksi produk halal. Kemenag, dengan mengumpulkan pelaku usaha di pasar tradisional dan memberikan brosur terkait program Wajib Halal Oktober (WHO), turut berperan dalam mendorong pelaku usaha untuk memperoleh sertifikasi halal, yang pada gilirannya mendukung ekonomi umat Islam.
5. Menjaga Ketertiban dan Keharmonisan Sosial
Kepatuhan terhadap aturan halal membantu menjaga ketertiban dan keharmonisan sosial. Halal Center UMSIDA, Kemenag, dan MUI berperan dalam memastikan bahwa semua pihak mematuhi standar halal yang berlaku. Halal Center UMSIDA melakukan sosialisasi di berbagai forum, sementara Kemenag mengadakan kampanye untuk memastikan bahwa pelaku usaha mematuhi ketentuan yang berlaku. MUI juga aktif dalam sosialisasi dan pelatihan, sehingga semua pihak dapat saling menghormati aturan halal dan mengurangi potensi konflik.
6. Mewujudkan Masyarakat yang Sehat dan Sejahtera
Kepatuhan terhadap standar halal berkontribusi pada masyarakat yang sehat dan sejahtera dengan menghindari konsumsi produk berbahaya dan haram. Halal Center UMSIDA, melalui edukasi dan pendampingan sertifikasi, memastikan bahwa UMKM memproduksi makanan yang tidak hanya halal tetapi juga sehat. Kemenag dan MUI mendukung upaya ini melalui kampanye dan pelatihan yang menekankan pentingnya sertifikasi halal untuk kesejahteraan masyarakat.
Kewajiban sertifikasi halal sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2014 adalah refleksi dari komitmen negara untuk melindungi hak konsumen, menjaga kesehatan, dan mendorong kesejahteraan masyarakat. Halal Center UMSIDA, Kemenag, dan MUI secara aktif berperan dalam memastikan kepatuhan terhadap standar halal melalui sosialisasi, edukasi, dan pendampingan, sehingga masyarakat dapat menikmati produk yang sesuai dengan syariat Islam dan aman untuk dikonsumsi.
D. Regulasi BPJPH dan Kepatuhan Masyarakat terhadap Standar Halal
1. Regulasi BPJPH
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) merupakan lembaga yang bertanggung jawab dalam memastikan kepatuhan terhadap standar halal di Indonesia. BPJPH beroperasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang memberikan dasar hukum kuat untuk pengaturan dan pengawasan produk halal. Selain itu, regulasi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2023 menetapkan standar, prosedur, dan kriteria yang harus dipatuhi dalam proses sertifikasi halal [17].
BPJPH berfungsi untuk menerbitkan sertifikat halal, menetapkan norma dan standar halal, serta melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha yang menerapkan jaminan produk halal. Regulasi ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada konsumen, terutama umat Muslim, dalam menjalankan agama dan beribadah sesuai keyakinan mereka [18]. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga berperan penting dengan memberikan hak kepada konsumen untuk kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, termasuk dalam hal konsumsi produk halal [19].
2. Kepatuhan Masyarakat terhadap Standar Halal
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap standar halal sangat bergantung pada beberapa faktor, termasuk kesadaran, pendidikan, ketersediaan informasi, efektivitas pengawasan, dan kerjasama antara berbagai pihak terkait.
a. Kesadaran dan Pendidikan
BPJPH berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya produk halal melalui sosialisasi dan pendidikan. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara, termasuk bentuk dukungan kerjasama BPJPH dan Kemenag. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Farid Yusron Selaku Kasie Pelayanan Bidang Halal sebagai berikut:
“Kami memiliki pendamping proses produksi produk halal (P3H), yang terdiri dari ASN maupun penyuluh agama Islam, baik fungsional maupun non-PNS, yang telah dilatih untuk mendampingi pelaku usaha dalam mengurus sertifikat halal. Kami juga melibatkan mereka dalam sosialisasi dan pendampingan."
Bentuk dukungan berupa penyuluhan yang dilakukan oleh P3H yang terdiri dari ASN dan penyuluh agama Islam dapat membantu pelaku usaha dalam memahami dan memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Tidak hanya penyuluhan bentuk strategi yang dilakukan untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat diantaranya disampaikan oleh Bapak Farid Yusron selaku Kasie Pelayanan Bidang Halal dalam wawancara yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
“Kami berkoordinasi dengan lintas sektoral, seperti Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kami juga sering diundang sebagai narasumber dalam berbagai pelatihan untuk menyampaikan program wajib halal Oktober.”
“Untuk pelaku usaha yang tidak patuh, kami berkoordinasi dengan dinas terkait seperti Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Contohnya, beberapa waktu lalu saya diundang oleh Dinas Pariwisata untuk memberikan sosialisasi kepada 100 pelaku usaha yang belum memiliki sertifikat halal. Kami menekankan bahwa jika tidak memenuhi kewajiban sertifikasi halal pada Oktober, produk mereka bisa ditinggalkan oleh konsumen. Kami juga menjelaskan bahwa memiliki sertifikat halal dapat membuka peluang pemasaran yang lebih luas, seperti bisa dititipkan di gerai-gerai modern."
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya koordinasi lintas sektoral yang dilakukan oleh berbagai dinas di Sidoarjo, seperti Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan, telah berperan penting dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pelaku usaha terhadap kewajiban sertifikasi halal. Melalui berbagai pelatihan dan sosialisasi, termasuk penyampaian program wajib halal yang dimulai pada Oktober, dinas terkait menekankan pentingnya sertifikasi halal untuk menjaga kepercayaan konsumen dan membuka peluang pemasaran yang lebih luas. Namun, meskipun ada upaya yang intensif, penelitian menunjukkan bahwa persentase pelaku usaha yang berminat dan telah tersertifikasi halal masih relatif kecil dibandingkan dengan total populasi UMKM di Sidoarjo, menandakan perlunya upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kepatuhan ini.
b. Ketersediaan Informasi
Adanya informasi yang jelas dan mudah diakses tentang produk halal serta proses sertifikasi halal sangat penting untuk membantu masyarakat dalam membuat keputusan yang tepat. BPJPH dan lembaga terkait seperti Halal Center UMSIDA menyediakan layanan informasi dan pendampingan untuk memudahkan pelaku usaha dan masyarakat dalam memahami proses sertifikasi halal. MUI juga melakukan upaya agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Bapak Imam Satudi selaku Sekertariat Umum MUI dalam wawancara menjawab pertanyaan terkait Bagaimana MUI memastikan informasi terkait sertifikasi halal mudah diakses oleh masyarakat sebagai berikut:
“Ini sebenarnya kerja sama yang banyak, ya. Untuk produk ini halal atau tidak, MUI bekerja sama dengan pemerintah. Karena memang tugas MUI itu ada dua: sebagai mitra pemerintah dan sebagai pelayan umat. Oleh karena itu, kita bekerja sama dengan pemerintah dan alhamdulillah beberapa tujuan salah satunya adalah MUI dan pemerintah bisa menerbitkan undang-undang. Jadi, para produsen makanan itu harus mematuhi ini. Dulu, MUI tidak punya kekuatan hukum positif, tapi begitu masuk undang-undang, jika ada produsen melanggar, dia menjual produk makanan dengan kriteria tertentu dan tidak ada label halal, atau ada label halal tetapi menyalahi prosedur, maka bisa kita pidanakan. Ini bukan berarti kita kejam, tapi karena MUI berperan melindungi umat Islam.”
c. Efektivitas Pengawasan dan Penegakan Hukum
BPJPH melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa standar halal dipatuhi oleh pelaku usaha. Pengawasan ini dilakukan dengan tegas untuk menindak pelanggaran terhadap standar halal, yang diharapkan dapat memberikan efek jera dan mendorong kepatuhan.
d. Kerjasama dan Sinergi
Kerjasama antara BPJPH dengan berbagai pihak seperti produsen, distributor, dan lembaga terkait lainnya sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap standar halal. Sinergi ini memperkuat implementasi standar halal dan meningkatkan kepatuhan. Halal Center UMSIDA, misalnya, berperan dalam mendampingi UMKM dalam pengurusan dokumen secara digital dan proses sertifikasi halal, serta menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan pelaku usaha.
3. Implementasi di Masyarakat Sidoarjo
Berdasarkan hasil wawancara di kemenag terkait dengan bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan peraturan pemerintah mengenai pensertifikatan halal produk?. Di Sidoarjo, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan peraturan sertifikasi halal, menurut Kementerian Agama, sudah cukup baik. Hal ini disampaikan oleh Bapak Farid Yusron selaku Kasie Pelayanan Bidang Halal dalam wawancara yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
“Saya kira masyarakat sudah cukup patuh dengan semua ketentuan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya BPJPH, untuk melakukan sertifikasi halal pada produk-produk mereka, baik itu makanan, minuman, jamu, dan lain-lain. Kami juga telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi melalui kampanye halal, sesuai instruksi dari Menteri Agama. Contohnya, kami mengumpulkan pelaku usaha di pasar-pasar konvensional dan tradisional untuk memberikan brosur terkait kewajiban sertifikasi halal pada Oktober.”
Masyarakat telah berupaya memenuhi persyaratan sertifikasi halal melalui kerjasama dengan BPJPH dan pendampingan dari Halal Center UMSIDA, Kemenag, dan MUI. Lembaga tersebut mendukung UMKM dalam proses sertifikasi halal dengan memberikan bantuan dalam pengurusan dokumen digital dan pelatihan, serta membantu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya produk halal. Namun, jika dilihat dari persentase jumlah pelaku usaha yang berminat dan telah tersertifikasi halal, terlihat bahwa kesadaran dan kepatuhan tersebut belum signifikan dibandingkan dengan total populasi UMKM.
Berdasarkan hasil wawancara di Halal Center Umsida terkait dengan Berapa jumlah pelaku usaha yang sudah didampingi oleh HC UMSIDA?. Ibu Puspita Handayani selaku Penyelia Halal tim halal center umsida menyampaikan dalam wawancara yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
“Hingga kini, Halal Center UMSIDA telah mendampingi 55 pelaku usaha melalui self declare, 34 melalui sertifikasi reguler, serta 2 rumah sakit dan 2 katering.”
Disamping itu, hasil wawancara di Kemenag terkait dengan Berapa jumlah pelaku usaha yang sudah didampingi oleh kemenag?. Mbak Eli selaku Staf Pelayanan Bidang Halal menyampaikan bahwa jumlah pelaku usaha yang didampingi dalam pembuatan sertifikasi halal sekitar 1.378, jumlah pelaku usaha yang proses sertifikasi halal sebanyak 136 dan jumlah sertifikasi halal yang sudah terbit 1.242. Namun, data bersifat tidak tetap karena pasti ada penambahan jumlah pendaftar sertifikasi halal secara berkala.
Berikut data persentase yang menunjukkan tingkat minat dan sertifikasi halal:
Kategori | Jumlah |
Populasi UMKM | 10.723 |
Dalam pendampingan | 1.378 |
Proses Sertifikasi Halal | 229 |
Sertifikasi Halal Terbit | 1.242 |
Keterangan:
1. Jumlah Sertifikasi Halal yang Diproses oleh Halal Center UMSIDA
a. Self Declare: 55
b. Reguler: 34
c. Rumah Sakit: 2
d. Catering: 2
Total: 93
2. Data dari Kementerian Agama
a. Jumlah pelaku usaha yang didampingi dalam pembuatan sertifikasi halal: 1.378
b. Jumlah pelaku usaha yang proses sertifikasi halal: 136
c. Jumlah sertifikasi halal yang sudah terbit: 1.242
3. Data dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kabupaten Sidoarjo [20]
Jumlah populasi UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) di sidoarjo sebanyak 10.723
Berdasarkan hasil wawancara di MUI terkait dengan bagaimana dengan banyaknya pendaftar sertifikasi halal dari tahun ketahun? apakah terjadi peningkatan atau penurunan?, pendaftaran sertifikasi halal meningkat signifikan terutama pada tahun 2022. Pada tahun 2024, jumlah pendaftar menurun karena banyak pelaku usaha yang telah mendaftarkan produk mereka sebelumnya. Hal ini disampaikan oleh Bapak Imam Satudi selaku Sekertaris Umum MUI Kab. Sidoarjo dalam wawancara yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
“Meningkat signifikan. Tahun ini, sekitar 6 bulan terakhir, sudah turun drastis karena hampir semua sudah tersertifikasi. Puncaknya itu tahun 2022-2023, sangat masif. Pemerintah betul-betul konsen dengan sertifikasi halal, bahkan membayar pendampingan untuk UMKM.”
Persentase Data :
a. Pelaku Usaha yang Berminat dengan Sertifikasi Halal (didampingi Kemenag): 1.378 / 10.723 = 12.85%
b. Pelaku Usaha yang Proses Sertifikasi Halal: 136 + 93 / 10.723 = 2,13%
c. Sertifikasi Halal yang Sudah Terbit: 1.242 / 10.723 = 11.58%
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa tingkat kepatuhan masyarakat Sidoarjo terhadap ketentuan peraturan sertifikasi halal belum cukup baik. Data tersebut menunjukkan bahwa dari total populasi UMKM di Sidoarjo yang berjumlah 10.723, sekitar 12,85% telah didampingi dalam pembuatan sertifikasi halal, dengan 2,13% dalam proses sertifikasi, dan 11,58% sudah memiliki sertifikasi halal.
Hal ini mencerminkan bahwa meskipun terdapat upaya yang baik dari masyarakat dalam memenuhi persyaratan sertifikasi halal, jumlah pelaku usaha yang benar-benar berminat dan telah tersertifikasi halal masih relatif kecil dibandingkan dengan total populasi UMKM.
Regulasi BPJPH, bersama dengan upaya sosialisasi, edukasi, pengawasan, dan penegakan hukum, merupakan instrumen kunci dalam memastikan kepatuhan masyarakat terhadap standar halal. Meskipun kerangka hukum yang ada sudah cukup kuat, tantangan seperti kesadaran masyarakat, ketersediaan informasi, dan efektivitas pengawasan tetap harus diatasi melalui kerjasama yang baik antara BPJPH, lembaga terkait, dan masyarakat. Pendampingan yang dilakukan oleh Halal Center UMSIDA, Kemenag, MUI, serta upaya dari BPJPH diharapkan dapat terus meningkatkan kepatuhan dan kepercayaan masyarakat terhadap produk halal.
E. Kerangka Hukum Penegakan Hukum oleh BPJPH
Konteks penegakan hukum oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), kerangka hukum yang mengatur prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, dan keadilan menjadi krusial. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi landasan utama yang mengatur kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang beredar di Indonesia. Pasal 4 dari undang-undang ini menegaskan bahwa produk yang beredar di Indonesia wajib memiliki sertifikasi halal. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Sistem Jaminan Produk Halal kemudian memberikan detail lebih lanjut mengenai prosedur sertifikasi halal, termasuk persyaratan, prosedur, dan mekanisme pelaksanaannya.
Tabel 2. Prinsip-Prinsip Produk Halal
No. | Prinsip | Landasan | Aspek | Implementasi |
1. | Transparansi | Pasal 2 huruf d UU No. 33 Tahun 2014, Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP No. 31 Tahun 2019. | Informasi terkait proses sertifikasi halal, standar halal, dan keputusan BPJPH harus jelas dan mudah diakses oleh masyarakat.BPJPH wajib mempublikasikan informasi terkait produk bersertifikat halal, daftar pelaku usaha yang dikenai sanksi, dan laporan kinerja BPJPH. | BPJPH menyediakan website dan media informasi lainnya untuk menyampaikan informasi terkait jaminan produk halal.BPJPH mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang jaminan produk halal.BPJPH memberikan akses informasi kepada masyarakat melalui mekanisme pelayanan informasi publik. |
2. | Akuntabilitas | Pasal 2 huruf d UU No. 33 Tahun 2014, Pasal 16 ayat (1) dan (2) PP No. 31 Tahun 2019. | BPJPH harus bertanggung jawab atas setiap keputusan dan tindakannya dalam penegakan hukum terkait jaminan produk halal.BPJPH harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada pihak berwenang dan masyarakat. | BPJPH menerima dan menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat terkait jaminan produk halal. |
3. | Keadilan | Pasal 2 huruf b UU No. 33 Tahun 2014, Pasal 17 ayat (1) dan (2) PP No. 31 Tahun 2019 | BPJPH harus memperlakukan semua pemohon sertifikat halal secara adil dan tidak diskriminatif.Proses sertifikasi halal harus dijalankan secara objektif dan transparan.BPJPH harus memberikan sanksi yang adil dan proporsional kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan sertifikasi halal. | BPJPH menerapkan standar dan prosedur yang sama untuk semua pemohon sertifikat halal.BPJPH melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses sertifikasi halal, seperti MUI, ormas Islam, dan lembaga pengujian halal.BPJPH memberikan pendampingan dan pembinaan kepada pelaku usaha untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan sertifikasi halal. |
1. Prinsip-prinsip Produk Halal
a. Transparansi
Prinsip transparansi diatur dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal, Prinsip transparansi dalam penegakan hukum oleh BPJPH tercermin dalam kewajiban memberikan informasi yang jelas dan mudah diakses kepada masyarakat terkait proses sertifikasi halal, standar yang digunakan, dan keputusan yang diambil. Hal ini memungkinkan masyarakat memahami secara transparan bagaimana BPJPH menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 2 huruf d yang berbunyi :
“Yang dimaksud dengan “akuntabilitas dan transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan dipertanggungjawabkan kepada JPH harus dapat masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
BPJPH sebagai lembaga penjamin produk halal di Indonesia diwajibkan untuk menjalankan prinsip transparansi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019. Prinsip transparansi ini mengharuskan BPJPH untuk:
1. Menyediakan informasi yang jelas dan mudah diakses oleh masyarakat mengenai proses sertifikasi halal, standar halal, dan keputusan yang diambil oleh BPJPH.
2. Memastikan bahwa informasi terkait produk bersertifikat halal, daftar pelaku usaha yang dikenai sanksi, serta laporan kinerja BPJPH dipublikasikan secara terbuka.
Implementasi Transparansi:
BPJPH menggunakan website dan media informasi lainnya untuk menyampaikan informasi terkait jaminan produk halal. Selain itu, BPJPH juga aktif mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya sertifikasi halal, serta menyediakan akses informasi publik untuk meningkatkan keterbukaan.
Menurut MUI, Transparansi adalah kunci dalam proses sertifikasi halal. Dimana semua proses dilakukan secara terbuka dan dapat diaudit. Bentuk transparansi yang dilakukan MUI yaitu menyediakan saluran komunikasi untuk masyarakat yang ingin memberikan masukan atau melaporkan masalah terkait sertifikasi halal. Semua informasi terkait proses sertifikasi juga bisa diakses melalui website resmi MUI.
b. Akuntabilitas
Prinsip akuntabilitas menuntut BPJPH untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan dan tindakan dalam penegakan hukum terkait jaminan produk halal, serta mempertanggungjawabkannya kepada pihak berwenang. Dasar hukum bagi pemberian sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sertifikasi halal. Sanksi administratif ini juga diperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019. Akuntabilitas sebagaimana dijelaskan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 2 huruf d yang berbunyi :
“Yang dimaksud dengan “akuntabilitas dan transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan dipertanggungjawabkan kepada JPH harus dapat masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Akuntabilitas menuntut BPJPH untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan dan tindakan yang diambil dalam penegakan hukum terkait jaminan produk halal, serta mempertanggungjawabkannya kepada pihak berwenang dan masyarakat. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Pasal 2 huruf d dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 menetapkan bahwa:
1. BPJPH harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya, termasuk menangani pengaduan masyarakat terkait jaminan produk halal.
Implementasi Akuntabilitas:
BPJPH menerima dan menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat terkait jaminan produk halal. Hal ini mencerminkan komitmen BPJPH untuk menjalankan tanggung jawabnya secara transparan dan akuntabel.
c. Keadilan
Prinsip keadilan menuntut BPJPH untuk menjalankan proses sertifikasi halal dengan penuh keadilan dan tanpa penyelewengan. Hal ini memastikan bahwa setiap pemohon mendapatkan perlakuan yang adil dan proses penegakan hukum dilakukan secara transparan dan objektif. Evaluasi terhadap implementasi prinsip-prinsip hukum ini dapat dilakukan dengan memeriksa sejauh mana BPJPH memberikan transparansi dalam informasi, bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya, memberlakukan kesetaraan dalam perlakuan, dan menjalankan proses sertifikasi halal dengan penuh keadilan. Keadilan sebagaimana dijelaskan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 2 huruf b yang berbunyi :
“Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa dalam penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.”
Prinsip keadilan mengharuskan BPJPH untuk menjalankan proses sertifikasi halal dengan penuh keadilan, tanpa diskriminasi, dan secara objektif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Pasal 2 huruf b dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019:
1. BPJPH harus memperlakukan semua pemohon sertifikat halal secara adil dan memberikan sanksi yang proporsional kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan sertifikasi halal.
Implementasi Keadilan:
BPJPH menerapkan standar dan prosedur yang sama untuk semua pemohon sertifikat halal dan melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses sertifikasi seperti MUI dan lembaga pengujian halal. BPJPH juga memberikan pendampingan dan pembinaan kepada pelaku usaha untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan sertifikasi halal.
2. Peran Kemenag dan MUI
a . Kementerian Agama (Kemenag)
Kemenag bekerja sama dengan BPJPH dalam proses sertifikasi halal dan memiliki Satuan Tugas Pelayanan Sertifikasi Halal yang membantu pelaku usaha mikro dalam mendapatkan sertifikasi halal. Kemenag berperan penting dalam:
1. Melibatkan pendamping untuk berbagai kegiatan sertifikasi halal, termasuk memastikan kantin sekolah di madrasah negeri mendapatkan sertifikat halal.
2. Mengadakan kampanye dan sosialisasi mengenai sertifikasi halal, termasuk pelatihan untuk pelaku usaha.
b . Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI berperan sebagai mitra pemerintah dalam proses sertifikasi halal, memastikan bahwa produk yang dikonsumsi umat Islam adalah halal dan baik (halalan thayyiban). Peran MUI meliputi:
1. Melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada masyarakat dan pelaku usaha mengenai sertifikasi halal.
2. Mengawasi dan memberikan fatwa halal yang diperlukan untuk sertifikasi produk.
Kerangka hukum penegakan hukum oleh BPJPH yang mengatur prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan, sangat penting dalam memastikan bahwa proses sertifikasi produk halal di Indonesia berjalan dengan baik. Kemenag dan MUI berperan krusial dalam mendukung dan melengkapi fungsi BPJPH, dengan Kemenag memberikan dukungan operasional dan MUI memberikan otoritas religius serta sosialisasi kepada masyarakat. Kolaborasi antara BPJPH, Kemenag, dan MUI berkontribusi pada penegakan hukum yang efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, menjamin produk halal yang berkualitas dan sesuai dengan syariat Islam.
3. Bentuk Manipulasi dan Penegakan Hukum
1. Bentuk manipulasi yang umum meliputi:
1) Penggunaan bahan non-halal, Bahan seperti daging babi, enzim dari babi, atau gelatin dari babi digunakan dalam produk, tetapi tidak diungkapkan dengan benar atau produk tersebut masih diberi label halal.
2) Proses penyembelihan yang tidak sesuai syariah, Hewan tidak disembelih sesuai dengan prosedur syariah, tetapi produk daging tetap diberi label halal.
3) Penyalahgunaan label halal, Produk yang tidak memenuhi standar halal masih diberi label halal untuk menipu konsumen.
4) Pencampuran bahan halal dan non-halal, Bahan non-halal dicampur dengan bahan halal tanpa pengungkapan yang benar, tetapi produk tetap diberi label halal.
2. Penegakan Hukum oleh BPJPH
1) Audit dan Pengawasan, BPJPH melakukan audit dan pengawasan rutin terhadap produk dan proses produksi untuk memastikan kepatuhan terhadap standar halal.
2) Edukasi dan Sosialisasi, BPJPH juga melakukan edukasi dan sosialisasi kepada pelaku usaha mengenai pentingnya kepatuhan terhadap sertifikasi halal.
3) Kolaborasi dengan Lembaga Terkait, BPJPH berkoordinasi dengan lembaga pemerintah dan instansi terkait seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan untuk penegakan hukum.
No. | Kasus | Tahun | Bentuk Manipulasi | Peraturan yang Dilanggar | Penegakan Hukum |
1. | Kasus Bumbu Penyedap Rasa PT A. | 2000 | Perubahan bahan baku dari polypeptone (halal) ke bactosoytone (terindikasi mengandung unsur babi) tanpa pemberitahuan kepada MUI. [21] | - Pasal 30 dan 31 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan - Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan | - UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 56 (penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan label halal)Investigasi dan penarikan produk, Pencabutan sertifikat halalPemberian sanksi berupa perbaikan sistem produksiKomunikasi intensif dengan masyarakat dan edukasi tentang pentingnya sertifikasi halal |
2. | Kasus bakso daging sapi dicampur babi oleh oknum pedagang di JS | 2013 | Pengoplosan bakso daging sapi yang diberi label halal dengan bahan non-halal daging babi. [22] | - Pasal 8 ayat 1 huruf f - Pasal 62 ayat 1 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen | Penggerebekan dan penahanan oleh petugas Sudin Peternakan dan Perikanan JSProses hukum di Pengadilan Negeri JS Pasal 62 ayat 1 jo pasal 8 ayat 1 huruf f UU Perlindungan Konsumen Ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara |
3. | Kasus Jus Buah Anggur Nabidz | 2023 | Manipulasi data pengajuan sertifikasi halal, ketidakjujuran dalam verifikasi produk minuman beralkohol, pencantuman label halal yang tidak sesuai dengan hasil uji lab. [23] | -Pasal 4 -Pasal 25 -Pasal 26 -Pasal 53 UU JPH No. 33 Tahun 2014 | BPJPH melakukan :Pencabutan Sertifikat HalalPencabutan Nomor Registrasi Pendamping PPHPenarikan Produk dari PeredaranPencantuman Keterangan Tidak HalalPengawasan dan Edukasi Lebih Lanjut. |
4. | Kasus Roti Okko | 2024 | Ketidaksesuaian bahan (Natrium Dehidroasetat) Pencantuman label halal pada produk yang tidak terdaftar halal [24] | - Pasal 65- Pasal 84- Pasal 87 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021- Pasal 53 Undang-Undang JPH Nomor 33 Tahun 2014 | BPJPH memberikan sanksi administrastif berupa: Pasal 149 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021a. Pencabutan Sertifikat Halalb. Penarikan Barang dari PeredaranBPJPH melakukan : a. Koordinasi dengan BPOM dan LPH untuk memastikan kepatuhan dan tindakan yang tepat. b. Pengawasan dan Imbauan kepada Masyarakat Mendorong partisipasi aktif dalam pengawasan produk halal sesuai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014. |
Berdasarkan data kasus diatas, kasus-kasus manipulasi sertifikasi halal dari tahun 2000 hingga 2024, terdapat perkembangan signifikan dalam penegakan hukum terkait. Pada awalnya, penegakan hukum lebih berfokus pada tindakan administratif dan edukasi, seperti dalam kasus Bumbu Penyedap Rasa PT A (2000), di mana tindakan meliputi investigasi, pencabutan sertifikat halal, dan perbaikan sistem produksi. Seiring berjalannya waktu, pada 2013, penegakan hukum menjadi lebih tegas dengan penerapan UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 yang mencakup ancaman hukuman pidana dan proses peradilan, seperti yang terlihat pada kasus bakso daging sapi dicampur babi.
Memasuki periode 2023, dengan diterapkannya UU JPH No. 33 Tahun 2014, penegakan hukum semakin sistematis dan komprehensif, melibatkan pencabutan sertifikat halal, penarikan produk, dan pengawasan lebih lanjut, sebagaimana diterapkan dalam kasus Jus Buah Anggur Nabidz. Terakhir, pada 2024, dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021, penegakan hukum mencerminkan konsistensi dan ketelitian dalam penerapan aturan, termasuk sanksi administratif yang ketat seperti pada kasus Roti Okko. Secara keseluruhan, konsistensi penegakan hukum oleh BPJPH telah meningkat, mencerminkan respons yang lebih efektif dan terstruktur terhadap pelanggaran sertifikasi halal seiring berjalannya waktu.
F. Tantangan dan Solusi dalam Penegakan Hukum oleh BPJPH
Penegakan hukum oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sangat penting dalam mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses sertifikasi produk halal di Indonesia. Beberapa tantangan utama termasuk keterbatasan sumber daya, kompleksitas proses sertifikasi, koordinasi dengan pihak terkait, penegakan hukum terhadap pelanggaran, dan peningkatan kesadaran masyarakat. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, BPJPH telah mengusulkan atau mengimplementasikan solusi-solusi yang sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.
1. Keterbatasan Sumber Daya
Berdasarkan hasil wawancara di Halal Center Umsida terkait dengan Apa saja yang menjadi kendala dalam penerbitan sertifikasi halal?. Ibu Puspita Handayani selaku Penyelia Halal tim halal center umsida menyampaikan dalam wawancara yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
“Kendala utama sering kali datang dari pelaku usaha yang kurang paham teknologi, terutama yang sudah sepuh. Semua dokumen harus diunggah secara digital, yang sering kali menjadi masalah. Proses penerbitan sertifikasi halal biasanya memakan waktu sekitar tiga bulan, tergantung pada kerumitan dan risiko produknya.”
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi menjadi salah satu tantangan utama dalam proses sertifikasi halal, terutama bagi pelaku usaha yang tidak terbiasa dengan penggunaan teknologi digital. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk penerbitan sertifikasi juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan produk yang disertifikasi.
Begitu juga dengan wawancara di kemenag terkait dengan Apa saja kendala yang ditemukan dalam proses pendampingan sertifikasi halal?. Adapun kendala yang dihadapi saat proses pendampingan salah satunya karena keterbatasan anggaran. Hal ini disampaikan oleh Bapak Farid Yusron selaku Kasie Pelayanan Bidang Halal dalam wawancara yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
"Ya, kendala utamanya adalah kami tidak memiliki anggaran khusus untuk layanan produk halal. Kami bekerja secara mandiri karena ini adalah tugas dari kepala kantor yang ditugaskan kepada kami. Meskipun ada honorarium dari BPJPH, jumlahnya relatif kecil."
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keterbatasan anggaran, kurangnya dukungan struktural, dan honorarium yang tidak memadai merupakan kendala signifikan dalam pelaksanaan layanan produk halal.
Selain itu, MUI juga berpendapat terkait Bagaimana MUI menyikapi masyarakat yang belum menyadari pentingnya sertifikasi halal dan kendala yang dihadapi masyarakat dalam hal itu? dalam wawancara Bapak Imam Satudi selaku Sekertaris Umum MUI Kab. Sidoarjo menyampaikan sebagai berikut:
“Kendala mayoritas produsen adalah praktis; mereka tidak mau repot. Masyarakat juga kadang mengalami kendala pada persyaratan administratif seperti KTP, KK, SIUP, dan surat domisili. Sebenarnya kendala di administrasi tidak berhubungan langsung dengan kehalalannya. Tapi kalau semuanya ready, InsyaAllah cepat selesai. Karena jika persyaratan administratif segera dilengkapi, proses sertifikasi halal tidak akan lama. Namun, MUI yakin, dengan reward dan punishment yang konsisten, serta sosialisasi terus-menerus, masyarakat akan menyadari pentingnya makanan halal.”
“Selain kendala administrasi juga ada kendala teknis, dimana ada beberapa kasus di mana bahan baku yang digunakan harus diuji lebih lanjut. Misalnya, ada bahan baku yang diimpor dan belum ada kepastian kehalalannya, maka kita harus melakukan pengujian di laboratorium. Proses ini bisa memakan waktu, terutama jika bahan bakunya berasal dari luar negeri.”
Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya sosialisasi makanan halal yang konsisten dari pemerintah dan ulama untuk memastikan kesadaran masyarakat muslim akan pentingnya konsumsi produk halal. Mayoritas produsen menghadapi kendala praktis dan cenderung enggan untuk mengikuti prosedur yang dianggap merepotkan. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meyakini bahwa dengan penerapan sistem reward dan punishment yang konsisten, serta sosialisasi yang berkelanjutan, produsen dan masyarakat akan lebih memahami dan memprioritaskan pentingnya produk makanan halal.
Keterbatasan sumber daya merupakan salah satu tantangan utama yang dihadapi BPJPH. Untuk mengatasi hal ini, BPJPH harus beroperasi sesuai dengan kerangka hukum yang mengatur alokasi dan penggunaan sumber daya yang tersedia. Undang-undang dan peraturan terkait harus memberikan landasan yang jelas bagi BPJPH untuk memastikan penggunaan yang efisien dan efektif dari sumber daya manusia, keuangan, dan teknologi yang dimilikinya.
Sebagai contoh, Kemenag menghadapi kendala karena tidak memiliki anggaran khusus untuk layanan produk halal dari BPJPH, namun tetap memberikan pelayanan secara mandiri. Solusi untuk keterbatasan sumber daya ini termasuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia dan memperluas kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Dalam konteks ini, penting bagi BPJPH untuk mengoptimalkan teknologi digital, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Puspita Handayani dari Halal Center UMSIDA, di mana kendala utama sering kali datang dari pelaku usaha yang kurang paham teknologi. Selain itu, BPJPH perlu mengalokasikan anggaran secara efisien, bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga terkait untuk memastikan adanya anggaran yang memadai dan dialokasikan secara efektif. Sosialisasi yang konsisten dan berkelanjutan juga diperlukan, sebagaimana ditegaskan oleh Bapak Imam Satudi dari MUI Kab. Sidoarjo, untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat serta produsen. Akhirnya, penerapan sistem reward dan punishment dapat mendorong kepatuhan produsen terhadap prosedur sertifikasi halal, dengan memberikan insentif bagi yang patuh dan sanksi bagi yang melanggar. Dengan langkah-langkah tersebut, BPJPH dapat mengatasi kendala sumber daya yang dihadapi dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas dalam penegakan hukum dan pelayanan sertifikasi halal.
2. Kompleksitas Proses Sertifikasi
Kompleksitas proses sertifikasi membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang kerangka hukum yang mengatur proses tersebut. BPJPH dapat mengatasi kompleksitas ini melalui peningkatan pelatihan dan pendidikan bagi petugas BPJPH. Pelatihan yang memadai sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku diperlukan untuk memastikan bahwa proses sertifikasi dilakukan dengan benar dan akurat. Kendala yang sering dihadapi oleh lembaga-lembaga pensertifikasi halal adalah pelaku usaha yang kurang familiar dengan teknologi digital, yang memperlambat proses sertifikasi. Proses penerbitan sertifikat halal biasanya memakan waktu hingga tiga bulan, tergantung pada kerumitan dan risiko produk. Solusi untuk ini termasuk memberikan pelatihan teknologi digital kepada pelaku usaha dan mempercepat proses sertifikasi melalui sistem yang lebih efisien. Seperti halnya pelatihan yang dilakukan oleh halal center umsida sebagaimana yang disampaikan oleh Bu Puspita selaku penyelia halal center umsida bahwasanya di umsida juga diadakan pelatihan-pelatihan edukasi sertifikasi halal disampaikan sebagai berikut:
“Pelatihan dilakukan secara periodik, baik di perusahaan yang mengurus sertifikasi halal maupun di tempat lain jika banyak UMKM yang mengurus self declare. Kami juga mengadakan sosialisasi untuk mahasiswa dalam bentuk seminar, workshop, dan melalui mata kuliah AIK. Selain itu, beberapa dosen berkolaborasi dalam mata kuliah kewirausahaan dan program KKN, di mana HC UMSIDA datang ke desa-desa untuk sosialisasi dan pendampingan.”
3. Koordinasi dengan Pihak Terkait
Koordinasi dengan pihak terkait dapat ditingkatkan melalui pembentukan mekanisme komunikasi dan kerjasama yang efektif. Kerjasama dengan produsen, lembaga sertifikasi, MUI, dan instansi pemerintah lainnya memerlukan dasar hukum yang mengatur kerjasama lintas sektor. Peraturan harus menyediakan kerangka kerja yang jelas untuk memfasilitasi kerjasama antara berbagai pihak terkait demi kelancaran proses sertifikasi dan penegakan hukum. Ibu Puspita selaku penyelia halal, Halal Center UMSIDA menjelaskan bahwasanya halal center umsida bekerja sama dengan berbagai pihak seperti MUI Kabupaten Sidoarjo, LAZISMU, Kadin Sidoarjo, dan organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk mengembangkan jaringan dan pelayanan. Tidak hanya itu Bapak Farid Yusron selaku Kasie Pelayanan Bidang Halal dalam wawancaranya mengatakan bahwa:
"Kami di Kemenag memiliki dua orang yang ditugaskan secara resmi untuk melakukan pengawasan, yaitu saya dan Pak Agus Riono. Kami melakukan pengawasan dengan cara memonitor layanan yang diberikan oleh para pendamping, memastikan mereka tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan oleh BPJPH. Pengawasan dilakukan secara berkala dan sistematis, termasuk melalui rapat dan komunikasi rutin dengan para pendamping."
Kemenag dalam hal ini juga melakukan pengawasan oleh petugas Kemenag yang di-SK-kan oleh Kanwil untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan oleh BPJPH. Bapak Farid juga menyampaikan bahwa pengawasan dilakukan secara sistematis dan sering berkomunikasi dengan para pendamping untuk memastikan tidak ada pelanggaran ketentuan yang ditetapkan oleh BPJPH.
4. Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran
Penegakan hukum terhadap pelanggaran dapat diperkuat melalui penguatan sistem pengawasan dan penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Penegakan memerlukan dasar hukum yang kuat yang menetapkan sanksi yang jelas dan tegas bagi pelanggar. Hukum harus memberikan dasar yang cukup bagi BPJPH untuk bertindak secara adil dan konsisten dalam menegakkan regulasi sertifikasi halal.
MUI juga berpendapat terkait bagaimana menurut anda terkait langkah pemerintah untuk memastikan penerapan undang-undang tentang label halal?, dalam wawancara Bapak Imam Satudi selaku Sekertaris Umum MUI Kab. Sidoarjo menyampaikan sebagai berikut:
“Pemerintah nanti akan betul-betul bergerak. Kalau undang-undangnya kan mulai Oktober 2024, produk yang tidak ada label halal tidak boleh edar. Kendala sedikit di rumah potong unggas yang kecil-kecil, tapi untuk rumah potong hewan besar sudah hampir semua tersertifikasi. Masalahnya memang di RPH unggas kecil karena sangat banyak, unggas yang kecil masih ada yang belum tersertifikasi.”
MUI menghadapi tantangan dalam sertifikasi rumah potong unggas kecil yang belum tersertifikasi, yang menunjukkan perlunya penegakan hukum yang lebih kuat dan sanksi yang jelas untuk memastikan kepatuhan [25].
5. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya produk halal juga memerlukan dukungan dari kerangka hukum yang memungkinkan BPJPH untuk melakukan sosialisasi dan edukasi secara efektif. Regulasi harus memberikan landasan bagi BPJPH untuk melaksanakan program-program komunikasi yang efektif guna meningkatkan pemahaman masyarakat tentang manfaat dan keharusan produk halal. Lembaga-lembaga pensertifikasi halal seperti Halal Center UMSIDA aktif melakukan sosialisasi seperti yang telah disampaikan oleh Ibu Puspita Handayani selaku Penyelia Halal tim halal center umsida dalam wawancara yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
“Kami melakukan edukasi masyarakat melalui kerja sama dengan ormas seperti Aisyiyah dan Muhammadiyah. HC UMSIDA sering diundang dalam acara pengajian dan kegiatan pemuda untuk sosialisasi. Kami juga bekerja sama dengan BPJPH dalam sertifikasi halal dan melaporkan perkembangan setiap bulan”
Bentuk edukasi yang diberikan oleh Halal Center Umsida semata-mata ditujukan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya produk halal. Kerjasama ini efektif dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap standar halal, serta memastikan transparansi dan efisiensi dalam proses sertifikasi.
Penegakan hukum oleh BPJPH menghadapi berbagai tantangan, namun dengan solusi yang tepat sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku, tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi [26]. Peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya, pendidikan dan pelatihan yang memadai, kerjasama yang efektif dengan pihak terkait, sistem pengawasan yang kuat, dan peningkatan kesadaran masyarakat adalah langkah-langkah penting yang harus diambil untuk memastikan penegakan hukum yang efektif oleh BPJPH [27].
Meskipun, regulasi dan penegakan hukum terkait sertifikasi halal oleh BPJPH di Indonesia cukup baik, masih terdapat kendala signifikan dalam pelaksanaannya, terutama terkait keterbatasan sumber daya masyarakat. Meskipun Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 memberikan kerangka hukum yang kuat, keterbatasan sumber daya masyarakat, pendanaan, serta kesadaran dan budaya masyarakat menjadi hambatan utama dalam penegakan hukum yang efektif. BPJPH telah menerapkan berbagai prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan keadilan untuk mengatasi keterbatasan sumber daya masyarakat dalam pendaftaran sertifikasi halal. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi kendala signifikan. Upaya BPJPH untuk menyediakan informasi melalui website dan sosialisasi, menawarkan self declare gratis untuk UMK, serta pendampingan kepada pelaku usaha, menunjukkan komitmen mereka dalam menjamin produk halal di Indonesia. Efektivitas penegakan hukum ini terkendala oleh rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya sertifikasi halal, yang disebabkan oleh kebiasaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap aturan yang ada.
Regulasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sangat penting untuk memastikan produk di Indonesia memenuhi standar halal. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan aturan lainnya memberi BPJPH wewenang untuk sertifikasi dan pengawasan produk halal. Meskipun regulasi ini cukup, efektivitasnya tergantung pada pelaksanaan dan pengawasan yang baik, serta kerjasama antar lembaga dan kesadaran masyarakat. Prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan diatur dalam hukum, tetapi keberhasilan pengawasan halal membutuhkan pelaksanaan yang efektif. Tantangan utama meliputi sumber daya, koordinasi antar lembaga, dan efektivitas pengawasan. Penegakan regulasi halal oleh BPJPH penting untuk melindungi konsumen dan menjaga integritas pasar produk halal di Indonesia.