Crime in Indonesia continues to grow and lately has caused many victims in society, especially women. In general, victims of crime experienced by every woman, in addition to acts of violence, are acts of sexual harassment. Sexual harassment in Indonesia has often happened, as we know that every day many media report incidents of sexual harassment, especially harassment that occurs in public spaces. The purpose of this study is to determine the suitability of the application of the Law on the Protection of Witnesses and Victims contained in Law no. 31 of 2014 against women victims of sexual harassment in public spaces. The method used is the normative legal method. The results of the study indicate that legal protection for women victims of sexual harassment in public spaces in Sidoarjo Regency has not been fully implemented. Many victims of sexual harassment in public spaces in Sidoarjo Regency are still afraid to speak up because on average, victims of sexual harassment are still made victim blaming considering that there is very little evidence of sexual harassment in this public space.
Perkembangan kejahatan yang ada di Indonesia pada akhir-akhir ini banyak menimbulkan korban di kalangan masyarakat khususnya perempuan. Pada umumnya korban kejahatan yang dialami oleh para perempuan yaitu di samping tindakan kekerasan adalah tindakan pelecehan seksual (sexual harassment). [1] Tindak kejahatan ini disebabkan karena adanya kuasa dari pelaku yang menguasai korban. Pelecehan ini tidak hanya menyebabkan luka fisik tetapi juga menimbulkan trauma psikis pada korban.
Pelecehan terjadi karena perempuan dalam tatanan kehidupan yang pathriarkis, sering dinilai sebagai objek seksual dan apabila perempuan menjadi korban pelecehan sering disalahkan atas kejadian pelecehan seksual yang dialaminya. Perempuan hingga saat ini masih digolongkan ke dalam tempat yang dinamakan subdordinasi dan marginalisasi (ketidakadilan gender) yang dimana perempuan hanya bisa di eksploitasi, dikuasai bahkan diperbudak laki-laki. Pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk tindakan yang sangat kejam dan bertentangan dengan hak asasi, seharusnya perempuan layak untuk mendapatkan perlindungan hak asasi manusia dan kebebabasan asasi di segala bidang.[2] Banyak kasus korban pelecehan seksual yang menimbulkan kesan di masyarakat mereka dianggap sudah tidak suci, dan merendahkan korban karena menganggap diri mereka kotor dan tidak sama seperti perempuan pada umumnya dan masih banyak yang berpendapat bahwa derajat perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Tindak kejahatan terhadap manusia tidak muncul begitu saja, akan tetapi berkembang melalui proses akibat adanya pengaruh lingkungan sekitar dan beberapa aspek lainnya. Para pelaku pelecehan seksual tidak hanya dari kalangan menengah kebawah tetapi bisa juga dari kalangan atas yang merasa dirinya mempunyai power sehingga menjadi power abuse, yang dimana posisi dan jabatan mereka menjadi pengaruh dalam semua hal.[3]
Pelecehan seksual di Indonesia memang sudah sering terjadi, seperti yang kita tahu setiap hari bahkan ada pemberitaan di koran, televisi, radio, media sosial dan masih banyak media lainnya yang memberitakan tentang kejadian tindak pelecehan seksual terutama pelecehan yang terjadi di ruang publik, hampir di setiap kejadian pelecehan seksual di ruang publik yang menjadi korbannya selalu perempuan. Pelecehan seksual merupakan tindakan yang menyasar pada bagian seksualitas tubuh seseorang yang dilakukan oleh individu atau sekelompok yang menyebabkan rasa gelisah terhadap dirinya, seperti malu, marah, benci dan merasa harga dirinya direndahkan.
Seperti contoh kasus pelecehan seksual yang terjadi di dua Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia yang sempat viral di media sosial kala itu yang dialami oleh seorang mahasiswi yang mendapatkan perlakuan tidak senonoh dan mereka tidak mendapatkan perlindungan serta keadilan dari kampusnya sendiri. Banyak sekali kasus pelecehan seksual di ruang publik ini yang berakhir secara damai tanpa melalui jalur hukum. Hal ini disebabkan kurangnya rasa simpati kepada korban pelecehan seksual sehingga setiap kasus pelecehan seksual dianggap kasus yang tidak serius.
Walaupun Indonesia telah mengesahkan International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW) dan telah menetapkan instrument hukum untuk melakukan perlindungan hukum terhadap perempuan, akan tetapi kasus pelecehan seksual pada perempuan terus meningkat. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, pada 2018 tercatat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 259.150 kasus pada 2017, hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2018 meningkat lebih banyak sekitar 34%. Berdasarkan CATAHU tindakan kekerasan seksual di ruang publik sekitar 14% terjadi dari tahun 2017 hingga 2018. Pada 2017, CATAHU mencatat 3.092 kasus, sedangkan pada 2018 3.528 kasus. Disini menunjukkan kasus kekerasan paling banyak dalam bentuk pelecehan dan pencabulan di ruang publik di tahun 2017 sebanyak 2.290 (74% kasus), dan di tahun 2018 sebanyak 2.681 (76% kasus). [4] Meningkatnya kasus pelecehan seksual di ruang publik diakibatkan adanya ketidaksadaran dari pelaku bahwa apa yang telah diperbuat merupakan tindak kejahatan, karena merasa apa yang dilakukan merupakan hal yang sepele. Hingga hari ini, ruang publik bukanlah menjadi tempat yang aman dan nyaman sehingga terkesan menyeramkan dan menakutkan karena banyaknya tindak pidana pelecehan seksual. Penanganan tindak pidana pelecehan seksual di ruang publik di Indonesia masih tergolong sangat lemah, sehingga memerlukan perhatian khusus dari pemerintah agar lebih memperhatikan kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan karena berkaitan dengan moralitas bangsa. Selain itu hak-hak korban pelecehan juga terpenuhi dan mendapatkan perlindungan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Begitu banyak kasus pelecehan seksual di ruang publik yang tidak terselesaikan melalui proses hukum dan korban masih belum mendapatkan perlindungan dan hak-hak sebagai perempuan korban pelecehan.
Penulis tertarik melakukan penelitian dan mengambil data di Kabupaten Sidoarjo dikarenakan Sidoarjo merupakan daerah dengan kasus kekerasan seksual yang paling tertinggi di Jawa Timur. Sebagian besar kasus kekerasan seksual yang sering terjadi di Kabupaten Sidoarjo adalah perkosaan, dan pelecehan verbal (sentuhan dan ucapan), yang dimana kasus pelecehan verbal yang berupa sentuhan dan ucapan termasuk ke dalam pelecehan seksual di ruang publik. [5]
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang sudah di paparkan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap perlindungan hukum terhadap perempuan korban pelecehan seksual di ruang publik apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan yang berdasarkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yakni Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sedangkan bahan hukum sekunder yakni dari jurnal, buku, literature. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis deduktif yaitu proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan ini mengenai permasalahan yang mempunyai sifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus.
1. Gambaran Umum Pelecehan Seksual Di Ruang Publik di Kabupaten Sidoarjo
Pemberitaan kasus pelecehan seksual di ruang publik di Kabupaten Sidoarjo akhir-akhir ini menjadi konsumsi masyarakat sekitar, khususnya pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan. Kita ketahui pelecehan seksual termasuk salah satu bentuk kekerasan seksual yang dikarenakan pelecehan seksual merupakan pemberian perhatian seksual secara fisik seperti colekan, meraba-raba bagian tubuh seseorang dan bisa juga berupa tulisan maupun lisan (catcalling), yang menyebabkan perempuan tersebut merasa tidak nyaman dan tidak diinginkan oleh setiap perempuan yang mendapatkan perlakuan tersebut, akan tetapi perlakuan tersebut seolah-olah wajar dan harus diterima yang bersangkutan.
Korban yang mengalami pelecehan seksual di ruang publik ini rata-rata merasa malu dan takut untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya. Pelecehan seksual di Indonesia masih menjadi pembahasan yang sangat tabu, serta kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan dan hak-hak korban pelecehan seksual. Hal ini lah yang mempengaruhi korban pelecehan seksual tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib.[6]
Perlindungan hak-hak seseorang pada prinsipnya sudah diatur di dalam KUHAP yakni Pasal 98 sampai Pasal 101 namun di dalam KUHAP hanya sebatas mengatur tentang perlindungan hak pelaku tindak pidana saja. Padahal seiring perkembangan jaman, tindak pidana yang semakin beragam sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi saksi dan korban. Pemerintah pada tahun 2006 mengeluarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang sekarang menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang tersebut mengatur berbagai macam hak-hak atas kebutuhan korban pelecehan seksual yang sebelumnya tidak diatur di dalam KUHAP.
Kasus pelecehan seksual di ruang publik di Kabupaten Sidoarjo sering dialami oleh anak-anak sampai orang dewasa. Contoh kasus pelecehan seksual di ruang publik yang tercatat di Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Sidoarjo terjadi di area sekolah yang dialami oleh anak-anak SD yang bagian tubuhnya di sentuh oleh kepala sekolahnya sendiri dengan modus dipanggil ke ruangan lalu pelaku melakukan aksi pelecehan seksual tersebut. Sedangkan, yang dialami oleh perempuan dewasa ketika sedang berada di jalanan sepi kemudian ada seseorang yang tidak dikenal yang tiba-tiba meraba payudara korban. Beberapa kasus pelecehan seksual di ruang publik lainnya yang dialami oleh perempuan dewasa juga dilaporkan ke Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Sidoarjo, akan tetapi kasusnya tidak sampai ke ranah hukum karena sulitnya pembuktian dan tidak adanya saksi saat kejadian. [7] Kasus pelecehan seksual di ruang publik lainnya yang tercatat di Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Sidoarjo yang juga dialami oleh perempuan dewasa, yang pada saat itu aksi pelecehan seksual tersebut terjadi di area pabrik saat korban sedang bekerja lalu mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari atasan nya yang tiba-tiba memegang payudara korban. [8]
2 Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Pelecehan Seksual di Ruang Publik
Perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan yang menjadi korban dari pelecehan seksual di ruang publik telah diatur dalam berbagai macam undang-undang, seperti UUD I945 yang terdapat dalam Pasal 28G dan Pasal 28I, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Pembahasan tentang hak-hak korban seringkali terabaikan, terhimpit dari persoalan kriminalisasi. Ada banyak perundang-undangan yang telah mengatur mengenai kriminalisasi yang disebabkan oleh suatu tindakan. Sementara undang-undang tersebut hanya merinci suatu kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman pidana, akan tetapi tidak banyak yang secara eksplisit menyebutkan di dalam peraturan perundang-undangan tentang korban serta hak-hak mereka. Hal seperti ini juga terjadi dalam undang-undang yang memuat tindak pidana untuk kekerasan seksual, padahal kekerasan seksual bukan sekedar tindak pidana, tetapi ada yang jauh lebih penting dan mendesak yaitu hak-hak korban. [9]
Pengaturan hak-hak korban di dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dikembangkan lebih luas lagi yakni meliputi hak atas keselamatan diri serta keluarganya, hak atas bantuan hukum, dan hak atas informasi akan penyelesaian suatu perkara, medis dan psikososial, dan memberikan kesaksian di luar pengadilan, dan tidak dituntut atas apa yang telah di laporkannya dan hak-hak korban akan diberikan pada semua tahap peradilan tindak pidana dalam lingkup peradilan tindak pidana.
Sebagaimana pelaksanaan hak-hak korban pelecehan seksual di ruang publik yang diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun ruang lingkup hak-hak korban yaitu [10]:
(1) Saksi dan Korban berhak:
(a) Memperoleh hak atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;
(b) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
(c) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
(d) Mendapat penerjemah;
(e) Bebas dari pertanyaan menjerat;
(f) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
(g) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
(h) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
(i) Dirahasiakan identitasnya;
(j) Mendapat identitas baru;
(k) Mendapat tempat kediaman sementara;
(l) Mendapat tempat kediaman baru;
(m) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
(n) Mendapat nasihat hukum;
(o) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu yang perlindungan berakhir;
dan/atau
(p) Mendapatkan pendampingan.
Hak diatas adalah hak yang diberikan pada kasus tertentu berdasarkan Keputusan Lembaga Saksi dan Korban (LPSK) dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor serta ahli pidana dan juga mereka yang terlibat dalam perkara tindak pidana itu sendiri meskipun ia tidak pernah mendengar atau melihatnya sendiri sepanjang keterangannya berhubungan dengan tindak pidana. Kemudian ada hak yang lebih khusus lagi untuk korban pelecehan seksual dan hak tambahan sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dimana korban berhak mendapatkan:
(a) Bantuan medis;
(b) Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis
Sehingga korban juga berhak mendapatkan restitusi yang tercantum pada Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berupa:
(a) Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
(b) Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak
pidana;
(c) Penggantian biaya perawatan medis atau psikologis.
Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai payung hukum mengenai perlindungan terhadap korban pelecehan seksual di ruang publik belum bisa dikatakan mampu dalam memberikan perlindungan yang maksimal. Undang-undang ini juga memiliki banyak kelemahan secara formal dalam hal perlindungan saksi dan korban.
Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban bahwa perlindungan hukum terhadap perempuan korban pelecehan seksual di ruang publik yang ada di Kabupaten Sidoarjo sampai hari ini masih belum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat terutama korban karena masih banyak pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut yang belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Banyak korban pelecehan seksual di ruang publik di Kabupaten Sidoarjo yang masih merasa takut untuk speak up karena rata-rata korban pelecehan seksual masih dijadikan victim blaming mengingat pelecehan seksual di ruang publik ini sangat minimnya bukti-bukti.