Criminal law intricately intertwines with everyday life, regulating behaviors, subjects liable for punishment, and corresponding sanctions. This study employs normative research methods, analyzing literature and case studies to investigate violations within the criminal justice system, particularly concerning detention time limits. By scrutinizing legal statutes, theories, and precedents, this research unveils instances where defendants are deprived of their rights through unjustified extensions of detention beyond prescribed limits. The findings underscore the importance of upholding legal safeguards and the implications of disregarding procedural fairness in criminal proceedings.
Highlights :
Keywords: Criminal law, Detention time limits, Legal injustices, Procedural fairness, Normative research
Hukum pidana merupakan salah satu dari lapangan hukum yang tentunya tidak lepas dari kehidupan sehari-hari. Hukum pidana memuat peraturan-peraturan mengenai perbuatan-perbuatan, subjek yang dapat dikenakan pidana, jenis dan sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada seseorang [1]. Hukum pidana sendiri terdiri dari hukum pidana materil yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP, dan hukum pidana formil yang biasa kita sebut sebagai hukum acara pidana yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana. Hukum acara pidana atau hukum pidana formil berfungsi sebagai sarana terwujudnya hukum pidana materil. Hukum acara pidana merupakan dasar dalam proses peradilan pidana yang mengatur hak dan kewajiban hakim, hak dan kewajiban jaksa penuntut umum, hak dan kewajiban advokat. hak dan kewajiban penyidik, serta hak dan kewajiban tersangka atau terdakwa [2].
Pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana ini masih dapat kita jumpai. Contohnya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami oleh tersangka tindak pidana narkotika di Jakarta. Beberapa oknum anggota kepolisian melakukan penyiksaan, pemerasan, proses hukumnya dipersulit dan hukumannya diperberat. Selain itu masih terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh para terdakwa berupa pelanggaran terhadap masa tahanan. Hal ini jarang diketahui karena tidak adanya bukti tertulis, sehingga terdakwa membutuhkan perlindungan hukum tidak hanya setelah terjadinya pelanggaran saja, tetapi juga butuh perlindungan hukum untuk mencegah terjadinya pelanggaran atau disebut hukum preventif [3].
Dalam skripsi yang ditulis oleh Firmansyah Cakra Ady dengan judul “Potensi Pelanggaran Perlindungan Hukum Dan Hak Tersangka Dalam Penyidikan Perkara Pidana (Studi Kasus di Wilayah Hukum Karesidenan Surakarta” pada tahun 2018, dipaparkan mengenai potensi-potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami oleh para tersangka pada tingkat penyidikan. Di dalamnya juga disertakan beberapa hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan para tersangka yang menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Aparat Penegak Hukum[4].
Kemudian terdapat penelitian yang dilakukan oleh Suswantoro, Slamet Suhartono, dan Fajar Sugianto dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Tersangka Dalam Batas Waktu Tindak Penyidikan Tindak Pidana Umum Menurut Hak Asasi Manusia” dalam Jurnal Hukum Magnum Opus, Vol. I No. 1 Agustus 2018. Dalam penelitian tersebut dibahas tentang problematika perlindungan hak tersangka selama proses penyidikan yang ditemukan dalam Pasal 50 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kemudian dikaitkan dengan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 mengenai penyidikan. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa ketidakjelasan ketentuan mengenai jangka waktu pemberian status tersangka menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka. Terjadinya kesenjangan antara ketentuan-ketentuan terkait penyidikan dengan implementasi perlindungan hak-hak manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana hal tersebut dinilai dapat merugikan tersangka[5].
Namun terdapat beberapa perbedaan antara kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang akan diteliti, yakni bentuk pelanggaran dalam kedua penelitian di atas dialami oleh tersangka, sedangkan dalam penelitian yang akan dibahas bentuk pelanggaran haknya dialami oleh terdakwa. Belum ditemukan penelitian yang mengangkat perihal perlindungan hukum terhadap terdakwa, oleh karena itu dalam penelitian yang akan disusun penulis membahas bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh terdakwa berupa penahanan yang melebihi batas waktu yang ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi terdakwa dan apa saja upaya hukum yang dapat dilakukan terdakwa apabila ditahan melebihi batas waktu yang ditentukan oleh UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan, dan/atau menjadi acuan dalam pengambilan keputusan apabila menghadapi permasalahan terkait dengan perlindungan hukum bagi terdakwa apabila ditahan melebihi batas waktu yang ditentukan.
Penulis menggunakan penelitian normatif untuk menyusun penelitian ini, dengan menelaah studi kasus berupa bahan kepustakaan yang tersedia. Penelitian ini berfokus pada peraturan tertulis berupa peraturan-peraturan perundang-undangan serta beberapa teori atau sumber hukum lain terkait isu hukum, kemudian diselaraskan dengan isu hukum. Untuk menyelesaikan penelitian dan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan, penulis mengkaji isu hukum dan mengaitkan isu hukum tersebut dengan KUHAP menggunakan pendekatan perundang-undangan. Dalam pendekatan perundang-undangan, selain pengkajian bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dilakukan juga pengkajian terhadap bahan hukum lain yang dapat mendukung dalam menjawab isu hukum.[6]
A. Perlindungan Hukum Bagi Terdakwa Apabila Ditahan Melebihi n Batas Waktu yang n Ditentukan n oleh KUHAP
Dalam penerapannya, kita ketahui bahwa terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pelanggaran ini sangat beragam, contohnya yakni proses hukum yang dipersulit dan penahanan yang melebihi batas waktu. Selain itu juga masih terdapat pelanggaran-pelanggaran lain yang mungkin terjadi dan belum jelas bagaimana perlindungan hukumnya. Hal ini dapat dikarenakan adanya oknum-oknum dalam aparat penegak hukum dan juga dipengeruhi oleh pera terdakwa yang tidak memahami hukum dan hak-hak mereka ketika mereka ditahan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 telah dijelaskan hal-hal yang menjadi hak bagi para terdakwa [7]. Selain itu dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah dijelaskan bawha Indonesia merupakan negara hukum dimana semua hal telah diatur dengan hukum yang berlaku[8]. Adanya hukum ini dimaksudkan agar setiap masyarakat yang tinggal dan terikat dengan negara hukum ini mendapat keadilan. Oleh sebab itu, setiap individu dalam masyarakat dilindungi oleh peraturan hukum dan memiliki hak untuk menerima perlindungan hukum tanpa pengecualian, termasuk bagi mereka yang menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Dari informasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum masih berlangsung hingga sekarang. Dimana para terdakwa yang menjadi korban pelanggaran tersebut tidak melakukan upaya hukum dan tidak mendapat perlindungan hukum yang semestinya ia dapatkan. Dalam pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “semua orang sama di hadapan hukum dan berhak mendapat perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun”. Perlindungan hukum terdiri dari berbagai elemen, diantaranya adalah dukungan pemerintah terhadap warga negaranya, kepastian hukum yang dijamin, perlindungan hak-hak warga negara, dan sanksi hukum yang diberlakukan kepada pelanggar.[9]
Sesuai dengan pandangan Setiono, perlindungan hukum adalah usaha untuk menjaga masyarakat dari tindakan semena-mena oleh penguasa yang tidak sesuai atau melanggar ketentuan hukum. [10], guna mewujudkan ketertiban serta ketentraman yang memungkinkan manusia untuk dapat menikmati martabatnya sebagai manusia. Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep perlindungan hukum diatur dalam konstitusi Indonesia yakni UUD 1945, terutama setelah amendemen, seperti yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa semua warga negara, tanpa kecuali, memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Kemudian, Pasal 28 ayat (1) menguraikan bahwa setiap individu memiliki hak untuk melindungi diri sendiri, keluarganya, kehormatannya, martabatnya, dan harta benda yang berada di bawah kendalinya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman kekerasan atau tekanan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 28 ayat (2) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Dalam hukum kita mengenal adanya teori keadilan bermartabat, dimana tujuan dari hukum dalam teori ini adalah terapainya hukum yan memanusiakan manusia. Teori keadilan bermartabat mengemukakan seluruh kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku dalam system hukum yang berdasarkan pada Pancasila. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, sehingga seluruh perturan perundang-undangan dan putusan hakim di Indonesia haruslah sesuai dengan Pancasila, tidak bertentangan dan juga tidak melawan Pancasila.[11] Teori keadilan bermartabat berisi pandangan bahwa aktivitas suatu negara haruslah berdasarkan peraturan yang berlaku, yang dalam hal ini tentunya juga perlu diperhatikan terhadap penahanan terdakwa, dimana penahanan tersebut harus sesuai/dengan/peraturan/yang berlaku, dan juga hak-hak terdakwa harus dipenuhi sebagaimana mestinya. Dengan begitu hukum mampu memanusiakan manusia, dan hukum seluruhnya sebagai suatu system yang memperlakukan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Hal ini sejalan dengan prinsip kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan juga. Dalam prinsip ini, terdapat penghargaan terhadap martabat manusia beserta hak dan kewajibannya, serta manusia seharusnya diperlakukan secara adil oleh sesama manusia..
Sistem hukum nasional yang teratur dan adil seharusnya berfungsi sebagai patokan yang kuat dalam masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, sistem ini masih terbelakang dalam mengikuti perkembangan masyarakat, yang dapat menyebabkan kebingungan mengenai penerapan aturan. Sesuai dengan hukum positif, situasi semacam ini dapat disebut sebagai kekosongan hukum atau lebih tepatnya sebagai kekurangan Undang-Undang, yang terkadang juga disebabkan oleh pihak yang memiliki wewenang. Selain itu, seringkali terdapat ketidak konsistenan dari lembaga yang berwenang dalam menjalankan Undang-Undang untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat.. [12]
Teori keadilan bermartabat mendukung kebijakan pemberian bantuan hukum dalam perkara pidana yang berorientasi pada filosofi hokum untuk manusia. Jika kita menilik dari perspektif keadilan bermartabat, pemberian bantuan hukum bagi masyarakat khususnya yang tidak/mampu, adalah salah satu wujud dari/memanusiakan/manusia, dan penghormatan bagi harkat dan juga martabat manusia. Hal tersebut juga merupakan perwujudan dari persamaan masyarakat di mata hokum. Sehingga tiap-tiap orang tetaplah harus dipenuhi hak-haknya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Diantaranya adalah mendapat bantuan hokum, mendapat perlakuan yang adil dan sama di mata hokum, menjalani pemeriksaan dan penahanan sesuai dengan peraturan yang berlaku.[13]
Dalam KUHAP telah ditentukan bahwa batas/waktu/maksium/yang/dimiliki oleh penutut umum untuk melakukan penahanan terhadap Terdakwa yakni 50 hari. Masa penahanan tersebut dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila pemeriksaan masih belum selesai. Akan tetapi, setelah lewat batas/waktu/penahanan yang telah ditentukan KUHAP, terdakwa harus dibebaskan dari penahanan demi hukum. Mengacu pada penjabaran di atas, maka segala bentuk upaya paksa, perlakukan yang tidak adil, dan tidak berdasarkan hukum seperti penahanan yang melebihi batas waktu yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai merampas hak bebas terdakwa, pada hakikatnya merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, juga melanggar Pasal 25 ayat (1) dan (2) KUHAP. Dalam Penjelasan Umum Poin 3 Huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, dijelaskan bahwa seseorang yang mengalami penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pengadilan tanpa alasan yang jelas berdasarkan undang-undang atau karena kesalahan dalam identifikasi orang atau hukum yang diterapkan harus diberikan kompensasi dan proses rehabilitasi sejak tahap penyelidikan. Para pejabat penegak hukum yang sengaja atau karena kelalaiannya melanggar prinsip hukum ini dapat dituntut dan mungkin dikenai sanksi administrasi. Oleh karena itu, jika seorang terdakwa ditahan melebihi batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), sesuai dengan Pasal 95 dan 97 KUHAP, ia berhak mendapatkan kompensasi dan proses rehabilitasi [7].
Ganti kerugian yang dijelaskan dalam KUHAP merujuk pada kompensasi yang harus diberikan kepada individu akibat tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ganti kerugian mengacu pada hak seseorang untuk menerima penggantian dalam bentuk uang sebagai imbalan atas penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pengadilan yang dilakukan tanpa dasar yang sah berdasarkan undang-undang atau karena kesalahan dalam mengidentifikasi individu atau hukum yang diterapkan sesuai dengan undang-undang ini. Terdakwa atau pihak-pihak yang berkepentingan memiliki hak untuk mengajukan tuntutan kompensasi. Dalam konteks hukum pidana, terdapat berbagai jenis kompensasi, termasuk kompensasi atas kerugian yang diderita oleh seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa dasar hukum yang jelas atau kesalahan dalam penerapan hukum. Dalam proses penangkapan, aparat penegak hukum harus memiliki bukti awal yang memadai dan harus mematuhi prosedur hukum yang berlaku. Dalam kasus penahanan, penegak hukum juga harus memiliki dasar hukum yang sah dan alasan yang kuat untuk menahan seseorang, seperti adanya bukti yang cukup bahwa orang tersebut terlibat dalam tindak pidana yang serius. Dasar untuk menahan seseorang juga bisa termasuk kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak barang bukti, atau melakukan tindak pidana lagi. Selain dari situasi penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pengadilan seseorang, ada juga tindakan-tindakan lain yang mungkin tidak didasari oleh hukum yang jelas atau kesalahan dalam penerapan hukum. Ini termasuk tindakan paksa lainnya, seperti masuk ke dalam rumah seseorang, melakukan penggeledahan, atau menyita barang secara ilegal yang dapat menyebabkan kerugian materiil. Hal ini diatur dalam Pasal 95 KUHAP, di mana pasal ini memungkinkan pihak yang merasa dirugikan untuk mengajukan tuntutan kompensasi.
Selanjutnya, terdapat kerugian yang dialami oleh pihak ketiga atau korban. Jenis kompensasi ini sejalan dengan ketentuan dalam Bab XIII KUHAP tentang penggabungan perkara tuntutan kompensasi, yang tidak termasuk dalam definisi umum kompensas.[14] Penggabungan perkara tuntutan kompensasi pihak ketiga, baik dalam konteks pidana maupun perdata, mencakup berbagai aspek, seperti tuntutan dari korban tindak pidana, klaim dari perusahaan asuransi kesehatan, tuntutan pemerintah terkait pelanggaran izin usaha atau perpajakan, dan sebagainya. Selain itu, kompensasi juga dapat diberikan kepada terpidana setelah proses peninjauan kembali.
Pasal 266 ayat (2) butir b mengindikasikan bahwa jika Mahkamah Agung membatalkan putusan setelah proses peninjauan kembali, maka putusan tersebut bisa berupa::
a. Putusan bebas b. Putusan lepas dari segala tuntuan c. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum d. Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Dalam KUHAP, telah diatur mengenai batas waktu untuk mengajukan tuntutan kompensasi. Pasal 95 KUHAP menentukan bahwa waktu ini dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, Pasal 77 huruf b KUHAP menentukan bahwa waktu ini dihitung sejak penetapan praperadilan. Selain itu, terdapat ketentuan mengenai besarnya kompensasi yang diatur dalam Pasal 9 angka 1 PP Nomor 27 Tahun 1983 dan PP No. 92 Tahun 2015. Menurut peraturan tersebut, besarnya kompensasi berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP berkisar antara Rp. 500.000 hingga Rp. 100.000.000. Pasal 9 angka 2 juga menjelaskan bahwa jika tindakan tersebut mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga seseorang tidak dapat melakukan pekerjaan, jumlah kompensasi minimal adalah Rp. 25.000.000 dan maksimalnya adalah Rp. 300.000.000.
Selain ganti kerugian, terdakwa juga berhak mendapatkan rehabilitasi. Rehabilitasi secara umum merupakan suatu proses perbaikan dari kondisi yang tidak normal menjadi normal. Menurut KBBI rehabilitasi ialah pemulihan kedudukan baik berupa nama baik atau keadaan yang semula, agar menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat. Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk memulihkan kemampuan, kedudukan, serta martabatnya yang telah terganggu, dan hak ini diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, atau persidangan, karena seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa dasar yang sah berdasarkan undang-undang atau karena kesalahan dalam mengidentifikasi orang atau penerapan hukum, sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Rehabilitasi juga mencakup program-program yang bertujuan untuk mendukung pemulihan individu yang menderita penyakit kronis, baik secara fisik maupun psikologis. Dengan demikian, konsep umum rehabilitasi adalah proses pemulihan. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan kondisi yang tidak baik atau rusak menjadi kondisi semula atau kondisi yang baik. Tujuan dari rehabilitasi adalah mengembalikan rasa harga diri, keyakinan diri, kesadaran, dan tanggung jawab terhadap masa depan individu, keluarga, serta masyarakat atau lingkungannya. Selain itu, rehabilitasi juga bertujuan untuk memulihkan kemampuan individu untuk berfungsi sosial, serta menyembuhkan baik secara fisik maupun secara sosial dalam segala aspek.
Berdasarkan Pasal 97 (1) KUHAP, dijelaskan bahwa seseorang memiliki hak untuk meminta rehabilitasi jika ada keputusan Pengadilan Negeri yang membebaskan terdakwa, artinya terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan putusan tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Namun, Pasal 97 (2) KUHAP menyatakan bahwa rehabilitasi harus diberikan dan dimasukkan dalam amar putusan yang membebaskan terdakwa atau terpidana. Hal ini menimbulkan ketidakpastian karena Pasal 97 (1) mengharuskan keberadaan putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai syarat untuk mengajukan rehabilitasi, tetapi Pasal 97 (2) mengindikasikan bahwa rehabilitasi harus diberikan sekaligus dalam amar putusan yang membebaskan terdakwa atau terpidana. Di dalam KUHAP juga tidak dijelaskan apakah rehabilitasi akibat putusan bebas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat opsional (tergantung pada keinginan terdakwa) atau wajib, artinya harus diberikan setiap kali hakim memutuskan pembebasan atau pembebasan dari segala tuntutan hukum yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 93 ayat (3) KUHAP, seseorang hanya diperbolehkan mengajukan permintaan rehabilitasi atas dasar penangkapan atau penahanan yang tidak sah, dengan syarat bahwa perkara tersebut tidak diajukan ke pengadilan. Namun, dalam pasal ini, tidak disebutkan alasan-alasan lain yang dapat membuat seorang terdakwa memenuhi syarat untuk mendapatkan rehabilitasi, seperti yang telah dijelaskan dalam pasal-pasal sebelumnya. Menurut pandangan M. Yahya Harahap, pasal ini mungkin diterapkan karena rehabilitasi sudah secara otomatis diberikan dalam setiap putusan pengadilan yang mengakibatkan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum.
Rehabilitasi bagi terdakwa dijelaskan dalam Pasal 97 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang menyatakan bahwa seseorang berhak mendapatkan rehabilitasi jika pengadilan memutuskan pembebasan atau pembebasan dari segala tuntutan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, jika seorang terdakwa telah dibebaskan atau dilepaskan melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ia berhak atas rehabilitasi. Rehabilitasi ini juga harus dicantumkan dalam putusan pengadilan yang memutuskan pembebasan atau pembebasan terdakwa. Namun, jika putusan pengadilan tidak mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa dalam amarnya, maka terdakwa memiliki opsi berikut.:
1. Terdakwa dapat mengajukan permohonan pada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. 2. Setelah menerima permohonan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan rehabilitasi dalam bentuk penetapan.
Ini mengacu pada petunjuk yang termuat dalam Poin 1, 2, dan 3 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau Dilepaskan dari Segala Tuntutan Hukum (SEMA 11/1985). [15].
Berkaitan dengan formulasi Pasal 99 UU Nomor 14 Tahun 1970, cakupannya mencakup pemulihan hak terkait kemampuan, posisi, dan martabat. Proses rehabilitasi mengikuti kerangka kerja yang sama dengan proses ganti kerugian. Penentuan pihak yang berwenang untuk mengajukan rehabilitasi bergantung pada tahap pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Jika perkara tersebut ditangani oleh Pengadilan Negeri, permohonan rehabilitasi juga diajukan kepada Ketua Hakim Pengadilan Negeri dan diperiksa oleh majelis pengadilan, dan jika rehabilitasi disetujui, hal tersebut dicatat dalam putusan pengadilan. Namun, jika perkara yang sedang ditangani tidak diajukan ke Pengadilan Negeri dan hanya berada pada tingkat penyidikan atau penuntutan, permohonan rehabilitasi harus diajukan kepada Lembaga Praperadilan dan diputuskan oleh Lembaga Praperadilan..
Jika dikaitkan dengan permasalah yang sedang dibahas, maka dapat kita lihat bahwa terdapat ketidaksesuaian antara KUHAP dengan praktik yang berlangsung di masyarakat, juga dapat kita ketahui bahwa tidak terdapat aturan yang spesifik mengeni batas/waktu/penahanan dimana halam KUHAP hanya diatur mengenai batas-batas penahanan yakni pada masa penahanan oleh penyidik selama 20 hari, penahanan oleh penuntut umum 20 hari, penahanan oleh pengadilan negeri selama 20 hari, penahanan oleh pengadilan tinggi selama 30 hari, dan penahanan oleh mahkamah agung selama 50 hari yang seluruhnya dapat diperpanjang oleh pejabat yang berwenang. Kemudian dalam KUHAP juga disebutkan mengenai hak-hak bagi para terdakwa hingga pada Pasal 68 KUHAP yang menyebutkan bahwa terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Akan tetapi, KUHAP secara spesifik tidak mengatur bagaimana perlindugan hukum apabila terjadi pelanggaran hak terdakwa berupa penahanan yang melebihi batas watktu. Hal ini tentunya bertentengan dengan peraturan yang berlak. Selain itu jika kita kaitkan dengan teori keadilan bermartabat tentunya hal ini juga bertentangan, dimana dalam teori keadilan bermartabat bertujuan untuk mencapai hokum yang memanusiakan manusia. Sehingga apabila terjadi permasalahan seperti dengan permasalahan yang sedang dibahas maka tujuan dari adanya keadilan bertmartabat ini tidak tercapai.
Dalam KUHAP, telah ditetapkan bahwa penuntut umum memiliki batasan waktu maksimum 50 hari untuk menahan Terdakwa. Jika pemeriksaan masih berlanjut, Ketua Pengadilan Negeri dapat memperpanjang masa penahanan. Namun, setelah melewati batas waktu penahanan yang telah ditentukan oleh KUHAP, Terdakwa harus dibebaskan dari penahanan sesuai dengan prinsip hukum. Semua bentuk tindakan paksa, perlakuan yang tidak adil, dan pelaksanaan tanpa dasar hukum seperti penahanan yang melebihi batas waktu, yang pada intinya dapat dianggap sebagai pembatasan kebebasan Terdakwa, pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan juga melanggar Pasal 25 ayat (1) dan (2) KUHAP.KUHAP sendiri secara spesifik tidak mengatur bagaimana perlindugan hukum apabila terjadi pelanggaran hak terdakwa berupa penahanan yang melebihi batas watktu. Sehingga hal ini menimbulkan kekosongan hukum, dimana dalam KUHAP hanya disebutkan sebab-sebab terdakwa dapat megajukan ganti rugi dan rehabilitasi yakni apabila ditangkap, ditahan, dituntut. dan diadili dan dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang. Maka apabila seorang terdakwa ditahan melebihi batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), mengacu pada pasal 95 dan 97 KUHAP ia berhak mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi. Akan tetapi, pengajuan ganti kerugian dan pengajuan rehabilitasi ini tdak serta merta dapat diajukan oleh terdakwa, terdakwa haruslah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat yang tersebut dalam KUHAP.