The two continents and oceans around Indonesia make Indonesia in the position of international shipping trade routes. However, in the geographical location of the State of Indonesia, it is threatened to become a traffic lane for crime. Trafficking in people or persons is not only a domestic concern, but is a universal problem that is increasing every year. The purpose of this research is to find out or provide knowledge about the fulfillment of restitution rights and rehabilitation rights, and compensation for victims of trafficking in persons which are criminal acts in court decisions. Normative juridical law is the method used by the author in this study. This study provides results that the right to rehabilitation, restitution, and compensation for victims of the Criminal Act of Trafficking in Persons in Decision No. 257/Pid.Sus./2019/PN SDA and Decision No. 889/Pid.Sus/2018/PN SDA according to the Law No. 21 of 2007 was not implemented or not applied by the Panel of Judges.
Indonesia termasuk satu diantara negara kepulauan di Asia Tenggara. Dilihat dari sudut pandang secara letak daerah dimana dari sudut kenyataannya di bumi atau yang terletak di bagian daerah bola bumi di bandingkan dengan posisi letak daerah lain atau yang bisa disebut dengan letak geografis. Adapun Indonesia terletak diantara dua benua,Asia dan serta Australia, dan Samudra yakni, Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.Maka hal inilah yang mengakibatkan Indonesia berada di kawasan yang letaknya berada di posisi jalur perdagangan pelayaran internasional. Tetapi dalam letak geografis Negara Indonesia ini menyebabkan terancam menjadi jalur lalu lintas kejahatan. Tingkat kejahatan semakin semakin cepat serta modern, mempengaruhi di berbagai sector: politik,ekonomi, sosial budaya, serta masalah perdagangan berkembang pesat.
Kejahatan ini yang mengakibatkan tidak ada nilai terhadap seseorang untuk di hargai, di hormati secara etis. Dimana manusia disini dipandang sebagai barang yang bisa digunakan atau di perjual belikan serta ditempatkan tanpa mempertimbangkan kebutuhannya sebagi manusia.
Perdagangan manusia atau orang ini tidak hanya menjadi perhatian domestic, tetapi merupakan masalah universal yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perdaganan orang menjadi salah satu bentuk yang dipandang sebelah mata serta di perlakukan secara tidak adil dari pelanggaran harkat serta martabat umat manusia, yang terutama bagi kaum wanita serta anak-anak yang telah diperdagangkan. Dan disinilah Indonesia berkedudukan tinggi angka pencapaian dari perdagangan orang atau human trafficking, yang bisa mencapai sekitar 92,46 persen.
Negara Indonesia adalah negara hukum yang mana sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan nilai-nilai Pancasila serta UUD 1945, yang wajib mengayomi atau memberi suatu perlindungan terhadap masyarakat. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebut “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Negara berkewajiban bahwasanya setiap warga negara haruslah di perlakukan dengan adil serta sebaik-baiknya. Bentuk ini menjadi tanggung jawab negara, sebagai upaya untuk melindungi hak asasi warga negaranya. Hal inilah yang menjamin dari perlindungan kepada warga negara Indonesia terlebih dengan bagi korban-korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang diharapkan bisa memberi keadilan terhadap mereka yang mengajukan hak-haknya.
Pemberian hak restitusi maupun rehabilitasi bagi korban tindak pidana menurut Mardjono Reksodiputro, pelaku kejahatan lebih baik memberi ganti rugi atas kesalahan yang telah di lakukan kepada orang lain. Maka dengan adanya kasus-kasus kejahatan perdagangan orang atau manusia penyelesaian tersebut memberikan suatu hak restitusi dan rehabilitasi sebagai bentuk dari perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. Maka yang menjadi suatu permasalahan yaitu bagaimana penerapan putusan pengadilan mengenai hak restitusi dan rehabilitasi bagi tindak pidana perdagangan orang.
Berdasarkan latar belakang yang sudah di paparkan di atas maka permasalahan pokok yang akan di teliti yaitu bagaimana tinjauan yuridis hak restitusi, rehabilitasi dan ganti rugi bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada putusan pengadilan Negeri Sidoarjo yang kemudian akan diteliti lebih lanjut dalam peneilitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Hak Restitusi, Rehabilitasi dan Ganti Rugi Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada putusan pengadilan Negeri Sidoarjo.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Hukum Yuridis Normatif dengan pendekatan case approach dengan menganalisa sebuah kasus berdasarkan fakta yang ada di peraturan,buku, jurnal ilmiah. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisi deduktif ialah proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan ini mengenai permasalahan yang mempunyai sifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus.
1. Aspek-aspek Penerapan Hak Restitusi, Rehabilitasi dan Ganti Rugi Menurut Kajian Literatur
Kasus perdagangan orang di Indonesia semakin meningkat dan yang paling retan menjad i korban ialah perempuan maupun anak. Dalam kasus ini, mereka tidak memperoleh perlindungan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang yang ada, padahal mereka dapat memperjuangkan hak-haknya yang selama ini terabaikan. Hak korb an perd agang an orang yang harus dijamin dan dilindungi oleh Negara ialah:
Hak Asasi Manusia ialah hak yang dimiliki manusia tanpa adanya perbedaan. Hak Asasi Manusia bertujuan mewujudkan keadilan, martabat serta kesetaraan yang ada pada masyarakat. P engakuan terhadap Hak Asasi Manusia seharusnya di hormati dan dilindungi terhadap negara dimana dengan tindakan baik dilaksanakan maupun sebaliknya dan dimana pelanggaran hak asasi manu s ia pada ka s u s perdagan gan orang kini terabaikan.
Korban perdagangan orang berkaitan dengan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia, karena berdasarkan martabatnya, sebagai manusia patut memperoleh perlindungan dan aspresiasi secara positif. Dalam ranah hukum Internasional, setiap pelanggaran terhadap Hak Asassi Manusia akan mendapatkan hak atas pemulihan. Menurut Van Boven, pemulihan merupakan segala jenis ganti rugi yang bersifat material ataupun non material untuk para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia. Jadi, hak atas pemulihan tersebut bisa berupa ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi .
Dalam kasus posisi di bawah ini, menjelaskan bahwa korban atas kasus perdaganan orang tidak menerapkan suatu hak-hak yang seharusnya diperoleh dalam perlindungan hukum yang kuat serta pemenuhan hak-hak korban yang berupa hak restitusi, rehabilitasi dan ganti rugi yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 serta dalam perspektif Hak Asasi Manusia.
Dalam putusan No 889/Pid.Sus/2018/PN Sidoarjo, perempuan telah menjadi korban dari perdagangan orang dengan tindakan Eksploitasi. Menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Pasal 2 ayat 1 “ Eksploitasi ialah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum dan memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immaterial ” .
Perlindungan hukum terhadap Perdagangan Orang diatur dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007. Namun mengenai para korban kejahatan dari tindak pidana perdaganan orang yang mana pihak paling menderita dalam suatu tindak pidana ini, yaitu dilihat dari sisi kasus pada Putusan No 889/Pid.Sus/2018/PN SDA tidak mendapatkan perlindungan sehingga kondisi korban tidak diperdulikan. D alam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 ini sudah jelas bahwa korban atas tindak pidana perdagangan orang memberikan perlindungan untuk mendapatkan hak-haknya berupa hak restitusi,rehabilitasi, dan ganti rugi.
Hak Restitusi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap korban . Romli Atmasasmita menyatakan di jaman abad pertengahan, hukum yang memiliki sifat primitive ini masih berlaku pada masyarakat . D imana menerapkan “personal repation” yang artinya membayar kerugian, yang dilakukan seseorang yang sudah melakukan tindak pidana atau offender atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan akibat suatu tindak pidana tersebut.
Dalam Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa restitusi ialah :“Membayar kerugian oleh pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang yang memiliki hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.” Dalam hali ini pengertian restitusi yaitu dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan. restitusi ini bersifat hukum pidana, yang dimana muncul karna adanya putusan dari pengadilan pidana, serta dibayarkan oleh terpidana atau yang disebut dengan pelaku kejahatan, atau yang merupakan wujud dari pertanggungjawaban atas terpidana.
Hak Rehabilitasi Menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang, Rehabilitasi ialah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya Kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.Menurut ahli Waddell dan Burton yaitu pemahaman masalah yang terkait utuk mengatasi masalah kesehatan, pekerjaan, hambatan personal psikologis maupun sosial. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pada Pasal 51 “Korban berhak memperoleh rehabilitas kesehatan, sosial, pemulungan, dan reintergrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.”
Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat memperoleh pemulihan atas haknya dari pemerintah apabila terjadi atau yang mengalami suatu penderitaan dimana baik itu secara psikis maupun fisik. Korban dari Tindak Perdagangan Orang disinilah dilindungi oleh negara ataupun pemerintahan.
2. Analisa Penerapan Hak Restitusi, Rehabilitasi, dan Ganti Rugi Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Pada Putusan No 257/Pid.Su./2019/PN SDA
Dari kasus pada Putusan No 257/Pid.Su./2019/PN SDA Pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2019 S ri R ahayu atau yang disebut Mami Ayu mendapatkan pesan WA dari seorang laki-laki yang tidak terdakwa kenal, yang mengaku Bernama saksi T eguh B udi S e t iawan. Dimana Teguh ini meminta terdakwa untuk menemani bernyanyi dan lanjut Boking Out. Kemudian Terdakwa tersebut mengirimkan salah satu foto Wanita yaitu foto saksi M irsah A ffifah Dan saksi Teguh budi setiawan memilih saksi M irsah A fiffah. Dan Teguh ini memilih saksi mirsah afifah Untuk memberikan tarif sebesar Rp.2.000.000,00 untuk sebua Boking Out dan teguh setiawan ini menyetujui tersebut, yang kemudian melakukan janji bertemu di sebuah hotel Sinar Mayang di Sidoarjo pada tanggal 17 Januari 2019 sekitar pukul 21.00 Wib. Setelah terdakwa bertemu saksi T eguh B udi S etiawan di lobby hotel Sinar Mayang kemudian memberikan uang diatas nominal tarif tersebut kepada Terdakwa sebagai tarif Boking Out dan setelah uang tersebut diterima terdakwa yang kemudian datang seorang saksi M irsah Kemudian Terdakwalah memberikan sebuah uang tarif Boking Out tersebut kepada Saksi M irsah sebesar Rp.1.200.000,00 sedangkan sisanya sebesar Rp.900.000,00 keuntungan Terdakwa sebagai mami (mucikari). Selanjutnya saksi M irsah dan saksi T eguh ke dalam kamar hotel dengan nomor 105 sedangkan Terdakwa keluar dalam hotel. Namun Terdakwa tersebut saat keluar dari dalam hotel tertangkap anggota Polisi dari Porlesta Sidoarjo bernami saksi Utun Utami,S.H dan saksi Hari Santoso,S.H
Putusan pengadilan t erdakwa S ri R ahayu al ia s M ami A yu tersebut diatas telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Memperdagangkan orang”, menjatuhkan pidana kepada Terdakwa penjara selama 3 tahun dan denda sebesar dengan ketentuan. Apabila denda tersebut tidak dibaiyar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.
Dalam kronologi kasus posisi diatas, penulis berpandangan bahwa terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana dengan sengaja. Terdakwa menyediakan perempuan sebagai korban yang diperdagangkan jasa seksualnya, sehingga terdakwa mendapatkan sebuah keuntungan. Perbuatan tersebut sudah menjadi kebias a an yang dilakukan oleh terdakwa karena perbuatan tersebut merupakan sumber mata percarihannya. Dengan adanya kasus ini, maka pihak korbanlah yang dirugikan atas perbuatan terdakwa.
Merujuk pada penjelasan atau uraian yang terdapat dalam putusan pengadilan No 257/Pid Sus/2019/PN SDA, dijelaskan bahwa Majelis Hakim hanya memberikan sebuah sanksi terhadap terdakwa berupa denda senilai Rp. 120.000.000,00 dengan kurungan 1 bulan sebagai pengganti dari denda apabila terdakwa tersebut tidak mampu dalam membayar denda yang sudah dijatuhkan oleh hakim. Dalam putusan tersebut pihak Majelis Hakim tidak menerapkan atau mencamtukan sebuah hak restitusi, rehabilitasi bagi korban tindak pidana perdagangan orang tersebut. Penulis menilai bahwasanya Majelis Hakim sebagai penegak hukum kurang memperhatikan terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang karena tidak memperhatikan ganti rugi hak restitusi maupun hak rehabilitasi bagi korban dimana harus dicantumkan dalam amar putusannya. Penulis berpendapat bahwa pihak korban berhak mendapatkan sebuah keadilan yaitu mendapatkan hak restitusi, rehabilitasi dan ganti rugi seperti yang sudah diatur pada Undang-Undang No 21 Tahun 2007.
Jika dilihat dari Perspektif HAM, korban pada kasus perdagangan orang tersebut masuk dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap perempuan. Menurut Undang-Undang No 39 Tahun 1999 dalam Pasal 1 no 1 yang menyatakan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberedaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang harus dihormati, diunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara dan pemerintahdan setiap orang demi kehormatan serta dan melindungi harkat martabat manusia” maka menekankan bahwa dalam definisi tersebut atau HAM ini melekat dengan harkat martabat manusia dan menegaskan bahwa semua manusia, tanpa terkecuali mempunyai harkat martabat hak asasi yang sama. Dimana manusia yang harakat dan martabatnya sama dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, Oleh karena itu, dilarang memperlakukan sesama manusia, seolah-olah mereka adalah barang atau barang dengan bertindak untuk tujuan apapun terlepas dari siapa mereka.
Hukum mempunyai tujuan yakni memberikan sebuah kepastian hukum serta keadilan, karena itu penulis berharap perlindungan hukum harus dilakukan sesuai aturan yang ada dengan sebaik-baiknya untuk melindungi korban. Ditinjau dari Undang-Undang No 21 Tahun 2007, penulis berpendapat bahwa korban atas perdangan orang harus mendapatkan hak-haknya, antara lain :
a. Hak Restitusi
Hak restitusi merupakan sebuah pembayaran ganti rugi atas penderitaan korban, karena itu korban pada kasus perdagangan orang harus mendapatkan ganti rugi dengan membayar yang seharusnya menjadi hak korban.
b. Hak Rehabilitasi
Hak rehabilitasi merupakan sebuah pemulihan terhadap korban yang memiliki gangguan fisik, psikis maupun sosial, karena itu korban pada kasus perdagangan orang harus mendapatkan hak tersebut agar dapat memulihkan perannya kembali secara wajar, baik dalam segi keluarga maupun dalam segi masyarakat.
Jadi, dengan adanya Undang-Undang No 21 Tahun 2007, penulis berharap kedepannya dapat mencegah dan menangulangi atas tindak pidana perdagangan orang dan melindungi dari korban perdagangan orang baik yang dilakukan dalam antar daerah didalam Negeri maupun antar Negara.
3. Analisa Penerapan Hak Retitusi, Rehabilitasi, dan Ganti Rugi Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Pada Putusan No 889/Pid.Su/2018/PN SDA
Dari kasus pada Putusan No 889/Pid.Su/2018/PN SDA ini Berawal dari niat terdakwa untuk mengambil keuntungan dari perdagangan dan eksploitasi perempuan, terdakwa memberikan jasa pijat dan 3P (3P) antara terdakwa, istrinya Aminah, dan klien terkait. Terdakwa dengan menggunakan jasa Facebook yang mana terdakwa membuat akun di facebook Bernama “Syaifullah” dari akun tersebut terdakwa bergabung di beberapa grup tertutup di facebook yaitu Grup “ Teman yang menyukai Fantasi Liar n Nakal Pasutri “, Grup “ Tempat cewek-cewek atau janda surabaya tukar pin BBM “, Grup “ Janda dan duda merajut asmara “, Grup “ janda dan duda mencari jodoh “ untuk menawarkan jasa pijat threesome dan Ada anggota grup facebook yang tertarik dengan layanan triple massage yaitu saksi André alias Titan sehingga terdakwa dan saksi André alias Titan melanjutkan chat melalui media messenger (inbox) dan kedua media online Whatsapp, dari chat/chat responden memberikan biaya untuk pelayanan tiga orang dan jika jadwal biaya tiga orang disepakati, responden dan pelanggan akan bertemu untuk melakukan transaksi pembayaran atas pelayanan tiga orang tersebut kepada terdakwa, selanjutnya terdakwa akan membawa saksi André alias Titan ke rumah terdakwa dan bertemu. istri terdakwa menjadi tiga orang. Adapun biaya yang dikenakan Termohon atas jasa tiga malam saksi André alias Titan disepakati sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan sebesar Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah) dibayar dimuka dan sisanya dibayar setelah trio. Selama melakukan pelayanan tersebut, terdakwa memaksa istrinya yaitu menyaksikan Aminah ingin melakukan perbuatan tersebut dan mengancam istrinya bahwa terdakwa akan memarahinya dan berusaha membayar hutang yang dimiliki terdakwa. Karena takut, saksi Aminah mau melakukan perbuatan tersebut dan sebelum perbuatan dilakukan, terdakwa memberi saksi Aminah uang Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) yang uangnya berasal dari saksi Andre alias Titan. Selanjutnya pada waktu saksi Aminah sedang berhubungan badan dengan pelanggan, yakni saksi Andre Titan di rumah terdakwa, petugas Polres Sidoarjo yakni saksi Tesaloni, saksi Wawan Hari Santoso, saksi Utun Utami melakukan penggerebekan dan didapati didalam kamar tersebut yakni Terdakwa, saksi Aminah, dan saksi Andre alias Titan dalam keadaan telanjang bulat melakukan pijat dan berhubungan badan secara threesome.
Dengan adanya kasus posisi diatas, penulis berpandangan yaitu Terdakwa telah melakukan tindak pidana perdagangan manusia atau orang dengan tujuan mengeksploitasi orang tersebut atau yang dimaksud dalam putusan tersebut yaitu istrinya sendiri. Dari tujuan tersebut terdakwa melakukan perdagangan orang dengan alasan untuk membayar hutang, maka dari keuntungan tersebut untuk melunasi hutang terdakwa. Dengan ini penulis sependapat dengan Kathryn E. Nelson yang menjelaskan bahwa eksploitasi seksual maupun perdagangan seks merupakan keadaan perempuan ataupun anak-anak yang tidak bisa menggantikannya secara cepat dan tidak bisa keluar dari suatu keadaan tersebut dan mereka dijadikan subjek dari eksploitasi dan kekerasan seksual. Dan penulis juga sependapat dengan ahli Martaja yang menjelaskan bahwa eksploitasi merupakan suatu tindakan yang memanfaatkan seseorang secara tidak etis dengan tujuan untuk kepentingan sendiri. Korban dalam kasus tersebut merupakan orang yang diperdagangkan dengan tujuan Eksploitasi.
Dengan adanya penjelasan dan fakta-fakta diatas, penulis berharap Majelis Hakim menganalisis dan mempertimbangkan kembali yang seharusnya menjadi hak korban untuk mendapatkan sebuah hak restitusi, rehabilitasi dan ganti rugi dengan mendapatkan keadilan seadil-adilnya yang sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007.
4. Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar pertimbangan hakim yang di muat dari se gi sisi non hukum yaitu aspek non yuridis. Dilihat dari segi p enerapan suatu berat ringannya pidana yang ditegakkan oleh hakim dimana di pertimbangkan dengan perbuatan terdakwa atau si pelaku, khusunya dalam penerapan jenis hak re s titusi, rehabilitasi, dan ganti rugi bagi tindak pidana perdagangan orang. Nam u n da ri segi Undang-Undang yang ditentukan sudah mengatur secara normatif tentang pa sa l-pa s al yang terkait penerapan hak re s titusi, rehabilitasi dan ganti rugi korban tindak pidana perdagangan manusia dan pemindanaan yang sesuai dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan orang. Tidak hanya itu h akim dalam putusan nya juga harus me ngamati atau memperhatikan dari segi hal yang memberatkan dan meringankan dengan sebagaimana yang di s ebutkan dalam pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa : “Dalam mempertimbangkan berat ringannya, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.
Dalam hal ini juga dijelaskan bahwa hakim wajib memperhatikan dari segi sifat-sifat baik ataupun sebaliknya, dari tertuduh, untuk me mperkuat atau mempertimbangkan hak restitusi, rehabilitasi, dan ganti rugi bagi korban tindak pidana perdagangan manuisia atau orang untuk diperhitungkan dengan seadil-adilnya.
Dasar dari pertimbangan hakim untuk memutus pidana perkara perdagangan orang juga harus didasarkan dari aspek non yuridis, keadilan dan empati dari hakim juga mempengaruhi sebuah berat atau ringannya dalam putusan terhadap terdakwa selain factor pada diri dan perbuatan terdakwa.
A. Dasar pertimbangan non yuridis yang melekat pada perbuatan terdakwa :
a. Merugikan orang lain
b. Menggangu masyarakat
B. Dasar pertimbangan hakim yang melekat pada diri terdakwa :
1. Terdakwa telah menyesali perbuatannya
2. Perbuatan terdakwa dalam persidangan
3. Tidak pernah melakukan di pidana atau di hukum
4. Terdakwa memiliki tanggungan keluarga
Hakim dalam memperoleh keyakinan dari macam-macam keadaan yang di dapatkan atau diketaui hakim diluar pengadilan harus mendapatkan dari pem bukti an yang sah yang terdapat di persidangan, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang.
Selain itu juga bahwa dalam putuan kehakiman juga perpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu :
Merujuk pada Undang-Undang No 48 Tahun 2009 yang relavan untuk dijadikan pandangan terhadap hakim dengan dasar dari pertimbangan hakim dalam mengabulkan putusan. Dalam wujudnya hakim mempunyai keleluasaan dalam tugasnya maupun prakteknya dalam perkara yang dihadapi, maksud dari teresebut yaitu Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka juga yaitu dimana bebas dalam memeriksa ataupun dalam mengadili suatu masalah dan bebas dari manapun yang bersangkutan dan bahkan dari adanya tuntutan yang dimohonkan penuntut umum dalam persidangan tindak pidana perdagangan orang.
Maka dalam asasnya hakim itu bebas atau mandiri tetapi hakim harus selalu ingat bahwaannya akan sumpah jabatannya dimana hakim haru s bertanggung jawab kepada hukum, masyarakat, dan diri sendiri tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan hal ini Hakim dalam menangani perkara tindak pidana perdagangan orang tersebut selain berlandaskan ketentuan normative, hakim juga diperlukan pengetahuan sosial, dan pertimbangan yang mempunyai karakter yang s opan atau beradab untuk mencerminkan sebuah keadilan didalamnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa hak restitusi, rehabilitasi dan ganti rugi bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagaimana Undang-Undang No 21 Tahun 2007 dalam Putusan No 257/Pid.Sus./2019/PN SDA dan Putusan No 889/Pid.Sus/2018/PN SDA tidak dilakukan atau tidak diterapkan oleh Majelis Hakim.