General Background: Mixed marriages in Indonesia face legal complexities, especially regarding property division upon divorce due to differing national laws. Specific Background: Conflicts between the Basic Agrarian Law (UUPA) and the Civil Code (KUHPerdata) complicate land ownership rights in these marriages. Knowledge Gap: Few studies address the protection of Indonesian citizens’ land ownership rights in mixed marriages ending in divorce. Aims: This study analyzes the legal protection of these rights and identifies existing obstacles. Results: Key challenges include legal jurisdiction complexities and a lack of prenuptial agreements, leading to legal uncertainties. Novelty: This research focuses on the interplay between national land ownership laws and international marital dissolution. Implications: The study suggests the necessity for stronger prenuptial agreements and reforms to better protect land ownership rights post-divorce, enhancing legal certainty and fairness.
Highlights:
Keywords: Mixed Marriage, Land Ownership, Divorce, Legal Protection
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, telah menjadi destinasi menarik bagi investasi asing. Namun, masalah kepemilikan tanah untuk orang asing di Indonesia masih menjadi topik yang kompleks dan sering kali menimbulkan perdebatan.[1] Peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini telah mengalami beberapa perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan ekonomi negara. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah menegaskan bahwa tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, kepemilikan tanah bagi orang asing di Indonesia memiliki batasan-batasan tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain Hak Pakai, orang asing tidak dapat memiliki tanah melalui Hak Guna Bangunan (HGB). HGB adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan milik sendiri, dengan masa berlaku maksimal 30 tahun yang dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.[2] Ketentuan tentang HGB bagi orang asing diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015. Namun, pemberian hak atas tanah kepada orang asing tidak dilakukan dengan bebas. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 menyatakan bahwa orang asing yang dapat memiliki rumah atau hunian di Indonesia harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti tinggal di Indonesia setidaknya selama dua tahun berturut-turut dan memiliki pekerjaan atau usaha di Indonesia.
Peningkatan arus globalisasi telah mengakibatkan peningkatan signifikan dalam jumlah perkawinan campuran, terutama antara warga negara Indonesia dan warga negara asing. Kasus perkawinan campuran di Indonesia mencerminkan dinamika perubahan sosial dan budaya, tetapi juga menimbulkan sejumlah implikasi hukum yang kompleks.[3] Diperlukan kajian mendalam untuk mengatasi berbagai isu hukum yang muncul, seperti pengakuan hukum, hak dan kewajiban kedua pasangan, serta perlindungan hukum bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran.
Isu hukum yang sering muncul dari perkawinan campuran adalah terkait dengan status kepemilikan harta benda perkawinan, terutama tanah. Menurut Pasal 35 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk perkawinan muslim, harta benda yang diperoleh selama perkawinan dianggap sebagai harta bersama. Meski demikian, pada kenyataannya, sering terjadi sengketa terkait pembagian harta ketika perkawinan campuran berakhir, baik karena perceraian maupun kematian salah satu pasangan.[4] Hal ini dapat menjadi kompleks karena perbedaan hukum perkawinan yang berlaku bagi pasangan dengan agama yang berbeda, dan seringkali memerlukan penyelesaian hukum yang cermat untuk menentukan hak kepemilikan masing-masing pihak dalam kasus-kasus tersebut.
Isu harta kepemilikan tanah menjadi kompleks karena keterkaitannya dengan konsep Hukum Tanah Nasional Indonesia. Pasal 21 UUPA No. 5 Tahun 1960 menegaskan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak milik atas tanah, sementara Warga Negara Asing (WNA) hanya diberikan hak pakai. Konflik muncul ketika WNA mengklaim hak kepemilikan tanah yang diperoleh selama perkawinan, meskipun hukum secara tegas melarang hal tersebut. Sengketa semacam itu menciptakan tantangan hukum terkait status kepemilikan tanah, mempertanyakan legalitas klaim WNA atas hak milik tanah yang seharusnya hanya dimiliki oleh WNI. [5]
Konsep harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) memang dirancang untuk memberikan perlindungan hukum yang merata. Pasal 85-97 KHI mengatur bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dan ini berlaku tanpa memandang kewarganegaraan atau status hak atas tanah individu.[6] Pembagian harta bersama juga diatur dengan prinsip keadilan, keseimbangan, dan perlindungan hukum, yang dicapai melalui musyawarah. Dalam konteks perceraian, prinsip pembagian harta bersama seharusnya diikuti sesuai dengan hukum yang berlaku untuk setiap pihak. Namun, kenyataannya, ketentuan ini seringkali dilanggar, mengakibatkan sengketa harta bersama yang kompleks dan berkepanjangan. Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam perlindungan hukum dan hak properti, menyulitkan proses perceraian, dan memicu konflik yang dapat merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat.[7]
Meski telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, masalah kepemilikan tanah untuk orang asing di Indonesia masih menjadi topik yang sering diperdebatkan. Terdapat pro dan kontra terkait pemberian hak atas tanah kepada orang asing, dengan pertimbangan seperti dampak ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan nasional. Oleh karena itu, kajian yang lebih mendalam mengenai permasalahan ini sangat diperlukan untuk menemukan solusi yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak.
Oleh sebab itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah Dalam Perkawinan Campuran Yang Berakhir Perceraian”. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak milik atas tanah suami atau istri Warga Negara Indonesia dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian menurut hukum Indonesia?
2. Apa saja kendala yang dihadapi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak milik atas tanah suami atau istri Warga Negara Indonesia dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian?
Penelitian ini menerapkan metode penelitian hukum normatif dengan fokus pada analisis bahan pustaka atau data sekunder, ideal untuk mengkaji peraturan perundang-undangan terkait hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian, serta konsep hukum relevan. Metodologi ini mencakup pendekatan perundang-undangan, yang menelaah regulasi yang terkait dengan isu hukum, dan pendekatan konseptual yang memahami konsep-konsep dan doktrin-doktrin hukum. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari tiga jenis: primer yang berupa peraturan perundang-undangan, sekunder seperti buku dan jurnal hukum, dan tersier yang meliputi kamus serta ensiklopedia hukum. Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumenter, di mana bahan hukum yang relevan dikumpulkan dan dipelajari. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan teknik analisis isi dan interpretasi hukum, mencakup interpretasi gramatikal, sistematis, historis, dan teleologis. Hasilnya disajikan secara deskriptif dalam narasi yang sistematis dan logis untuk menjelaskan perlindungan hukum terhadap hak milik tanah dalam konteks tersebut.
Dalam konteks perkawinan campuran yang berujung pada perceraian, sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak milik atas tanah. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, status kewarganegaraan pasangan dalam perkawinan campuran tidak memengaruhi hak atas kepemilikan tanah. Namun, ada beberapa ketentuan khusus yang harus diperhatikan, seperti pembatasan kepemilikan tanah bagi warga negara asing dan aturan mengenai pembagian harta bersama setelah perceraian yang harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Perlindungan hukum ini penting untuk memastikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak dalam perkawinan campuran yang berakhir dengan perceraian.
Perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah bagi suami atau istri Warga Negara Indonesia (WNI) yang mengalami perceraian dalam perkawinan campuran diatur oleh beberapa undang-undang di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan prinsip-prinsip hukum mengenai harta bersama pasangan suami istri, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyediakan dasar hukum untuk pembagian harta saat perceraian. Selain itu, UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan peraturan pelaksanaannya memberikan panduan mengenai kepemilikan tanah, termasuk dalam situasi perceraian.[8]
1. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik atas Tanah Suami atau Istri Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran yang Berakhir Perceraian Menurut Hukum Indonesia
Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa semua harta yang didapat selama masa pernikahan akan menjadi milik bersama antara suami dan istri. Namun, harta yang sudah dimiliki sebelum menikah serta harta yang diterima sebagai hadiah atau warisan akan tetap menjadi milik pribadi masing-masing. Dalam hal perceraian, pembagian harta bersama akan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan tujuan untuk menjamin keadilan bagi kedua belah pihak. Undang-Undang ini dibuat untuk memberikan dasar hukum yang jelas mengenai kepemilikan harta dalam pernikahan dan perceraian, guna menghindari potensi konflik antara suami dan istri terkait aset yang diperoleh selama pernikahan.[9]
Menurut Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hak kepemilikan tanah di Indonesia secara tegas dikaitkan dengan status kewarganegaraan, yang mana hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang diizinkan memiliki hak penuh atas tanah, air, dan ruang angkasa di wilayah Indonesia. Hak milik ini meliputi kepemilikan tanah. Sementara itu, Pasal 21 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa orang asing dapat memperoleh hak milik atas tanah jika hal itu terjadi melalui pewarisan tanpa wasiat atau melalui percampuran harta karena perkawinan.[10] Namun, hak milik yang diperoleh oleh orang asing ini dapat hilang dalam waktu satu tahun setelah diperolehnya, menegaskan adanya batasan waktu terkait kepemilikan tanah bagi orang asing sesuai dengan ketentuan undang-undang agraria.
Dalam konteks perceraian pada pasangan suami WNI dan istri WNA, dampaknya terhadap hak milik tanah istri WNA menjadi signifikan. Menurut hukum Indonesia, hanya WNI yang memegang hak penuh terhadap tanah yang diperoleh melalui perkawinan, sedangkan istri WNA kehilangan hak tersebut setelah perceraian. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan hubungan istri WNA dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia yang dimiliki secara eksklusif oleh WNI.[11] Oleh karena itu, regulasi ini mengakibatkan perubahan status kepemilikan tanah bagi istri WNA setelah peristiwa perceraian, menciptakan konsekuensi hukum yang perlu diperhatikan dalam konteks percampuran status kewarganegaraan dalam hubungan pernikahan.
Dalam konteks hukum perkawinan campuran di Indonesia, hak milik atas tanah bagi suami WNI tetap mendapatkan perlindungan hukum. Meskipun istri yang merupakan WNA telah mendaftarkan tanah milik suami WNI atas namanya selama masa perkawinan campuran, hukum memungkinkan untuk pembatalan pendaftaran tersebut. Hal ini bertujuan agar tanah tersebut tetap menjadi hak milik sah dari suami WNI. Dengan demikian, prinsip hukum tersebut menegaskan bahwa hak kepemilikan tanah suami WNI tidak dapat dicabut dengan mudah, bahkan jika terjadi pendaftaran oleh istri WNA selama perkawinan campuran tersebut.[12]
Putusan Mahkamah Agung RI No. 714 K/Pdt/2006 tanggal 29 Maret 2007 memberikan kejelasan terkait hak milik atas tanah bagi WNA, khususnya dalam konteks perceraian. Putusan tersebut menegaskan bahwa seorang WNA, termasuk dalam kasus seorang istri yang telah bercerai, tidak memiliki hak milik atas sebidang tanah yang pada awalnya dimiliki oleh suami WNI. Implikasinya, pendaftaran hak milik atas nama istri WNA tersebut dianggap tidak sah dan harus dibatalkan, dengan tanah tersebut dikembalikan pada nama suami WNI. Keputusan ini mencerminkan prinsip bahwa hak milik tanah di Indonesia secara khusus terkait dengan status kewarganegaraan, dan dalam situasi perceraian, properti tersebut kembali ke pemilik asal yang merupakan warga negara Indonesia.[12]
Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), ditegaskan bahwa hak-hak yang dimiliki oleh pihak asing, termasuk Warga Negara Asing (WNA) yang terlibat dalam perkawinan campuran yang berakhir dengan perceraian, akan tetap berlaku selama satu tahun setelah hak tersebut diperoleh. Artinya, meskipun perkawinan telah berakhir, WNA tersebut masih diakui memiliki hak atas tanah selama periode tersebut. Namun, setelah satu tahun berlalu sejak perolehan hak, hak tersebut secara otomatis akan dihapus. Hal ini menegaskan ketentuan hukum yang mengatur perlindungan hak-hak pihak asing terkait kepemilikan tanah dalam konteks perceraian pada perkawinan campuran.[8]
Pasal 35 UU Perkawinan menjelaskan bahwa harta bersama yang diperoleh selama perkawinan mencakup penghasilan suami istri dari usaha bersama maupun usaha individu masing-masing. Meskipun demikian, yurisprudensi Mahkamah Agung menegaskan bahwa tidak semua penghasilan dapat dianggap sebagai harta bersama, melainkan hanya yang benar-benar diperoleh selama masa perkawinan, dan bukan yang sudah dimiliki sebelum pernikahan. Artinya, hanya pendapatan yang diperoleh selama ikatan perkawinan yang dapat dianggap sebagai bagian dari harta bersama, menggarisbawahi pentingnya pemisahan antara harta pranikah dan harta yang diperoleh selama perkawinan dalam konteks regulasi perkawinan di Indonesia.[9]
Teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon memiliki relevansi yang kuat dalam konteks perlindungan hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian. Dalam kasus ini, perlindungan hukum diberikan terutama kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang terlibat dalam perkawinan campuran. Hal ini tercermin dalam berbagai regulasi yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang secara eksplisit memberikan perlindungan terhadap hak-hak WNI atas tanah, bahkan dalam situasi perceraian dari perkawinan campuran.[13]
Implementasi teori perlindungan hukum ini dapat dilihat dari ketentuan yang memungkinkan pembatalan pendaftaran tanah atas nama istri Warga Negara Asing (WNA) dan mengembalikannya kepada suami WNI setelah perceraian. Putusan Mahkamah Agung RI No. 714 K/Pdt/2006 memperkuat perlindungan ini dengan menegaskan bahwa WNA tidak memiliki hak milik atas tanah yang awalnya dimiliki oleh suami WNI. Perlindungan hukum ini bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat serta hak-hak asasi WNI, khususnya dalam hal kepemilikan tanah yang merupakan aset penting.[14]
Sementara itu, teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch juga memainkan peran penting dalam konteks ini. Kepastian hukum tercermin dalam kejelasan aturan-aturan yang mengatur pembagian harta, termasuk tanah, dalam perceraian perkawinan campuran. Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan memberikan kepastian tentang status harta dalam perkawinan, membedakan antara harta bersama dan harta pribadi. Hal ini memberikan kerangka yang jelas untuk penentuan status kepemilikan tanah saat terjadi perceraian.[15] Lebih lanjut, kepastian hukum juga terlihat dalam ketentuan Pasal 21 UUPA yang secara tegas mengatur bahwa hanya WNI yang dapat memiliki hak milik penuh atas tanah di Indonesia. Ketentuan ini, ditambah dengan batas waktu satu tahun bagi WNA untuk melepaskan hak milik atas tanah yang diperoleh melalui perkawinan campuran (Pasal 21 ayat (3) UUPA), memberikan kepastian hukum yang jelas mengenai status kepemilikan tanah pasca perceraian.[16]
Penerapan kedua teori ini - perlindungan hukum dan kepastian hukum - dalam konteks perlindungan hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian, menunjukkan upaya hukum Indonesia untuk menyeimbangkan perlindungan hak-hak WNI dengan kejelasan aturan hukum. Hal ini penting untuk mencegah konflik dan ketidakpastian dalam penanganan kasus-kasus serupa, sekaligus menjamin bahwa hak-hak WNI atas tanah tetap terlindungi dalam situasi yang kompleks seperti perceraian dalam perkawinan campuran.
2. Kendala yang Dihadapi dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Hak Milik atas Tanah Suami atau Istri Warga Negara Indonesia dalam Perkawinan Campuran yang Berakhir Perceraian
Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap hak milik atas tanah bagi suami atau istri WNI yang terlibat dalam perkawinan campuran yang kemudian berakhir dengan perceraian, terdapat beberapa kendala yang perlu diatasi. Kendala utama melibatkan masalah yurisdiksi hukum antar negara yang berbeda, di mana penentuan wewenang hukum seringkali menjadi rumit dan membingungkan. Selain itu, konflik norma hukum antara negara asal dan negara tempat perceraian terjadi juga dapat menghambat upaya perlindungan hukum. Minimnya perjanjian pernikahan yang mencakup ketentuan mengenai hak milik atas tanah dapat menjadi faktor tambahan yang menyulitkan dalam menyelesaikan konflik hukum di konteks perceraian pada perkawinan campuran. [12]
Masalah pertama yang sering muncul dalam konteks pernikahan campuran adalah terkait dengan perbedaan yurisdiksi hukum dari negara asal masing-masing pasangan yang tentu saja beragam. Hal ini mencakup ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku bagi pasangan yang memiliki kewarganegaraan berbeda adalah hukum dari negara asal suami atau istri, tergantung pada mana yang memberikan manfaat lebih besar bagi keduanya. Dengan adanya peraturan ini, seringkali timbul kompleksitas dalam menentukan regulasi hukum yang berlaku dalam hubungan pernikahan, memerlukan pemahaman dan penanganan khusus untuk menjaga keadilan dan kebermanfaatan bagi kedua belah pihak. [17]
Dalam konteks perlindungan hak milik tanah di Indonesia, permasalahan timbul karena hukum Indonesia hanya mengakui hak penuh atas tanah bagi Warga Negara Indonesia (WNI), sehingga hak milik tanah yang dimiliki oleh istri Warga Negara Asing (WNA) bisa menjadi tidak diakui atau kurang dihormati. Hal ini dapat menciptakan ketidaksesuaian dengan hukum dari negara asal istri yang mungkin memberikan hak yang sama tanpa memandang kewarganegaraan. Kesenjangan dalam ketentuan hukum ini secara jelas menghadirkan kendala dalam melindungi hak milik tanah di Indonesia, mempersulit proses legalitas dan kepastian hukum bagi pemilik tanah yang bukan WNI.[18]
Kendala serius lainnya yang perlu diperhatikan adalah adanya konflik norma hukum di Indonesia, khususnya terkait kepemilikan tanah bagi orang asing yang menimbulkan ketidakpastian hukum. UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berlaku untuk perkawinan campuran menjadi sumber permasalahan, terutama terkait Pasal 21 UUPA dan Putusan Mahkamah Agung No.714 K/Pdt/2006. Kontradiksi dalam regulasi ini menciptakan ketidakjelasan dalam hal kepemilikan tanah, memperumit proses hukum, dan dapat memberikan dampak negatif terhadap investasi serta hubungan antarnegara.[19]
Di satu sisi, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di Indonesia menghambat orang asing untuk memiliki hak sepenuhnya atau memiliki tanah di negara tersebut. Namun, di sisi lain, prinsip harta bersama dalam hukum perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan peluang bagi pasangan campuran untuk memiliki hak bersama atas harta yang diperoleh selama perkawinan, meskipun salah satu pasangan adalah warga negara asing. Kombinasi regulasi ini menciptakan kompleksitas dalam penegakan hukum, karena terdapat ketegangan antara larangan kepemilikan tanah oleh orang asing dan hak bersama atas harta perkawinan, menciptakan tantangan hukum yang perlu diatasi untuk mencapai keseimbangan yang adil dan efektif dalam penegakan hukum di Indonesia.[20]
Kendala berikutnya dalam konteks pernikahan adalah minimnya perjanjian pernikahan yang disepakati sebelum melangsungkan pernikahan. Padahal, keberadaan perjanjian pernikahan dapat berperan sebagai solusi hukum yang efektif untuk melindungi hak milik kedua belah pihak dalam perkawinan campuran. Sayangnya, baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHI) tidak mengharuskan adanya perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, meskipun hal ini sangat krusial untuk mengatur dengan jelas hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk aspek harta kekayaan. Keberadaan peraturan yang lebih konkret dan mengikat terkait perjanjian pernikahan dapat menjadi langkah positif dalam menyelesaikan isu-isu hukum yang mungkin timbul dalam konteks perkawinan campuran.[21]
Pentingnya menyusun perjanjian kawin dengan matang dan mempertimbangkan segala risiko potensial, terutama dalam konteks perceraian, tidak dapat dipandang enteng. Perjanjian tersebut menjadi sebuah langkah proaktif untuk melindungi kedua belah pihak dari konsekuensi yang mungkin timbul di masa depan. Keberadaan perjanjian kawin menjadi semakin krusial, terutama ketika melibatkan pihak asing yang dapat membawa risiko tambahan. Sayangnya, kesadaran masyarakat Indonesia terkait pentingnya perjanjian kawin masih minim, meninggalkan celah untuk timbulnya masalah hukum dan keuangan di kemudian hari. Upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran terkait perjanjian kawin perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat lebih proaktif dalam melindungi hak dan kepentingan mereka.[22]
Pentingnya menyusun perjanjian kawin dengan matang dan mempertimbangkan segala risiko potensial, terutama dalam konteks perceraian, tidak dapat dipandang enteng. Perjanjian tersebut menjadi sebuah langkah proaktif untuk melindungi kedua belah pihak dari konsekuensi yang mungkin timbul di masa depan. Keberadaan perjanjian kawin menjadi semakin krusial, terutama ketika melibatkan pihak asing yang dapat membawa risiko tambahan. Sayangnya, kesadaran masyarakat Indonesia terkait pentingnya perjanjian kawin masih minim, meninggalkan celah untuk timbulnya masalah hukum dan keuangan di kemudian hari. Upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran terkait perjanjian kawin perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat lebih proaktif dalam melindungi hak dan kepentingan mereka.[23]
Untuk mengatasi permasalahan sistem hukum di Indonesia, dibutuhkan upaya serius dan komprehensif dari semua pemangku kepentingan. Hal ini melibatkan perbaikan dan reformasi mendalam terhadap sistem hukum yang ada, termasuk penyusunan undang-undang yang jelas dan efektif, penguatan lembaga penegak hukum, serta peningkatan kapasitas aparatur hukum. Selain itu, perlu adanya kesadaran dan keterlibatan aktif dari masyarakat untuk mendukung dan mematuhi aturan hukum. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat menegakkan supremasi hukum secara efektif, memberikan perlindungan maksimal terhadap hak-hak perdata setiap warga negara, dan menciptakan lingkungan hukum yang adil dan transparan.
Teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon menekankan pentingnya melindungi harkat dan martabat serta hak-hak asasi manusia. Dalam konteks perlindungan hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian, teori ini menghadapi tantangan signifikan. Kendala utama yang dihadapi adalah kompleksitas yurisdiksi hukum antar negara dan konflik norma hukum. Perbedaan regulasi antara negara asal masing-masing pasangan, seperti yang diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menciptakan kesulitan dalam menentukan hukum yang berlaku. Hal ini menghambat upaya memberikan perlindungan hukum yang komprehensif dan adil bagi kedua belah pihak, terutama dalam hal kepemilikan tanah.[24] Lebih lanjut, teori perlindungan hukum juga terkendala oleh adanya ketidaksesuaian antara hukum Indonesia yang hanya mengakui hak penuh atas tanah bagi Warga Negara Indonesia (WNI) dengan hukum negara asal pasangan asing yang mungkin memberikan hak yang sama tanpa memandang kewarganegaraan. Kesenjangan ini menciptakan situasi di mana perlindungan hukum terhadap hak milik tanah menjadi tidak seimbang antara pasangan WNI dan WNA, menimbulkan potensi konflik dan ketidakadilan.
Sementara itu, teori kepastian hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch menghadapi tantangan besar dalam konteks ini. Konflik norma hukum di Indonesia, khususnya antara UUPA dan KUHPerdata, menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan. Kontradiksi antara larangan kepemilikan tanah oleh orang asing (Pasal 21 UUPA) dan prinsip harta bersama dalam perkawinan (KUHPerdata) menimbulkan kebingungan dalam penerapan hukum. Situasi ini bertentangan dengan esensi teori kepastian hukum yang menekankan bahwa hukum harus jelas dan dapat dilaksanakan secara konsisten.
Ketidakpastian hukum ini semakin diperparah oleh minimnya perjanjian pernikahan yang disepakati sebelum melangsungkan perkawinan campuran. Absennya regulasi yang mewajibkan perjanjian kawin dalam perkawinan campuran, baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun KHI, menciptakan celah hukum yang dapat merugikan salah satu atau kedua belah pihak. Hal ini bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang seharusnya memberikan kejelasan dan prediktabilitas dalam penerapan hukum.[25]
Untuk mengatasi kendala-kendala ini dan memperkuat penerapan teori perlindungan hukum serta kepastian hukum, diperlukan upaya komprehensif. Ini meliputi harmonisasi hukum antara regulasi nasional dan internasional, perbaikan sistem hukum Indonesia, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perjanjian kawin dalam perkawinan campuran. Langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat perlindungan hukum terhadap hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran, sekaligus meningkatkan kepastian hukum dalam penanganan kasus-kasus serupa. Dengan demikian, penerapan teori perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam konteks ini memerlukan pendekatan yang lebih holistik dan adaptif. Diperlukan reformasi hukum yang mempertimbangkan kompleksitas perkawinan campuran, serta upaya untuk menjembatani kesenjangan antara hukum nasional dan internasional. Hanya dengan demikian, perlindungan hukum yang efektif dan kepastian hukum yang solid dapat dicapai dalam menangani isu hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian.
Perlindungan hukum terhadap hak milik atas tanah suami atau istri Warga Negara Indonesia (WNI) dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian menurut hukum Indonesia diatur melalui beberapa undang-undang dan putusan pengadilan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur pembagian harta bersama, sementara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menegaskan bahwa hanya WNI yang dapat memiliki hak milik penuh atas tanah di Indonesia. Pasal 21 UUPA membatasi kepemilikan tanah oleh WNA, termasuk yang diperoleh melalui perkawinan campuran, dengan memberikan batas waktu satu tahun untuk melepaskan hak tersebut setelah perceraian. Putusan Mahkamah Agung RI No. 714 K/Pdt/2006 memperkuat perlindungan ini dengan menyatakan bahwa WNA tidak memiliki hak milik atas tanah yang awalnya dimiliki oleh suami WNI, dan pendaftaran atas nama WNA harus dibatalkan. Dengan demikian, hukum Indonesia memberikan perlindungan kuat terhadap hak milik atas tanah WNI dalam perkawinan campuran, memastikan bahwa tanah tersebut tetap menjadi milik WNI bahkan setelah perceraian, sambil tetap memberikan periode transisi bagi WNA untuk mengatur kepemilikan mereka.
Kendala utama yang dihadapi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak milik atas tanah suami atau istri Warga Negara Indonesia (WNI) dalam perkawinan campuran yang berakhir perceraian meliputi beberapa aspek kompleks. Pertama, masalah yurisdiksi hukum antar negara yang berbeda, di mana penentuan wewenang hukum seringkali menjadi rumit dan membingungkan, terutama terkait Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua, konflik norma hukum antara UUPA yang membatasi kepemilikan tanah oleh WNA dan KUHPerdata yang mengakui harta bersama dalam perkawinan, menciptakan ketidakpastian hukum. Ketiga, ketidaksesuaian antara hukum Indonesia yang hanya mengakui hak penuh atas tanah bagi WNI dengan hukum negara asal pasangan asing yang mungkin memberikan hak yang sama tanpa memandang kewarganegaraan. Keempat, minimnya perjanjian pernikahan yang disepakati sebelum melangsungkan perkawinan campuran, yang seharusnya dapat menjadi solusi hukum efektif untuk melindungi hak milik kedua belah pihak. Kelima, kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya perjanjian kawin dalam perkawinan campuran. Kendala-kendala ini secara kolektif menciptakan tantangan signifikan dalam memberikan perlindungan hukum yang komprehensif dan adil bagi kedua belah pihak, terutama dalam hal kepemilikan tanah pasca perceraian.