Financial Technology
DOI: 10.21070/ijler.v18i3.943

Fintech Peer To Peer Lending Sharia as an Alternative Capital for MSME in Sidoarjo


Fintech Peer To Peer Lending Berbasis Syariah Sebagai Alternatif Permodalan UMKM Sidoarjo

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Islamic peer-to-peer lending Fintech MSMEs Sidoarjo Sharia finance

Abstract

This study aims to explore the role of Islamic peer-to-peer lending fintech as an alternative solution to Sidarjo's MSME capital problem. As we know there are still many MSMEs still unbankable. So when capital issues arise, they are in trouble. Therefore, the existence of Sharia Fintech with P2P system is expected to be the solution to these problems. The study uses a qualitative case study method that collects secondary and primary data through interviews with Sidoarjo economic officials. The conclusion of this study shows that sharia peer-to-peer loan financing to MSME can improve his MSME's performance. Sidoarjo's MSMEs just lack understanding of Sharia Fintech P2P as an alternative to capital.  

Highlights:

  • Sharia Fintech P2P as a solution for MSME capital problem
  • Qualitative case study using secondary and primary data
  • Lack of understanding hindering MSMEs from accessing Sharia P2P finance.

Keywords: Islamic peer-to-peer lending,Fintech,MSMEs,Sidoarjo,Sharia finance

PENDAHULUAN

Digitalisasi dalam semua aspek kehidupan saat ini tidak bisa dipungkiri lagi, termasuk dalam bidang ekonomi. Hal ini membawa dampak besar bagi perubahan gaya hidup masyarakat dan pola transaksi. Perkembangan inovasi teknologi juga membawa efek domino yang kuat dalam mengubah pola konsumsi dan produksi salah satunya dibidang keuangan. Digitalisasi pada industri keuangan membuka peluang yang tinggi dalam mepercepat proses akselerasi pemerataan aksebilitas layanan keuangan [1]. Salah satu yang berkembang pesat adalah industri fintech, gelombang pertumbuhan fintech di negara berkembang tentu tidak secepat pada negara maju tapi pastinya setiap negara mempunyai potensi masing-masing yang dapat menjadi nilai tambah dalam percepatan perkembangan fintechnya [2]. Indonesia yang masih tergolong sebagai negara berkembang dengan populasi penduduknya yang besar, yaitu di urutan keempat terbesar di dunia, juga sedang menghadapi gelombang industri fintech yang semakin maju. Industri jasa keuangan di Indonesia semakin berkembang seiring berjalannya waktu, didorong oleh gelombang fintech yang telah melahirkan berbagai inovasi. Hingga saat ini, terdapat 335 perusahaan fintech yang secara resmi beroperasi di Indonesia [3].

Perkembangan fintech di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga semakin didorong oleh gelombang start-ups atau model bisnis rintisan yang kegiatan operasional utamanya lebih banyak melibatkan teknologi [4]. Mayoritas bisnis start-ups di Indonesia bekerja sama dengan perusahaaan fintech payment untuk mendukung efisiensi dan efektifitas sistem pembayaran mereka. Hingga pertengahan tahun 2020, sudah terdapat enam bisnis rintisan (start-up) di Indonesia yang bernilai lebih dari USD1 Miliar atau disebut dengan istilah unicorn.

Selain perusahaan fintech sistem pembayaran, terdapat banyak jenis fintech lain yang sudah berkembang di Indonesia. Saat ini, sudah ada delapan jenis fintech yang aktif beroperasi di Indonesia yang dikelompokkan berdasarkan jenis layanan keuangan yang disediakan, dan tidak menutup kemungkinan akan ada inovasi fintech baru yang muncul ke depannya[5]. Mayoritas dari perusahaan fintech di Indonesia, menyediakan layanan jasa pembiayaan melalui platform peer-to-peer lending.

Berdasarkan data dari OJK tahun 2021, saat ini ekosistem fintech di Indonesia didominasi oleh platform peer-to-peer lending. Fintech peer-to-peer lending mengacu pada platform pembiayaan yang secara langsung menghubungkan pemberi pembiayaan dan peminjam, yang dapat diakses secara online melalui aplikasi digital atau website, tanpa memerlukan perantara lembaga keuangan. Cara kerja fintech peer-topeer lending melalui online platform, serta proses transaksinya yang lebih cepat memudahkan pengguna dalam mengakses pembiayaan, tanpa harus dapat langsung ke kantor fisiknya. Pada tahun 2015, nilai pasar dari peer-to-peer lending secara global mencapai sekitar USD 26 miliar, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai nilai USD 460 miliar di tahun 2025 .Sementara itu, wilayah Asia menduduki peringkat pertama yang melakukan transaksi fintech dengan nilai transaksi tertinggi pada skema peer to peer lending adalah China. [6]

Menurut Fatwa DSN-MUI No. 117/DSN-MUI/II/2018, platform peer-to-peer lending syariah hanya diperbolehkan beroperasi dengan syarat harus memenuhi beberapa ketentuan. Ketentuan yang dimaksud, yaitu (1) menghindari transaksi yang mengandung unsur riba (bunga), gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi), tadlis (menyembunyikan cacat), dharar (merugikan pihak lain); (2) Akad yang memenuhi prinsip keseimbangan, keadilan dan kewajaran sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Akad yang digunakan selaras dengan karakteristik layanan pembiayaan seperti Al-Bai’, Ijarah, Mudharabah, Musyarakah, Wakalah bi Al-Ujrah dan Qardh; (4) Terdapat bukti transaksi berupa sertifikat elektronik dan harus divalidasi oleh pengguna melalui tanda tangan elektronik yang sah; (5) Pembagian bagi hasil harus jelas dan disepakati bersama; (6) Penyelenggara layanan boleh membebankan biaya (ujrah) dengan prinsip Ijarah kepada pengguna.

Di Indonesia sendiri, platform peer-to-peer lending syariah mulai muncul secara legal sejak 2017. Nilai asetnya pun semakin meningkat dari tahun ke-tahun. Hingga saat ini, sudah ada tujuh perusahaan fintech peer-to-peer lending syariah [5], yang mendapatkan izin operasi dari OJK di Indonesia (Tabel 1).

No. Nama Perusahaan
1. PT Ammana Fintek Syariah
2. PT Alami Fintek Sharia
3. PT Dana Syariah Indonesia
4. PT Duha Madani Syariah
5. PT Qazwa Mitra Hasanah
6. PT Piranti Alphabet Perkasa
7. PT Ethis Fintek Indonesia
Table 1.Daftar Nama Perusahan Fintech Peer-to-Peer Lending Syariah di Indonesia

Sebagai bagian dari sektor utama yang menggerakan perekonomian Indonesia, usaha mikro hingga saat ini dikenal sebagai sektor yang memainkan peran signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, usaha mikro sebagai bagian dari sektor UMKM telah lama diakui sebagai sektor yang paling berkontribusi besar dalam mendorong perekonomiannya. Jumlah usaha mikro sendiri mendominasi sektor riil di Indonesia yang mencapai 99.99 persen dari seluruh total UMKM di Indonesia. Kontribusi sektor UMKM sendiri terhadap PDB mencapai 61.07 persen dari total PDB Indonesia pada 2019 atau setara dengan Rp 8.573,89 Triliun, serta jumlah unit bisnisnya yang mencapai 65,4 juta unit usaha.

Tidak hanya itu, sektor UMKM juga merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, dengan tingkat penyerapan sebesar 96.92 persen dari total seluruh tenga kerja di unit usaha Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan UMKM sangatlah vital dan strategis sebagai penggerak perekonomian Indonesia.

Di Indonesia, klasifikasi usaha mikro sebagai bagian dari sektor UMKM diatur dalam UU. No. 20 Tahun 2008. Undang-Undang tersebut mengklasifikan UMKM menjadi usaha mikro, kecil, menengah, dan besar bedasarkan dua indikator, yaitu total nilai asset dan nilai total penjualan (omzet) per tahun. Standar UMKM di Indonesia berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terlampir pada Tabel 2.9. Berdasarkan klasifikasi UMKM pada UU No. 20 Tahun 2008 menjelaskan bahwa usaha mikro merupakan perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelompok kecil orang dengan model usaha tidak lebih dari Rp1 Miliar, omzet usaha tidak lebih dari Rp2 Miliar dan total aset yang tidak lebih besar dari Rp50 juta. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa usaha mikro tergolong usaha dengan modal, omzet dan total aset paling kecil dalam sektor UMKM. Selain itu, usaha mikro di Indonesia mayoritas merupakan usaha informal yang identik dengan bisnis sederhana, dimana pengelolaannya masih dikelola secara individu oleh pemilik usaha. Pada umumnya, usaha tersebut tidak memiliki sistem manajerial yang jelas dan pembukuan keuangan yang memadai. Masih banyak pemilik usaha yang belum memisahkan antara keuangan pribadi dengan keuangan hasil usaha. Pada tabel 2, dijelaskan tentang klasifikasi kriteria UMKM di Indonesia jika dilihat dari modal usaha, omzet tahunan juga jumlah total asetnya. Maka indikator usaha bisa terlihat apakah masuk ke dalam jenis usaha mikro, usaha kecil atau usaha menengah.

Indikator Usaha Modal Usaha Omzet Total Aset Tahunan
Usaha Mikro ≤Rp1 Miliar ≤Rp2 Miliar ≤ Rp50 Juta
Usaha Kecil >Rp1 Miliar - ≤Rp5 Miliar >Rp2 Miliar - ≤Rp15 Miliar > Rp50 Juta - Rp500 Juta
Usaha Menegah >Rp5 Miliar - ≤Rp10 Miliar >Rp15 Miliar - ≤Rp50 > Rp500 Juta - Miliar Rp10 Miliar
Table 2. Kriteria UMKM di Indonesia

Permodalan usaha mikro di Indonesia mayoritas masih bergantung pada modal pribadi, namun sebagian juga mendapatkan suntikan modal dari pemerintah dan lembaga pembiayaan seperti bank[7] .Keterbatasan akses pendanaan masih menjadi kendala utama yang dihadapi oleh sebagian besar pelaku usaha mikro di Asia, terutama pendanaan dari bank. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan usaha mikro sulit untuk mendapatkan akses kredit dari bank, antara lain adalah karena tidak memiliki aset berharga yang bisa diajukan sebagai jaminan kredit, ketidaklayakan bisnis, tidak memiliki histori kredit, usaha tidak melakukan pelaporan keuangan dengan baik, prosedur pengajuan kredit bank yang rumit, usaha tidak mampu memenuhi seluruh persyaratan pembiayaan bank dan tingkat suku bunga pembiayaan yang terlampau tinggi[8]

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, pendekatan ini merupakan sebuah metode yang didasarkan kepada filsafat post positivisme berlatarbelakang ilmiah yang menyeluruh. Dengan tujuan untuk melihat kondisi obyek yang aalamiah dimana instrumen kuncinya adalah peneliti itu senbdiri sebagai alat penelitian[9]. Teknik pengumpulan datanya menggunakan triangulasi agar didapatkan data yang akurat.

Dalam penelitian kualitatif ini kami melakukan pendekatan dengan metode studi kasus (case study), studi kasus ini merupakan analisis deskriptif. Dalam analisis deskriptif penelitian akan terfokus pada satu kasus tertentu untuk bisa diamati dan di analissis secara detail dan tuntas. Kasus yang dimaksud bisa tunggal (individu) maupun kelompok. Analisis yang dilakukan harus fokus kepada berbagai faktor yang terkait dengan kasus yang diteliti tersebut sehingga akhirnya bisa diperoleh penelitian yang akurat[10].

Penelitian kali inikami fokuskan kepada UMKM di wilayah Sidoarjo sebagai narasumbernya. Kami juga melibatkan perusahaan fintech syariah dalam mengambil kesimpulan terhadap hasil indepht interview kepada para narasumber, agar didapatkan data penelitian yang akurat dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Pada Penelitian studi kasus ini melibatkan pemahaman perilaku manusia berdasarkan opini manusia itu sendiri, dimana subyek penelitian kami adalah para pelaku UMKM di wilayah Sidoarjo [11].

Dalam penelitian ini kami melakukan wawancara secara tidak terstruktur, karena pertanyaan yang kami ajukan berisi tentang pandangan, sikap, keyakinan subyuek ataua tentang keterangan lainnya secara bebas kepada subyek, dimana subyek bisa bebas menguraikan jawabannya dna mengungkapkan pandangannya.

Interviewer dalam proses penelitian ini sebelumnya akan menghubungi subyek untuk membuat jadwal wawancara dimana subyek sudah siap dan tidak mengganggu aktifitasnya dalam berdagang. Sebelum proses wawancara pihak interviewer juga mengemukakan maksud dan tujuan dari kegiatan penelitian ini. Juga mengemukakan jika data kerahasiaan subyek akan terjaga dan aman. Intinya adalah informasi dari subyek akan dirahasiakan untuk menjaga keamanan subyek di kemudian hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tahapan yang dilalui dalam proses platform peer to peer lending

Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam proses pinjam meminjam melalui platform peer-topeer lending, antara lain sebagai berikut:

1. Tahap registrasi, peminjam mengajukan pembiayaan pada platform peer-to-peer lending melalui sebuah aplikasi atau website yang tersedia. Pada tahap ini, calon peminjam dapat memilih opsi jumlah dana yang ingin dipinjam, jangka waktu pembayaran serta imbal hasil yang harus dibayarkan.

2. Tahap penilaian (credit screening), pihak platform akan menilai kelayakan dari pembiayaan yang diajukan oleh pihak peminjam, dalam hal ini investor atau pemberi pembiayaan juga memiliki hak untuk menilai dan memutuskan pemberian dana pembiayaan kepada peminjam 3. Tahap keputusan investasi, investor yang memutuskan kelayakan pembiayaan yang diajukan. Apabila telah dilakukan kesepakatan, maka pemilik modal akan menyalurkan dana pembiayaan kepada peminjam.

3. Tahap repayment, dimana peminjam memiliki kewajiban untuk membayar cicilan pokok beserta imbal hasil yang telah disepakati diawal setiap periode selama jangka waktu yang ditentukan.

4. Sistem pembayaran, seluruh transaksi pengiriman uang pada platform tidak dilakukan secara tunai, melainkan melalui transfer bank atau aplikasi pembayaran elektronik yang bekerjasama dengan penyelenggara fintech peer-to-peer lending. Proses transaksi dari awal hingga akhir, secara keseluruhan diawasi oleh OJK.

5. Tahap penagihan, dimana platform akan melakukan penagihan kepada pihak peminjam jika terjadi keterlambatan pembayaran. Jika peminjam terlambat dalam membayar pinjaman, umumya peminjam akan dikenai denda, sesuai dengan aturan denda yang berlaku pada masing-masing platform, dimana besarnya tidak boleh melebihi 100 persen dari nilai pokok pembiayaan.

6. Tahap pelunasan, dimana seluruh pokok yang dibayarkan oleh peminjam akan disalurkan

melalui platform untuk diberikan kepada pemilik dana (investor). Dalam hal ini, seluruh keuntungan dari transaksi pembiayaan menjadi milik investor, sementara platform akan menerima fee (upah) sebagai fasilitator penyedia online platform yang jumlahnya telah disepakati di awal

B. Fintech Peer to Peer Lending Syariah di Indonesia

Pesatnya perkembangan industri keuangan syariah juga memelopori hadirnya teknologi peer-to-peer lending syariah saat ini. Awal ide tentang fintech lending peer-to-peer Syariah muncul setelah krisis keuangan global pada tahun 2008. Saat ini, fintech peer-to-peer lending Syariah telah menjadi bagian dari industri keuangan Syariah yang memperkuat eksistensi industri ini. Seperti lembaga keuangan syariah lainnya, peerto-peer lending di bawah fintech syariah mengacu pada lembaga keuangan yang menyediakan layanan keuangan berbasis teknologi sesuai dengan prinsip syariah dan etika Islam.

Instrumen keuangan syariah, termasuk fintech peer-to-peer lending syariah dilarang untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti melakukan transaksi yang mengandung unsur riba (bunga), gharar (ketidakpastian), maysir (spekulasi) dan unsur haram lainnya[12]. Fatwa Dewan Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 [12]tentang fintech peer-to-peer lending syariah, sebagai penyelenggara layanan jasa keuangan, yang dilakukan atas prinsip syariah untuk menghubungkan pemberi pembiayaan dengan penerima pembiayaan dengan menerapkan akad pembiayaan melalui sistem elektronik dengan bantuan jaringan internet. Secara garis besar, terdapat tiga perbedaan utama antara praktik pada fintech peer-to-peer lending syariah dengan plaform konvensional, yang terangkum pada Tabel 2

Aspek Perbedaan Peer-to-Peer-Lending Konvensional Peer-to-Peer Lending Syariah
Imbal Hasil Dalam skema pembiayaan, pihak platform mewakili investor akan mengenakan biaya bunga sebagai imbal hasil atas pembiayaan, yang besarnya ditentukan oleh pihak investor Platform syariah tidak menerapkan sistem bunga karena bertentangan dengan prinsip syariah. Platform peer- to-peer lending syariah menerapkan sistem risk sharing. Sistem pembagian keuntungan pada platform syariah juga harus jelas dan atas kesepakatan bersama
Akad/Kontrak Per janjian Kontrak perjanjian dalam praktik pembiayaan peer-to- peer lending konvensional hanya memuat klausul- klausul perjanjian pembiayaan secara umum Dalam kontrak pembiayaan peer-topeer lending syariah harus menyertakan keterangan jenis akad yang digunakan beserta jenis imbalannya (nisbah/margin/ujrah)
Pengawasan Kegiatan operasional platform konvensional hanya diawasi oleh regulator fintech Selain diawasi oleh regulator utama OJK dan pihak berwenang lainnya, praktik pada platform syariah juga
secara umum, seperti OJK, diawasi oleh Dewan Pengawas Satuan Tugas, Syariah Waspada Investasi dan pihak-pihak (DPS), yang tugasnya adalah untuk berwenang lainnya memastikan platform menerapkan kepatuhan syariah
Table 3.Perbedaan Peer-to-Peer-Lending Konvensional dan Peer-to-Peer Lending Syariah

Sumber: OJK (2016); DSN-MUI (2018).

C. Penerapan fintech peer to peer lending syariah pada Pelaku UMKM Sidoarjo

Pelaksanaan penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil indepht interview kepada para pelaku UMKM di Sidoarjo dan data yang didapatkan adalah:

1. Berdasarkan jenis kelamin narasumber 94% berjenis kelamin wanita dan sisanya laki-laki

2. Rentang usia narasumber adalah 21 tahun hingga 55 tahun

3. Lama usaha yang dijalankan narasumber adalah 1 tahun -10 tahun

4. Dari penelitian 62,5% narasumber tidak melibatkan peranan fintech peer to peer lending syariah dalam permodalanannya mereka hanya mendapatkan modal dari dana pribadi baik berupa tabugan maupun penjualan aset, sedangkan 37,5% sudah melibatkan melibatkan peranan fintech peer to peer lending syariah dalam permodalan usaha mereka.

5. Sebagiang kecil dari narasumber malah belum memahami apa itu fintech peer to peer lendeng syariah namun mereka mempunyai minat untuk turut serta menggunakannya.

6. Hampir semua narasumber pervaya dengan menggunakan fintech peer to peer lending syariah dapat membantu mereka dari sisi permodalan dengan cara yang cepat dan mudah, dengan perputaran modal itu mereka yakin produktifitas usaha mereka akan naik dan semakin maju. Namun di sisi lain narasumber juga mempunyai asumsi bahwa resiko yang akan mereka hadapi dalam penggunaan fintech peer to peer lending syariah lebih tinggi dari pembiayaan bank, alasannya rawan dengan wanprestasi maupun penipuan.

D. Penerapan fintech peer to peer lending Syariah di Masyarakat

Fintech peer to peer syariah merupakan sebuah inovasi dalam bisnis keuangan, sehingga dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari masih membutuhkan proses adaptasi dan pemahaman dari masyarakat. Tidak semua masyarakat sudah memahami dengan baik penggunaan Fintech peer to peer syariah, masih banyaknya penipuan yang mengatasnamakan Fintech peer to peer maupun banyaknya perusahaan Fintech peer to peer yang belum memperoleh izin resmi dari Otoritas jasa keuangan (OJK) [13]

Penyebab dari penerapan fintech P2P Lending syariah dikalangan masyarakat atau pelaku usaha yang belum maksimal dikarenakan beberapa faktor yakni:

1. Pemahaman terkait jenis fintech peer to peer lending yang masih rendah.

2. Tidak mengetahui bagaimana cara penggunaannya (Gaptek).

3. Khawatir terkait penipuan online.

4. Bunga yang terlalu tinggi.

5. Lebih percaya dan memilih mengajukan pembiayaan pada bank umum karena lebih pasti keberadaannya.

Lima hal tersebut diatas adalah merupakan persepsi narasumber yang tidak ingin menggunakan layanan Fintech peer to peer lending syariahdan menjadi sebuah kendala yang perlu dihadapi oleh perusahaan fintech peer to peer lending syariahdalam penerapan di Indonesia[14]

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa, Fintech peer to peer lending syariah masih belum terlalu familiar di masyarakat padahal skema fintech ini adalah sebuah alternatif pembiayaan yang sangat bagus buat UMKM yang masih belum bisa mengakses pinjaman dari Bank, dikarenakan banyak hal diantaranya belum adanya laporan keuangan, aset yang diguakan sebagai jaminan kurang, tidak adanya portofolio pembiayaan bank sebelumnya dan lain sebagaianya. Dengan kurangnya pemahaman tersebut membuat masyarakat umum maupun UMKM menjadikan perkembangan Fintech peer to peer lending syariah menjadi kurang berkembang dan menjadi tugas kita bersama untuk memberikan literasi keuangan digital yang aman bagi masyarakat.

References

  1. B. A. Darmansyah, A. Fianto, A. Hendratmi, and P. F. Aziz, "Factors Determining Behavioral Intentions to Use Islamic Financial Technology: Three Competing Models," J. Islam. Mark., vol. 12, no. 4, pp. 794–812, 2020.
  2. Suwarni, B. N. Indriyanto, E. R. Kaburuan, Parwito, E. Darwiyanto, and J. W. Simatupang, "Implementation SCRUM Method in Warehouse Receipt System Development," in 6th International Conference on Orange Technologies, ICOT 2018, 2018.
  3. Ototritas Jasa Keuangan, "Statistik Fintech Indonesia per Juli 2021," Jakarta, 2021.
  4. A. A. King and B. Baatartogtokh, "How Useful Is the Theory of Disruptive Innovation?," MITSloan Manag. Rev., vol. 57, no. 1, pp. 77–90, 2015.
  5. Ototritas Jasa Keuangan, "Perusahaan fintech lending berizin dan terdaftar di OJK per November 2021," Jakarta, 2021.
  6. Y. Maulana and H. Wiharno, "Fintech P2P Lending dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia," Indones. J. Strateg. Manag., vol. 5, no. 1, pp. 1-10, 2022.
  7. M. L. N. Rosmadi, "Penerapan Strategi Bisnis di Masa Pandemi Covid-19 Jurnal IKRA-ITH Ekonomika Vol 4 No 1 Bulan Maret 2021," J. IKRA-ITH Ekon., vol. 4, no. 1, pp. 122–127, 2021.
  8. F. N. Latifah, "Manajemen Bisnis Ibu Rumah Tangga yang Bankable di Desa Kenongo," in Proceeding of Community Development, 2018, vol. 2, pp. 139–144.
  9. Sugiyono, "Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D," Bandung: Alfabeta, 2011.
  10. B. Arifin and Nurdyansyah, "Buku Ajar Metodologi Penelitian Pendidikan," 1st ed., Sidoarjo, 2018.
  11. K. R. Yin, "Qualitative Research from Start to Finish," New York: The Guilford Press, 2011.
  12. Norvadewi, "Bisnis Dalam Perspektif Islam," Al-Tijary, vol. 01, no. 1, pp. 33–46, 2015.
  13. B. R. I. K. Siharis, "Pengaruh Financial Technology (Fintech) Terhadap Perkembangan UMKM DI Kota Magelang," J. Pros. Semin. Nas. Dan Call Pap., pp. 347–356, 2019.
  14. M. M. Syafitri and F. N. Latifah, "Fintech Peer To Peer Lending Berbasis Syariah Sebagai Alternatif Permodalan UMKM Sidoarjo," J. Ilm. Ekon. Islam, vol. 9, no. 01, pp. 1438–1447, 2023.