Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v17i0.900

Forming a Sakinah Family through Marriage Guidance for Brides-to-be during the Pandemic


Membentuk Keluarga Sakinah Melalui Bimbingan Pernikahan Bagi Calon Pengantin di Masa Pandemi

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Indonesia
Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri
Indonesia

(*) Corresponding Author

Marriage Guidance Divorce Covid-19 Pandemic

Abstract

The Covid-19 pandemic has increased the number of divorces that have occurred. Many couples choose to divorce because of economic, psychological, biological factors, domestic violence, differences in outlook on life, and so on. The Covid-19 pandemic has changed various aspects of life, especially in terms of the family economy. The implementation of marriage counseling is considered capable of reducing the high divorce rate during the pandemic, however, there are those who question its effectiveness. The use of descriptive methods and qualitative approaches in this study shows the fact that the implementation of marriage counseling in Tuban Regency Religious Affairs Office had a positive impact on the bride and groom. Data collection techniques in this study using interviews and observation. From the results of the research it is known that the implementation of marriage guidance which is carried out with the material of marriage, household, reproductive health and family is quite effective in reducing the high number of divorces during the Covid-19 pandemic.

Pendahuluan

Membentuk keluarga sakinah yang harmonis bukanlah hal yang mudah. Calon suami dan istri harus mempunyai bekal pengetahuan yang memadai baik tentang nilai, norma dan tata cara dalam berumah tangga. Di samping bekal pengetahuan yang cukup, persiapan mental dan psikis juga diperlukan dalam membentuk keluarga yang harmonis. Beberapa pasang suami istri yang telah merasa siap secara lahir dan batin, telah mempunyai bekal dalam membina rumah tangga, namun di tengah perjalanan berumah tangga terjadi permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diredam dan diselesaikan sehingga tujuan perkawinan yang telah dicita-citakan sebelumnya tidak tercapai dan tidak jarang permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya perceraian Perkawinan merupakan ikatan suci yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan yang terkait antara ketaatan dan ibadah pada Allah SWT(1). Sebuah perkawinan sudah seharusnya dijaga dengan baik agar tujuan perkawinan dalam membentuk suatu keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, kekal dan harmonis dapat tercapai (2). Di antara beberapa permasalahan yang menjadi sebab terjadinya perceraian adalah: munculnya persoalan ekonomi dalam rumah tangga, semakin seringnya terjadi pertengkaran dan perselisihan secara terus menerus, KDRT, hadirnya pihak ketiga, minimnya pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki suami atau istri, serta usia kedua belah pihak yang belum matang (3). Masa pandemi covid-19 yang merebak hampir di semua penjuru dunia menimbulkan dampak yang cukup signifikan, baik di sektor kesehatan, perekonomian, maupun pada sektor kesejahteraan rumah tangga. (4). Perubahan sirkulasi pengeluaran dan pemasukan ekonomi keluarga pada masa pandemi mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan dalam kehidupan rumah tangga. Dampak dari merebaknya virus covid-19 mengakibatkan sebagian keluarga yang kehidupan ekonominya tidak stabil menjadi tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan mengalami kesulitan ekonomi. Sehingga banyak dari mereka memilih untuk mengakhiri keterpurukan ini dengan jalan mengajukan perceraian (5). Terjadinya pandemi covid-19 yang menyebabkan keterpurukan ekonomi bagi sebagian keluarga dianggap sebagai salah satu pemicu munculnya konflik yang terjadi pada keluarga. Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK yang banyak terjadi pada masa pandemi menyebabkan para suami tidak dapat memberikan nafkah dan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi inilah yang kemudian memicu munculnya pertengkaran dan perselisihan dalam rumah tangga (6). Adanya ketidak rukunan antara suami dan istri yang dipicu oleh seringnya terjadi pertengkaran dan perselisihan kedua belah pihak menjadi alasan untuk mengajukan perceraian (7). Guna mengatasinya maka pelaksanaan bimbingan pernikahan atau kursus bagi calon pengantin dirasa sangat diperlukan dan dianggap mampu menekan tingkat perceraian. Dengan adanya bimbingan perkawinan diharapkan calon pengantin memiliki bekal pengetahuan tentang hukum keluarga Islam, lebih siap dan sigap dalam menghadapi segala permasalahan dalam kehidupan berumah tangga sehingga dapat meminimalisir terjadinya perceraian (8).

Tujuan dari penyelenggaraan bimbingan perkawinan adalah untuk memberikan pemahaman tentang hukum keluarga Islam dan sebagai bekal bagi calon pengantin dalam membina mahligai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, serta untuk meminimalisir terjadinya perselisihan, pertengkaran, KDRT, yang berujung pada perceraian (9). Pelaksanaan bimbingan perkawinan pada kenyataannya masih dipertanyakan keefektifannya dalam menekan tingginya angka perceraian mengingat intensitas waktu penyelenggaraan bimbingan perkawinan yang belum maksimal (10). Namun, di lain sisi pelaksanaan bimbingan perkawinan mampu membawa nilai positif bagi calon pengantin tentang pemahaman terhadap hukum keluarga Islam dan kesiapan mental dan psikis dalam menghadapi permasalahan rumah tangga (11). Sehingga diharapkan dengan adanya pelaksanaan bimbingan perkawinan dapat meminimalisir tingkat perceraian terlebih pada masa merebaknya virus covid-19.

Penelitian ini membatasi permasalahan pada masalah efektivitas pelaksanaan bimbingan perkawinan dalam menekan tingginya angka perceraian di masa pandemi covid-19. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana proses pelaksanaan bimbingan perkawinan pada masa pandemi covid-19 dan bagaimana efektivitas pelaksanaan bimbingan perkawinan dalam menekan tingginya angka perceraian di masa pandemi covid-19. Sedang tujuan dari pelaksanaan penelitian adalah untuk memahami proses pelaksanaan bimbingan perkawinan di masa pandemi dan sejauh mana efektivitas pelaksanaan bimbingan perkawinan dalam menekan tingginya tingkat perceraian di masa pandemi covid-19. Efektivitas merupakan korelasi antara sasaran yang harus dicapai dan output pusat tanggung jawab. Dapat dianggap efektiv apabila kontribusi nilai pencapaian sasaran lebih besar dari pada output yang dihasilkan (12). Pengukuran efektivitas dapat dilihat dari tingginya tingkat kepuasan terhadap pelaksanaan program, keberhasilan pelaksanaan program, keberhasilan sasaran, kejelasan tingkat input dan output yang dihasilkan serta adanya capaian tujuan secara menyeluruh (13).

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di beberapa Kantor Urusan Agama Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur, yaitu: Kantor Urusan Agama Kecamatan Bangilan, Kantor Urusan Agama Kecamatan Jatirogo, Kantor Urusan Agama Kecamatan Senori, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Kenduruan. Penelitian dilakukan selama dua bulan yakni bulan Oktober sampai bulan Desember 2021. Menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memaparkan obyek penelitian secara akurat dan sistematis berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan (14). Desain dari penelitian dibentuk berurutan dimulai dari persiapan perencanaan, pelaksanaan penelitian, pengumpulan data lapangan, dan pelaksanaan penafsiran data yang dilakukan mulai dari awal penelitian sampai akhir. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan gambaran obyek penelitian menggunaka kata, ungkapan, norma, maupun aturan-aturan dari fenomena yang diteliti (15). Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah studi lapangan atau field research dengan teknik interview dan melakukan observasi (16). Metode pengumpulan data dengan menggunakan teknik interview dilakukan secara terstruktur dengan membuat daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan pada informan. Teknik yang digunakan adalah interview mendalam (in depth interview). Interview dilakukan dengan Kepala dan Staff Kantor Urusan Agama, dan peserta bimbingan perkawinan (calon pengantin). Metode Analisis data dilakukan dengan metode pengumpulan data yang telah didapat dari lapangan kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitik dan dilakukan pendekatan kualitatif. Metode ini digunakan sebagai bentuk gambaran secara obyektif terkait fakta-fakta yang benar-benar terjadi di lapangan tentang efektivitas pelaksanaan bimbingan perkawinan dalam menekan tingginya angka perceraian di masa pandemi covid-19.

Hasil dan Pembahasan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pandemi diartikan sebagai wabah yang secara serentak menjangkit pada suatu daerah geografi yang luas. Pandemi merupakan sebuah epidemi yang secara cepat menyebar ke wilayah-wilayah dunia atau negara. Data negara yang telah terkorfirmasi positif virus corona mencapai 188 negara hingga saat ini. Penyebaran virus korona selain berdampak pada sektor kesehatan juga berdampak pada sektor perekonomian Coronavirus adalah sekumpulan virus dalam keluarga coronaviridae dari subfamili Coronavirus atau Covid-19 merupakan salah satu jenis penyakit baru yang sebelumnya belum teridentifikasi oleh kedokteran (17). Coronavirus pertama kali ditemukan pada Desember 2019 di Kota Wuhan, Cina. Pada tanggal 11 Maret 2020 World Health Organization (WHO) mendeklarasikan covid-19 sebagai pandemi global(18). WHO menyatakan bahwa pandemi global merupakan skala penyebaran penyakit yang terjadi secara global dan menyeluruh di seluruh penjuru dunia, namun tidak mempunyai sangkut paut atau kaitan dengan adanya perubahan karakteristik pada penyakitnya(19). Dan berdampak juga pada kondisi ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga (20). Dampak yang ditimbulkan mengakibatkan sering terjadinya konflik dalam rumah tangga yang disebabkan oleh kondisi perekonomian yang semakin sulit di masa pandemi covid-19 (21). Terjadinya perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang tidak dapat diredam dalam rumah tangga menyebabkan munculnya ketidak harmonisan antara suami dan istri sehingga menjadi salah satu sebab banyaknya pasangan suami istri yang memilih untuk melakukan perceraian (22).

Hal ini menjadi salah satu pemicu konflik dalam keluarga yang tidak dapat diselesaikan dan berujung pada perceraian (23). Pada masa pandemi covid-19 tercatat sebanyak tiga Provinsi di Indonesia mengalami peningkatan kasus perceraian secara signifikan, yaitu: Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Faktor-faktor penyebab naiknya angka perceraian di masa pandemi covid-19 misalnya: 1) Tidak terpenuhinya kebutuhan finansial rumah tangga berdampak pada sering terjadinya konflik antara suami dan istri. Kondisi perekonomian yang semakin sulit dan rendahnya rasa pengertian terhadap pasangan menyebabkan perselisihan dan pertengkaran tidak dapat terhindarkan sehingga mengakibatkan ketidak rukunan antar suami istri yang terkadang berujung pada terjadinya perceraian. Pasal 34 ayat (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa: “jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. 2) Sering Terjadi Pertengkaran dan Perselisihan. Konflik yang timbul berkepanjangan dan tidak terselesaikan dalam perkawinan sangat mungkin terjadi karena kedua belah pihak (suami istri) tidak mampu menganulir segala macam perbedaan yang ada. Sehingga perceraian menjadi satu-satunya alternatif yang dipilih dalam menyelesaikan masalah. Sering terjadinya pertengkaran dan perselisihan dalam keluarga yang seyogyanya juga disebabkan dari adanya ketidakcukupan pemenuhan ekonomi keluarga menjadi salah satu alasan tersendiri dalam pengajuan kasus perceraian di kabupaten Tuban.

Segala perbuatan yang dapat menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan bagi seseorang terutama seorang perempuan secara fisik, psikis, seksual, dan atau berupa penelantaran rumah tangga adalah termasuk bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi disebabkan beberapa faktor, misalnya: adanya dominasi suami di dalam rumah tangga, adanya ketergantungan finansial istri terhadap suami, adanya pandangan bahwa kekerasan sebagai alat penyelesaian konflik, persaingan internal suami dan istri, tingginya rasa frustasi yang tidak terkendali, dan kurangnya kesempatan dalam proses hukum bagi perempuan. KDRT menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka perceraian di masa pandemi covid-19. 3) Hadirnya Orang Ketiga atau adanya Perselingkuhan. Perselingkuhan terjadi biasanya karena lemahnya cinta antara suami dan istri, rendahnya tingkat keagamaan salah satu pihak, komunikasi yang kurang baik antara suami dan istri, tingginya rasa dan sifat egois, ketidakstabilan emosi, serta kurangnya kemampuan suami istri dalam menyesuaikan diri. Adanya perselingkuhan atau hadirnya orang ketiga menjadi salah satu faktor penentu tingginya angka perceraian di masa pandemi covid-19. 4) Faktor Usia Pasangan yang menikah di usia muda atau belia lebih rentan mempunyai kemungkinan untuk bercerai dari pada pasangan yang menikah cukup umur, terutama pada 5 tahun pertama usia pernikahan (24). Adanya ketidak siapan dalam berbagi dengan pasangan dan rendahnya pemahaman terhadap kondisi pasangan juga dapat berpotensi menimbulkan terjadinya perceraian.

Manusia sebagai makhluk yang berakal diberi kebebasan dan kelengkapan pisik dan psikis serta kecenderungan untuk memilih jalan yang akan ditetapkannya dalam meniti kehidupan, antara jalan kebenaran yang akan mengantarkan pada kebahagiaan hidup hakiki berdasarkan petunjuk Tuhan atau jalan kesesatan yang seakan-akan mengantarkannya kejalan kebahagiaan sehingga kehidupan keluarga yang harmonis terganggu. Keluarga harmonis adalah suatu keadaan keluarga yang terdapat hubungan komunikasi dengan baik (ma’ruf) dan saling melindungi. Bila suatu keluarga dikatakan harmonis bila terjadi komunikasi yang baik antara anggota keluarga. Segala persoalan dapat dipecahkan secara internal bersama. Ternyata melemparkannya kejurang kenistaan, unit keluarga merupakan lingkungan terkecil dan terutama dalam hidup manusia, maka pembinaan pribadi dan lingkungan keluarga yang harmonis adalah tugas dan kewajiban utama dalam menghadapi seluruh problematika kehidupan.

Fenomena keluarga yang harmonis dapat terlihat dari kehidupan yang terhindar dari konflik. Sebagai bentuk keluarga sakinah atau keluarga ideal, maka ada kriteria yang mesti dipenuhi yaitu: pertama,keteguhan niat, kedua,keteguhan pada tujuan pernikahan, ketiga,keteguhan pada pembinaan keluarga, keempat,keteguhan pada pencapaian kualitas dalam pembinaan keluarga dari hasil pernikahan. Pencapaian cita ideal hidup berkeluarga, tidak mungkin tanpa niat yang tulus yang dijelmakan dalam usaha keras untuk meningkatkan kualitas demi kehidupan berkeluarga itu sendiri dalam rangka untuk mencapai cita-cita kebahagiaan hidup sejati. Keluarga yang dimaksud adalah suami istri yang terbentuk melalui suatu perkawinan. Disisni ada titik penekanan melalui perkawinan, kalau tidak melalui perkawinan maka bukan dinamakan keluarga. Maka seorang laki-laki yang hidup bersama dengan seorang perempuan tidak dinamakan keluarga jika keduanya tidak diikat oleh sebuah perkawinan.20

Maka dalam membina keluarga sakinah harus benar-benar dipahami, sebab calon isteri dan suami seyogyanya memahami dan manghayati apa pengertian keluarga, bagaimana menurut ajaran Islam, apa tujuannya, serta apa hikmah yang diperoleh setelah melangsungkan pernikahan dan menciptakan keharmonisan antara suami dan isteri. Setelah menikah pasangan suami isteri akan mengalami kehidupan yang benar-benar baru, berbeda dengan kehidupan sebelum menikah, antara lain:

  1. Dituntut untuk memulai hidup mandiri, lepas dari ketergantungan kepada orang tua masing-masing.
  2. Suamimulaidimintapertanggungjawabanuntukmemenuhi kebutuha lahir dan batin bagi dirinya dan isterinya.
  3. Isteri mulai wajib berbakti kepada suami serta membahagiakannya.
  4. Suami isteri mulai memikirkan biaya hidup anak-anak mereka agar kelak menjadi lahir anak-anak yang saleh dan salehah.
  5. Suami isteri mulai menjadi jembatan untuk mempersaudarakan kedua keluarga besar dari pihak isteri, dan sebaliknya.
  6. Suamiisteridituntutuntukdapathidupbertetanggadan bermasyarakat dengan baik.

Dalam ungkapan lain, konsep keluarga sakinah dalam bentuk praktisnya membutuhkan ketaatan dalam menjalankan ajaran agama Islam, sebab dengan menjalankan ajaran agama sebagaimana mestinya akan menjadi alat kontrol dalam membina keluarga yang dicita-citakan. Selanjutnya para pakar ilmu berkaitan dengan keluarga telah mengungkapkan beberapa kriteria keluarga sakinah, diantaranya Nurcholish Madjid, menjelaskan makna-makna QS. (30): 21, yang berkaitan dengan kriteria-kriteria keluarga sakinah sebagai berikut:

(bertepuk sebelah tangan) atau kedua belah pihak (gayung bersambut). Tingkat cinta ini adalah tingkat permulaan yang biasa disebut primitif.

  1. Keluarga sakinah harus (wajib) didahului dengan pernikahan sesuai dengan tuntutan ajaran Islam, sehingga persahabatan antara dua orang yang berlainan jenis didahului dengan pernikahan sangat terpuji disisi Allah. Dua orang yang mengadakan ikatan pernikahan (laki-laki dan perempuan) yang tak ternoda sebelumnya, mempunyai makna yang mulia dihadapan Allah swt.
  2. Keluarga sakinah bisa dibentuk jika terdapat mahabbahdi dalamnya, secara alami seorang tertarik kepada lawan jenisnya, mula-mula karena pertimbangan kejasmanian. Suasana saling tertarik sebab pertimbangan lahiriyah, membuat keduanya jatuh cinta, baik sepihak
  3. Dalam keluarga sakinah ini ada mawaddah, yaitu dua lawan jenis yang jatuh cinta, bukan saja karena pertimbangan kebutuhan biologisnya melainkan yang paling diutamakan adalah pertimbangan kepribadiannya, dan lain sebagainya atau sejenisnya.
  4. Keluarga sakinah itu terdapat di dalamnya rahmahyaitu sifat ilahi karena bersumber dari Yang Maha Rahman dan Rahim, yang diberikan kepada setiap hamba-Nya yang dirahmati. Hubungan cinta dua manusia yang berlainan jenis ini dapat mencapai tingkat kualitas yang paling tinggi dan tak terbatas yang serba meliputi; murni dan sejati. (25).

Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah tangga yang islami, diharapkan akan terbentuk komunitas kecil masyarakat Islam. Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat. Bila setiap keluarga dibina dan dididik dengan baik, sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka pada akhirnya akan terbentuk masyarakat yang islami pula. Islam sangat lekat dengan tatanan rumah tangga. Rumah dalam pandangan Islam merupakan tempat berhimpun dan tempat menetap. Di dalam ayomanya beberapa orang bertemu atas dasar saling mengasihi, saling menyayangi, saling berlemah lembut, menutupi rahasia, bermurah hati, menjaga dan melindungi. Hubungan dalam lingkup rumah tangga ini mencerminkan gambaran yang lembut dan halus, yang dari sana memancar perasaan kasih dan sayang.

Bimbingan adalah proses pemberian bantuan agar orang yang diberi bantuan dapat mengembangkan kemampuan dan kemandirian diri. Bimbingan diberikan oleh ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Bimbingan perkawinan merupakan pemberian dasar atau bekal keilmuan dan pengetahuan dalam rumah tangga. Bimbingan perkawinan diberikan kepada calon pengantin yang telah mendaftarkan perkawinan ke Kantor Urusan Agama dan telah diverifikasi oleh penghulu. Para calon pengantin diberikan undangan untuk mengikuti bimbingan perkawinan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dari seksi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama. Setelah pelaksanaan bimbingan perkawinan selesai, maka pihak Kantor Urusan Agama akan memberikan sertifikat atau surat keterangan sebagai bukti tertulis bahwa calon pengantin sudah selesai mengikuti bimbingan perkawinan. Sertifikat itu menjadi syarat pelengkap berkas administrasi untuk mendapatkan buku atau akta nikah. Materi bimbingan perkawinan terdiri dari 4 materi, yaitu: materi fikih munakahat, keluarga sakinah, Undang-undang Perkawinan, dan materi tentang kesehatan keluarga (kesehatan reproduksi).

Metode bimbingan perkawinan menggunakan metode ceramah dan diskusi. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan bimbingan perkawinan bagi calon pengantin yaitu: 1) Kepala Kantor Urusan Agama. Kepala KUA berharap dengan adanya pelaksanaan bimbingan perkawinan dapat memberikan pemahaman tentang hukum perkawinan, hak, kewajiban dan tanggung jawab suami istri, serta dapat menekan tingginya angka perceraian khususnya di masa pandemi covid-19. 2) Penghulu. Penghulu, sebagai salah satu pemateri pada pelaksanaan bimbingan perkawinan berperan utama. Dalam pelaksanaan bimbingan perkawinan, penghulu memberikan materi tentang fikih munakahat dan keluarga Sakinah. Dengan adanya materi ini diharapkan para calon pengantin lebih memahami tentang arti keluarga sehingga tidak mudah terjadi perceraian khususnya pada pengantin berusia muda. 3) Penyuluh Agama Islam sebagai pemateri dari penyuluh agama Islam dalam bimbingan perkawinan memberikan materi tentang Undang-undang perkawinan. 4) Calon Pengantin. Suami sebagai seorang imam dalam keluarga tidak hanya dituntut untuk mencari nafkah akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengambil keputusan yang bijak dalam keluarga. Seorang istri selain berkewajiban menjaga kehormatan keluarga juga mempunyai tugas untuk mengelola keuangan keluarga dan bertanggung jawab atas pengasuhan anak-anak. 5) Tenaga Kesehatan. Tenaga kesehatan dalam pelaksanaan bimbingan perkawinan juga memiliki peran yang cukup signifikan. Sebagai salah satu pemateri dalam bimbingan perkawinan, tenaga kesehatan menjelaskan tentang pentingnya menjaga kesehatan alat-alat reproduksi dan kesehatan keluarga. Faktor penghambat dalam pelaksanaan bimbingan perkawinan di antaranya adalah: 1) Rendahnya kesadaran calon pengantin tentang pentingnya materi-materi terkait. 2) sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Kantor Urusan Agama sehingga menghambat pelaksanaan bimbingan perkawinan. 3) Kurang disiplinnya peserta bimbingan perkawinan. 4) Keterbatasan waktu pelaksanaan bimbingan perkawinan sehingga penyampaian materi tidak maksimal. 5) Belum adanya materi tentang psikologi perkawinan dan keluarga. 6) Terbatasnya akses ke lokasi pelaksanaan bimbingan perkawinan terlebih bagi peserta yang berdomisili jauh dari Kantor Urusan Agama penyelenggara.

Dampak positif bagi calon pengantin dengan adanya bimbingan perkawinan, di antaranya: 1) Meningkatkan pemahaman calon pengantin tentang agama, hal ini dapat dilihat dari adanya perubahan positif pada tingkah laku calon pengantin. 2) Memberikan pemahaman tentang perkawinan dan kehidupan rumah tangga yang sakinah dan harmonis. 3) Meningkatkan kesiapan dan kematangan calon pengantin dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang mungkin terjadi dalam rumah tangga yang tidak diduga sebelumnya. 4) Meminimalisir terjadinya pertengkaran dan perselisihan yang rentan terjadi di masa-masa awal pernikahan. 5) Mampu menekan tingginya angka perceraian yang terjadi, terlebih pada masa pandemi covid-19. 6) Menyiapkan calon pengantin menjadi pribadi yang lebih matang secara fisik, mental, dan psikis sebagai orang tua.

Dengan adanya pelaksanaan bimbingan perkawinan bagi calon pengantin terbukti dapat merubah pemahaman dan wawasan calon pengantin bahwa perkawinan tidak hanya didasarkan rasa cinta dan restu orang tua akan tetapi lebih dari pada itu. Kesiapan fisik, mental, dan psikis juga diperlukan dalam membina keluarga yang sakinah dan harmonis serta kesiapan calon pengantin untuk segera memiliki keturunan dan menjadi orang tua juga mutlak diperlukan. Terlebih pada masa pandemi covid-19 yang sulit dan memicu banyaknya permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga.

Simpulan

Banyak hal dan permasalahan yang ditanyakan dikupas secara lebih mendalam oleh para pemateri yang ahli di bidangnya. Adanya perubahan tingkah laku menjadi lebih baik, bertambahnya pengetahuan dan wawasan calon pengantin dalam memaknai perkawinan dan rumah tangga, meningkatnya kemampuan pasangan suami istri dalam meredam pertengkaran dan kesiapan calon pengantin dalam menghadapi permasalahan yang muncul akibat adanya pandemi covid-19 menjadi bukti bahwa pelaksanaan bimbingan perkawinan masih relevan dan efektiv dilaksanakan guna membentuk keluarga yang sakinah. Terselesaikan dan tersajikannya artikel ini berkat adanya dukungan dari banyak pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Ucapkan terima kasih kami sampaikan kepada Kantor Urusan Agama di Kabupaten Tuban, kepada jajaran dewan redaksi pengelola jurnal yang bersedia memuat artikel ini, dan semua pihak yang telah bersedia membantu penulis dalam proses penyelesaian dan penyajian artikel ini kami sampaikan jazakumullah khairan ahsanal jaza’.

References

  1. (1) Achyar, Gamal. “Korelasi Antara Bimbingan Pranikah dengan Perceraian di Kabupaten Nagan Raya (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kec. Kuala Kab. Nagan Raya)”. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam. Vol 2. No 1. (Januari-Juni 2018).
  2. (2) Alghifari, Abuzar, dkk. (2020). “Faktor Ekonomi dan Dampaknya Terhadap Kasus Perceraian Era Pandemi COVID-19 dalam Tinjauan Tafsir Hukum Keluarga Islam”. El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and Islamic Family Law. Vol 1. No 2. (Desember 2020).
  3. (3) Arikunto, Suharsimi. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
  4. (4) Azhari, Novi Hadianti. (2020). “Efektivitas Pelaksanaan Bimbingan Perkawinan Pranikah Calon Pengantin Dalam Meningkatkan Kesiapan Menikah (Studi Deskriptif Pada Kementerian Agama Bandung)”. Indonesian Journal Of Adult And Community Education. Vol 2. No 2. (Desember 2020).
  5. (5) Azizah, Linda. (2012). “Analisis Perceraian Dalam Kompilasi Hukum Islam”. Al-‘Adalah. Vol X. No 4. (Juli 2012).
  6. (6) Bakhtiar, Yusuf. (2020). “Penelantaran Rumah Tangga Sebagai Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga yang Menjadi Alasan Perceraian di Masa Pandemi COVID-19”. Legitimasi. Vol 9. No 2. (Juli 2020).
  7. (7) Cambel, JP. (1989). Riset dalam Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga.
  8. (8) Darmawati. (2020). “Efektivitas Penyuluh BP4 Dalam Menekan Angka Perceraian di Kota Makassar”. Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius. Vol 19. No 1. (Januari-Juni 2020).
  9. (9) Hadikusuma, Hilman. (1990). Hukum Perkawinan Adat. Bandung: PT. Cipta Aditya Bakti.
  10. (10) Halidi, Risna. “Penyebab Tingginya Angka Perceraian di Indonesia Saat Pandemi Covid-19”, Suara.com.
  11. (11) Huriyani, Yeni. (2008). “Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Persoalan Privat Yang Jadi Persoalan Publik”. Jurnal Legislasi Indonesia. Vol 5. No 3. (September 2008).
  12. (12) Iskandar, M. Ridho. (2018). “Urgensi Bimbingan Pra Nikah Terhadap Tingkat Perceraian”. JIGC: Journal Of Islamic Guidance and Counseling. Vol 2. No 1. (Juni 2018).
  13. (13) Kasmawati, Andi. (2016). “Faktor Penyebab Perceraian di Kota Makassar (Studi Pada Kantor Pengadilan Agama Klas 1A Makassar)”. Jurnal Supremasi. Vol XI. No 1. (April 2016).
  14. (14) Mardalis. (2008). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
  15. (15) Moleong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.
  16. (16) Nuruddin, Amir. (2006). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  17. (17) Prayogi, Arditya. (2021). Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin: Upaya Mewujudkan Ketahanan Keluarga Nasional. Islamic Counseling: Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam. Vol 5. No 2 (November 2021).
  18. (18) Ramadhani, Salsabila Rizky. (2021). “Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Angka Perceraian”. Jurnal Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (JPPM). Vol 2. No 1. (April 2021).
  19. (19) Sudarsono. (1991). Lampiran UUP Dengan Penjelasannya, Jakarta: Rineka Cipta.
  20. (20) Sutrisminah, Emi. (2012). “Dampak Kekerasan Pada Istri Dalam Rumah Tangga Terhadap Kesehatan Reproduksi”. Majalah Ilmiah Sultan Agung. Vol 50. No 127. (Maret – Mei 2012).
  21. (21) Tristanto, Aris. (2020). “Perceraian di Masa Pandemi Covid-19 dalam Perspektif Ilmu Sosial”. Sosio Informa. Vol 6. No 03. (September – Desember 2020)
  22. (22) Wijayanti, Urip Tri. (2021). “Analisis Faktor Penyebab Perceraian Pada Masa Pandemi COVID-19 di Kabupaten Banyumas”. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. Vol 14. No 1. (Januari 2021).
  23. (23) Tahir, Masnun. (2018). “Efektivitas Kursus Calon Pengantin dalam Menekan Angka Perceraian di Wilayah Kerja KUA Batukliang”. Musawa. Vol 17. No 1. 2018
  24. (24) Farida Isroani, (2022) Aktualisasi Nilai-nilai Toleransi Beragama di Sekolah Menengah Atas, Jurnal Multiverse
  25. (25) Asman (2020) Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam dan Perundang-Undangan, Vol 7 No 2