This study examines stock price dynamics in the LQ-45 index on the Indonesia Stock Exchange from 2017 to 2021, focusing on factors like inflation, interest rates, Earning Per Share (EPS), and Price Earning Ratio (PER). Using quantitative methods and data from annual reports and official sources, the research found that inflation and interest rates had no significant impact on stock prices, while EPS and PER showed a positive and significant influence. These findings contribute to understanding stock market behavior and can guide companies and investors in making informed decisions.
Highlight:Perkembangan kehidupan yang semakin pesat terutama di bidang ekonomi dan teknologi, mendorong manusia melakukan berbagai inovasi untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan manusia untuk memiliki harta yang lebih serta kebutuhan untuk mengakumulasikan harta yang dimiliki, salah satunya dapat dilakukan melalui investasi di
pasar modal. Menurut Undang-Undang Pasar Modal Republik Indonesia No. 8 Tahun 1995, pengertian pasar modal
adalah kegiatan yang berkaitan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang terkait dengan efek yang mereka terbitkan, serta lembaga dan profesi yang terkait dengan efek. Pasar modal sangat berperan penting dalam memutar dana masyarakat untuk masuk ke bursa. Terlebih saat ini jumlah investor dan emiten berkembang sangat pesat di bursa.
Perkembangan tersebut salah satunya ditandai dengan banyaknya investor yang berinvestasi di pasar modal. Pernyataan ini didukung dengan hasil survei dari PT. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), suatu lembaga penyimpanan dan penyelesaian di pasar modal Indonesia, mencatat jumlah investor saham di pasar modal Indonesia menunjukkan pertumbuhan jumlah investor pasar modal perbulan Desember 2021 yaitu sebesar 7.489.337 investor, naik sebesar 567% dari tahun 2017 yang jumlahnya sebesar 1.122.668 investor. Fenomena ini tentunya mendukung pasar modal sebagai penghubung antara pihak kekurangan modal dan yang kelebihan dana.
Copyright © Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (CC BY). The use, distribution or reproduction in other forums is permitted, provided the original author(s) and the copyright owner(s) are credited and that the original publication in this journal is cited, in accordance with accepted academic practice. No use, distribution or reproduction is permitted which does not comply with these terms.
Dana yang Diinvestasikan di Pasar Modal (Rp
Triliun)
7052 7024 7265 6970
8256
Investasi merupakan komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa mendatang [2], dari gambar 1 dan 2 menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keuntungan yang diraih di masa yang akan datang jika melakukan investasi. Dalam pasar modal terdapat produk-produk investasi yang populer seperti saham, reksadana dan obligasi. Pemilihan produk investasi perlu disesuaikan dengan tujuan investasi, keuntungan atau return yang diinginkan, risiko investasi dan dana yang dimiliki. Salah satu faktor yang memotivasi investor untuk berinvestasi adalah tingkat pengembalian atau return[2]. Diantara ketiga produk investasi saham, reksadana, dan obligasi, saham merupakan produk investasi yang memiliki risiko lebih tinggi dibanding reksadana dan obligasi [3]. Hubungan antara risiko dan pengembalian bersifat linier, semakin tinggi risiko bagi investor, semakin tinggi pula pengembaliannya [4]. Sehingga saham merupakan produk investasi yang memiliki returncenderung lebih tinggi dibanding produk investasi lainnya. Besar kecilnya return saham bisa dilihat dari perubahan harga saham yang terjadi selama periode tertentu. Salah satu aspek terpenting yang dievaluasi investor sebelum berinvestasi adalah kinerja keuangan perusahaan. Semakin sukses perusahaan maka semakin baik permintaan saham perusahaan meningkat dan juga harga saham perusahaan meningkat, harga saham mencerminkan nilai perusahaan di pasar modal [5]. Harga suatu saham adalah harga suatu saham yang muncul di pasar modal pada waktu tertentu, yang ditetapkan dan ditentukan oleh pelaku pasar sesuai dengan permintaan dan penawaran saham yang bersangkutan di pasar modal [5]. Ketika permintaan suatu saham tinggi, maka harga naik, dan sebaliknya, ketika banyak saham diterbitkan, permintaan dan penawaran sedikit, sehingga harga saham turun.
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari tahun 2017-2021 relatif mengalami kenaikan. Meski sempat mengalami penurunan di tahun 2018 dan 2020, namun di akhir 2021 harga saham meningkat 10.08%. Pergerakkan IHSG mulai terdepresiasi pada 2018 diakibatkan adanya perang dagang dan politik antara Amerika dengan China. Sedangkan tahun 2020, IHSG mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19yang membuat pertumbuhan ekonomi global maupun indonesia terkontraksi [6]. Selain fakta bahwa fluktuasi pasar modal didasarkan pada faktor mikro, juga terkait dengan perubahan berbagai variabel ekonomi makro [7]. Oleh karena itu, sebelum berinvestasi, investor harus memahami pola perilaku pergerakan harga saham hingga ke faktor mikro dan makro yang dapat mempengaruhi pasar modal.
Copyright © Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (CC BY).
The use, distribution or reproduction in other forums is permitted, provided the original author(s) and the copyright owner(s) are credited and that the original publication in this journal is cited, in accordance with accepted academic practice. No use, distribution or reproduction is permitted which does not comply with these terms.
Mengevaluasi perubahan harga saham dapat dilakukan dengan menggunakan dua jenis analisis yang berbeda, yaitu analisis teknikal dan analisis fundamental. Analisis teknikal adalah tentang memprediksi arah perubahan harga saham menggunakan studi grafik historis. Sedangkan analisis fundamental adalah evaluasi perubahan harga saham dengan menelaah kondisi ekonomi makro, kondisi industri perusahaan dan kondisi perusahaan [8]. Kondisi ekonomi makro meliputi tingkat dan rata-rata pertumbuhan produksi nasional, angka pengangguran, inflasi dan suku bunga [7]. Pada penelitian ini, kondisi ekonomi makro dicerminkan dalam tingkat inflasi dan suku bunga. Inflasi dan suku bunga merupakan faktor yang menjadi perhatian pelaku pasar modal karena cenderung mempengaruhi pasar modal secara langsung, dimana pasar modal dapat bereaksi secara langsung terhadap perubahan inflasi dan suku bunga sehingga meningkatkan atau menurunkan risiko [10]. Kondisi industri perusahaan merupakan perusahaan indeks LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kondisi perusahaan dapat dinilai dari rasio keuangan perusahaan. Rasio keuangan perusahaan dibedakan menjadi lima, yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas atau leverage, rasio profitabilitas, rasio aktivitas usaha, rasio penilaian atau pasar [7]. EPS dan PER merupakan variabel prediktor rasio keuangan terbaik dalam melakukan analisis fundamental pada tingkat perusahaan [8]. Maka pada penelitian ini, kondisi ekonomi mikro dicerminkan dalam EPS dan PER.
Salah satu faktor makro ekonomi adalah inflasi. Menurut Bank Indonesia, secara sederhana inflasi diartikan sebagai kenaikan harga secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Inflasi juga diartikan suatu kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk-produk secara keseluruhan [9]. Jika inflasi tinggi, minat investor untuk membeli saham menjadi turun karena kemapuan beli investor menurun. Ini mengurangi permintaan saham, yang juga berdampak menurunnya harga saham [9].
Faktor makro selanjutnya adalah suku bunga. Keputusan apakah seseorang akan memilih menabung atau berinvestasi, salah satunya ditentukan oleh tingkat suku bunga. Suku bunga dapat diartikan sebagai bagian dari harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dan apa yang harus dibayar nasabah kepada bank (nasabah yang menerima pinjaman) [10]. Pada lingkungan industri, tingkat bunga yang tinggi dapat berdampak pada nilai sekarang dari aliran kas perusahaan sehingga kesempatan untuk berinvestasi menjadi tidak menarik lagi [1]. Dengan demikian, terdapat hubungan positif antara tingkat bunga dengan jumlah dana yang ditawarkan [11], Dengan kata lain, kenaikan suku bunga mempengaruhi investor untuk menempatkan dananya di bank dengan tingkat pengembalian yang tinggi dan risiko yang rendah. Di sisi lain, suku bunga rendah mendorong investor untuk memasukkan uang mereka ke dalam saham yang menawarkan keuntungan lebih tinggi. Ketika suku bunga tinggi, permintaan saham menurun, sehingga pengaruhnya terhadap harga saham juga menurun.
Faktor mikro yang mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi salah satunya adalah EarningPerShare (EPS) atau laba per saham. Rasio EPS mengukur besarnya laba bersih perusahaan yang terkandung dalam satu lembar saham beredar [12], dan EPS merupakan metrik yang mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba bagi pemegang saham, yang menjelaskan hubungan antara jumlah laba bersih dan pemegang saham [13]. Jadi, EPS adalah laba bersih dibagi dengan jumlah saham yang beredar di masing-masing perusahaan. Rasio ini menunjukkan laba bersih perusahaan untuk setiap unit saham selama periode waktu tertentu. Semakin tinggi laba per saham, semakin tinggi laba yang diterima investor per saham. Hal ini menarik investor untuk berinvestasi, sehingga harga saham juga meningkat.
Faktor mikro selanjutnya yaitu PriceEarningRatio(PER). PER merupakan rasio yang menggambarkan seberapa besar seseorang investor bersedia membayar harga sebuah saham untuk memperoleh pendapatan setelah pajak [14]. PER menunjukkan perbandingan antara harga per lembar saham dengan laba bersih setiap lembar saham yang beredar. PER juga merupakan alat untuk menghitung tingkat pengembalian modal yang diinvestasikan pada suatu saham [15]. PER digunakan untuk menentukan apakah investasi yang dilakukan menguntungkan atau tidak menguntungkan dengan membandingkan harga per saham dengan laba bersih per saham. Tingkat PER berubah sesuai dengan perubahan harga pasar dan proyeksi keuntungan bersih per orang, jika proyeksi laba meningkat maka PER meningkat dan sebaliknya, jika proyeksi keuntungan menurun maka PER menurun [16]. Semakin tinggi rasio PER, maka semakin tinggi pertumbuhan laba yang diharapkan oleh investor. Hal ini akan menarik investor untuk berinvestasi sehingga memungkinkan harga saham juga akan meningkat.
Ada beberapa studi sebelumnya tentang faktor makro dan mikro yang memengaruhi harga saham. Studi [17] dan [18] tentang pengaruh inflasi pada harga saham menunjukkan bahwa tingkat inflasi berpengaruh negatif pada harga saham. Namun, hasil studi [19] dan [20] menemukan bahwa tingkat inflasi berpengaruh positif pada harga saham. Studi [21] dan [22] juga menunjukkan ketidaksesuaian dalam hasil, di mana tingkat inflasi tidak berpengaruh pada harga saham. Studi [23] yang berjudul Analisis Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, dan Nilai Tukar Dolar pada Indeks Harga Saham LQ45 menyatakan bahwa inflasi dan suku bunga tidak berpengaruh pada harga saham, sedangkan hasil studi [24] menunjukkan bahwa suku bunga tidak berpengaruh pada harga saham. Hasil studi [25] dan [18] menyatakan bahwa suku bunga berpengaruh negatif pada harga saham, sementara hasil studi [26] menemukan bahwa suku bunga berpengaruh positif pada harga saham, di mana kenaikan suku bunga akan menyebabkan kenaikan harga saham. Beberapa studi juga mengenai pengaruh EPS dan PER pada harga saham. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa EPS berpengaruh pada harga saham, meskipun beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa EPS tidak berpengaruh pada harga saham. Studi [27] dan [28] menyimpulkan bahwa EPS dan PER berpengaruh positif pada harga saham. Namun, menurut studi [29], PER berpengaruh positif pada harga saham sedangkan EPS berpengaruh negatif pada harga saham. Studi [30] menunjukkan bahwa EPS tidak berpengaruh pada harga saham. Studi sebelumnya juga menyatakan hasil yang tidak konsisten tentang pengaruh PER pada harga saham. Studi [28] dan [31] menyatakan bahwa PER berpengaruh positif pada harga saham, sedangkan studi [32] menyatakan bahwa PER berpengaruh negatif terhadap harga saham.
Setiap emiten memiliki intensitas transaksi yang berbeda di pasar modal. Beberapa emiten aktif diperdagangkan sementara yang lain lebih tidak aktif [33]. Intensitas perdagangan saham ini mempengaruhi nilai indeks harga saham yang mencerminkan pergerakan harga saham dan kemudian mempengaruhi kinerja pasar saham secara umum. Salah satu jenis indeks saham BEI yang sangat aktif diperdagangkan adalah indeks LQ-45 yang terdiri dari 45 saham unggulan dengan likuiditas yang tinggi [33]. 45 saham teratas ditinjau setiap enam bulan sekali, yaitu pada bulan Februari dan awal Agustus, sehingga nilai indeks LQ45 terus berubah. Selain itu, terdapat adanya frekuensi perdagangan dan juga prospek pertumbuhan dan keuangan yang berada dalam kategori yang baik. Karakterisitik saham LQ45 dapat mewakilkan kinerja portofolio saham dengan penilaian kinerja yang dapat memberikan timbal balik serta risiko. Secara khusus, Indeks LQ45 melengkapi IHSG dan menyediakan analis keuangan, manajer aset, investor, dan pengamat pasar modal lainnya dengan alat yang objektif dan andal untuk memantau pergerakan harga saham yang aktif diperdagangkan.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh [34] yang menggunakan inflasi dan suku bunga sebagai variabel independen, dengan harga saham sebagai variabel dependen. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti menambahkan variabel EPS dan PER sebagai variabel independen karena EPS dan PER merupakan variabel prediktor rasio keuangan terbaik dalam melakukan analisis fundamental pada tingkat perusahaan [8], serta peneliti akan menggunakan objek penelitian pada perusahaan indeks LQ45 dengan tahun penelitian yang lebih baru yaitu tahun 2017 sampai dengan 2021.
Berdasarkan pengembangan tersebut, maka peneliti memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh dari variabel inflasi, suku bunga, EPS dan PER terhadap harga saham pada perusahaan indeks LQ45.
Berdasarkan ketidakkonsistenan dari penelitian terdahulu terkait faktor makro dan mikro yang mempengaruhi harga saham, maka peneliti beranggapan perlu untuk dilakukan penelitian kembali untuk menguji mengenai rasio keuangan yang mempengaruhi harga saham dengan beberapa faktor atau rasio keuangan seperti yang disebutkan di atas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor makro dan mikro sebagai analisis dalam memprediksi harga saham, sehingga peneliti mengambil judul penelitian “INFLASI, SUKU BUNGA, EPS DAN PER TERHADAP HARGA SAHAM DI
PERUSAHAAN INDEKS LQ45 YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN 2017-2021”.
Penelitian ini menggunakan Teori Signaling,Teori ini mengemukakan bahwa ketika isyarat memberikan sinyal, pengirim (pemilik informasi) berusaha memberikan informasi yang relevan yang dapat digunakan oleh penerima. Pihak penerima kemudian menyesuaikan perilakunya berdasarkan pemahamannya terhadap sinyal [35]. Teori ini menggambarkan pentingnya informasi oleh pihak internal perusahaan terhadap pertimbangan keputusan investor untuk melakukan investasi. Informasi penting bagi para pedagang dan investor karena memberikan indikasi, deskripsi atau gambaran tentang kondisi masa lalu, sekarang dan masa depan untuk kelangsungan bisnis. Pengungkapan informasi manajemen merupakan pertanda bahwa perusahaan memiliki prospek yang baik di masa mendatang, sehingga investor tertarik untuk berinvestasi atau memperdagangkan saham. Secara umum, pasar bereaksi terhadap informasi tersebut sebagai sinyal dari suatu peristiwa yang mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin dari harga saham [36]. Dengan demikian, secara garis besar, Inflasi, Suku Bunga, EPS dan PER memiliki keterkaitan antara teori signalingsebagai berikut: (1) Apabila inflasi meningkat maka akan memunculkan sinyal negatif ke investor, Inflasi tinggi akan mengakibatkan kepercayaan investor terhadap kondisi pasar modal menurun, sehingga investor akan melakukan penarikan dananya, yang membuat nilai saham jadi turun karena krisis kepercayaan yang dialami investor [9]. (2) Suku bunga yang tinggi akan memunculkan sinyal negatif bagi investor. Ketika suku bunga naik, investasi seringkali melemah karena kenaikan suku bunga dari lembaga keuangan mempengaruhi hampir semua biaya pinjaman untuk bisnis dan konsumen dalam perekonomian. Masyarakat menyimpan uangnya di bank karena return-nya lebih tinggi daripada berinvestasi di saham. (3) EPS yang tinggi akan memunculkan sinyal positif untuk para investor karena di dalamnya dapat dilihat informasi mengenai kinerja manajemen dalam mencapai keuntungan untuk para pemegang sahamnya yang membuat saham perusahaan tersebut banyak dicari dan akhirnya meningkatkan permintaan sehingga harga saham menjadi naik. (4) PER untuk melihat seberapa besar potensi keuntungan suatu perusahaan. PER meningkat memberikan sinyal positif bagi investor, maka kepercayaan investor terhadap masa depan perusahaan juga meningkat sehingga memicu peningkatan harga saham perusahaan.
Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif, penelitian dilakukan pada sampel tertentu dan analisis data
menggunakan kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan [42].
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari perusahaan yang dijadikan subjek penelitian [43]. Data sekunder diperoleh berupa laporan tahunan yang terdaftar dan dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia d) dan untuk data inflasi resmi, inflasi Bank Indonesia dan suku bunga. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang masuk dalam daftar indeks LQ45 yaitu 45 perusahaan dari 9 industri, sampel diambil menurut metode purposive samplingmenurut kriteria (1) Perusahaan yang terdaftar di LQ45 selama 2017-2021, (2) Perusahaan yang secara berturut0turut dari 2017-2021 terdaftar dalam indeks LQ45, (3) Perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan secara lengkap dari tahun 2017-2021, (4) Perusahaan yang memiliki laba bersih positif dari tahun 2017-2021, (5) Perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan dalam bentuk rupiah dari tahun 2017-
2021. maka didapat sampel sebanyak 24 dengan periode penelitian 5 tahun, sehingga jumlah data penelitian sebanyak 120.
Unstandardized Coeficients | |||
Model | B | Std. Error | |
1 | (Constant) | 864.466 | 1316.460 |
Inflasi | -165.984 | 317.346 | |
Suku Bunga | -55.575 | 358.599 | |
EPS | 12.014 | 1.032 | |
PER | 50.640 | 12.498 |
a. Dependent Variable: harga saham
Berdasarkan tabel coefficient di atas didapat persamaan regresi berganda:
Y = a + β 1 X1 + β 2 X2 + β 3 X3 + e
Ha r g a S a h a m = 864 . 46 6 + ( - 165 . 9 84 ) ( X 1 ) + ( - 55 . 575 ) ( X 2 ) + 12 . 0 1 4( X 3 ) + 5 0 . 6 40( X 4 ) + e
Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Besarnya nilai konstanta persamaan regresi adalah 864.466, artinya apabila variabel bebas inflasi, suku bunga EPS, dan
PER bernilai 0, maka variabel Y atau harga saham bernilai 864.466.
2.Nilai variabel suku bunga (X2) pada koefisien regresi sebesar -55,575. Nilai yang negatif menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara harga saham dan suku bunga. Misalnya, jika variabel suku bunga naik satu satuan sedangkan variabel lainnya dianggap konstan atau sama dengan nol, maka harga saham akan turun sebesar 55.575.
3.Nilai variabel suku bunga (X2) pada koefisien regresi sebesar -55,575. Nilai yang negatif menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara harga saham dan suku bunga. Misalnya, jika variabel suku bunga naik satu satuan sedangkan variabel lainnya dianggap konstan atau sama dengan nol, maka harga saham akan turun sebesar 55.575.
4.Nilai koefisien regresi variabel EPS (X3) yang bernilai positif menunjukkan hubungan satu arah antara harga saham dengan EPS. Harga saham akan naik sebesar 12.014 jika variabel EPS naik satu dan variabel lainnya tetap sama atau nol.
5.Fakta bahwa variabel PER(X4) memiliki nilai koefisien regresi positif sebesar 50,640 menunjukkan bahwa terdapat hubungan satu arah antara harga saham dengan PER. Jika variabel PER naik satu satuan sedangkan variabel lainnya tetap sama atau ditetapkan nol, maka harga saham akan naik sebesar 50.640.
Coeficientsa | |||
Model | t | Sig. | |
1 | (Constant) | .657 | .513 |
Inflasi | -.523 | .602 | |
Suku Bunga | -.155 | .877 | |
EPS | 11.637 | .000 | |
PER | 4.052 | .000 |
a. Dependent Variable: harga saham
Penjelasan masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
Pengujian Hipotesis Pertama (H1)
Pengujian hipotesis kesatu dalam studi ini ialah menguji apakah inflasi berpengaruh terhadap harga saham industri LQ45.
Hasil yang diperoleh dalam studi ini memaparkan jika koefisien regresi variabel inflasi signifikan t ialah 0. 602 dan nilai t hitung ialah - 0. 523. Jadi H0 diterima serta Ha ditolak karna signifikansi t lebih besar dari α (0. 602 > 0. 05) dan nilai t hitung - 0. 523 < t tabel 1. 98197 artinya inflasi tidak berpengaruh terhadap harga saham LQ45.
Pengujian Hipotesis Kedua (H2)
Pengujian hipotesis kedua dalam studi ini ialah menguji apakah tingkatan suku bunga berpengaruh terhadap harga saham
industri LQ45. Dari hasil yang diperoleh dalam riset ini dipaparkan jika koefisien regresi guna variabel suku bunga signifikan t ialah 0. 877 serta nilai t hitung yakni- 0. 155. Oleh karna itu, H0 diterima serta Ha ditolak karna signifikansi t lebih besar dari α (0. 877 > 0. 05) serta nilai t- hitung yakni - 0. 155 < t tabel 1. 98197 yang berarti suku bunga tidak berpengaruh terhadap harga saham industri LQ45.
Pengujian Hipotesis Ketiga (H3)
Pengujian hipotesis ketiga dari riset ini ialah guna menguji apakah EPS berpengaruh terhadap harga saham industri LQ45.
Hasil yang diperoleh dalam riset ini menarangkan kalau koefisien regresi guna variabel EPS signifikan t merupakan 0. 000 serta nilai t hitung merupakan 11. 637. Oleh sebab itu H0 ditolak serta Ha diterima sebab signifikansi t hitung lebih kecil dari α (0. 000 < 0. 05) serta nilai t hitung 11. 637 > t tabel 1. 98197 yang berarti EPS berpengaruh positif serta signifikan terhadap harga saham industri LQ45.
Pengujian Hipotesis Keempat (H4)
Pengujian hipotesis keempat dalam riset ini yakni guna menguji apakah PER berpengaruh terhadap harga saham industri
LQ45. Hasil yang diperoleh dalam riset ini menarangkan kalau koefisien regresi variabel PER signifikan t yakni 0. 000 serta nilai t hitung merupakan 4. 052. Dengan demikian H0 ditolak serta Ha diterima sebab signifikansi t hitung lebih kecil dari α (0. 000 < 0. 05) serta nilai t hitung 4. 052 > t tabel 1. 98197 artinya PER berpengaruh positif serta signifikan terhadap harga saham industri LQ45.
Model Summary b | ||||
Model | R | R square | Adjust R Square | Std. Error of the Estimate |
1 | .790a | .624 | .609 | 1689.38016 |
a. Predictors: (Constans), per, inflasi, eps, suku bunga
b. Dependent Variable: harga saham
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan nilai R2 0.609 mempunyai arti bahwa variabel dependen mampu dijelaskan oleh variabel indepeten sebesar 60.9%, dengan kata lain perubahan dalam harga saham mampu dijelaskan oleh inflasi, suku bunga, EPS dn PER dan sisanya sebesar (100% - 60.9% = 39.1%) dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.
Berdasarkan uraian hasil penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Secara parsial inflasi tidak berpengaruh terhadap harga saham di perusahaan LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) tahun 2017-2021.
Secara parsial suku bunga tidak berpengaruh terhadap harga saham di perusahaan LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) tahun 2017-2021.
Secara parsial EarningPerShare(EPS) berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham perusahaan LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2017-2021.
Secara parsial PriceEarningRatio(PER) berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham perusahaan LQ45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2017-2021.
Nilai Adjust R Square sebesar 0.609. hal ini dapat diartikan bahwa pengaruh inflasi, suku bunga, EPS dan PER terhadap harga saham perusahaan indeks LQ45 tahun 2017-2021 sebesar 60.9% dan 39.1% lainnya dipengaruhi oleh variabel lainnya diluar variabel inflasi, suku bunga, EPS, dan PER.