This study aims to measure the effectiveness of the Social Security Agency Regulation No. 5 of 2020 and look for factors that hinder the implementation of this regulation in Sidoarjo. The research method used in this paper is sociological juridical using an empirical approach. The results of the study indicate that there is a different application from what has been regulated in the Regulation of the Social Security Agency Number 5 of 2020. This regulation is considered ineffective, because this regulation is fictitious and cannot be implemented properly. Factors that hinder the implementation of this regulation are communication factors, resource factors and also bureaucratic factors, making this regulation difficult to implement
Indonesia merupakan negara kesatuan yang berpedoman pada Pancasila dan berlandasan pada Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Semua cita – cita bangsa dituangkan didalamnya. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama, yaitu berhak atas jaminan sosial untuk mendapatkan hidup yang layak dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera, adil dan Makmur. Hal ini dituangkan didalam sila kedua yang berbunyi setiap warga berhak atas kehidupan yang adil dan Makmur dan juga pada sila kelima yang menjamin adanya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Di dalam pasal 28 dan pasal 34 Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa negara berkewajiban untuk memberikan jaminan hidup yang layak, memberikan hidup yang sejahtera, memberikan perlindungan bagi seluruh rakyatnya. Dalam pandangan filosofis yang telah diuraikan di atas, diisyaratkan bahwa jaminan sosial merupakan sektor pemerintah yang bersifat segera dan wajib untuk ditangani secepatnya. Untuk mencapai upaya dalam membentuk warga negaranya adil dan bersejahtera salah satunya ialah dengan dikeluarkannya Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial. Pasal 3 undang – undang ini pemerintah menyebutkan bahwa sistem jaminan sosial bertujuan untuk menciptakan masyarakat berkehidupan yang layak dan mencukupi kebutuhan hidupnya serta anggota keluarganya terutama di dalam hal kesehatan dan kesejahteraan hidup. Dalam pelaksanaannya, pemerintah membentuk badan khusus untuk menerapkan dan memastikan undang – undang ini berjalan sesuai dengan maksud dan tujuannya, yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau biasa dikenal sebagai BPJS. BPJS dibentuk untuk menjamin program kesejahteraan yang dibentuk oleh pemerintah dapat dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat, mulai dari Aparatur Sipil Negara (ASN), Pensiunan, Veteran, Pekerja Swasta maupun perseorangan. BPJS dalam prakteknya terdapat dua macam, yakni BPJS Kesehatan yang berfokus pada jaminan Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang sebelumnya ialah JAMSOSTEK yang dipergunakan untuk tenaga kerja baik Aparatur Sipil Negara, Swasta maupun Tenaga Kerja Kemitraan seperti Gojek, Grab dan lain sebagainya. Progam yang diselenggarakan ialah untuk menjamin setiap elemen masyarakat Indonesia dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak. Yang dimaksud dengan jaminan penyelenggaraan Kesehatan ialah usaha dan upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat Indonesia dari kondisi dan kejadian yang berkaitan dengan kesehatan.
Pada Tahun 2019 dunia telah diterpa bencana Nasional yaitu adanya pandemi corona virus – 2019 yang mana sangat merugikan seluruh elemen masyarakat dan juga sektor – sektor perekonomian. Hal ini tentunya sangat berimbas kepada nasib masyarakat dan juga jauh dari kesejahteraan. Covid berdampak sangat besar. Banyak perusahaan – perusahaan yang tutup, pemutusan hubungan kerja dimana – mana, masyarakat juga banyak yang jatuh sakit dan dampak – dampak lainnya yang terjadi. Disini pemerintah tidak tinggal diam untuk tetap memulihkan kesejahteraan masyarakatnya, yakni salah satunya dengan menyalurkan biaya langsung tunai kepada masyarakat, kepada pekerja yang dibantu dengan bpjs kesehatan untuk penyalurannya dan juga dikeluarkannya peraturan badan jaminan sosial nomor 5 tahun 2020. Dalam penulisan ini saya akan lebih menyoroti pada poin terakhir, yakni dengan dikeluarkannya peraturan badan jaminan sosial nomor 5 tahun 2020, terutama pada pasal 43 mengenai jaminan sosial berupa jaminan kesehatan yang dapat diperoleh oleh pekerja yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa para terdampak pemutusan hubungan kerja dapat memperoleh jaminan kesehatan tanpa membayar iuran selama 6 bulan pasca dilakukan pemutusan hubungan kerja. Tetapi untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut, para peserta harus memenuhi syarat – syarat khusus yang diatur didalam pasal 44 dalam undang – undang ini. Di sidoarjo juga terjadi pengurangan tenaga kerja secara massal, sebut saja ecco, youngthree dan juga industri – industri yang lainnya juga banyak dilakukan pengurangan atau pemutusan hubungan kerja (tercatat pada akhir 2020 sebanyak 5.000 pekerja di sidoarjo terkena pemutusan hubungan kerja dalam sidoarjokab.com). Akan tetapi masyarakat belum mengetahui terkait dengan jaminan kesehatan yang dapat diperoleh oleh pekerja setelah kehilangan pekerjaan.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang sudah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap bagaimana efektifitas jaminan kesehatan pasca pemutusan hubungan kerja setelah dikeluarkannya peraturan badan penyelenggara jaminan sosial nomor 5 tahun 2020 di sidoarjo dan apa yang menjadi faktor penghambat keberlangsungan penerapan kebijakan atau regulasi jaminan sosial bagi korban pemutusan hubungan kerja yang kemudian akan diteliti lebih lanjut dalam penelitian yang berjudul “efektifitas jaminan kesehatan pasca pemutusan hubungan kerja menurut peraturan badan penyelenggaraan jaminan sosial nomor 5 tahun 2020 di sidoarjo”.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis dengan pendekatan empiris. Data primer berupa survey dan wawancara dengan instansi terkait serta beberapa reponden. Data sekunder berupa rangkuman – rangkuman, majalah, jurnal, undang – undang maupun juriprudency yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Serangkaian data yang didapat dilakukan analisis secara induktif untuk memaparkan fenomena dilapangan, disusun menjadi teori jawaban menggunakan kalimat yang teratur dan efektif.
1. Badan Penyelenggaraan Jaminan Ssosial Kesehatan Sidoarjo
Pada tanggal 1 Januari 2014 PT Askes Indonesia berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau biasa disebut sebagai BPJS. Hal ini terjadi setelah dikeluarkannya Undang – undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jaminan Sosial Nasional yang kemudian di revisi menjadi Undang – undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS), maka secara sah PT Askes berubah menjadi BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan secara luas terbagi menjadi beberapa macam goolongan, yakni BPJS Kesehatan untuk perusahaan, BPJS Kesehatan untuk ASN, BPJS Kesehatan mandiri (khusus masyarakat umum) dan BPJS Kesehatan JKN Kis (yang didapat dari pemerintah khusus untuk masyarakat berekonomi rendah). BPJS diciptakan untuk memastikan jaminan kesehatan dapat diperoleh secara menyeluruh dan merata diseluruh Indonesia. BPJS Kesehatan terbagi menjadi beberapa cabang, dimana untuk wilayah Jawa Timur terbagi menjadi 13 kantor cabang yang terbagi di beberapa kabupaten atau kota. Kantor cabang BPJS Kesehatan Sidoarjo berada di Jl. Erlangga Nomor 222, Kelurahan Celep, Kabupaten Sidoarjo dipimpin oleh Ibu Yessy Novita beserta jajarannya. BPJS Kesehatan terbagi menjadi dua kantor cabang, yaitu kantor cabang BPJS Kesehatan untuk Perusahaan dan untuk Non Perusahaan. Dalam posisi pandemi Covid - 19 saat ini, kantor BPJS Kesehatan Sidoarjo menerapkan pelayanannya dimaksimalkan dengan menggunakan media online, salah satunya ialah menggunakan aplikasi elektronik data badan usaha atau biasa disebut sebagai “EDABU” untuk kepesertaan perusahaan dan menggunakan pelayanan administrasi melalui whatsapp atau disingkat “PANDAWA” untuk kepesertaan mandiri. Di bulan Mei 2021, tercatat sejumlah 96% penduduk Sidoarjo telah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan atau sejumlah 1.863.747 jiwa yang sudah menjadi peserta dan tercatat di dalam data BPJS Kesehatan Sidoarjo. Hal ini membuktikan bahwa 96% masyarakat Sidoarjo telah terjamin fasilitas kesehatannya. Hal ini juga disampaikan oleh Ibu Yessy Novita pada saat menghadiri kegiatan penandatanganan nota kesepahaman di pendopo sidoarjo yang telah dihadiri oleh beberapa jajaran dari dinas – dinas lainnya. [6]
A. Sebelum diberlakukannya Peraturan Jaminan Sosial Nomor 5 Tahun 2020
Sebelum diberlakukannya peraturan jaminan sosial nomor 5 tahun 2020, badan jaminan sosial atau disingkat sebagai bpjs telah menerbitkan peraturan terdahulu, yaitu peraturan jaminan sosial nomor 6 tahun 2018 tentang administrasi kepesertaan program jaminan kesehatan pada 18 desember 2018. Sebagaimana peruntukannya, peraturan ini dibuat atas dasar pasal 16, pasal 19 dan pasal 26 peraturan presiden nomor 82 tahun 2018 tentang jaminan sosial sebagai pedoman untuk petugas dan juga peserta BPJS dalam setiap program yang telah dibuatnya. Salah satunya ialah program jaminan kesehatan selama 6 bulan untuk peserta yang terdampak pemutusan hubungan kerja. Pasal tersebut tertuang di dalam pasal 43 agar setiap peserta penerima upah (pekerja) agar tetap menikmati jaminan kesehatan, meskipun mereka sudah bukan lagi menjadi peserta penerima upah. Syarat dan ketentuan untuk mendapatkan jaminan kesehatan ini juga diperjelas pada pasal 44 di dalam peraturan yang sama. Terdapat 4 kategori untuk peserta penerima upah dapat mendapatkan program ini, yakni pemutusan hubungan kerja yang sudah ada putusan pengadilan, perusahaan pailit atau kerugian, perusahaan mengalami penggabungan dan juga karena pekerja sakit yang berkepanjangan. Peraturan ini sudah sering kali disosialisasikan pada perusahaan, bersamaan dengan dikeluarkannya system kepesertaan bpjs kesehatan yaitu edabu (elektronik database badan usaha) versi 1.1, dimana program ini bertujuan untuk mempermudah badan usaha dalam mengelola data peserta bpjs pekerjanya, baik perubahan upah, penambahan dan juga penonaktifan. Pada tahun 2020 pemerintah merasa perlu dilakukannya perubahan atas peraturan jaminan sosial nomor 6 tahun 2018, mengingat adanya pandemi covid-19 dan juga terjadinya pemutusan hubungan kerja secara massal di beberapa daerah. Maka pemerintah mengeluarkan peraturan jaminan sosial nomor 5 tahun 2020, dimana peraturan ini merupakan perubahan kedua atas peraturan sebelumnya. Peraturan ini bertujuan untuk mempertegas adanya program jaminan kesehatan selama 6 bulan untuk korban pemutusan hubungan kerja, sehingga untuk peserta penerima upah (ppu/pekerja) tetap dapat menikmati fasilitas kesehatan meskipun mereka sudah tidak bekerja lagi.
B. Sesudah diberlakukannya Peraturan Jaminan Sosial Nomor 5 Tahun 2020
Sejak dikeluarkannya peraturan badan jaminan sosial kesehatan nomor 5 tahun 2020 terutama pada pasal 43 di peraturan ini yang menyatakan bahwa peserta dari pekerja penerima upah berhak mendapatkan manfaat jaminan kesehatan selama 6 bulan bagi yang telah mengalami pemutusan hubungan kerja. Di Sidoarjo mayoritas korban-korban pemutusan hubungan kerja belum mengetahui dan belum memperoleh jaminan tersebut. Terhitung dari 50 responden dari beberapa karyawan yang telah menjadi korban pemutusan hubungan kerja mengatakan bahwa mereka tidak mengerti terkait adanya fasilitas tersebut. Sedangkan peraturan ini sebenarnya sudah ada pada tahun 2018 yaitu tiga tahun yang lalu pada saat dikeluarkannya peraturan badan jaminan sosial nomor 6 tahun 2018 tentang administrasi kepesertaan progam jaminan kesehatan. Beberapa responden mengaku sempat mengerti dan mencoba untuk mengajukan hal ini kepada bpjs, akan tetapi tidak dapat disetujui dikarenakan terhalang oleh beberapa persyaratan yang berbelit – belit, sehingga dirasa progam ini seperti progam yang tidak jelas untuk didapatkan pemanfaatannya. Menurut pak arif (petugas BPJS), pemerolehan pamanfaatan jaminan kesehatan untuk korban pemutusan hubungan kerja dapat diperoleh dengan cara pengajuan secara tertulis sebagaimana pada surat pemberitahuan nomor 1312/VII-12/0721 tentang pemberitahuan perubahan dokumen pendukung pemberhentian progam jaminan kesehatan yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Pengajuan dapat dilakukan oleh perusahaan melalui aplikasi elektronik data badan usaha atau disingkat “edabu” yang digunakan oleh perusahaan untuk mendaftarkan pesertanya, pada menu penonaktifan karena pemutusan hubungan kerja. Yang kemudian setiap berkas yang dibutuhkan dikirimkan melalui email. Dalam hal ini penulis menemukan beberapa kejanggalan, kejanggalan yang pertama ialah terkait siapa saja yang berhak untuk mendapatkan jaminan kesehatan selama 6 bulan. Menurut pak arif, jaminan kesehatan ini dapat diperoleh untuk karyawan yang memiliki surat pernyataan sudah tidak dapat bekerja lagi karena sakit dan karyawan yang di pemutusan hubungan kerja karena perusahaan telah pailit. Dalam lampiran 1 pada surat pemberitahuan nomor 1312/vii-12/0721 tentang pemberitahuan perubahan dokumen pendukung pemberhentian progam jaminan kesehatan yang mengalami pemutusan hubungan kerja menyatakan bahwa :
No | Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja | Jumlah Pekerja |
1 | Meninggal dunia | |
2 | Berakhir masa kerja berdasarkan perjanjian kerja | |
3 | Mengundurkan diri | |
4 | Penyebab lain selain poin 1sd 3 yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan paling lama 6 bulan | |
5 | PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA sudah ada putusan Pengadilan Hubungan Industrial | |
6 | PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA karena perubahan status, penggabungan atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya | |
7 | PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA karena perusahaan pailit atau mengalami kerugian | |
8 | Pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan |
Menurut penulis, dengan membandingkan apa yang telah disampaikan oleh Pak Arif dengan apa yang telah di paparkan dalam lampiran Surat Pemberitahuan Nomor 1312/VII-12/0721 terdapat ketidaksesuaian, yaitu menurut Pak Arif hanya dua kategori persyaratan peserta agar dapat mengajukan, yakni perusahaan pailit dan peserta sudah dinyatakan tidak dapat bekerja. Sedangkan, dalam lampiran dari Surat Pemberitahuan Nomor 1312/VII-12/0721 terdapat delapan kategori persyaratan peserta agar dapat mengajukan jaminan kesehatan secara gratis selama 6 bulan setelah bukan lagi peserta BPJS.
Yang lebih janggal lagi ialah pada poin karyawan pemutusan hubungan kerja karena meninggal, bagaimana karyawan yang telah meninggal berhak untuk mendapatkan jaminan kesehatan, sedangkan karyawan sendiri sudah tidak bisa dan layak untuk mendapatkan jaminan kesehatan, mengingat karyawan sudah di makam kan. Yang kemudian ialah kejanggalan atas apa yang telah di paparkan di dalam pasal 44 huruf (a) Peraturan Badan Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 5 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa pemanfataan jaminan kesehatan dapat diperoleh apabila sudah mendapatkan putusan pengadilan hubungan industrial, mengingat pada prakteknya dalam pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, banyak yang tidak didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial. Mengingat dalam peraturan perundang – undangan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja yang dalam beberapa pasalnya mengisyaratkan adanya bipartit dalam menyelesaikan sengketa antara pengusaha dan pekerja. [7] Pak Cahliq (Petugas Disnaker) juga menyampaikan bahwa permasalahan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha, paling sering penyelesaiannya cukup sampai bipartite dan ke jenjang paling tinggi cukup sampai mediasi dengan dinas tenaga kerja Sidoarjo. Menurut Pak Chaliq, masih belum ada pekerja yang menuntut hak nya terkait dengan jaminan kesehatan sampai saat ini setelah pekerja di pemutusan hubungan kerja.
Pak Chaliq berpendapat apabila keputusan pengadilan hubungan industrial dijadikan persyaratan untuk mendapatkan jaminan kesehatan setelah pemutusan hubungan kerja, maka beliau khawatir jika jaminan atau peraturan ini tidak dapat diterapkan. Beliau sangat mendukung akan progam yang telah dibentuk oleh pemerintah, akan tetapi progam ini akan lebih efektif jika di sosialisasikan dengan benar dan di terapkan persyaratan – persyaratan yang mudah untuk mendapatkannya. Ketiga, penulis juga melakukan wawancara kepada Pak Laily Mahmud Yusuf sebagai personalia di salah satu perusahaan di daerah Wonoayu, Sidoarjo. Menurut Pak Yusuf mengenai penerapan Peraturan Badan Jaminan Sosial Nomor 5 Tahun 2020 ialah peraturan yang mendukung dan mensejahterahkan rakyat, dimana pemerintah melalui programnya berkeinginan untuk memastikan jaminan kesehatan kepada para pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja. Pak Yusuf berpendapat bahwa kebijakan ini bersifat semu, dikarenakan sampai saat penulis melakukan wawancara, kebijakan ini belum pernah disosialisasikan kepada pekerja maupun perusahaan. Beliau belum pernah diundang untuk menghadiri rapat sosialisasi secara langsung maupun secara daring oleh pihak BPJS Kesehatan Sidoarjo. Sehingga Pak Yusuf sampai saat ini belum pernah ada yang diajukan kepada BPJS Kesehatan untuk progam ini, dan beliau merasa bingung untuk alur dan prosedur pengajuannya seperti apa.
Mengukur tingkat efektifitas Peraturan Badan Jaminan Sosial Nomor 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 tentang Administrasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan di Kabupaten Sidoarjo sesuai dengan pemaparan dan pembahasan diatas, maka ditinjau dari tiga aspek yang dapat mengukur efektifitas suatu aturan. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa terdapat tiga aspek untuk mengukur efektifitas dari sebuha aturan hukum, yaitu aspek filosofis, yuridis dan juga sosiologis. [8] Dimana suatu aturan akan dianggap timbang apabila tidak mencakup ketiga aspek ini. Peraturan akan dianggap menjadi peraturan yang mati apabila hanya memiliki aspek yuridis, akan dianggap sebagai peraturan hukum yang bersifat memaksa dan hanya mempedulikan kepentingan pemerintah jika hanya memiliki unsur sosiologis dan dianggap sebagai peraturan yang semu, hanya dicita – citakan saja tetapi tidak pernah diimplementasikan apabila hanya memiliki unsur filosofisnya.
2. Hambatan Implementasi Peraturan Badan Janminan Sosial Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Administrasi Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan
Untuk mencari hambatan yang terjadi dalam implementasi Peraturan Nomor 5 Tahun 2020, penulis melakukan survey dengan menyebarkan kuesioner kepada para pekerja dibeberapa perusahaan yang ada di Sidoarjo. Disini penulis akan merangkum dan menyimpulkan semua hambatan dalam implementasi Peraturan Badan Jaminan Sosial Nomor 5 Tahun 2020 berdasarkan 5 faktor kategori penilaian sesuai dengan teori dari George C Edward dan Mazmania & Sabatier. [9] Hasil dari kuesioner yang telah penulis sebarkan ialah sebagai berikut :
KUESIONER TANGGAPAN PEKERJA TERHADAP HAMBATAN DALAM PENERAPAN PERATURAN BADAN JAMINAN SOSIAL NOMOR 5 TAHUN 2020 | ||
Komunikasi | Sumber Daya | Struktur Birokrasi |
27 | 25 | 30 |
a. Faktor Komunikasi
Yang dimaksud faktor komunikasi ialah kurangnya sosialisasi dan interaksi dari pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat akan teknis dan juga eksistensi dari peraturan ini. Sehingga terdapat 27 responden menyatakan bahwa masih belum paham dan mengerti akan adanya program jaminan kesehatan ini. Kurangnya komunikasi dari pemerintah dan juga pemahaman masyarakat akan keberadaan Peraturan Badan Jaminan Sosial Nomor 5 Tahun 2020 mengakibatkan implementasinya tidak dapat dijalankan dengan efektif sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah.
b. Faktor Sumber Daya
Sumber daya yang dimaksud ialah sarana dan prasarana. Dimana masih belum ada wadah untuk pekerja untuk melakukan pendaftaran untuk pemerolehan progam jaminan kesehatan pasca PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA secara mandiri. Pasalnya, progam ini hanya dapat diajukan dan didaftarakn oleh perusahaan saja melalui platform berbasis elektronik di “EDABU” atau elektronik database badan usaha. [10] Hal ini tentunya menyulitkan dan merugikan pekerja, dikarenakan tidak semua perusahaan pro aktif untuk mendukung dan juga mensejahterakan pekerjanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa progam ini dapat benar – benar berjalan efektif apabila perusahaan memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang penuh untuk membantu mensejahterahkan karyawannya, melalui progam jaminan kesehatan setalah mereka di PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Bukan hanya pekerja atau karyawan, efektifitas peraturan ini juga bergantung kepada pengusaha atau perusahaan, dimana apabila pengusaha aktif dan memiliki kesadaran akan pentingnya progam ini bagi pekerja, maka efektifitas peraturan ini akan tinggi dan apabila pengusaha pasif dan cenderung mengabaikan maka akan sebaliknya, yaitu implementasi dari Peraturan Badan Jaminan Sosial tidak akan efektif.
c. Faktor Struktur Birokrasi
Yang dimaksud dengan struktur birokrasi ialah sunsunan, tatanan maupun prosedur dan juga petunjuk teknis. Penulis menemukan bahwa Peraturan Badan Jaminan Sosial Nomor 5 Tahun 2020 ini dikeluarkan serta diundangkan pada tanggl 28 Desember 2020, merupakan perubahan kedua yang telah disempurnakan dari Peraturan Badan Jaminan Sosial Nomor 6 Tahun 2018. Selama itu juga, peraturan ini masih simpang siur, dimana beberapa responden terutama dari sisi pengusaha merasa kecewa akan prosedur atau petunjuk teknis dalam mendaftarkan pekerja untuk program jaminan kesehatan pasca PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Manurut mereka, masih belum ada aturan atau kebijakan teknis yang jelas untuk implementasinya di lapangan. Sehingga baik dari pihak pengusaha maupun BPJS Kesehatan masih bingung harus di jalankan seperti apa, dan berujung kepada permohonan yang digantungkan tanpa adanya disposisi. Dengan demikian pada bulan Maret 2021 dikeluarkanlah Surat Pemberitahuan dengan Nomor Surat 497/VII-2/0321 tentang Pemberitahuan Syarat dan Tata Cara Pelaporan Pemberhentian Kepesertaan Progam Jaminan Kesehatan yang Mengalami PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Dimana kemudian dilakukan perubahan pada bulan Juli 2021 dengan Nomor Surat 1312/VII-12/0721 tentang Pemberitahuan Syarat dan Tata Cara Pelaporan Pemberhentian Kepesertaan Progam Jaminan Kesehatan yang Mengalami PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Surat Pemberitahuan ini berlaku sebagai petunjuk teknis dan juga pedoman bagi petugas maupun pelaku usaha untuk mengajukan pekerja dalam program jaminan kesehatan pasca PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Sama hal nya dengan induk peraturan ini, petunjuk teknis ini juga belum pernah dikomunikasikan maupun disosialisaikan kepada masyarakat maupun pelaku pengusaha. Sehingga beberapa responden harus aktif untuk mencari informasi sebanyak – banyaknya dan yang paling valid.
Peraturan ini masih bersifat semu atau hanya sebatas peraturan yang di cita – cita kan saja, tetapi tidak ada dorongan dari pemerintah secara khusus untuk menjalankan program ini dengan baik dan benar. Pemerintah cenderung lambat dalam pemberlakuan program ini, dapat dilihat dari kurangnya inisiatif untuk melakukan komunikasi dan interkasi secara langsung kepada masyarakat dan juga kurangnya tanggung jawab yang menganggap bahwa program ini penting dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Yang menjadi penghambat pelaksanaan peraturan ini adalah faktor sumber daya, yaitu pemerintah masih belum menyediakan sarana yang pasti untuk progam ini. Kedua adalah faktor birokrasi yang terlalu panjang, yaitu pengurusan progam BPJS harus melalui EDABU dan hanya bisa diajukan oleh pengusaha, yang mana seharusnya hal ini dapat dilakukan sendiri oleh peserta atau pekerja. Dan ketiga ialah faktor komunikasi, yaitu peraturan ini tidak pernah disosialisasikan secara jelas kepada masyarakat, sehingga ditemukan banyak yang belum mengerti dan paham akan peraturan tersebut.