This study aims to provide an overview of current legal due diligence standards. So that it can be an answer to the various due diligence models used in previous studies. This research is a desk research, with literature sourced from the lens.org database and garuda.kemdikbud.go.id for scientific articles, and book.google.com for books. The result of this research is that legal due diligence has the same objective as legal audit, namely risk mitigation. The absence of standards for legal due diligence in general, can be filled with existing standards in legal audits, except for legal due diligence conducted by stock market legal consultants within the scope of the stock market. Because they already have special standards set by their association. The results of this research are expected to facilitate legal practice in conducting legal due diligence in the future.
Highlights:
Masyarakat lebih banyak mengenal profesi hukum sebagai “catur wangsa” penegak hukum. Diantaranya polisi, jaksa, hakim, dan advokat. Keempatnya disebut sebagai pilar penegakan hukum. Adanya pandangan tersebut, memunculkan stigma bahwa profesi advokat identik dengan melakukan kegiatan beracara di pengadilan. Namun, sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dilakukan advokat selain beracara di pengadilan. Diantaranya membuat pendapat hukum, catatan hukum, uji tuntas hukum atau audit hukum, konsultasi hukum, atau dokumen hukum umum (surat kuasa, draft perjanjian, surat somasi, dan seterusnya) [1].
Audit hukum (legal audit) atau uji tuntas hukum (legal due diligence) sebetulnya dua hal yang berbeda namun memiliki kesamaan dari sisi fungsi. Keduanya dilakukan untuk memastikan ketaatan hukum dari suatu objek, serta memastikan bahwa objek hukum tersebut bebas dari masalah [2], [3]. Namun, di Indonesia, untuk melakukan audit hukum, terdapat sertifikasi khusus untuk itu. Diwadahi oleh Asosiasi Auditor Hukum Indonesia (ASAHI). Para praktisi audit hukum diminta dituntut untuk melakukan sertifikasi sesuai standar Badan Nasional Sertifikasi Profesi [4]. Standar yang dimiliki oleh BNSP tentunya merupakan standar khusus yang sudah disepakati oleh komunitas, dalam hal ini adalah ASAHI. Menjadi pertanyaan adalah, apakah standar tersebut diterapkan juga untuk melakukan uji tuntas hukum?
Penelitian terkait uji tuntas hukum maupun audit hukum saat ini diantaranya berfokus pada peran auditor hukum [5], hasil audit sebagai bukti di persidangan [6], penggunaan audit hukum pada koperasi [7], aspek standar pada konsultan hukum pasar modal [8], serta pemanfaatan due diligence pada proses merger dan akuisisi [9], atau penggunaannya pada kasus tertentu [10]. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran standar uji tuntas hukum yang berkembang saat ini. Sehingga bisa menjadi jawaban akan beragamnya metode uji tuntas yang digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini merupakan penelitian literatur, yang bersumber pada database lens.org dan garuda.kemdikbud.go.id untuk artikel ilmiah, dan book.google.com untuk buku. Literatur disusun dengan menjawab keterkaitan antara audit hukum dengan uji tuntas, untuk kemudian dilanjutkan kan dengan penyajian standar uji tuntas saat ini, dan prosesnya.
Uji tuntas merupakan suatu cara untuk melihat secara menyeluruh suatu objek, sebelum pengambilan keputusan. Uji tuntas ini lazimnya dilihat dalam tiga aspek yakni kerangka keuangan, operasional, dan hukum, dengan tujuan untuk menemukan petunjuk tentang keberlangsungan dari objek tersebut kedepannya [11].
Guna melihat ketiga kerangka tersebut. Terdapat tipe-tipe uji tuntas yang ada berdasarkan pada laporan akhirnya, diantaranya [12]:
Selain itu, masing-masing objek memiliki karakteristik uji tuntas sendiri sendiri, sehingga metode pada uji tuntas yang satu tidak bisa serta merta digunakan untuk uji tuntas yang lain. Tergantung dari objek uji tuntasnya. Misal:
Mereka memiliki karakteristik sendiri-sendiri.
Uji tuntas sendiri berawal dari prinsip dari sistem hukum anglo-saxon yakni “caveat emptor” yang berarti “biarkan pembeli waspada” [13]. Sehingga bisa kita pahami bahwa pihak yang melakukan uji tuntas lazimnya adalah pembeli dari suatu objek. Namun, bisa juga penjual, jika penjual mengharapkan pembeli yang pantas akan objek yang dimilikinya. Prinsip ini disebut sebagai “caveat venditor” yang berarti “biarkan penjual waspada”. Sehingga kemudian antara penjual dan pembeli bisa menjadi saling percaya karena diawali dari keterbukaan [14]. Oleh karenanya, konteks pembeli dan penjual ini bisa sebut adalah mereka yang hendak mengambil keputusan, maka perlu untuk melakukan uji tuntas.
Antara uji tuntas dan audit hukum pada intinya memiliki tujuan yang sama yakni mitigasi risiko [15]. Namun, Mangesti menyebutkan bahwa antara uji tuntas dan audit hukum, itu dua hal yang berbeda. Perbedaan antara uji tuntas dan audit hukum terletak pada [16]:
Pada audit hukum yang melaksanakan adalah auditor hukum yang bersertifikasi, sedangkan uji tuntas hukum bisa dilakukan oleh konsultan hukum. Sasaran dari audit hukum adalah perorangan, perusahaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan uji tuntas hukum hanya pada perusahaan dan aset [16]. Luaran pada audit hukum adalah sebatas menyatakan suatu objek “clean and clear” (clean berarti taat hukum, clear berarti bebas dari masalah) [17]. Sedangkan pada uji tuntas hukum luarannya bebas yang biasanya berbentuk legal opinion atau executive summary [8]. Audit hukum di Indonesia memiliki standar baku berdasar pada SKK BNSP. Sedangkan untuk uji tuntas hukum, standar yang ada baru pada profesi Konsultan Hukum Pasar Modal. Standar tersebut disahkan dalam Keputusan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal [18]. Standar uji tuntas hukum pada konsultan hukum secara umum belum ada.
BNSP selaku lembaga yang melakukan sertifikasi dari suatu profesi, memiliki standar-standar yang ditetapkan dalam wujud Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK). Merujuk pada laman BNSP, Standar kompetensi yang wajib dimiliki oleh auditor hukum yakni [4]:
Perbedaan yang disampaikan oleh Mangesty et al. tersebut terletak pada satu poin. Yakni audit hukum terstandar melalui BNSP sehingga yang melakukan perlu untuk memiliki sertifikasi BNSP. Sedangkan uji tuntas hukum, tidak ada standar baku, sehingga yang melakukan juga tidak ada persyaratan khusus. Namun, jika ditarik dari konsep yang lebih dulu ada. Maka uji tuntas hukum, adalah konsep yang ada lebih dulu dan jamak dipakai oleh konsultan hukum di seluruh dunia [15].
Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa uji tuntas hukum sejatinya merupakan awal mula konsep yang dipakai oleh istilah audit hukum yang distandarkan oleh BNSP.
Howson menyebut [12] tujuan dari suatu uji tuntas adalah untuk membantu mengidentifikasi kewajiban yang perlu dilakukan setelah mengambil keputusan, membantu mengidentifikasi perlindungan hukum yang mungkin diperoleh setelah mengambil keputusan, membantu memastikan transaksi yang berjalan dengan lancar, serta membantu menyediakan data yang lengkap dan andal dalam proses Initial Public Offering.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Howson, maka uji tuntas ini diharapkan dapat membantu untuk terciptanya keterbukaan dalam melakukan perjanjian (disclosure), keterbukaan tersebut akan melahirkan itikad atau niat yang baik (good faith). Niat yang baik tentunya akan melahirkan perjanjian yang baik (good agreement). Sehingga prinsip-prinsip dasar dari kontrak dapat tercapai dengan optimal (figure 1).
Lahirnya perjanjian yang kuat, tentunya akan mempersempit peluang terjadinya sengketa di kemudian hari.
Kunci dalam pelaksanaan uji tuntas hukum terletak pada aspek [19]:
Hal-hal tersebut perlu menjadi pertimbangan saat akan memulai suatu proses uji tuntas hukum. Agar proses berjalan dengan lancar. Misalnya: bagaimana mungkin proses berjalan lancar jika konsultan hukum yang melakukan uji tuntas hukum tidak memiliki business knowledge yang cukup terhadap bidang usaha perusahaan yang menjadi objek uji tuntas hukum.
Uji tuntas hukum sendiri lazimnya dilakukan saat akan memulai suatu perbuatan hukum atau untuk mengevaluasi aspek hukum dari suatu perusahaan atau aset. Diantaranya perbuatan hukum termaksud adalah [20]:
Merger and Acquisition
Capital Market
Financing
Compliance
Jika melihat poin penting dan alasan dilakukannya uji tuntas hukum. Maka, selain untuk mitigasi risiko. Target lain dari uji tuntas hukum bisa untuk menambah daya tawar serta meningkatkan kemungkinan terjadinya kesepakatan.
Proses uji tuntas hukum ini biasanya dilakukan dengan online atau offline. Namun, lokasi yang pasti di datangi adalah “data room”. Disebut sebagai data room dikarenakan dalam ruangan tersebut tersedia semua data yang diminta oleh pihak yang melakukan uji tuntas hukum. Data room (Figure 2) ini bisa berupa ruangan fisik pada kantor perusahaan target. Bisa juga pada virtual data room (Figure 3) yang disediakan oleh konsultan hukum yang melakukan uji tuntas hukum atau perusahaan target.
Crosscheck juga lazim dilakukan, setelah melakukan penelusuran pada data room. Crosscheck biasanya dilakukan dengan mengunjungi lokasi usaha, aset, atau kantor manajemen.
Howson menyebut ruang lingkup dalam pengecekan ini meliputi [12]: Corporate Records; Shares; Dispensations; Debt Insolvency; Property; Intellectual Property; Agreements; Employment; Compliance; Litigation; Antitrust; Insurance; Consents and Releases. Guna memperlancar proses pengecekan, lazimnya konsultan hukum akan memberikan List of Requested Documents (LORD) kepada target perusahaan dengan rincian
Namun, sebelum daftar itu diberikan, sejatinya sudah terjadi terlebih dahulu kesepakatan awal antara kedua belah pihak. Hal ini penting, karena saat proses uji tuntas hukum. Konsultan hukum bisa melihat dokumen perusahaan target yang sebelumnya bersifat rahasia. Kesepakatan awal ini diantaranya terdapat Non Disclosure Agreement. Sehingga kemudian jika diurutkan, tahapan dari proses uji tuntas hukum adalah sebagai berikut [17], [20]:
Ketika melakukan uji tuntas hukum pada perusahaan. Tentunya konsultan hukum, juga berpegang pada prinsip-prinsip hukum perusahaan yang ada, selain berpatokan pada peraturan perundang-undangan. Karena tujuan utama proses ini adalah mitigasi risiko. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya [22], [23]:
Luaran dari proses uji tuntas adalah legal opinion. Namun, bisa juga diawali dilampiri dengan executive summary. Executive summary ini adalah semacam rangkuman dari legal opinion yang dibuat. Isi dari Executive summary diantara adalah Issue list, Recommendation, Condition precedence (Klausula Prasyarat), Condition subsequence (Klausula Syarat Lanjutan), dan Result [10], [17]. Klausula bersyarat adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan target, jika ingin kesepakatan dilanjutkan. Sedangkan Klausula syarat lanjutan adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan target, setelah kesepakatan dilanjutkan. [12].
Tidak adanya standar yang pasti dalam melakukan uji tuntas hukum secara umum, menyebabkan konsultan hukum bisa secara bebas menuliskan hasil dari proses uji tuntas ini. Namun, jika menggunakan luaran pada audit hukum yang ditetapkan BNSP, sebetulnya tidak masalah. Luaran yang dimaksud adalah [16]:
Akan tetapi, hal ini tidak bisa digunakan oleh konsultan hukum pasar modal. Dikarenakan mereka sudah memiliki standar khusus yang telah ditetapkan oleh perkumpulan.
Uji tuntas hukum memiliki tujuan yang sama dengan audit hukum yakni mitigasi resiko. Ketiadaan standar yang baku terhadap uji tuntas hukum secara umum, dapat diisi dengan standar yang sudah ada pada audit hukum, kecuali uji tuntas hukum yang dilakukan oleh konsultan hukum pasar modal dalam lingkup pasar modal. Karena mereka sudah memiliki standar khusus yang ditetapkan oleh perkumpulannya. Adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memudahkan praktisi hukum dalam melakukan uji tuntas hukum di kemudian hari.