This study investigates the determinants of income smoothing in Indonesian manufacturing firms listed on the stock exchange during 2016-2021. The research examines the impact of Institutional Ownership, Managerial Ownership, Return on Assets, Debt to Equity Ratio, and Ln Total Sales on Income Smoothing using binary logistic regression analysis. The findings reveal that Institutional Ownership, Managerial Ownership, and firm size significantly influence income smoothing, while Financial Leverage and Profitability do not exhibit significant effects on Income Smoothing. These results contribute to the understanding of income smoothing practices and hold implications for corporate governance and financial reporting practices in emerging markets.
Highlight:
Keyword: Income Smoothing, Manufacturing Firms, Institutional Ownership, Managerial Ownership, Emerging Markets
Perusahaan dapat tercermin dari laporan keuangannya yang berisi informasi penting untuk pengambilan keputusan oleh pihak yang berkepentingan. Laporan keuangan digunakan terutama laba rugi untuk mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan. Kinerja keuangan mencerminkan kondisi keuangan pada periode tertentu dan merupakan faktor penting dalam memprediksi masa depan perusahaan. Laporan laba rugi memberikan manfaat dalam mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya dan menghasilkan arus kas. Oleh karena itu, manajemen berupaya untuk mengelola laba perusahaan agar terlihat baik secara finansial.[1]
Income smoothing adalah tindakan yang dilakukan oleh manajer untuk meratakan laba dengan menggunakan metode akuntansi tertentu. Tindakan ini dapat dianggap baik atau buruk tergantung pada cara yang digunakan. Jika tidak melibatkan kecurangan, praktik income smoothing dianggap baik karena dapat memperbaiki kinerja perusahaan dalam mencapai laba. Namun, tindakan ini tidak efektif jika dinilai oleh pasar dan berhubungan dengan teori agensi. Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal terkait dengan perbedaan informasi yang mereka peroleh. Manajer cenderung memaksimalkan kesejahteraan mereka sendiri dengan memanipulasi laporan keuangan, yang dapat merugikan investor yang tidak menyadari praktik income smoothing yang dilaporkan. Hal ini terjadi karena investor tidak memiliki informasi yang akurat tentang fluktuasi keuangan yang sebenarnya dalam perusahaan [2].
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi income smoothing yang pertama adalah kepemilikan institusi. Kepemilikan institusional dalam suatu perusahaan dapat berperan sebagai mekanisme pemantauan. Investor institusional bertanggung jawab untuk memantau tindakan yang dilakukan oleh manajemen guna mengurangi perilaku oportunistik yang mungkin dilakukan oleh manajemen. Oleh karena itu, manajemen cenderung menghindari perilaku yang tidak tepat guna menjaga kelangsungan hidup perusahaan. Sejalan dengan penelitian oleh [3], salah satu metode yang digunakan untuk memantau tindakan manajemen dalam mengelola perusahaan adalah melalui kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional bertujuan untuk mengendalikan aktivitas manajemen, karena dengan adanya pemegang saham institusional lain, praktik perataan laba yang mungkin dilakukan oleh manajer dapat dikurangi. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh [4] ditemukan bahwa kepemilikan institusional tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik perataan laba.
Faktor selanjutnya yang bisa mempengaruhi income smoothing adalah Kepemilikan Manajerial, jika manajer memiliki kepemilikan saham yang tinggi dalam perusahaan, mereka dapat bertindak sesuai kepentingan pribadi dengan melakukan praktik perataan laba [5]. Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Marfuah & Murti (2019) menunjukkan bahwa struktur kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap praktik perataan laba. Penelitian yang dilakukan oleh [6] menyimpulkan bahwa struktur kepemilikan manajerial tidak memiliki pengaruh terhadap praktik perataan laba.
Faktor berikutnya yang dapat mempengaruhi praktik income smoothing, adalah ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan digunakan sebagai skala untuk menentukan besarnya perusahaan [7]. Perusahaan yang memiliki ukuran yang besar lebih diperhatikan oleh pihak luar, sehingga mereka cenderung menghindari kenaikan laba yang drastis guna mengurangi dampak kenaikan pajak. Penelitian oleh [8] menemukan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik income smoothing. Namun, penelitian oleh [9] menunjukkan hasil yang tidak sejalan, yaitu ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik income smoothing.
Faktor berikutnya yang bisa mempengaruhi praktik income smoothing yaitu financial leverage. Financial leverage digunakan untuk mengukur efektivitas penggunaan utang oleh perusahaan [10]. Semakin tinggi tingkat hutang perusahaan, semakin besar risiko yang dihadapi oleh investor, dan kondisi tersebut mendorong perusahaan untuk melakukan income smoothing. Penelitian oleh [11], [12] menunjukkan bahwa financial leverage memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik income smoothing. Namun, penelitian oleh [13] menemukan bahwa financial leverage tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik income smoothing.
Faktor terakhir yang bisa mempengaruhi praktik income smoothing adalah profitabilitas yang mencerminkan kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dan memberikan informasi tentang efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan [14]. Jika profitabilitas perusahaan semakin tinggi, kemungkinan adanya fluktuasi laba juga semakin besar [15]. Penelitian oleh [16] menunjukkan bahwa profitabilitas memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik income smoothing. Namun, penelitian oleh menemukan bahwa profitabilitas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik income smoothing.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap praktik income smoothing. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi investor dalam pengambilan keputusan investasi dengan lebih hati-hati, sehingga mereka dapat menghindari perusahaan yang melakukan income smoothing. Praktik ini dapat menyebabkan keputusan investasi yang salah karena informasi yang diterima tidak mencerminkan kondisi keuangan sebenarnya.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif asosiatif dengan menggunakan data sekunder sebagai sumber data (Hermawan & Amirullah, 2016). Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah laporan keuangan tahunan dari Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2016-2021. Penelitian ini pada seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2016-2021 yang laporan keuangannya didapat dari www.idx.co.id. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan metode purposive sampling,
Kriteria Sampel | Jumlah |
Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2016-2021 | 230 |
1. Perusahaan Manufaktur yang menerbitkan laporan keuangan | -73 |
2. Perusahaan Manufaktur yang menggunakan mata uang rupiah | -30 |
3. Perusahaan Manufaktur yang laba | -66 |
Total Sampel | 61 |
Periode Pengamatan (61 x 6 tahun ) | 366 |
Ukuran perusahaan menggunakan logaritma natural dari total penjualan, Profitabilitas pengukurannya melalui Return on aktiva (ROA). Financial leverage, diukur dengan rasio Debt to total Equity. Kepemilikan institusi diukur dengan besarnya saham institusi dibagi total saham beredar. kepemilikan managerial diukur dengan besarnya saham managerial dibagi total saham beredar. suatu perusahaan. Income smoothing Untuk mengidentifikasi apakah perusahaan melakukan tindakan perataan laba, peneliti dapat menggunakan rumus Eckel.Perusahaan dengan indeks <1 dikategorikan sebagai perusahaan yang melakukan perataan laba dan termasuk dalam kategori 1, sedangkan perusahaan dengan indeks >1 dikategorikan sebagai perusahaan yang tidak melakukan perataan laba dan termasuk dalam kategori 0.
Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian koefisien determinasi. Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.171 dan nilai Cox & Snell R. Square sebesar 0,128. Berarti kemampuan kepemilikan institusi, kepemilikan manager, ukuran perusahaan, financial leverage, profitabilitas mempengaruhi perataan laba sebesar 17,1%
Kepemilikan Institusi terhadap income smoothing
Penelitian ini mendukung teori keagenan yang menyatakan adanya konflik kepentingan antara manajer dan pemilik perusahaan (Darmawan, 2018). Konflik keagenan ini cenderung mendorong adanya tindakan yang tidak semestinya, seperti praktik perataan laba. Pengukuran persentase kepemilikan saham oleh institusi digunakan untuk menentukan total kepemilikan institusional dalam sebuah perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, signifikansi nilai Kepemilikan Institusional sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 atau 0,000 < 0,05.. Hasil ini menunjukkan bahwa Kepemilikan Institusional memiliki pengaruh signifikan terhadap perataan laba, karena Pengawasan perlu ditingkatkan pada kinerja manajemen perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kinerja manajemen yang lebih baik. Hal ini juga penting untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak semestinya dilakukan oleh manajemen, seperti praktik perataan laba. Dalam konteks ini, kepemilikan institusional dapat menjadi indikator tingkat pengawasan yang dilakukan terhadap perusahaan. Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh [17] yang juga mendukung pengaruh kepemilikan institusional terhadap perataan laba.
Kepemilikan managerial terhadap income smoothing
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, signifikansi nilai Kepemilikan managerial sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 atau 0,000 < 0,05 Semakin besar kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen perusahaan, maka perusahaan tersebut cenderung melakukan praktik income smoothing dan memanipulasi nilai yang terdapat dalam laporan keuangan untuk kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan investasi sebagai pemegang saham. Kenaikan nilai kepemilikan manajerial juga berpotensi menciptakan kinerja perusahaan yang optimal dan memberikan motivasi kepada manajer untuk berhati-hati dalam pengambilan keputusan, karena manajemen juga berbagi risiko atas keputusan yang diambil [18]. Biasanya, semakin tinggi nilai kepemilikan manajerial, manajemen memiliki keleluasaan dalam mengatur nilai yang tercatat dalam laporan keuangan melalui praktik income smoothing [18]. Tingginya nilai kepemilikan manajerial memberikan manajemen sebagai pemegang saham hak suara yang berpengaruh signifikan terhadap perusahaan, sehingga berpotensi untuk melakukan praktik income smoothing [19]
Ukuran perusahaan terhadap income smoothing
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, signifikansi nilai ukuran perusahaan sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 atau 0,000 < 0,05 Ukuran perusahaan dengan proxi Ln tot penjualan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap praktik perataan laba. Dengan demikian, semakin besar ukuran perusahaan, semakin tinggi kemungkinan praktik perataan laba terjadi. Sebaliknya, jika ukuran perusahaan kecil, kemungkinan praktik perataan laba akan lebih rendah. Teori agency menyatakan bahwa perusahaan besar memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk melakukan praktik income smoothing dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hal ini disebabkan oleh pengawasan yang lebih ketat dari investor terhadap perusahaan besar. Manajer perusahaan besar cenderung memilih metode akuntansi yang menunda pengakuan laba dari periode saat ini ke periode berikutnya, sehingga laba yang dilaporkan oleh perusahaan akan lebih rendah. Tujuan dari praktik ini adalah untuk menghindari fluktuasi laba yang terlalu tinggi [20].
Financial leverage terhadap income smoothing
Nilai signifikansi untuk hubungan antara leverage dan income smoothing adalah 0.064, yang lebih besar dari level signifikansi 0.05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa financial leverage tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik income smoothing Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh [21]. Temuan tersebut menyatakan bahwa tingkat financial leverage tidak memiliki pengaruh terhadap praktik perataan laba. Dengan kata lain, tinggi atau rendahnya tingkat financial leverage tidak menjadi faktor yang menarik minat manajemen untuk melakukan perataan laba.Karena manajemen berpandangan bahwa financial leverage bukan faktor utama yang menjadi acuan bagi investor dalam menilai risiko perusahaan, terdapat pertimbangan faktor lain yang dianggap lebih relevan, misalnya jenis industri perusahaan. Oleh karena itu, manajemen tidak termotivasi untuk melakukan praktik perataan laba. Sebagai hasilnya, hipotesis ini ditolak.
Profitabilitas terhadap income smoothing
Nilai signifikansi untuk hubungan antara profitabilitas dan income smoothing adalah 0.211, yang lebih besar dari level signifikansi 0.05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa profitabilitas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik income smoothing. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh [22], yang menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat laba tinggi cenderung tidak melakukan praktik income smoothing dengan menurunkan laba. Hal ini disebabkan oleh kehati-hatian perusahaan dalam mengelola laba dan penggunaan laba secara efisien, karena adanya pengawasan dari berbagai pihak. Teori signal juga mendukung temuan ini, di mana jika informasi laba yang diperoleh perusahaan merupakan informasi yang baik bagi pihak luar, perusahaan tidak memiliki alasan untuk melakukan praktik income smoothing karena profitabilitas perusahaan menunjukkan kinerja keuangan yang baik.
Kepemilikan Institusional memiliki pengaruh signifikan terhadap perataan laba, karena Pengawasan perlu ditingkatkan pada kinerja manajemen perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kinerja manajemen yang lebih baik.Perusahaan-perusahaan besar umumnya enggan melakukan praktik income smoothing karena mereka menarik perhatian investor yang signifikan berkat ukuran perusahaan mereka. Perusahaan-perusahaan besar cenderung lebih berhati-hati dan enggan mengambil risiko dalam menyusun laporan keuangan, sehingga jarang melakukan praktik income smoothing. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan kecil berusaha keras untuk menunjukkan kinerja yang baik. Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan besar mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak, seperti investor, masyarakat, dan pemerintah, sehingga kesempatan bagi manajemen untuk melakukan praktik income smoothing menjadi semakin terbatas. Selain itu, perusahaan yang ingin memperoleh pinjaman harus membuktikan kepada kreditur bahwa mereka mampu membayar hutangnya, dan praktik income smoothing bisa menjadi salah satu caranya.Perusahaan-perusahaan dengan tingkat laba tinggi umumnya tidak menggunakan praktik income smoothing dengan cara menurunkan laba. Hal ini disebabkan oleh kehati-hatian perusahaan dalam pengelolaan dan penggunaan laba secara efisien, karena banyak pihak yang mengawasi tindakan manajemen.