In the era of globalization, Indonesia stands to gain substantial benefits by swiftly implementing regulations governing visas and residence permits for digital nomads, ensuring legal certainty and unlocking significant economic potential. This research employs a normative legal approach to analyze the concept of specialized visa and residence permit arrangements for digital nomads in Indonesia, focusing on legal certainty and the classification of their activities as work. Current findings indicate a lack of specific rules for digital nomads, leading to the use of conventional visas that may not align with their online work. As digital nomads inherently engage in freelance work, compliance with labor and taxation regulations becomes imperative. To establish lawful and protected status, the government should introduce new arrangements, such as digital nomad visas with stipulated requirements like financial capability and tax payments, fostering legal certainty for all stakeholders.
Highlights:
Freelance Work Classification: Given that digital nomads essentially function as freelance workers, the research emphasizes the necessity of appropriately categorizing their activities within the framework of labor and taxation regulations.
Policy Recommendations: The study advocates for the prompt establishment of specialized digital nomad visas and residence permits in Indonesia, incorporating financial criteria and tax obligations to ensure legal certainty and unlock economic potential.
Keywords: Digital Nomads, Visa Regulations, Legal Certainty, Economic Potential, Indonesia
Dalam era globalisasi yang terjadi saat ini, kemajuan pesat dalam teknologi informasi telah membawa dampak signifikan terhadap gaya kerja masyarakat.[1] Transformasi ini mencakup berbagai inovasi dalam dunia pekerjaan, yang memungkinkan individu untuk bekerja secara fleksibel dari berbagai lokasi asalkan terdapat koneksi internet. Fenomena ini, dikenal sebagai "digital nomadism," memberikan kebebasan kepada pekerja untuk bekerja tanpa terikat oleh batasan waktu dan tempat. Hal ini menciptakan paradigma baru dalam dunia kerja, di mana mobilitas dan keterhubungan digital menjadi kunci utama dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Digital nomad merupakan pekerja lepas yang memanfaatkan teknologi seperti laptop dan internet untuk bekerja, Gaya hidup digital nomad, di mana seseorang dapat bepergian dan bekerja di mana saja, telah menjadi fenomena yang semakin populer dan terus berkembang. Pekerjaan digital nomad umumnya berfokus pada ranah online, seperti programmer, desainer, penulis, influencer, vlogger, dan berbagai profesi lainnya yang dapat dijalankan secara fleksibel. Kehadiran teknologi dan konektivitas internet yang semakin canggih memungkinkan individu untuk menjalankan pekerjaan mereka tanpa terikat pada satu tempat fisik.[2] Indonesia, dengan keindahan alamnya dan biaya hidup yang relatif rendah, telah menjadi destinasi yang menarik bagi digital nomad, baik lokal maupun warga negara asing, yang mencari lingkungan yang mendukung gaya hidup nomaden dan produktivitas dalam dunia digital. Perkiraan jumlah digital nomad terus meningkat dari tahun ke tahun, mencerminkan pergeseran paradigma dalam cara orang bekerja dan hidup.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Juni 2023 mencapai 1,06 juta, menunjukkan peningkatan signifikan sebesar 119,64% dibandingkan dengan Juni 2022. Pertumbuhan tersebut diyakini terkait dengan tren digital nomad yang semakin populer.[3] Meskipun demikian, sayangnya, peraturan perundang-undangan di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodir kebutuhan digital nomad. Meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan peraturan turunannya, seperti PP No. 31 Tahun 2013, serta peraturan terbaru seperti PP No. 40 Tahun 2023 dan Permendagri No. 22 Tahun 2023, belum secara spesifik menyebutkan tentang visa digital nomad. Perlu adanya peninjauan dan penyesuaian regulasi agar Indonesia dapat lebih mengakomodir perkembangan tren wisatawan digital nomad yang terus meningkat.
Meskipun digital nomad seringkali bekerja secara daring dan fleksibel, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Indonesia mengakui mereka sebagai tenaga kerja, seiring dengan kemampuan mereka dalam menghasilkan barang dan jasa. Sebagai pekerja lepas daring, digital nomad tunduk pada hukum Indonesia berdasarkan asas ius soli, dan potensial menjadi objek pajak yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Untuk menjamin kepastian hukum, penting untuk segera mengatur visa dan izin tinggal khusus bagi digital nomad agar mereka dapat bekerja secara legal dan memberikan kontribusi yang teratur dalam rangka pembangunan ekonomi negara.[4]
Di Indonesia, fenomena digital nomad semakin berkembang pesat, terutama di destinasi wisata populer seperti Bali. Meskipun demikian, masih belum ada regulasi khusus yang mengatur visa dan izin tinggal bagi para digital nomad dalam kerangka hukum imigrasi Indonesia, seperti UU No. 6 Tahun 2011 dan peraturan turunannya. Kehadiran digital nomad di Indonesia menyoroti kebutuhan akan aturan yang lebih jelas dan mendukung bagi para pekerja jarak jauh, agar dapat memberikan kepastian hukum dan memfasilitasi kontribusi positif mereka terhadap ekonomi dan pariwisata tanah air.[5]
Digital nomad, pada dasarnya, adalah individu yang bekerja secara fleksibel dan mandiri menggunakan teknologi digital, seringkali bekerja dari berbagai lokasi di seluruh dunia. Meskipun demikian, dalam konteks Indonesia, status pekerjaan digital nomad tersebut seharusnya tunduk pada aturan ketenagakerjaan yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Namun, karena belum ada regulasi khusus terkait visa bagi digital nomad, banyak dari mereka memasuki Indonesia dengan menggunakan visa kunjungan wisata.[6] Situasi ini dapat menciptakan ketidakpastian hukum baik bagi negara maupun para digital nomad, karena mereka mungkin tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku, dan negara harus mengatasi masalah ini melalui pengembangan regulasi yang lebih khusus untuk mendukung keberadaan dan kegiatan digital nomad di Indonesia.
Beberapa negara seperti Estonia, Dubai, Iceland, dan Meksiko sudah lebih dulu memberlakukan visa khusus digital nomad agar mereka bisa tinggal dan bekerja legal selama beberapa bulan atau tahun. Visa ini tentu meningkatkan kredibilitas serta menarik minat lebih banyak digital nomad untuk datang yang berdampak positif bagi perekonomian. Oleh karena itu, Indonesia juga perlu segera mengikuti jejak dengan mengatur visa dan izin tinggal yang jelas dan pasti bagi digital nomad guna menjamin kepastian hukum serta manfaat ekonomi lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini penting untuk menganalisis status digital nomad dan merumuskan konsep pengaturan visa serta izin tinggal khusus bagi mereka di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum sekaligus meningkatkan minat digital nomad datang ke Indonesia yang berdampak positif terhadap perekonomian dan pendapatan negara. Kerangka hukum yang jelas dan terperinci mengenai digital nomad diharapkan segera dapat diwujudkan melalui penelitian ini. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan visa dan izin tinggal khusus untuk digital nomad ditinjau dari aspek kepastian hukum?
2. Apakah orang asing yang melakukan kegiatan digital nomad dapat dikatakan bekerja?
3. Bagaimana konsep pengaturan visa dan izin tinggal khusus untuk digital nomad di Indonesia?
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada data sekunder berupa bahan-bahan hukum.[7] Tujuannya adalah untuk menemukan asas-asas serta norma hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi terkait pengaturan visa dan izin tinggal bagi digital nomad. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan menelaah peraturan yang terkait topik penelitian seperti UU Keimigrasian beserta turunannya. Kemudian pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan untuk menganalisis konsep-konsep hukum yang melandasi permasalahan digital nomad. Sementara pendekatan perbandingan (comparative approach) berguna untuk membandingkan pengaturan serupa di negara lain guna merumuskan konsep yang tepat bagi Indonesia.[8]
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer seperti perundang-undangan terkait keimigrasian dan ketenagakerjaan. Bahan hukum sekunder meliputi literatur, karya ilmiah, serta artikel yang relevan. Adapun bahan hukum tersier berupa kamus dan sumber rujukan lainnya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka di perpustakaan maupun daring. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif dengan cara menyeleksi hal-hal pokok lalu dideskripsikan secara logis dan sistematis. Teknik analisis data menggunakan metode induktif guna menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus menuju hal-hal yang bersifat umum.
Digital nomad merupakan sebuah gaya hidup dimana seseorang dapat bekerja dari jarak jauh sambil bepergian ke berbagai tempat. Teknologi informasi dan internet yang semakin canggih memungkinkan banyak orang untuk bekerja secara daring dan tidak terikat pada satu lokasi tertentu. Hal ini membuka peluang bagi para profesional di berbagai bidang seperti programmer, desainer, penulis, fotografer, dan lainnya untuk menjadi digital nomad. Fenomena digital nomad mulai berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Diperkirakan jumlah digital nomad di seluruh dunia sudah mencapai jutaan orang. Mereka memilih untuk tinggal dan bekerja sambil berpindah dari satu negara ke negara lain. Sebagai gaya hidup yang fleksibel, banyak negara mulai melihat potensi digital nomad sebagai peluang untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Untuk menarik dan memfasilitasi digital nomad, berbagai negara mulai mengembangkan kebijakan visa dan izin tinggal khusus. Misalnya, Estonia mengeluarkan Digital Nomad Visa, sementara negara-negara seperti Kroasia, Kosta Rika, Meksiko, dan Thailand juga memiliki beragam skema visa khusus digital nomad. Skema visa dan izin tinggal ini memungkinkan digital nomad untuk tinggal dan bekerja secara legal di suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Syarat dan ketentuannya juga cenderung lebih sederhana dan fleksibel dibandingkan dengan visa kerja konvensional.
Sejauh ini, Indonesia belum memiliki peraturan khusus yang mengatur keberadaan dan kegiatan digital nomad. Beberapa daerah seperti Bali sudah cukup populer sebagai destinasi digital nomad, tetapi hukum yang berlaku saat ini masih menimbulkan ketidakpastian. Konsep digital nomad belum mendapatkan pengaturan yang rinci dalam perundang-undangan di Indonesia terkait keimigrasian. Saat ini, visa dan izin tinggal bagi digital nomad masih mengikuti aturan umum yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian serta Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2013 yang telah mengalami perubahan melalui Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2023. Ketidaktersediaan regulasi khusus untuk digital nomad dapat menimbulkan ketidakjelasan terkait status dan izin tinggal mereka di Indonesia, sehingga menjadi penting untuk mempertimbangkan perubahan atau penyesuaian dalam kebijakan keimigrasian guna memfasilitasi perkembangan fenomena digital nomadisme di era globalisasi ini.[9]
Dalam Undang-Undang Keimigrasian Indonesia, diatur bahwa setiap orang asing yang memasuki atau meninggalkan Wilayah Indonesia harus memiliki visa yang sah, kecuali ditentukan lain melalui perjanjian internasional. Meskipun terdapat 6 kategori visa kunjungan yang disebutkan dalam Pasal 72 ayat (1), belum ada ketentuan khusus mengenai visa digital nomad. Selanjutnya, Pasal 48 UU Keimigrasian memberikan kemungkinan bagi orang asing untuk memperoleh izin tinggal terbatas atau izin tinggal tetap. Bagi digital nomad, izin tinggal terbatas dapat diberikan dengan menggunakan visa kunjungan atau visa tinggal terbatas, sesuai yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1).[10] Hal ini mencerminkan upaya regulasi keimigrasian Indonesia dalam mengakomodasi perkembangan tren pekerjaan global, seperti digital nomadisme.
Menurut peraturan yang berlaku saat ini, digital nomad termasuk dalam kategori pekerja asing dan dianggap sebagai tenaga kerja sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia. Sebagai tenaga kerja asing, mereka diwajibkan memiliki Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) dan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) agar dapat bekerja secara legal di Indonesia. Namun, kendala muncul karena konsep digital nomad yang cenderung tidak terikat pada kontrak kerja tertentu, sehingga mereka menghadapi kesulitan untuk memenuhi persyaratan formal tersebut.[11] Hal ini menciptakan tantangan bagi digital nomad yang ingin bekerja secara fleksibel dan berpindah-pindah lokasi, sementara tetap mematuhi regulasi ketenagakerjaan yang berlaku.
Banyak digital nomad yang melakukan kegiatan bekerja di Indonesia hanya dengan menggunakan visa kunjungan, menyebabkan pelanggaran aturan keimigrasian dan ketidakpastian hukum. Keberadaan mereka sebagai tenaga kerja dan pembayar pajak potensial seharusnya diakui dengan memberikan mereka visa dan izin tinggal resmi yang diterbitkan oleh Imigrasi. Tindakan ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum bagi digital nomad, tetapi juga mendukung transparansi pajak serta kontribusi ekonomi yang dapat diberikan oleh mereka kepada Pemerintah Indonesia.[9] Dengan demikian, regulasi yang jelas dan tegas perlu diterapkan untuk mengatasi masalah ini dan memberikan kerangka kerja yang sesuai dengan perkembangan tren digital nomad di era globalisasi ini.
Selain itu, ketiadaan pengaturan yang jelas terkait digital nomad juga dapat menimbulkan celah penyalahgunaan. Seseorang bisa saja masuk ke Indonesia dengan status wisatawan, padahal pada kenyataannya mereka melakukan pekerjaan dan berbisnis. Ini jelas merugikan tenaga kerja lokal dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan tidak adil. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah segera mengakomodir keberadaan digital nomad dalam revisi UU maupun peraturan turunan terkait keimigrasian. Setidaknya, perlu dibentuk visa dan izin tinggal baru khusus yang mengatur hak serta kewajiban digital nomad selama tinggal dan bekerja di Indonesia. Beberapa syarat yang perlu dicantumkan di antaranya:
Substansi pengaturan terkait visa digital nomad, yang mencakup jenis visa (business/work), persyaratan, jangka waktu berlaku, serta hak dan kewajiban pemegang visa. Jenis visa perlu dibedakan berdasarkan keperluan jangka pendek atau jangka panjang sesuai dengan kebutuhan digital nomad. Hal ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas yang diperlukan agar para digital nomad dapat menjalankan aktivitas bisnis atau pekerjaan mereka tanpa hambatan, sambil tetap mematuhi aturan yang berlaku di negara yang dikunjungi. Substansi pengaturan tersebut menjadi dasar penting dalam memberikan kerangka hukum yang jelas dan mendukung mobilitas digital nomad di tingkat internasional.[12]
Dalam konteks persyaratan bagi digital nomad, mereka diharuskan untuk menyediakan bukti kemampuan finansial dan memiliki asuransi kesehatan selama berada di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak menjadi beban bagi sistem kesehatan lokal. Selain itu, kewajiban untuk mematuhi hukum dan budaya setempat menjadi prinsip utama guna menjaga harmoni dan integrasi dengan masyarakat lokal. Jangka waktu visa juga perlu dibatasi hingga maksimal 1 tahun untuk mencegah penyalahgunaan hak tinggal serta memberikan kejelasan terkait keberlangsungan aktivitas digital nomad di Indonesia.[13]
Digital nomad memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas kemudahan berusaha dan mengakses layanan perbankan, yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan gaya hidup mereka yang mobile.[14] Meskipun bekerja secara fleksibel dan dapat berpindah-pindah tempat, digital nomad tetap memiliki tanggung jawab untuk membayar pajak penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan di Indonesia. Dengan memenuhi kewajiban pajak ini, mereka secara positif berkontribusi pada penerimaan negara dan ekonomi secara keseluruhan. Sehingga, keberadaan digital nomad dapat dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang berpotensi memberikan manfaat dalam konteks pembangunan negara.
Dengan adanya pengaturan yang terperinci mengenai visa dan izin tinggal khusus bagi digital nomad dalam undang-undang dan peraturan turunannya, tercipta kepastian hukum yang fundamental bagi semua pihak terkait. Kejelasan ini tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi digital nomad yang tinggal di Indonesia, tetapi juga memberikan pemerintah peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui kontribusi ekonomi yang lebih besar dari kelompok tersebut. Dengan demikian, baik pemerintah maupun digital nomad dapat saling menguntungkan, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
1. Memiliki penghasilan tetap di atas nominal tertentu
2. Wajib lapor diri dan memperpanjang dokumen keimigrasian
3. Wajib membayar pajak penghasilan kepada pemerintah.
Digital nomad adalah istilah yang merujuk kepada individu yang menjalankan pekerjaan secara mandiri dan fleksibel dengan memanfaatkan teknologi, yang memungkinkan mereka untuk bekerja tanpa terikat pada waktu dan lokasi tertentu.[5] Mayoritas digital nomad adalah para profesional lepas seperti programmer, desainer web, konsultan, penulis, dan lain sebagainya. Meskipun sering dianggap sebagai wisatawan, sebenarnya digital nomad terus menjalankan pekerjaannya dan menghasilkan pendapatan dari aktivitas online mereka. Gaya hidup ini memberikan kebebasan untuk bekerja dari mana saja di dunia, menjelajahi berbagai tempat, dan tetap terkoneksi dengan pekerjaan mereka melalui internet.
Banyak negara mulai melihat peluang dari fenomena digital nomad ini untuk meningkatkan devisa pariwisata dan mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif. Karenanya, sejumlah skema visa dan izin tinggal khusus mulai diterbitkan yang memudahkan digital nomad tinggal dan bekerja jangka panjang di suatu negara, misalnya di Kroasia, Thailand, Portugis, Kosta Rika, dan lainnya. Di Indonesia sendiri, jumlah digital nomad diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun mengingat daya tarik destinasi wisata dan biaya hidup yang relatif terjangkau. Namun, sampai saat ini belum ada pengaturan hukum khusus di Indonesia terkait status dan kegiatan digital nomad sebagai orang asing. Keberadaan mereka seringkali masuk kategori abu-abu dan menimbulkan ambiguitas hukum.
Digital nomad, meskipun menikmati fleksibilitas dan mobilitas dalam menjalani gaya hidupnya, sejatinya tetap terlibat dalam kegiatan kerja. Mereka aktif mengerjakan proyek-proyek, memperluas jaringan profesional melalui berbagai platform daring, dan menghasilkan pendapatan dari layanan jasa serta keterampilan yang mereka tawarkan kepada klien atau melalui marketplace global.[15] Namun karena minimnya pengaturan khusus, seringkali status digital nomad ini tidak jelas apakah seharusnya masuk kategori tenaga kerja asing atau bukan. Terlebih, digital nomad tidak memiliki hubungan kerja formal dan terikat dengan perusahaan lokal di Indonesia. Kondisi ini berpotensi menimbulkan persoalan hukum baik terkait status keimigrasian, perpajakan, ketenagakerjaan, maupun lindung sosial.
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 2, tenaga kerja didefinisikan sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun masyarakat. Oleh karena itu, orang asing pekerja digital nomad yang datang ke Indonesia seharusnya dianggap sebagai tenaga kerja sesuai dengan definisi tersebut. Para digital nomad dengan jelas memenuhi kriteria tersebut sebagai individu yang bekerja dan menghasilkan jasa melalui pemanfaatan keterampilan dan keahliannya.[16] Dengan demikian, berdasarkan UU Ketenagakerjaan di atas, digital nomad yang merupakan pekerja lepas daring dikategorikan sebagai tenaga kerja. Mereka tunduk dan dilindungi oleh segala aturan ketenagakerjaan yang berlaku bagi tenaga kerja lainnya di Indonesia.
Digital nomad tetap aktif melakukan kegiatan ekonomis dengan menghasilkan barang atau jasa melalui keterampilan atau keahliannya. Meskipun bekerja secara mandiri dan seringkali tanpa keterikatan fisik pada satu lokasi, mereka tetap diakui sebagai tenaga kerja yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Prinsip non-diskriminasi dan perlakuan yang setara di hadapan hukum menjadi landasan bagi pengakuan hak dan kewajiban yang diterapkan pada digital nomad, mengakui bahwa meski bekerja dalam konteks fleksibilitas lokasi, mereka tetap berperan dalam ekosistem ketenagakerjaan yang setara dengan pekerja konvensional.[17]
Sebagai tenaga kerja, penting bagi digital nomad untuk tunduk dan patuh pada semua peraturan ketenagakerjaan serta perpajakan yang berlaku di Indonesia. Hal ini mencakup kewajiban untuk mematuhi norma-norma yang mengatur hubungan kerja dan kewajiban perpajakan sesuai dengan hukum yang berlaku. Sejalan dengan itu, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan hak-hak normatif kepada komunitas digital nomad, termasuk jaminan sosial, lindung nilai upah, kesempatan kerja, dan pelatihan kerja. Dengan adanya kerangka regulasi yang jelas dan dukungan pemerintah, diharapkan digital nomad dapat berkontribusi positif pada perekonomian tanah air sambil tetap mematuhi aturan yang berlaku.
Saat ini, konsep digital nomad belum secara eksplisit diakomodasi dalam peraturan perundangan terkait ketenagakerjaan dan keimigrasian di Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak digital nomad yang masuk ke Indonesia dengan status kunjungan wisata, meskipun pada kenyataannya mereka terlibat dalam kegiatan ekonomis atau bekerja. Kekurangan regulasi yang spesifik untuk digital nomad dapat menyebabkan ketidakjelasan hukum dan potensi konsekuensi bagi para pelaku yang ingin menjalani gaya hidup bekerja dari berbagai lokasi tanpa batasan geografis. Seiring dengan pertumbuhan tren digital nomadisme, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan dan regulasi guna memberikan kejelasan hukum dan mendukung perkembangan model kerja fleksibel ini.[18]
Penting bagi pemerintah untuk segera merevisi regulasi terkait agar mendukung perkembangan gaya hidup digital nomad. Diperlukan langkah-langkah konkret seperti penerbitan visa dan izin tinggal khusus digital nomad yang berbeda dengan turis konvensional. Hal ini akan memberikan kejelasan hukum bagi para digital nomad, memastikan mereka dapat bekerja dan tinggal secara legal tanpa ketidakpastian.[9] Dengan adanya regulasi yang mendukung, pemerintah dapat mengakomodasi kebutuhan dan kontribusi ekonomi para digital nomad, menciptakan lingkungan yang lebih ramah untuk mobilitas kerja global, serta memperkuat daya saing negara dalam era ekonomi digital.
Dari perspektif keimigrasian, status digital nomad sebagai anggota tenaga kerja memerlukan izin tinggal yang sesuai dengan regulasi. Sesuai dengan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, setiap individu asing yang memegang visa tinggal terbatas untuk bekerja diwajibkan untuk memperoleh Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA). IMTA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh digital nomad agar dapat bekerja secara sah di negara tersebut, menunjukkan adanya ketertiban hukum dalam mengatur kehadiran dan aktivitas para pekerja asing yang bersifat nomaden digital.[18] Oleh sebab digital nomad merupakan tenaga kerja, maka sudah selayaknya mereka memiliki IMTA dan bukan hanya sekadar visa kunjungan. Tanpa IMTA, kegiatan digital nomad di Indonesia dapat dianggap sebagai pekerjaan ilegal.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa orang asing yang melakukan kegiatan digital nomad yang menawarkan jasa dan menghasilkan penghasilan daring dikategorikan sebagai tenaga kerja. Mereka tetap tunduk pada hukum ketenagakerjaan dan kewajiban perpajakan walau bekerja secara fleksibel melalui daring. Oleh sebab itu, pemerintah wajib segera memberikan payung hukum yang jelas berupa visa dan izin tinggal khusus agar status serta hak-hak mereka terlindungi.
Jumlah digital nomad global diperkirakan terus meningkat dari tahun ke tahun, begitu pula minat mereka untuk tinggal dan menetap sementara sambil bekerja di Indonesia. Indonesia sendiri sebenarnya sangat berpotensi menjadi tujuan utama bagi komunitas digital nomad internasional, mengingat keunikan budaya, keramahan masyarakat lokal, destinasi alam dan wisata menarik, hingga biaya hidup yang relatif terjangkau. Akan tetapi, tantangan utama yang kerap muncul adalah belum adanya kepastian status dan pengaturan hukum khusus dari pemerintah Indonesia terkait keberadaan dan aktivitas digital nomad sebagai orang asing di Indonesia.
Dalam mendukung gaya hidup digital nomad yang melibatkan pekerjaan daring dengan mobilitas tinggi, perlu adanya revisi pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian beserta peraturan turunannya. Revisi ini diharapkan dapat memberikan pengakuan dan kepastian hukum bagi komunitas digital nomad, yang seringkali bekerja di berbagai lokasi tanpa batasan geografis. Pemerintah perlu menyesuaikan regulasi keimigrasian agar lebih bersifat fleksibel, memungkinkan digital nomad untuk memenuhi kebutuhan kerja mereka tanpa kendala administratif yang berlebihan. Upaya ini dapat merangsang pertumbuhan ekonomi melalui partisipasi para digital nomad dalam kegiatan ekonomi lokal di berbagai tempat, sekaligus menciptakan lingkungan hukum yang mendukung perkembangan tren kerja global saat ini.
Saat ini, situasi pengaturan terkait digital nomad di Indonesia masih belum mengalami kejelasan, karena belum adanya peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai status dan legalitas keberadaan serta aktivitas mereka. Meskipun digital nomad memiliki potensi sebagai pekerja dan pembayar pajak, regulasi visa dan izin tinggal untuk mereka belum ditetapkan secara khusus di luar kategori wisatawan biasa. Keberadaan aturan yang jelas dan mendukung bagi digital nomad diharapkan dapat memberikan kepastian hukum serta mendorong pertumbuhan sektor ini, yang pada gilirannya dapat memberikan manfaat ekonomi dan memperkuat citra Indonesia sebagai destinasi ramah bagi para pekerja digital global.
Setidaknya perlu ditambahkan 1 (satu) kategori visa dan izin tinggal baru khusus digital nomad yang berbeda dengan visa kunjungan maupun visa tinggal terbatas konvensional yang selama ini diterbitkan. Adapun syarat dan ketentuannya perlu mengacu pada praktik negara lain yang sudah lebih dulu memberlakukan, seperti Estonia, Kroasia, dll. Visa digital nomad sebaiknya dikeluarkan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama pemohon masih melakukan pekerjaan daring dari Indonesia. Beberapa persyaratan penting meliputi:
1. Memiliki rekening bank dengan dana minimum tertentu.
2. Memiliki bukti kegiatan usaha dan transaksi finansial rutin.
3. Bersedia membayar pajak penghasilan ke pemerintah Indonesia.
Sedangkan untuk Izin Tinggal Terbatas bagi digital nomad juga perlu diterbitkan dengan jangka waktu maksimal 5 tahun per pemohon. Persyaratannya antara lain:
1. Telah memiliki visa digital nomad.
2. Menunjukkan tiket atau akomodasi untuk tinggal di Indonesia
3. Membayar pajak penghasilan rutin setiap tahunnya.
Oleh karena itu, perlu dirancang payung hukum khusus bagi digital nomad yang mengedepankan asas transparansi dan kepastian hukum. Setidaknya, konsep pengaturan tersebut harus bermuatan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Pembedaan jenis dokumen yang tegas antara visa kunjungan wisata dan visa khusus digital nomad;
2. Penerbitan izin tinggal terbatas yang berlaku 6-12 bulan dan dapat diperpanjang;
3. Syarat penghasilan tetap di atas nominal tertentu agar tidak menyaingi tenaga lokal;
4. Kewajiban lapor diri dan pelaporan pajak penghasilan ke kantor pajak setempat;
5. Pemberian sanksi bagi digital nomad yang melanggar batas waktu izin tinggal.
Dengan visa dan ITT khusus ini, digital nomad mendapat kepastian hukum untuk dapat tinggal dan bekerja di Indonesia dalam kurun waktu tertentu. Mereka wajib mematuhi peraturan terkait ketenagakerjaan serta perpajakan sebagaimana pekerja migran lainnya. Adapun kewajiban pelaporan dapat dimandatkan melalui sistem daring khusus keimigrasian. Digital nomad juga wajib memiliki alamat tempat tinggal tetap selama berada di Indonesia guna memudahkan administrasi dan pengawasan oleh pihak Imigrasi. Dengan regulasi yang jelas dan tegas ini, diharapkan kontribusi positif digital nomad terhadap perekonomian Indonesia dapat dimaksimalkan. Sementara potensi penyalahgunaan visa serta pelanggaran ketentuan kerja oleh oknum tertentu dapat dicegah dan diminimalisir.
Konsep tersebut diharapkan dapat menjadi solusi yang tepat untuk mengatur komunitas digital nomad di Indonesia, memberikan kepastian hukum yang selama ini masih ambigu baik bagi pemerintah maupun para digital nomad. Dengan adanya status yang sah dan legal, digital nomad dapat memberikan kontribusi pajak penghasilan yang lebih besar kepada negara selama masa tinggal mereka di Indonesia. Langkah ini tidak hanya memperkuat kepercayaan dan keteraturan dalam ekosistem digital nomad, tetapi juga berpotensi meningkatkan penerimaan negara melalui kontribusi pajak, yang dapat diarahkan untuk pembangunan dan pelayanan publik.
Konsep pengaturan visa dan izin tinggal khusus bagi digital nomad di Indonesia yang dijelaskan dalam tulisan sepanjang 1531 kata, mengacu pada UU Keimigrasian dan PP terkait, memiliki tujuan utama untuk memberikan kerangka hukum yang jelas dan mendukung bagi para digital nomad. Diharapkan pemerintah segera mengambil langkah konkret dengan merevisi peraturan yang ada, guna memastikan kepastian hukum bagi semua pihak terkait. Revisi ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang ramah dan mendukung produktivitas digital nomad, serta memberikan kejelasan mengenai persyaratan visa dan izin tinggal khusus. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi destinasi yang menarik bagi para pekerja digital nomad, sekaligus memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan hubungan internasional.
Saat ini belum ada pengaturan khusus terkait visa dan izin tinggal bagi digital nomad di Indonesia. Mereka umumnya masuk dengan visa kunjungan atau visa tinggal terbatas konvensional yang diatur dalam UU Keimigrasian. Kondisi ini tidak memberikan kepastian hukum karena mereka tetap melakukan kegiatan bekerja, sehingga berpotensi melanggar aturan. Untuk itu, Pemerintah perlu segera membuat pengaturan baru berupa visa dan izin tinggal khusus digital nomad dengan berbagai persyaratan, seperti: kemampuan finansial, asuransi kesehatan, kewajiban perpajakan, dll. Hal ini akan memberikan legalitas dan perlindungan hukum bagi digital nomad dan juga manfaat ekonomi bagi Indonesia. Dengan demikian, kepastian hukum akan lebih terjamin bagi semua pihak.
Digital nomad pada dasarnya tetap melakukan pekerjaan meskipun dengan cara yang fleksibel dan mobile. Mereka mengerjakan proyek, menawarkan jasa profesional, hingga menghasilkan penghasilan layaknya pekerja lepas pada umumnya. Menurut UU Ketenakerjaan, setiap orang yang menghasilkan barang atau jasa termasuk kategori tenaga kerja. Oleh karena itu, digital nomad yang juga menghasilkan jasa dan penghasilan daring dikategorikan sebagai tenaga kerja. Mereka tetap berkewajiban mematuhi aturan ketenagakerjaan dan perpajakan di Indonesia. Dengan demikian, pemerintah perlu segera memberikan visa dan izin tinggal khusus digital nomad agar keberadaan mereka sah dan terlindungi hukum.
Untuk memberikan kepastian hukum, Pemerintah perlu menambahkan visa dan izin tinggal baru yang spesifik mengatur digital nomad. Visa digital nomad diterbitkan 1 tahun dan dapat diperpanjang jika masih aktif bekerja di Indonesia. Beberapa persyaratannya antara lain: memiliki rekening bank aktif, membayar pajak penghasilan, dan melampirkan bukti aktivitas kerja daring. Sementara Izin Tinggal Terbatas diberikan maksimal 5 tahun kepada pemegang visa digital nomad. Dengan regulasi ini digital nomad bisa tinggal dan bekerja secara legal di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.