Background: Environmental protection is crucial for preventing pollution and maintaining balance. Specific background: Hazardous waste (B3) significantly contributes to pollution, especially when mismanaged. Knowledge gap: Despite existing laws like Law No. 32/2009 on Environmental Protection, enforcement remains a challenge. Aims: This study analyzes B3 waste management under Indonesian regulations and assesses local programs and infrastructure developments. Results: While regulations and programs are in place, such as B3 handling policies and a new waste processing plant, poor compliance hampers effectiveness. Novelty: The study highlights evolving local strategies for improving B3 management. Implications: Stronger enforcement and integrated solutions are key to reducing environmental risks and achieving sustainability.
Highlights :
Keywords: Environmental protection, hazardous waste, B3 management, regulatory enforcement, sustainability
Kabupaten Pasuruan memiliki posisi yang sangat strategis karena terletak di jalur regional dan jalur utama perekonomian Surabaya – Malang dan Surabaya – Banyuwangi. Hal ini memberikan keuntungan besar dalam pengembangan ekonomi serta membuka peluang investasi di Kabupaten Pasuruan yang memiliki jumlah industri mencapai 14.765.996,387 unit. Dengan luas wilayah sebesar 147.401,50 hektar atau sekitar 3,13% dari luas Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Pasuruan terdiri dari 24 kecamatan, 24 kelurahan, 341 desa, dan 1.694 pedukuhan. Secara demografis, Kabupaten Pasuruan memiliki jumlah penduduk yang besar, tercatat sebanyak 1.615.420 jiwa dengan kepadatan 1024,59 jiwa/km². Keanekaragaman penduduknya mencakup suku Jawa, suku Madura, suku Tengger, serta keturunan asing seperti Cina, Arab, dan India. Agama yang dianut oleh masyarakatnya meliputi Islam, Kristen Protestan, Katolik, Buddha, dan Hindu, mencerminkan keragaman budaya dan toleransi yang tinggi di wilayah ini. [1]
Pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) merupakan aspek krusial dalam pengelolaan lingkungan hidup. Limbah B3 adalah residu dari kegiatan atau usaha yang mengandung bahan berbahaya atau beracun yang dapat mencemari atau merusak lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, limbah B3 juga berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan mengancam kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengelolaan yang efektif untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah B3 terhadap lingkungan dan kesehatan. Salah satu kasus yang terjadi di tahun 2022 yaitu kasus pembuangan limbah cair B3 oleh perusahaan farmasi di Pasuruan yang mencemari sungai. Pembuangan limbah berbahaya ini diduga dilakukan oleh perusahaan produsen infus, produk farmasi, dan industri bahan makanan di wilayah Wonorejo. Kasus ini telah memicu reaksi dari organisasi Pusaka yang berencana menyeret masalah ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk memastikan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan tersebut. Kemudian pada tahun 2023 juga terjadi kasus dugaan pencemaran lingkungan Limbah Bahan Berbahaya & Beracun (B3) jenis cair milik PT SM di wilayah Kecamatan Wonorejo, Kabupaten Pasuruan. [2]
Lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan sistem yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, mencakup semua ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa di bumi ini. Manusia dan kebiasaannya menjadi aspek yang sangat menentukan dalam keberlangsungan lingkungan hidup. Namun, saat ini sebagian orang menganggap aspek lingkungan tidak bernilai, melihatnya hanya sebagai materi yang ditujukan bagi manusia. Manusia sering kali dipandang sebagai penguasa lingkungan hidup, menggambarkan lingkungan hanya sebagai objek, bukan subjek. Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa hubungan antara manusia dan lingkungan hidup adalah timbal balik, di mana manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Dengan meningkatnya kegiatan usaha yang bersinggungan dengan lingkungan, seperti industri pengolahan karet yang memiliki nilai jual tinggi, kualitas lingkungan juga terpengaruh. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan, termasuk pencegahan, penanggulangan, pencemaran, dan pemulihan, memerlukan pengembangan kebijakan tegas dan program-program pendukung. Sistem ini harus mencakup sumber daya manusia, kemitraan lingkungan, dan kelembagaan, termasuk peraturan hukum, untuk memastikan bahwa kegiatan pengelolaan lingkungan tidak berdiri sendiri tetapi terintegrasi dengan pelaksanaan pembangunan. [3]
Wahyu Jeffry Purwanto,Abdul Fatah, dengan judul Kajian Normatif Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Limbah B3 Di Wilayah Mojokerto kesimpulan pengelolaan limbah yang tidak sesuai dalam kegiatan industri yang dilakukan oleh PT. Bumi Nusa Makmur menimbulkan berbagai dampak negatif. Dampak tersebut meliputi timbulnya sengketa dan perselisihan di tengah masyarakat, gangguan terhadap ketertiban umum, tidak diterbitkannya izin lingkungan dan izin gangguan, serta penutupan perusahaan secara permanen. Akibatnya, pendapatan daerah hilang dan banyak pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja. Selain itu, terjadi pencemaran lingkungan hidup yang serius dan munculnya sengketa lingkungan hidup. Temuan ini menunjukkan bahwa PT. Bumi Nusa Makmur tidak menerapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan baik dan benar. [4]
Yurnalisdel dengan judul Analis Pengeloahan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) di Indonesia kesimpulan Jenis Limbah B3 Rumah sakit menghasilkan berbagai jenis limbah B3 termasuk limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah kimia, limbah sitotoksis, limbah radiologi, limbah container bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat tinggi regulasi Pengelolaan Limbah B3 Pengelolaan limbah B3 di rumah sakit diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, yang menekankan perlunya pengelolaan secara sistematis dan berkelanjutan dengan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan perbaikan yang berkesinambungan dampak Positif dan Negatif Rumah Sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit memberikan dampak positif seperti akses mudah terhadap pelayanan kesehatan dengan jaminan kesehatan dan keselamatan, namun juga menghasilkan dampak negatif melalui produksi limbah B3 yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia kriteria Limbah B3 Limbah B3 memiliki kriteria tertentu seperti kemudahan meledak, kemudahan menyala, sifat reaktif, sifat infeksius, sifat korosif, dan sifat beracun, yang membuat pengelolaannya memerlukan perhatian khusus dampak Kesehatan dari Limbah B3: Limbah B3 dapat memiliki dampak negatif terhadap kesehatan manusia, termasuk gangguan pernapasan, iritasi pada mata dan kulit, gangguan pencernaan, serta dampak kronis seperti gangguan pada jantung, hati, ginjal, dan kerusakan neurologis perlunya Pengelolaan Hati-hati Pengelolaan limbah B3 di rumah sakit perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan sesuai dengan regulasi yang berlaku guna mencegah dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dengan demikian, penelitian menyoroti pentingnya pengelolaan limbah B3 secara efektif di rumah sakit untuk menjaga kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan [5]
Raka Salma Riyadi dengan judul Analis Pengeloahan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) padat pusat kesehatan masyarakat ( Puskesmas ) di kabupaten Kulon Progo kesimpulan Potensi Masalah Pelayanan dan estetika limbah B3 di puskesmas dapat menyebabkan masalah baik dari segi pelayanan maupun estetika. Kehadirannya dapat mengganggu lingkungan dan menciptakan ketidaknyamanan bagi pasien dan pengunjung potensi Penularan Penyakit jika tidak diolah dengan benar, limbah B3 dapat menjadi sumber penularan penyakit. Meskipun jumlah limbah medis relatif kecil, risiko pencemaran lingkungan bisa meningkat jika tidak ada pengelolaan yang baik pentingnya Pengelolaan Limbah B3 pengelolaan limbah B3 di puskesmas perlu diperhatikan secara seksama untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan langkah-langkah Pengurangan Limbah B3: Langkah-langkah untuk mengurangi timbulan limbah B3 termasuk penggunaan produk bahan kimia sampai habis, memastikan tanggal kadaluwarsa produk, serta memperhatikan faktor-faktor seperti kecelakaan pasien yang menghasilkan cairan darah dan penggunaan masker sekali pakai pelatihan dan Sosialisasi pelatihan dan sosialisasi diperlukan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya limbah B3 dan memastikan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai dengan regulasi yang berlaku dengan demikian, kesimpulan ini menegaskan perlunya perhatian yang serius terhadap pengelolaan limbah B3 di puskesmas untuk mengurangi risiko kesehatan dan lingkungan yang mungkin timbul[6]
Perbedaan penelitian terdahulu dan sekarang adalah pada lokasi penelitian terdahulu di lakukan di wilayah Mojokerto dan Kulon Progo sedangkan yang sekarang berada di kabupaten Pasuruan yang tentu memiliki karakteristik yang berbeda kemudian penelitian sekarang lebih mengarah ke pada implimentasi apakah perda dan Undang-Undang tentang pengelolahan limbah b3 telah di lakukan dengan baik oleh para pelaku usaha baik itu pabrik atau usaha rumahan di Kabupaten Pasuruan
Tujuan penelitian untuk mengalisi pengelolaan limbah b3 di kabupaten pasuruan karena limbah b3 sangat berbahaya bagi lingkungan hidup maupun masyrakat jika tidak di kelolah dengan baik dan benar
Rumusan masalah penelitian adalah untuk mengetahui apakah peraturan tentang pengelolaan limbah B3 di kabupaten pasuruan sudah sesuai degan peraturan di atas nya?
Metode penelitian yang digunakan adalah metode Yuridis Normatif dengan pendekatan perundang-undangan, menggunakan bahan hukum primer berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Tata cara dan Persyaratan Pengelolahan Limbah B3, serta Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. bahan hukum skunder berupa jurnal, buku, dan literatur tentang pengelolahan limbah B3. Analisis bahan hukum dilakukan secara deduktif.
A. Analisis Yuridis Limbah B3 Menurut UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolahan Lingkungan Hidup
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Proteksi dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan serta mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Upaya ini mencakup perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, serta penegakan hukum. Namun, dalam praktiknya, sebagian dampak negatif terhadap lingkungan disebabkan oleh tidak terlaksananya upaya proteksi dan pengelolaan yang baik oleh pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas mereka. Akibatnya, tujuan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) tidak tercapai dengan baik. [7]
Limbah B3 merupakan salah satu penyebab utama pencemaran lingkungan hidup. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran lingkungan terjadi ketika manusia memasukkan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Pencemaran ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dalam lingkungan atau ekosistem yang ada, mengubah kondisi lingkungan yang semula baik menjadi buruk. Dampaknya mencakup gangguan terhadap berbagai makhluk hidup, tidak hanya manusia tetapi juga binatang dan tumbuhan, serta berpotensi mengurangi kesuburan tanah. [8]
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia, serta kelangsungan hidup makhluk lain dan kelestarian ekosistem, adalah tujuan utama pengelolaan lingkungan. Tujuan ini juga mencakup upaya untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan, serta menjamin keadilan bagi generasi masa kini dan masa depan. Selain itu, undang-undang ini bertujuan menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia, mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan merespons isu lingkungan global. Untuk mencapai tujuan tersebut, UUPLH menetapkan berbagai instrumen hukum untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Tata Ruang, Baku Mutu Lingkungan Hidup, Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, AMDAL, UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan, anggaran berbasis lingkungan, analisis risiko lingkungan, audit lingkungan, dan instrumen lain sesuai kebutuhan serta perkembangan ilmu pengetahuan. KLHS menempati posisi puncak dalam pencegahan pencemaran lingkungan hidup. Setiap pelaku usaha/kegiatan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup wajib mendapatkan izin lingkungan sebagai syarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Selain instrumen pencegahan, juga diatur instrumen penegakan hukum (administratif, perdata, dan pidana) beserta pelaksanaan sanksi administratif, ganti rugi, dan sanksi pidana. [9]
Upaya ini bertujuan untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan, memaksa pelaku usaha untuk menanggulangi dan memulihkan kerusakan yang terjadi, memberikan efek jera, melindungi hak-hak masyarakat, mendorong peningkatan ketaatan hukum, serta meminimalisasi kerugian dan korban. Kewenangan penegakan hukum ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, khususnya mengenai penanganan pengaduan dan pengawasan izin. Pasal 63 huruf r mengamanatkan pengembangan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat, sementara pasal 63 huruf aa menekankan pentingnya penegakan hukum lingkungan hidup. Pengawasan izin diatur dalam pasal 71 dan 72, yang menyatakan bahwa menteri, gubernur, atau bupati/wali kota wajib melakukan pengawasan ketaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta izin lingkungan sesuai dengan kewenangannya. [10]
Pembahasan mengenai konsekuensi hukum terhadap produksi dan pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sangatlah penting. Pasal-pasal yang terkait, seperti Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 104, menetapkan hukuman pidana berat bagi mereka yang secara ilegal memproduksi, tidak mengelola, atau membuang limbah B3 tanpa izin. Ancaman pidana penjara antara satu hingga tiga tahun serta denda mencapai miliaran rupiah menunjukkan seriusnya konsekuensi hukum ini. Hal ini bertujuan untuk mencegah pencemaran lingkungan hidup dan memberikan efek jera kepada individu maupun industri yang tidak mematuhi peraturan perlindungan lingkungan dalam pengelolaan limbah B3. [11]
B. Analisis Peraturan Pemerintah No 22 tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup
mengenai risiko lingkungan dalam setiap rencana usaha atau kegiatan, baik yang berskala besar maupun kecil, menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi lingkungan untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, setiap usaha atau kegiatan yang memiliki potensi dampak lingkungan, baik penting maupun tidak, diwajibkan untuk memperoleh Persetujuan Lingkungan. Persyaratan ini mencakup Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL-UPL), dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (SPPL), sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012. Amdal, khususnya, diwajibkan bagi usaha atau kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan, terutama jika terletak di atau berbatasan dengan kawasan lindung. Dalam hal ini, tanggung jawab usaha atau kegiatan tersebut harus melakukan kajian ilmiah untuk menilai potensi dampaknya dan berkonsultasi dengan instansi terkait untuk mendapatkan arahan. Keberadaan Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup berperan penting dalam mengevaluasi dan memberikan arahan kepada penanggung jawab usaha untuk memastikan kegiatan tidak mengganggu fungsi kawasan lindung. Dengan demikian, peraturan ini memastikan bahwa setiap rencana usaha dilaksanakan dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku.
Kerusakan lingkungan di Indonesia terus meningkat, mempengaruhi kualitas dan produktivitas lingkungan hidup. Faktor utama yang berkontribusi pada kondisi ini termasuk perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan yang kurang optimal dari berbagai aktivitas usaha. Situasi ini menyebabkan ketidakseimbangan kualitas lingkungan di berbagai daerah. Dalam konteks ini, keterlibatan aktif masyarakat sebagai warga negara menjadi sangat penting. Hak dan kewajiban masyarakat terkait lingkungan mencerminkan kekuasaan dan tanggung jawab mereka dalam menjaga dan memperbaiki lingkungan. Hak meliputi perlindungan dan kepentingan, serta kehendak untuk bertindak, sementara kewajiban mencakup tindakan yang harus dilakukan demi lingkungan. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28H, menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sejahtera dan menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Oleh karena itu, masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat tetapi juga kewajiban untuk berpartisipasi dalam upaya pelestarian dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keterlibatan ini adalah kunci untuk memastikan bahwa lingkungan tetap menjadi sumber kehidupan yang berkelanjutan dan berkualitas bagi generasi mendatang.
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 menggaris bawahi pentingnya pengelolaan lingkungan hidup melalui berbagai aspek, seperti mutu air, udara, laut, serta pengendalian kerusakan lingkungan dan pengelolaan limbah non-B3, dengan menerapkan sanksi untuk penegakan hukum lingkungan. Lingkungan hidup, seperti yang dijelaskan oleh Otto Soemarwoto, adalah ruang di mana makhluk hidup dan benda-benda lain saling mempengaruhi dan menciptakan keseimbangan ekosistem. Dalam konteks ini, peraturan tersebut juga menyoroti dampak lingkungan dari aktivitas manusia, termasuk pelaku usaha yang harus mematuhi ketentuan terkait agar tidak merusak entitas ekologis penting. Pasal 47 ayat 1 poin (H) dalam PP ini menekankan bahwa setiap rencana usaha atau kegiatan tidak boleh mengganggu entitas ekologis, seperti spesies kunci, atau yang memiliki nilai penting ekologis, ekonomi, dan ilmiah. Hal ini penting karena kerusakan lingkungan sering kali dipicu oleh aktivitas pembangunan yang tidak terkendali, yang pada gilirannya dapat menurunkan produktivitas dan kualitas lingkungan. Dengan pendekatan yang komprehensif, PP No. 22 Tahun 2021 bertujuan untuk memastikan pembangunan berkelanjutan tanpa mengorbankan keseimbangan ekologis yang mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berperan penting sebagai modal sosial dengan menekankan hubungan sosial yang berkualitas dan keberlanjutan nilai masa depan melalui perlindungan lingkungan. Pertama, peraturan ini menggarisbawahi pentingnya membangun jaringan sosial yang kuat untuk menjaga lingkungan, yang secara langsung berkaitan dengan peningkatan kinerja ekonomi secara luas. Kedua, peraturan ini melibatkan empat pemangku kepentingan yang saling berkesinambungan, yakni menteri, pemerintah daerah, dan pelaku usaha. Menteri, dengan dukungan gubernur atau bupati, bertugas mengevaluasi dampak lingkungan dari kegiatan usaha, memastikan kepatuhan terhadap syarat yang ditetapkan. Pelaku usaha diwajibkan menyediakan dana penjamin untuk pemulihan fungsi lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat terdampak. Filosofis, peraturan ini memudahkan proses perolehan persetujuan lingkungan untuk usaha, dengan poin penting seperti pelibatan masyarakat dalam penyusunan AMDAL dan tanggung jawab pengelolaan limbah B3. Oleh karena itu, PP No. 22 Tahun 2021 memperkuat modal sosial dengan membentuk kelembagaan baru yang mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
C. Analisis Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 6 Tahun 2021 Tentang Tata cara dan Persyaratan Pengelolahan Limbah B3
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 6 Tahun 2021, pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mencakup kegiatan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan. Setiap individu atau entitas yang menghasilkan limbah B3 wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kinerja pengelolaan limbah B3 dapat dipantau melalui formulir neraca limbah B3, yang memuat data pengelolaan selama periode tertentu dan diisi menggunakan rumus yang telah ditetapkan. Selain itu, setiap penghasil limbah B3, baik dari sektor usaha maupun kegiatan lainnya, harus mematuhi standar penyimpanan limbah B3 yang terintegrasi dengan nomor induk berusaha. Bagi usaha atau kegiatan yang diwajibkan memiliki Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) atau dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), standar penyimpanan limbah B3 harus sesuai dengan persetujuan lingkungan. Hasil analisis kesesuaian kondisi penyimpanan limbah B3 dengan standar yang berlaku sangat penting untuk memastikan bahwa proses penyimpanan dilakukan dengan benar dan aman. [12]
Pengolahan limbah B3 adalah tanggung jawab setiap orang atau entitas yang menghasilkan limbah B3. Jika penghasil limbah B3 tidak mampu mengelola sendiri, maka pengolahan limbah B3 harus diserahkan kepada pengolah limbah yang berwenang. Pengolahan limbah B3 wajib dilaksanakan di fasilitas yang dilengkapi dengan sistem keamanan yang memadai, termasuk pencegahan kebakaran, pencegahan tumpahan limbah, dan penanggulangan keadaan darurat. Analisis kesesuaian kondisi eksisting kegiatan pengolahan limbah B3 dengan standar peraturan yang berlaku harus dilakukan untuk memastikan kepatuhan dan keamanan proses pengolahan. Selain itu, pengangkutan limbah B3 harus dilakukan oleh pengangkut limbah yang memiliki perizinan resmi di bidang pengangkutan limbah B3 dan mematuhi ketentuan alat angkut, rekomendasi pengangkutan, dan penggunaan festronik. Festronik adalah sistem pemantauan elektronik untuk memastikan bahwa pengangkutan limbah B3 dilakukan sesuai peraturan guna mencegah pencemaran lingkungan. [13]
Penyimpanan sementara limbah B3 dapat dilakukan dengan memasukkan limbah ke dalam Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) limbah B3. Dalam proses ini, terdapat prosedur yang mengharuskan unit Kesehatan, Keselamatan Kerja, Lingkungan Hidup (K3LH) bertanggung jawab atas pencatatan limbah B3, pembuatan neraca limbah B3, dan pelaporan neraca tersebut kepada Kementerian Lingkungan Hidup. Setiap limbah B3 yang masuk ke TPS wajib direkam dalam logbook dan neraca limbah B3, yang kemudian dilaporkan setiap tiga bulan kepada Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup, dan Kantor Lingkungan Hidup. Pengemasan limbah B3 harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, namun sering kali terjadi pengemasan yang tidak memenuhi standar, seperti pengemasan debu blasting dan pasir blasting dalam bak kontainer yang berkarat, rusak, dan tanpa penutup. Hal ini bertentangan dengan persyaratan pengemasan yang diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 1 Tahun 1995, yang diperbarui oleh Permen LHK No. 6 Tahun 2021. Jika kemasan mengalami kerusakan seperti karat atau bocor, limbah B3 harus segera dipindahkan ke dalam drum atau tong yang baru dan memenuhi standar sebagai kemasan limbah B3. [14]
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun juga menetapkan standar dan prosedur yang harus diikuti dalam transportasi, pengumpulan, dan pengolahan limbah B3. Peraturan ini menekankan pentingnya penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan memastikan bahwa setiap tahap pengelolaan limbah B3 dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip keselamatan dan keberlanjutan. Selain itu, peraturan ini juga mewajibkan pelaku usaha untuk melaporkan dan mendokumentasikan seluruh kegiatan pengelolaan limbah B3 secara berkala kepada pihak berwenang. Dengan demikian, diharapkan adanya peningkatan pengawasan dan penegakan hukum, serta peningkatan kesadaran dan tanggung jawab pelaku usaha dalam mengelola limbah B3, sehingga dapat mencegah pencemaran lingkungan dan melindungi kesehatan masyarakat. [15]
Analis pasal 21 ayat 1 Pada pasal ini menjelaskan tentang Perizinan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang diwajibkan bagi usaha dan/atau kegiatan tertentu. PPLH bertujuan untuk memastikan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut memenuhi standar dan ketentuan yang telah ditetapkan untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup pasal ini menyebutkan empat jenis PPLH yang wajib dimiliki Izin Pembuangan Air Limbah ke Sumber-sumber Air diperlukan bagi usaha dan/atau kegiatan yang membuang air limbah ke badan air seperti sungai, danau, atau laut izin ini bertujuan untuk memastikan bahwa air limbah yang dibuang telah diolah sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan dan tidak mencemari sumber air, izin Pemanfaatan Air Limbah ke Tanah untuk Aplikasi pada Tanah diperlukan bagi usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan air limbah untuk irigasi, penyuburan tanah, atau keperluan lainnya. Izin ini bertujuan untuk memastikan bahwa air limbah yangdimanfaatkan tidak membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tanaman, serta tidak mencemari tanah, izin Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dalam 1 (satu) Daerah Kabupaten diperlukan bagi usaha dan/atau kegiatan yang mengumpulkan B3 dari berbagai sumber dalam satu kabupaten. Izin ini bertujuan untuk memastikan bahwa B3 dikumpulkan dengan aman dan terkendali, serta mencegah pencemaran lingkungan, izin Penyimpanan Sementara Limbah B3 diperlukan bagi usaha dan/atau kegiatan yang menyimpan B3 untuk sementara waktu sebelum diolah atau diangkut ke tempat pemrosesan akhir. Izin ini bertujuan untuk memastikan bahwa B3 disimpan dengan aman dan terkendali, serta mencegah pencemaran lingkungan. [16]
Kewajiban bagi setiap orang yang menghasilkan, mengangkut, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) untuk melakukan pengelolaan B3 bersifat mutlak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Kewajiban ini mencakup individu maupun badan usaha yang terlibat dalam kegiatan yang berkaitan dengan B3. Pengelolaan B3 melibatkan perencanaan yang komprehensif, pelaksanaan yang benar dan bertanggung jawab, pemantauan terhadap efektivitas pengelolaan, serta pelaporan kegiatan pengelolaan kepada instansi terkait. Tujuannya adalah melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahaya B3, mencegah atau meminimalkan pencemaran, serta memanfaatkan B3 secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menegaskan pentingnya kepatuhan dalam pengelolaan B3. Pasal tentang kewajiban pengelolaan B3 ini merupakan landasan hukum yang penting untuk memastikan bahwa B3 dikelola dengan benar dan tidak membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Semua pihak yang terlibat dalam kegiatan berkaitan dengan B3 wajib memahami dan mematuhi kewajiban ini, termasuk mendapatkan izin dari Bupati untuk melakukan pengelolaan B3. Izin ini bertujuan memastikan pengelolaan B3 dilakukan sesuai peraturan yang berlaku, dan pelanggaran seperti melakukan pengelolaan B3 tanpa izin dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana. [17]
Analis pasal 29 ayat 3 Pasal ini menjelaskan tentang kewajiban untuk mendapatkan izin dari Bupati bagi pihak yang ingin melakukan pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Izin ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan B3 dilakukan dengan benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kewajiban untuk memperoleh izin ini berlaku bagi semua pihak, baik untuk kegiatan baru maupun yang sudah berjalan. Bupati memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin tersebut di wilayahnya, berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Untuk mendapatkan izin, pihak yang mengajukan harus memenuhi persyaratan tertentu, termasuk memiliki tempat usaha yang memenuhi standar teknis dan lingkungan, peralatan dan teknologi yang sesuai, personel yang kompeten, rencana pengelolaan B3 yang komprehensif, dan sistem tanggap darurat untuk mengantisipasi kecelakaan atau kebocoran B3. Pelanggaran terhadap kewajiban ini, seperti melakukan pengelolaan B3 tanpa izin, dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Izin pengelolaan B3 merupakan instrumen penting untuk memastikan bahwa B3 dikelola dengan benar dan tidak membahayakan lingkungan serta kesehatan masyarakat. [18]
Pengakuan fundamental atas hak asasi manusia untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat, yang tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dipertegas dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menegaskan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bukan hanya berarti bebas dari pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi juga mencakup hak untuk mendapatkan akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak, hidup di lingkungan yang aman dan nyaman, menikmati keindahan alam, serta berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Setiap individu memiliki kewajiban menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan tidak mencemarinya, menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan, dan berpartisipasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan. Upaya untuk mewujudkan hak ini membutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, melalui penegakan hukum lingkungan yang tegas, peningkatan kesadaran masyarakat, pengembangan teknologi ramah lingkungan, dan penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan. [19]
Analisis pasal 33 ayat 1 Pasal ini memuat berbagai larangan yang bertujuan untuk mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Larangan-larangan ini merupakan wujud komitmen negara untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup dan memastikan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. diantara larangan-larangan tersebut termasuk larangan terhadap segala bentuk kegiatan yang dapat mencemari air, udara, tanah, dan media lingkungan hidup lainnya seperti pembuangan limbah sembarangan, emisi gas buang kendaraan, dan penggunaan pestisida berlebihan. larangan juga meliputi masuknya B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) ke dalam wilayah daerah serta pembuangan limbah B3 ke media lingkungan hidup. Selain itu, terdapat larangan terhadap pelepasan produk rekayasa genetik ke lingkungan hidup tanpa izin serta pembukaan lahan dengan cara membakar yang dapat menyebabkan pencemaran udara dan kerusakan ekosistem. Larangan-larangan ini penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan mencegah dampak negatif yang merugikan bagi masyarakat dan ekosistem secara keseluruhan. [20]
E. Tabel Perbadingan Antara Undang Undang, Peraturan Pemerintah,Peraturan Menteri,dan Peraturan Daerah
No | Undang Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolahan Lingkungan Hidup | Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup | Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 6 Tahun 2021 Tentang Tata cara dan Persyaratan Pengelolahan Limbah B3 | Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Dan Pengelolahan Lingkungan Hidup |
1 | Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepadasetiap orang yang melakukan usaha dan/ataukegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalamrangka perlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan | Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengena dampak penting pada Lingkungan Hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang di rencanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah | Menteri melakukan rapat koordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang memberikan izin Usaha dan/atau Kegiatan atau yang melakukan pembinaan terhadap Usaha dan/atau Kegiatan untuk membahas rekomendasi Tim Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) | Dalam pengelolaan limbah B3, Pemerintah Daerah berwenang melakukan tindakan yang meliputi : pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3;menerbitkan izin pengumpulan limbah B3 dalam 1 (satu) daerah kabupaten;pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3;pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat;pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3;menerbitkan izin lokasi pengolahan limbah B3; danmenerbitkan izin penyimpanan sementara limbah B3. |
2 | Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkunga hidup wajib memiliki amdal | Surat Pernyataan Kesanggupan pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut SPPL adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup atas Dampak Lingkungan Hidup dari Usaha dan/atau Kegiatannya di luar Usaha danlatau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL | Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat SPPL adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup atas Dampak Lingkungan Hidup dari Usaha dan/atau Kegiatannya di luar Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL | Setiap usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria tertentu wajib menyusun Amdal atau UKL-UPL atau SPPL. |
3 | Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu | Setiap Orang yang menghasilkan Limbah wajib melakukan pengelolaan Limbah yang dihasilkannya | Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3, Pengumpul Limbah B3, Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan Penimbun Limbah B3 wajib melakukan Penyimpanan Limbah B3 | Setiap orang yang menghasilkan, mengangkut, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 |
F. Analisis kebijakan Pengelolahan Limbah B3 di Kabupaten Pasuruan
Program 1 : Program Kedaruratan Pengelolaan B3 dan/atau Limbah B3 Skala Kabupaten Pasuruan
Kabupaten Pasuruan, dengan perkembangan industrinya yang pesat, menghadapi tantangan dalam pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta limbah B3. Menyikapi potensi bahaya tersebut, Pemerintah Kabupaten Pasuruan melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pasuruan telah merumuskan Program Kedaruratan Pengelolaan B3 dan/atau Limbah B3. Program ini mencakup tiga aspek utama: pencegahan melalui edukasi dan sosialisasi, kesiapsiagaan dengan membangun sistem peringatan dini dan infrastruktur pendukung, serta penanggulangan melalui langkah-langkah penanganan yang tepat saat terjadi kecelakaan B3. Penyusunan program ini melibatkan kerjasama dengan berbagai instansi seperti BPBD, Satpol PP, dan Dinas Kesehatan, serta partisipasi aktif dari pelaku usaha dan masyarakat. Diharapkan, dengan adanya program ini, risiko kecelakaan B3 dapat diminimalisir dan penanggulangan yang efektif dapat dilakukan, mendukung komitmen Pemkab Pasuruan untuk menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan berkelanjutan. [21]
Foto :
Program 2 : Pabrik Pengolahan Limbah B3 Skala Nasional Akan Segera Beroperasi di Kabupaten Pasuruan
Kabupaten Pasuruan akan segera memiliki pabrik pengolahan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang berskala nasional, didirikan oleh PT Prada Tanara Pratama (PTP) di Kawasan Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER). Langkah ini penting untuk mengatasi permasalahan pengelolaan limbah B3 di Jawa Timur, khususnya di Kabupaten Pasuruan, di mana banyak industri kesulitan mengolah limbah B3 secara tepat dan aman. Pabrik yang dibangun di atas lahan seluas 3.500 meter persegi ini menggunakan teknologi insinerasi, yaitu proses pembakaran limbah B3 pada suhu tinggi untuk mengubahnya menjadi abu dan gas emisi. Teknologi ini efektif menghancurkan zat berbahaya dalam limbah B3 serta meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan. Kehadiran pabrik ini diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan limbah B3 yang ramah lingkungan, membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, serta mendukung pertumbuhan industri di Kabupaten Pasuruan. Pembangunan pabrik ini mencerminkan komitmen bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman dan berkelanjutan. [22]
Foto :
Regulasi tentang pengelolaan limbah B3 di Kabupaten Pasuruan telah dilaksanakan sesuai dengan regulasi yang berlaku, termasuk Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah B3. Implementasi peraturan daerah di Kabupaten Pasuruan menunjukkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, memastikan pengelolaan limbah B3 dilakukan dengan standar yang ditetapkan untuk melindungi lingkungan hidup.