Corporate Law
DOI: 10.21070/ijler.v19i2.1010

Legal Evolution: Analyzing Minerba Law No. 3/2020 Amendments on Reclamation and Post-Mining Responsibilities


Evolusi Hukum: Menganalisis UU Minerba No. 3/2020 Perubahan atas Reklamasi dan Tanggung Jawab Pascatambang

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Indonesian mining law shifting norms responsibility reclamation operating permits

Abstract

  • This study analyzes shifting norms in Indonesian mining law, focusing on the phrases "and/or" in Article 96 and "guaranteed" in Article 169A paragraph (1) of Law no. 3 of 2020 Minerba. Using a normative method with a statutory approach and historical interpretation, it finds that "and/or" offers flexibility for mining companies in choosing reclamation or post-mining activities, while "guaranteed" is replaced with "can be given," implying stricter conditions for operating permit extensions. This research underscores a redefined responsibility framework, emphasizing adaptability and stringent criteria in mining operations.

Highlights :

  • Flexibility in Activity Choice: "And/or" offers mining companies the flexibility to choose between reclamation and post-mining activities, enhancing efficiency.
  • Stricter Permit Conditions: "Guaranteed" replaced with "can be given" implies stricter terms for operating permit extensions, ensuring compliance.
  • Redefined Responsibility Framework: The study reveals a redefined framework emphasizing adaptability and stringent criteria in Indonesian mining law.

Keywords: Indonesian mining law, shifting norms, responsibility, reclamation, operating permits

Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan yang melimpah di bidang sumber daya mineral seperti batubara, gas alam, minyak bumi, emas, dan timah. Hal ini tentu menjadi ladang penghasilan negara bagi Indonesia. Pemerintah memiliki kewenangan untuk memanfaatkan dan mengolah kekayaan alam negara serta melindunginya tanpa melakukan keberpihakan kepada siapapun. Sebagaimana dalam Pasal 33 Ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara memiliki kendali atas bumi, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dan harus digunakan untuk kepentingan kemakmuran rakyat. Namun, sebagai konsekuensi atas hal tersebut aktivitas industri pertambangan telah menyebabkan kerusakan lingkungan, termasuk rusaknya ekosistem lokal dan polusi. Pada tahun 2020 terdapat lebih dari 3029 lubang bekas tambang yang tidak direklamasi dan dibiarkan terbuka yang kemudian menjadi danau raksasa yang dapat sangat berbahaya bagi masyarakat lokal.

Ketentuan mengenai pertanggungjawaban perusahaan tambang terhadap kelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang ini berlaku sejak 2020 menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah dicabut. Undang-undang ini mengatur tentang berbagai aspek pertambangan mineral dan batubara, antara lain pengawasan dan pembinaan, peningkatan nilai tambah mineral dan batubara, pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan lahan, divestasi saham, data dan informasi, dan kelanjutan operasi bagi pemegang Kontrak Karya Pengusahaan Batubara ( PKP2B ) atau Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP Produksi). Namun Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba ini memiliki beberapa substansi pasal yang mengundang kekhawatiran dan pro-kontra. Beberapa pasal dianggap pro-bisnis dan mengabaikan kelestarian lingkungan. Dalam penelitian ini pasal yang akan diteliti adalah pasal 96 dan pasal 169A UU Minerba 2020. Pasal 96 UU Minerba mengatur tentang kewajiban perusahaan pertambangan untuk memulihkan lahan bekas tambang sebagai bentuk pertanggungjawaban karena merusak atau mencemari lingkungan. Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan pertambangan wajib melakukan kegiatan reklamasi dan/atau kegiatan pascatambang untuk mengembalikan tanah bekas tambang seperti semula. Dalam pasal ini terdapat pergeseran norma yang berbeda dengan norma pada UU Minerba 2009, karena didalamnya mengandung frasa “dan/atau” yang dapat diartikan bahwa negara membebaskan perusahaan pertambangan untuk memilih antara kegiatan reklamasi atau kegiatan pascatambang sebagai bentuk pertanggungjawaban, yang berarti perusahaan diperbolehkan jika memilih bentuk pertanggungjawaban yang lebih murah sekalipun kurang efektif dalam memulihkan lahan.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Imas Novita Juaningsih pada tahun 2020 dengan judul “Polemik Revisi Undang-Undang Minerba”. Penelitian ini berfokus pada kebijakan Minerba dalam sudut pandang pemerintah dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan beberapa alasan yang dapat digunakan untuk membatalkan pasal yang dirasa merugikan masyarakat yakni revisi UU Minerba dilakukan secara tertutup hal ini melanggar Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, beberapa Pasal Pasal 7, 8, 37, 43, 44, 45, 142, 143 yang kurang lebih menghapuskan kewenangan Daerah terhadap pengelolaan pertambangan dinilai kurang jelas, serta data sosiologis yang diacuhkan dan tidak menjadi pertimbangan DPR dalam mengesahkan Revisi UU Minerba.

Penelitian berikutnya oleh Nur Fadilah Al Idrus pada tahun 2022 dengan artikel ilmiah berjudul “Dampak Politik Hukum dan Respon Masyarakat atas Pembaharuan Undang-Undang Minerba” dalam Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan (JPHK). Penelitian ini berfokus pada kajian terhadap dampak politik hukum, respon, serta resistensi masyarakat tentang UU Minerba 2020. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa politik hukum dalam UU Minerba 2020 mengarah pada hukum praktis dan cenderung lebih menguntungkan dan melindungi pihak pengusaha pertambangan. Selain itu dalam UU Minerba, kewenangan pengelolaan dan penerbitan izin, perpanjangan izin operasi, peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, divestasi, pengaturan tambang tidak berlandaskan tata ruang, maupun pertambangan rakyat, reklamasi, dan pascatambang.

Dengan demikian posisi penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu, karena penelitian ini berfokus pada analisis pergeseran norma pada Pasal 96 dan Pasal 169A Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dinilai berpotensi untuk melanggengkan pencemaran dan kerusakan lingkungan oleh pihak pertambangan yang kemudian akan berpengaruh terhadap pertanggungjawaban perusahaan pertambangan perusak dan pencemar lingkungan di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pergeseran norma yang terletak pada frasa “dan/atau” dalam Pasal 96 huruf b dan frasa “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) dari Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kaitannya dengan tanggung jawab pelaksanaan kegiatan reklamasi dan pasca-tambang perusahaan mineral dan batubara di Indonesia. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi dan solusi yang tepat bagi pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah ini, serta dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya melestarikan lingkungan hidup dan tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan demi keberlangsungan hidup anak cucu generasi selanjutnya. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui makna substansi sebenarnya dalam beberapa pasal bermasalah pada UU Minerba beserta implementasinya. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik atas undang-undang yang berlaku dan sebagai kritik atas regulasi yang cenderung merugikan rakyat dan mengeksploitasi lingkungan hidup.

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Jenis pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah statute approach atau pendekatan perundang-undangan. Metode penafsiran hukum yang digunakan adalah penafsiran hukum historis. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018, dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang. Sedangkan bahan hukum sekundernya meliputi jurnal ilmiah, doktrin hukum, artikel penelitian, serta buku hukum yang berhubungan dengan penelitian ini. Analisis bahan hukum yang digunakan adalah analisa deduktif.

Hasil dan Pembahasan

A.      Pergeseran Norma dalam Pasal 96 dan Pasal 169A Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020

Terdapat pergeseran norma hukumdalam Pasal 96 huruf b dan Pasal 169A ayat (1) Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang dapat mengakibatkan interpretasi yang berbeda-beda dan memunculkan potensi konflik atau ketidakjelasan dalam pelaksanaan dan penegakan hukum terkait pertambangan mineral dan batubara. Dengan penjelasan sebagai berikut:

Pasal 96 UU Minerba berbunyi:

Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP atau IUPK wajib melaksanakan:

a. ketentuan keselamatan Pertambangan; b. pengelolaan dan pemantauan lingkungan Pertambangan, termasuk kegiatan Reklamasi dan/atau Pascatambang; c. upaya konservasi Mineral dan Batubara; dan d. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan Usaha Pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.

Pasal ini mengatur tentang kegiatan reklamasi dan pasca-tambang sebagai kewajiban perusahaan pertambangan. Pergeseran norma yang terdapat dalam pasal ini terletak pada frasa "dan/atau" karena dapat diartikan bahwa perusahaan pertambangan dapat memilih salah satu atau keduanya, yaitu melakukan kegiatan reklamasi atau pasca-tambang. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah perusahaan dapat mengabaikan salah satu aspek tersebut dan hanya fokus pada salah satu kegiatan, yang dapat berdampak negatif pada upaya pemulihan lingkungan dan ekosistem akibat pertambangan.

Sedangkan, Pasal 169A UU Minerba ayat (1) berbunyi: (1) KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan:

a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara. b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

Pasal ini mengatur tentang perpanjangan IUPK bagi pemegang KK dan PKP2B untuk melanjutkan operasi kontrak/perjanjian dengan mengubah status menjadi IUPK. Frasa "dijamin" dalam Pasal 169A ayat (1) ini menyiratkan jaminan perpanjangan KK/PKP2B menjadi IUPK yang berlaku untuk semua perusahaan pertambangan tanpa adanya syarat tertentu. Pergeseran norma dalam pasal ini terletak pada interpretasi frasa "dijamin" yang memunculkan pertanyaan apakah perusahaan dapat terus beroperasi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan dan bagaimana pertanggungjawaban perusahaan dalam menghadapi kerusakan lingkungan yang telah terjadi.

Pergeseran norma dalam Pasal 96 dan Pasal 169A Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 ini dapat memiliki konsekuensi yang signifikan dalam konteks pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Pergeseran norma hukum ini dapat menyebabkan berbagai interpretasi dan penafsiran yang berbeda oleh pihak-pihak yang terlibat, termasuk perusahaan pertambangan, pemerintah, dan masyarakat sipil. Akibatnya, pelaksanaan hukum dan pengawasan terkait pertambangan bisa menjadi kurang efektif dan menyulitkan upaya untuk mencapai tujuan perlindungan lingkungan hidup dan keberlanjutan.

B.      Analisis Pasal 96 Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 Terkait Kegiatan Reklamasi dan Pasca-Tamban g

Pertambangan mineral dan batubara merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara kompleks dan memiliki dampak resiko terhadap lingkungan, oleh karena itu diperlukan perencanaan yang matang mulai dari tahap awal hingga pasca-tambang. Tujuan utama dari perencanaan total ini adalah untuk mengelola dan mengurangi dampak lingkungan seefisien dan seefektif mungkin, serta memastikan bahwa setelah aktivitas pertambangan berakhir, lingkungan dapat dipulihkan dengan baik. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui reklamasi lahan bekas tambang, yang bertujuan tidak hanya memperbaiki kondisi lingkungan setelah pertambangan, tetapi juga menciptakan lingkungan ekosistem yang lebih baik daripada kondisi awalnya.

Dalam pasal 96 huruf (b) Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa perusahaan pertambangan memiliki kewajiban untuk mengelola dan memantau lingkungan pertambangan, termasuk dalam kegiatan reklamasi dan/atau tambang. Frasa “dan/atau” dalam pasal ini dapat diartikan dengan negara membebaskan perusahaan pertambangan untuk memilih salah satu atau keduanya dari kegiatan reklamasi atau kegiatan pasca-tambang sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap lingkungan. Jika ditinjau berdasarkan pergeseran konsep norma hukum dari UU Minerba 2009 ke UU Minerba 2020, Pasal 96 huruf (b) UU Minerba 2020 dapat diartikan bahwa pemberian frasa "dan/atau" mengatur tentang kewajiban reklamasi dan pasca tambang dengan memberikan opsi pada perusahaan untuk memilih salah satu atau keduanya. Opsi ini diberikan untuk memberikan fleksibilitas kepada perusahaan pertambangan dalam melaksanakan kewajiban lingkungan sesuai dengan kondisi dan karakteristik wilayah pertambangan yang berbeda-beda.

Dengan adanya opsi ini, pemerintah ingin memastikan bahwa kewajiban reklamasi dan pasca tambang dapat dilaksanakan dengan efisien dan efektif, serta sesuai dengan kebutuhan setiap wilayah pertambangan. Beberapa wilayah pertambangan mungkin lebih cocok untuk dilakukan reklamasi, sementara di wilayah lain, pasca tambang mungkin lebih sesuai untuk memulihkan lingkungan. Oleh karena itu, opsi ini memungkinkan perusahaan untuk memilih pendekatan terbaik yang sesuai dengan kondisi setempat dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Tujuan dari adanya opsi "reklamasi dan/atau pasca tambang" ini adalah untuk memperkuat efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan kewajiban lingkungan. Dengan memberikan fleksibilitas ini, diharapkan perusahaan dapat mengoptimalkan pendekatan yang sesuai dengan kondisi lokal, sehingga pemulihan lingkungan dapat lebih optimal dan dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalkan.

Konsep lama yang terdapat dalam UU Minerba 2009, tidak secara eksplisit memberikan opsi "reklamasi dan/atau pasca tambang" kepada perusahaan pertambangan. Pada UU Minerba 2009, kewajiban reklamasi dan pasca tambang masih diatur secara terpisah dan tegas yang diatur dalam pasal 96 UU Minerba 2009. Perusahaan dituntut untuk melakukan reklamasi untuk mengembalikan kondisi lingkungan ke semula setelah selesai masa operasi pertambangan, dan pasca tambang untuk memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan serta ekosistem setelah tahapan penambangan selesai. Namun, dengan dikeluarkannya UU Minerba 2020, terdapat perubahan dalam pendekatan. Konsep baru yang terdapat dalam Pasal 96 UU Minerba 2020 mengenai "reklamasi dan/atau pasca tambang" memberikan opsi fleksibilitas kepada perusahaan pertambangan untuk memilih salah satu atau keduanya sesuai dengan karakteristik dan kondisi wilayah pertambangan. Dengan kata lain, perusahaan dapat memilih untuk melaksanakan reklamasi, pasca tambang, atau keduanya bersamaan, tergantung pada kebutuhan dan dampak lingkungan yang ada di wilayah pertambangan tersebut. Dengan demikian, konsep "reklamasi dan/atau pasca tambang" ini merupakan konsep baru yang diintroduksi dalam UU Minerba 2020 sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan keberlanjutan dan efisiensi dalam pengelolaan lingkungan di sektor pertambangan.

Selain itu, jika dibaca senada dengan pasal-pasal aturan tata laksana kegiatan reklamasi dan pasca-tambang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010, Pasal 5 menyebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK sebelum melakukan kegiatan eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi berdasarkan Dokumen Lingkungan Hidup (DLH) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Rencana reklamasi ini harus dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi. Rencana reklamasi dan rencana pasca tambang harus disusun berdasarkan DLH yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Rencana reklamasi dan rencana pasca tambang harus memperhatikan beberapa aspek, yaitu:

A. Prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 PP No 78 Tahun 2010; B. Sistem dan metode penambangan yang telah disetujui berdasarkan studi kelayakan; C. Kondisi khusus wilayah izin usaha pertambangan; dan D. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi harus menyusun rencana reklamasi dan rencana pasca tambang yang mempertimbangkan aspek lingkungan dan ketentuan hukum yang berlaku untuk mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang sebelum mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi.

Lebih lanjut pada Bab III Bagian Kedua dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 mengatur tentang Rencana Reklamasi. Pada Pasal 7 disebutkan mengenai rencana reklamasi yang harus disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Rencana reklamasi harus mencakup rencana untuk setiap tahunnya. Jika umur tambang kurang dari 5 tahun, rencana reklamasi harus disusun sesuai dengan umur tambang tersebut. Rencana reklamasi minimal harus memuat tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang, rencana pembukaan lahan, program reklamasi untuk lahan terganggu yang mencakup lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang yang bersifat sementara dan/atau permanen, kriteria keberhasilan penataan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir, serta rencana biaya reklamasi yang terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Lahan di luar bekas tambang mencakup berbagai area seperti tempat penimbunan tanah penutup, tempat penimbunan sementara dan bahan tambang, jalan, pabrik/instalasi pengolahan dan pemurnian, bangunan/instalasi sarana penunjang, kantor dan perumahan, pelabuhan khusus, serta lahan penimbunan dan/atau pengendapan tailing.

Sedangkan untuk Rencana Pasca-tambang diatur dalam Pasal 10 PP Nomor 78 Tahun 2010 Rencana Pascatambang ini harus mencakup beberapa poin penting. Pertama, rencana pascatambang harus memuat profil wilayah, termasuk lokasi dan aksesibilitas wilayah, kepemilikan dan peruntukan lahan, kondisi lingkungan awal, dan kegiatan usaha lain di sekitar tambang. Kedua, harus disertakan deskripsi kegiatan pertambangan, mencakup keadaan cadangan awal, sistem dan metode penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang. Selanjutnya, rona lingkungan akhir lahan pascatambang harus dijelaskan, termasuk keadaan cadangan tersisa, peruntukan lahan, morfologi, air permukaan dan air tanah, serta biologi akuatik dan terestrial. Program pascatambang juga harus termasuk dalam rencana ini, meliputi reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang, pemeliharaan hasil reklamasi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, serta pemantauan. Selain itu, harus mencakup organisasi yang akan melaksanakan rencana pascatambang, termasuk jadwal pelaksanaannya, dan kriteria keberhasilan pascatambang. Terakhir, rencana biaya pascatambang harus mencakup biaya langsung dan biaya tidak langsung.

Serta dalam Pasal 11 PP Nomor 78 Tahun 2010 menegaskan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib berkonsultasi dengan berbagai pihak terkait dalam menyusun rencana pascatambang. Pihak-pihak yang harus dikonsultasikan meliputi instansi pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang berwenang dalam bidang pertambangan mineral dan batubara, instansi terkait lainnya, serta masyarakat. Tujuan dari konsultasi ini adalah untuk memastikan keterlibatan dan persetujuan dari berbagai pihak terkait sehingga rencana pascatambang dapat lebih komprehensif dan dapat berjalan dengan baik.

Terkait pelaksanaan dan pelaporan kegiatan reklamasi dan pasca-tambang diatur dalam Pasal 19 hingga Pasal 28 PP Nomor 78 Tahun 2010, pelaksanaan reklamasi pada lahan yang terganggu akibat kegiatan eksplorasi harus dilakukan di area yang tidak digunakan saat tahap operasi produksi. Lahan yang terganggu meliputi lubang pengeboran, sumur uji, parit uji, dan sarana penunjang. Reklamasi harus dilakukan hingga mencapai kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang dalam tahap operasi produksi di sektor pertambangan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melaksanakan reklamasi dan pasca tambang sesuai dengan rencana yang telah disusun dan memenuhi kriteria keberhasilan. Proses pelaksanaan reklamasi harus dimulai paling lambat 30 hari setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan terganggu. Selanjutnya, pemegang IUP dan IUPK juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang setiap tahun dan setiap tiga bulan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangan. Dari laporan tersebut, dilakukan evaluasi dan penilaian terhadap tingkat keberhasilan reklamasi dan pasca tambang, dan hasilnya akan diberitahukan secara tertulis kepada pemegang IUP dan IUPK. Jika reklamasi berada di kawasan hutan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, penilaian keberhasilan reklamasi akan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keseluruhan ketentuan dalam pasal-pasal ini bertujuan untuk memastikan pelaksanaan yang tepat dan efektif dari reklamasi dan pasca tambang agar dapat menjaga lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem setelah aktivitas pertambangan berakhir.

Sedangkan terkait dengan jaminan kegiatan reklamasi dan pasca tambang diatur dalam Pasal 29 hingga Pasal 42 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010. Bagian pertama dari peraturan ini menyebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan jaminan reklamasi dan jaminan pasca-tambang. Jaminan reklamasi terdiri dari dua tahap, yaitu tahap eksplorasi dan tahap operasi produksi. Penempatan jaminan reklamasi dilakukan pada bank pemerintah dalam bentuk deposito berjangka, dan pemegang izin wajib melaksanakan reklamasi meskipun telah menempatkan jaminan. Pasal-pasal selanjutnya mengatur tentang penempatan, pelepasan, dan penggunaan jaminan reklamasi serta konsekuensi jika reklamasi tidak memenuhi kriteria keberhasilan.

Selanjutnya, Pasal 37 PP Nomor 78 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyediakan jaminan pasca-tambang sesuai dengan rencana pasca-tambang. Penempatan jaminan pasca-tambang dilakukan setiap tahun dalam bentuk deposito berjangka pada bank pemerintah. Pemegang izin juga tetap memiliki kewajiban untuk melaksanakan pasca-tambang meskipun telah menempatkan jaminan. Pasal-pasal selanjutnya mengatur mengenai penempatan, pelepasan, dan penggunaan jaminan pasca-tambang, serta kewajiban pemegang izin untuk menyediakan jaminan jika kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam rencana pasca-tambang. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 ini bertujuan untuk memastikan pelaksanaan reklamasi dan pasca-tambang dalam kegiatan pertambangan sesuai dengan rencana yang telah disusun dan untuk menjamin perlindungan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat setelah kegiatan pertambangan berakhir. Dengan adanya ketentuan mengenai jaminan reklamasi dan pasca-tambang, diharapkan pemegang izin usaha pertambangan akan lebih bertanggung jawab dan memperhatikan dampak lingkungan serta sosial dari kegiatannya.

Selain itu, Aturan Tata Laksana Pengelolaan Lingkungan Hidup Pertambangan, Reklamasi, dan Pascatambang juga diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018. Pada Pasal 22 Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2018 mengatur dan menjelaskan tentang pelaksanaan kaidah teknik pertambangan yang baik terkait reklamasi, pasca-tambang, dan pasca-operasi. Pasal ini menetapkan kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk menyampaikan rencana reklamasi tahap eksplorasi sesuai dengan Dokumen Lingkungan Hidup (DLH), menempatkan jaminan reklamasi, melaksanakan reklamasi tahap eksplorasi, dan melaporkan pelaksanaan reklamasi tahap eksplorasi. Selain itu, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi juga memiliki kewajiban untuk menempatkan jaminan reklamasi tahap operasi produksi dan jaminan pasca-tambang, menyampaikan rencana reklamasi tahap operasi produksi secara periodik, serta melaksanakan reklamasi tahap operasi produksi dan pasca-tambang. Pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian juga diwajibkan menyampaikan rencana pasca-operasi, melaksanakan kegiatan pasca-operasi untuk perbaikan, pemulihan, dan penataan kualitas lingkungan dan ekosistem sesuai peruntukannya, serta melaporkan pelaksanaan kegiatan pasca-operasi.

Selanjutnya, Pasal 23 menyebutkan bahwa Menteri akan menetapkan pedoman pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan, reklamasi, pasca-tambang, dan pasca-operasi yang sesuai dengan ketentuan Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22. Hal ini bertujuan untuk memberikan arahan dan panduan bagi pemegang izin usaha pertambangan dalam melaksanakan kewajiban terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan serta reklamasi dan pasca-tambang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan adanya pedoman ini, diharapkan pelaksanaan kegiatan pertambangan dapat dilakukan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan guna menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem serta kesejahteraan masyarakat setelah kegiatan pertambangan berakhir.

Namun dalam praktiknya, izin pertambangan seringkali diberikan tanpa mempertimbangkan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Hal ini berdampak serius pada rusaknya lingkungan dan menyebabkan hilangnya mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam, seperti sektor pertanian dan budidaya ikan. Dokumen Lingkungan Hidup yang disusun juga seringkali hanya merupakan salinan dari dokumen AMDAL lain tanpa menggambarkan kondisi lapangan yang sebenarnya. Penerbitan AMDAL seringkali hanya melibatkan pihak-pihak tertentu sebagai upaya formalitas semata, tanpa memberikan manfaat yang nyata kepada masyarakat sekitar pertambangan. Sehingga banyak masyarakat yang kurang mengetahui tentang kegiatan pertambangan dan dampak yang terjadi sebagai akibat dari penambangan. Salah satu faktor penyebab masalah ini adalah kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait penerbitan AMDAL. Jarang sekali terdapat upaya memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar syarat izin lingkungan. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pertambangan seringkali harus menghadapi dampak negatif secara langsung, termasuk kerusakan lingkungan dan kehilangan sumber penghidupan. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pemantauan terkait kegiatan pertambangan juga minim. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan dalam partisipasi publik dan kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan terkait sumber daya alam.

C. Analisis Pasal 169A UU Minerba 2020 Terkait Perpanjangan Kontrak Izin Pertambangan

Dalam Pasal 169A UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 terdapat frasa "dijamin" yang rawan disalahgunakan untuk kepentingan pihak pertambangan. Dalam pasal ini perusahaan pertambangan diberikan jaminan perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi. Jaminan tersebut menunjukkan bahwa setelah berakhirnya masa berlaku KK atau PKP2B, perpanjangan kontrak dapat dilakukan dengan mengubah status menjadi IUPK, sehingga perusahaan masih dapat melanjutkan kegiatan operasional pertambangan. Jika ditinjau berdasarkan pergeseran konsep norma hukum dari UU Minerba 2009 ke UU Minerba 2020 adalah pemerintah menilai kepastian perpanjangan kontrak pertambangan untuk saat ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan pertambangan dan negara dalam rangka meningkatkan investasi negara. Kepastian ini menjadi penting karena perusahaan perlu melakukan persiapan yang matang sebelum dapat melanjutkan operasi pertambangan. Persiapan ini meliputi pengadaan peralatan tambang yang diperlukan serta pengorganisasian sumber daya manusia yang memadai. Proses persiapan ini membutuhkan waktu yang cukup lama, karena perusahaan harus memastikan bahwa semua persyaratan dan persiapan teknis telah terpenuhi sebelum memulai penambangan. Hal ini melibatkan perencanaan, pengadaan, dan pengaturan berbagai aspek yang terkait dengan operasi tambang, termasuk pengadaan peralatan khusus, perekrutan dan pelatihan tenaga kerja, serta persiapan infrastruktur yang diperlukan.

Konsep pasal 169A dalam UU Minerba 2020 mengenai perpanjangan izin operasi tambang yang bertujuan untuk memajukan investasi dalam negeri sebagaimana disebutkan dalam uraian sebelumnya tidak termasuk sebagai konsep baru dalam UU Minerba 2020. Sebaliknya, konsep tersebut merupakan pengembangan dari UU Minerba 2009. Dalam UU Minerba 2009, terdapat ketentuan tentang jaminan perpanjangan izin operasi untuk setiap pemegang IUPK Eksplorasi yang dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangan yang diatur dalam Pasal 77 UU Minerba 2009. Namun, ketentuan tersebut tidak memiliki fokus yang kuat pada tujuan memajukan investasi dalam negeri seperti yang dijelaskan dalam Pasal 169A UU Minerba 2020. UU Minerba 2009 lebih menekankan pada aspek teknis dan administratif dalam perpanjangan izin, termasuk persyaratan dan prosedur untuk perpanjangan. Sedangkan dalam UU Minerba 2020, konsep jaminan perpanjangan yang dituangkan dalam Pasal 169A mengalami pengembangan dengan lebih menitikberatkan pada upaya memajukan investasi dalam negeri. Dengan memberikan kesempatan perpanjangan kontrak atau perjanjian bagi pemegang KK dan PKP2B melalui IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepastian hukum bagi para investor dan mendorong investasi lebih lanjut di sektor pertambangan.

Sebagai contoh kasus dalam rangka investasi yang besar di sektor pertambangan seperti PT Freeport, terdapat kebutuhan yang mendesak untuk memastikan perpanjangan Kontrak Karya dalam kegiatan pertambangan. PT Freeport telah mengeluarkan setidaknya 4 miliar dolar AS untuk kegiatan penambangan bawah tanah, dengan rencana total investasi sebesar 15 miliar dolar AS. Selain itu, beberapa tahun sebelum UU Minerba 2009 diperbarui, PT Freeport berencana membangun pabrik pemurnian konsentrat tembaga di Gresik yang kini tengah dalam tahap pembangunan dengan alokasi biaya sekitar 2,3 miliar dolar AS. PT Freeport siap menggelontorkan total investasi sebesar 17,3 miliar dolar AS. Namun, investasi tersebut hanya akan dilakukan jika pemerintah memberikan kepastian perpanjangan masa penambangan emas dan tembaga di Papua hingga tahun 2041. Dari perspektif bisnis, ketidakpastian mengenai perpanjangan kontrak dapat berdampak negatif pada sumber pendanaan yang tersedia. Untuk itu, pemerintah menjamin kepastian perpanjangan KK dan PKP2B menjadi IUPK dalam Pasal 169A UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dengan mempertimbangkan investasi yang besar di bidang pertambangan.

Namun pada tahun 2020, Pasal 169A UU Minerba 2020 ini dimohonkan oleh para pemohon untuk dilakukan Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi dengan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Seorang Ahli Hukum, Dr. A. Sonny Keraf dalam persidangan Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 mengemukakan bahwa KK dan PKP2B, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169, diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan tertentu. Ahli memahami bahwa Pasal 169A harus dibaca dalam satu kesatuan dengan pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang No. 3/2020. Pada poin 119 UU No. 3/2020 disisipkan 3 Pasal, yaitu Pasal 169A, Pasal 169B, dan Pasal 169C di antara Pasal 169 dan Pasal 170. Artinya, Pasal 169 UU No. 4/2009 tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan. Pasal 169 huruf (a) menetapkan bahwa status KK dan PKP2B tetap dipertahankan, tetapi isinya berubah sesuai dengan isi UU No. 4/2009 sebagaimana amanat dalam Pasal 169 huruf (b) yang mengamanatkan bahwa ketentuan dalam kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, kecuali mengenai penerimaan negara. Hal ini berarti, semua pihak yang menjalankan usaha di bidang apa pun di wilayah NKRI, termasuk pemegang KK dan PKP2B, harus tunduk pada amanat undang-undang yang berlaku, termasuk Pasal 169 huruf (b) UU No. 4/2009 yang dipertahankan dalam UU No. 3/2020. Sejak tahun 2010, isi KK dan PKP2B telah berubah secara otomatis tanpa perubahan formal statusnya sebagai KK dan PKP2B. Oleh karena itu, jaminan perpanjangan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 169A dianggap tidak diperlukan lagi karena perpanjangan tersebut telah dilaksanakan dengan menyesuaikan isi KK dan PKP2B dengan isi UU No. 4/2009 sesuai amanat Pasal 169 tersebut.

Penafsiran terhadap Pasal 169A UU Minerba 2020, yang mengatur tentang IUPK bagi KK dan PKP2B, memerlukan pertimbangan mendalam terhadap beberapa hal yang penting. Pasal tersebut menyatakan bahwa KK dan PKP2B akan diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan tertentu. Namun, ketika Pasal ini dianalisis bersamaan dengan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 171A UU Minerba 2020, timbul ketidakselarasan yang perlu diperhatikan. Pasal 28 ayat (2) menyatakan bahwa wilayah yang dapat ditetapkan menjadi WUPK bisa berasal dari eks WUPK, wilayah KK, atau PKP2B yang setelah evaluasi Menteri, dianggap perlu ditetapkan kembali menjadi WUPK. Demikian pula, Pasal 171A mengatur bahwa wilayah eks KK atau PKP2B bisa ditetapkan menjadi WUPK atau WPN sesuai dengan hasil evaluasi Menteri.

Perbedaan yang mencolok antara Pasal 169A dan Pasal 28 ayat (2) serta Pasal 171A adalah dalam memberikan jaminan. Pasal 169A memberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK secara langsung tanpa mencantumkan kata "dapat." Sementara itu, Pasal 171A menyebutkan bahwa status wilayah eks KK atau PKP2B menjadi WUPK atau WPN tergantung pada hasil evaluasi Menteri. Ketidakselarasan ini menyebabkan rancu dan kebingungan karena Pasal 169A memberi jaminan tanpa mempertimbangkan apakah wilayah eks KK atau PKP2B akan menjadi WUPK setelah evaluasi. Untuk mencegah tafsiran yang ambigu dan menciptakan ketentuan yang lebih konsisten, perlu dipertimbangkan untuk membatalkan Pasal 169A UU Minerba 2020 atau melakukan revisi agar sesuai dengan konteks dan tujuan pembentukan UU Minerba. Dengan demikian, pengaturan mengenai IUPK bagi KK dan PKP2B dapat menjadi lebih jelas, konsisten, dan sesuai dengan evaluasi dan persyaratan yang berlaku.

Selanjutnya, hasil amar putusan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 169A ayat (1) dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan UUD RI 1945. Konflik ini terutama terjadi pada frasa "diberikan jaminan" yang menurut hakim, tidak memenuhi persyaratan konstitusi dan oleh karena itu pasal tersebut diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pengadilan menyatakan bahwa frasa tersebut seharusnya diinterpretasikan sebagai "dapat diberikan" untuk lebih konsisten dengan konstitusi. Selain itu, putusan juga menyoroti ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU Nomor 3 Tahun 2020 yang menggunakan kata "dijamin," yang juga dianggap tidak sejalan dengan UUD RI Tahun 1945 dan oleh karena itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Pengadilan menegaskan bahwa penggunaan kata "dijamin" harus dimaknai sebagai "dapat" untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi.

Dengan demikian, hasil putusan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 tersebut menegaskan bahwa ketentuan Pasal 169A UU Nomor 3 Tahun 2020 perlu direvisi atau diinterpretasikan kembali agar sesuai dengan konstitusi. Penggunaan frasa "diberikan jaminan" dan kata "dijamin" dalam Pasal tersebut harus digantikan dengan "dapat diberikan" untuk memastikan konsistensi dan kepatuhan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, ketentuan tersebut akan memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat.

Oleh karena itu, MK dalam putusan Nomor 64/PUU-XVIII/2020 mengubah frasa dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kini berbunyi sebagai berikut:

a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

Maka, dengan adanya putusan Nomor 64/PUU-XVIII/2020 perusahaan tambang tidak serta merta diberikan jaminan perpanjangan izin operasi menjadi IUPK, melainkan terdapat beberapa syarat dan ketentuan tertentu yang harus dipenuhi. Wilayah Pertambangan harus mematuhi dan melaksanakan kegiatan reklamasi dan/atau pasca-tambang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik area pertambangan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab perusahaan tambang terhadap lingkungan dan masyarakat yang terdampak oleh kegiatan pertambangan. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap kegiatan reklamasi dan pasca-tambang menjadi syarat konstitutif dalam proses perpanjangan izin tambang yang diberikan kepada perusahaan pertambangan. Dengan demikian, perusahaan pertambangan tidak dapat melakukan perpanjangan izin tambang jika tidak memenuhi syarat dan telah melakukan kerusakan dan mencemarkan lingkungan. Hal ini bertujuan untuk mendorong pemegang Wilayah Pertambangan untuk bertanggung jawab secara penuh terhadap lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak negatif akibat kegiatan pertambangan.

Simpulan

Analisis pergeseran norma hukum yang terletak dalam frasa “dan/atau” pada Pasal 96 huruf (b) UU Minerba No. 3/2020 jika ditinjau berdasarkan pergeseran konsep norma hukum dari UU Minerba 2009 ke UU Minerba 2020, diartikan bahwa perusahaan diberikan opsi untuk memilih salah satu atau keduanya (reklamasi dan pasca-tambang). Opsi ini diberikan untuk memberikan fleksibilitas kepada perusahaan pertambangan dalam melaksanakan kewajiban lingkungan sesuai dengan kondisi dan karakteristik wilayah pertambangan yang berbeda-beda dengan lebih efektif dan efisien. Sedangkan, analisis pergeseran norma hukum yang terletak dalam frasa “dijamin” pada Pasal 169A ayat (1) UU Minerba jika ditinjau berdasarkan Putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020, dijelaskan bahwa frasa “dijamin” diganti menjadi “dapat diberikan” sehingga kemudian dapat diartikan bahwa perusahaan tambang tidak serta merta diberikan jaminan perpanjangan izin operasi menjadi IUPK, melainkan terdapat syarat dan ketentuan tertentu yang harus dipenuhi.

References

  1. M. B. Salinding, “Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang Berpihak kepada Masyarakat Hukum Adat,” J. Konstitusi, vol. 16, no. 1, pp. 148–156, Apr. 2019, doi: 10.31078/jk1618.
  2. S. S. Rivanie, “Hukuman Pidana Akibat Kerusakan Lingkungan yang Dilakukan oleh Korporasi pada Industri Tambang,” Jurisprud. Jur. Ilmu Huk. Fak. Syariah Dan Huk., vol. 6, no. 2, pp. 1–10, Dec. 2019, doi: 10.24252/jurisprudentie.v6i2.9612.
  3. N. R. Jamil, “Problematika Penerapan Izin Usaha Pertambangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Dampak pada Otonomi Daerah,” Staatsrecht J. Huk. Kenegaraan Dan Polit. Islam, vol. 2, no. 2, pp. 107–120, Dec. 2022, doi: 10.14421/staatsrecht.v2i2.2809.
  4. I. N. Juaningsih, “Polemik Revisi Undang-Undang Minerba Dalam Dinamika Tata Negara Indonesia,” ’Adalah, vol. 4, no. 3, pp. 213–225, Jul. 2020, doi: 10.15408/adalah.v4i3.16502.
  5. N. F. Al Idrus, “Dampak Politik Hukum dan Respon Masyarakat atas Pembaharuan Undang-Undang Minerba,” J. Penegakan Huk. Dan Keadilan, vol. 3, no. 2, pp. 114–127, Sep. 2022, doi: 10.18196/jphk.v3i2.14898.
  6. A. Joni, “Implementasi Kewajiban Reklamasi Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di Provinsi Riau,” J. Gagasan Huk., vol. 2, no. 2, pp. 194–221, Dec. 2020, doi: 10.31849/jgh.v2i02.8559.
  7. C. C. M. U. Rusyuniardi, “Kekuatan Mengikat Izin Usaha Pertambangan Dalam Hukum Pertambangan di Indonesia,” Lex Soc., vol. 8, no. 1, pp. 1–15, May 2020, doi: 10.35796/les.v8i1.28481.
  8. M. F. Razi, “Dampak Aktivitas Pertambangan Batubara Terhadap Lingkungan dan Masyarakat Kalimantan Timur,” Open Science Framework, preprint, Sep. 2022, doi: 10.31219/osf.io/ea65p.
  9. M. N. Umboh, “Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat dari Dampak Pencemaran Lingkungan yang Dilakukan oleh Perusahaan,” Lex Soc., vol. 8, no. 1, pp. 16–30, May 2020, doi: 10.35796/les.v8i1.28477.
  10. D. R. Rizkirobbi, N. Listiyani, and I. Riswandie, “Kewajiban Perusahaan Pertambangan Dalam Reklamasi Lahan Tambang Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara,” J. Penegakan Huk. Indones., vol. 3, no. 3, pp. 386–400, May 2023, doi: 10.51749/jphi.v3i3.92.
  11. A. Suryaningsih, A. M. Silalahi, and A. H. Sanjaya, “Hak Penguasaan Negara dalam Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara Sesuai dengan UU Minerba,” Supremasi J. Huk., vol. 5, no. 2, pp. 144–158, Apr. 2023, doi: 10.36441/supremasi.v5i2.1262.
  12. H. A. Siregar, M. Hasjim, and R. Juniah, “Evaluasi Teknis dan Ekonomis Reklamasi Lahan Pasca Tambang di PT. Semen Indonesia,” J. Pertamb., vol. 4, no. 2, pp. 90–97, May 2020, doi: 10.36706/jp.v4i2.421.
  13. D. R. Rizkirobbi, N. Listiyani, and I. Riswandie, “Kewajiban Perusahaan Pertambangan Dalam Reklamasi Lahan Tambang Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara,” J. Penegakan Huk. Indones., vol. 3, no. 3, pp. 386–400, May 2023, doi: 10.51749/jphi.v3i3.92.
  14. A. Hidayat and A. Redi, “Analisis Keabsahan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/6 Tahun 2017 Tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik PT. Semen Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” J. Huk. Adigama, vol. 1, no. 1, pp. 1279–1295, Jul. 2018, doi: 10.24912/adigama.v1i1.2205.
  15. A. Risano, “Disharmoni Antara UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 Terkait Kewenangan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Pemerintah Pusat,” J.Indep., vol. 8, no. 2, pp. 311–325, Oct. 2020, doi: 10.30736/ji.v8i2.120.
  16. S. Syofiarti, “Peran Serta Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan Pada Kegiatan Pertambangan untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan,” Refleksi Huk. J. Ilmu Huk., vol. 7, no. 1, pp. 19–36, Oct. 2022, doi: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p19-36.
  17. E. K. Siregar, L. A. Marpaung, and B. -, “Implementasi Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap Kegiatan/Usaha Tambak Udang yang Belum Memiliki Izin Lingkungan,” J. Huk. Malahayati, vol. 3, no. 2, pp. 11–17, Aug. 2022, doi: 10.33024/jhm.v3i2.5057.
  18. D. F. Amir Sup, “Mengawal Nilai-Nilai Produksi melalui AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dalam Perspektif Ekonomi Syariah,” Tsaqafah, vol. 16, no. 1, pp. 73–82, May 2020, doi: 10.21111/tsaqafah.v16i1.3953.
  19. R. -, “Analisis Perpanjangan Kontrak Karya (KK)/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Ditelaah dari Konsepsi Hak Menguasai Negara,” Badamai Law J., vol. 5, no. 1, pp. 113–129, Jun. 2021, doi: 10.32801/damai.v5i1.10255.
  20. A. Sobari, “Menguji Asas-Asan Umum Pemerintahan Yang Baik Pada UU Nomor 9 Tahun 2004 Menjadi Norma Hukum Yang Dapat Menentukan Kesalahan Berdasarkan Praktik di PTUN,” Popul. J. Sos. Dan Hum., vol. 8, no. 1, pp. 92–100, Jun. 2023, doi: 10.47313/pjsh.v8i1.2353.
  21. A. R. Kambey, “Tugas Pemerintah Dalam Mengawasi Aktivitas Pertambangan Emas yang Tidak Menjalankan Kewajiban Izin Usaha Pertambangan (IUP) Berdasarkan UU No 4 Tahun 2009,” Lex Soc., vol. 8, no. 1, pp. 31–45, May 2020, doi: 10.35796/les.v8i1.28467.