Abstract

The legal politics of establishing large-scale social restriction regulations in the context of accelerating the handling of the Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) which was formed in 2020. In this case, the legal politics has the flavor of punishment, which is reflected in the arrangement of criminal sanctions. In its determination, referring to the error is included in the qualification of an action that can be subject to criminal sanctions or not. The purpose of this paper is to describe the regulation of criminal sanctions in large-scale social restrictions regulationsn in order to accerlerate the handling of the Covid-19 virus. The type of research used is normative research with a statutory approach, case approach, and conceptual approach. The result found that there are large-scale social restriction regulations that refer to unlawful acts which in imposing sanctions are regulated in Article 93 of Law Number 6 of 2018 concering Health Quarantine with a maximum imprisonment of 1 (one) year and a fine of Rp.100.000.000.0,- (one hundred million rupiah).

Pendahuluan

Masyarakat merupakan suatu sekumpulan individu manusia yang mana mereka hidup, berkembang, dan berinteraksi dalam suatu lingkungan tertentu. Manusia memiliki dua kedudukan dalam kehidupan bermasyarakat yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Yang dimana sebagai makhluk sosial tidak dapat terlepas dari keberadaan manusia yang lain. Setiap individu dalam kumpulan tersebut mempunyai berbagai kepentingan, sehingga dapat dimungkinkan dalam hal mewujudkan kepentingan tersebut dapat terjadi suatu benturan antara satu dengan yang lainnya. Terjadinya benturan tersebut mengakibatkan adanya rasa tidak aman dan tidak nyaman dalam diri tiap individu dalam bermasyarakat. Hal tersebut sangat merugikan karena pada dasarnya manusia mendabakan keamanan, kedamaian dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya.

Namun, pada awal tahun 2020, khususnya di bulan Maret, muncullah fenomena baru yang dimana hal itu membatasi kegiatan para individu untuk melakukan kegiatan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan masuknya sebuah penyakit, berupa Virus ke dalam Negeri (Pandemi), yang dimana penularan virus ini sangat susah untuk di deteksi. Virus ini disebut Corona Virus Disease 19 atau yang biasa disebut dengan COVID-19. Virus ini menyerang sistem pernapasan, dan dapat ditularkan melalui Droplet (Percikan air lliur), menyentuh mulut atau hidung tanpa mencuci tangan setelah menyentuh objek yang sama dengan orang yang terinfeksi Covid-19, dan berkontakan secara lansung dengan orang yang terinfeksi Covid-19, seperti halnya berjabat tangan. Virus ini bisa menyerang siapa saja tanpa terkecuali. Tingkat kematian yang diakibatkan virus ini sangat tinggi, sehingga berbagai kebijakan dilakukan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari Corona Virus Disease (Covid-19), yaitu dengan cara Social distancing sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang Kekarantinaan Kesehatan, terdapat 4 (empat) konsep pembatasan sosial yang dapat dilakukan, yaitu Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Wilayah (Lockdown), dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dari adanya 4 (empat) konsep tersebut, maka pemerintah memilih kebijakan pembatasan sosial berskala besar sebagai upaya menanggulangi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Konsep social distancing diterjemahkan sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat (11) Undang – Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai:

“Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan pembatasan kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dem mencegah penyebaran penyakit”.

Dengan adanya hal ini, melalui persetujuan Menteri Kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan PSBB atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi kabupaten atau kota tertentu. Beberapa daerah yang menerapkan pembatasan sosial berskala besar diantaranya yaitu DKI Jakarta, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, dan juga Provinsi Sulawesi Selatan. Pada saat pemberlakuan PSBB, masyarakat diwajibkan untuk memakai masker, rajin mencuci tangan dan senantiasa menjaga jarak paling sedikit dalam rentang 1 (satu) meter pada saat di luar rumah.

Namun, hal ini hanya dipatuhi di beberapa bulan pertama saja, untuk bulan selanjutnya, masyarakat sudah mulai menjalankan aktifitasnya seperti sedia kala meskipun banyak diantaranya yang melakukan pelanggaran terhadap penyelenggaraan PSBB ini.

Dikarenakan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat inilah yang membuat Pemerintah mulai mengeluarkan sanksi terhadap individu yang melanggar tata cara pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sanksi tersebut diantaranya adalah sanksi administratif kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Sanksi administratif tersebut berupa teguran lisan, teguran tertulis, tindakan pemerintahan yang bertujuan menghentikan pelanggaran dan/atau pemulihan; dan/atau pencabutan izin sesuai kewenangannya.

Namun, dikarenakan banyaknya pelanggaran yang dilakukan masyarakat dalam pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini, maka beberapa pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, dan/atau Peraturan Bupati. Contohnya di DKI Jakarta, Jawa Timur, Kota Surabaya, dan Kabupaten Sidoarjo.

Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diatur dalam Undang – Undang nomor 6 tahun 2018 dan diatur dalam beberapa Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, dan Peraturan Bupati tersebut selain mengatur sanksi administrasi bagi para pelanggarnya juga mengatur sanksi pidana.

Pelaku pelanggaran PSBB dapat diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pelanggaran PSBB ini bagi peneliti menarik untuk dikaji secara detail dan mendalam. Dengan adanya latar belakang tersebut, maka penulis memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui dan menganalisa bentuk pemidanaan serta bentuk pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pelanggaran pembatasan sosial berskala besar di Indonesia.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan penulis adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap suatu kaidah atau peraturan hukum sebagai suatu sistem yang berkaitan dengan peristiwa hukum. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach).

Berikut merupakan jenis bahan hukum yang dipakai penulis untuk mengumpulkan data pada penelitian, diantaranya ialah sumber bahan hukum primer yang terdiri dari kumpulan bahan hukum yang bersifat mengikat, yaitu sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19);
  3. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 18 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Jawa Timur;
  4. Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Kabupaten Sidoarjo;
  5. Putusan Pengadilan Negeri Majalengka Nomor:101/Pid.Sus/2020/PN.Mjl.

Dan bahan hukum sekunder yang digunakan untuk menjelaskan tentang penelitian terdahulu, yang terdiri dari buku-buku hukum, artikel ilmiah, dan beberapa jurnal yang relevan dengan isu hukum yang di teliti.

Analisa merupakan suatu proses penyederhanaan agar mudah dibaca dan dipahami untuk menemukan jawaban dari pokok permasalahan isu hukum. Dalam penelitian ini, analisa yang digunakan yaitu metode deduktif sebagai acuan, kemudian menggunakan metode induktif sebagai penunjang dari bahan hukum primer, kemudian kedua metode tersebut ditarik suatu kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan

A. Pengaturan Pemidanaan Bagi Pelaku Pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia

Menurut Moeljano, hukum pidana merupakan suatu aturan yang mengatur tentang 3 (tiga) unsur yakni tentang tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan proses penegakan hukum jika terjadi suatu tindak pidana. Sedangkan menurut Sudarto Undang – Undang Pidana “dalam arti yang sesungguhnya”, yaitu undang – undang yang bertujuan untuk mengatur hak memberi pidana dari negara dan jaminan ketertiban hukum. Sedangkan peraturan – peraturan hukum pidana dalam undang – undang tersendiri merupakan peraturan – peraturan yang dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap suatu aturan mengenai salah satu bidang yang terletak di luar bidang hukum pidana. Disisi lain, suatu ketentuan undang-undang pidana dikategorikan sebagai hukum pidana administrasi apabila sanksi pidana hanya bersifat komplementer terhadap bidang hukum lain. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana merupaan suatu keentuan yang ada dalam undang-undang agar ditaati oleh masyarakat.

Pengaturan pemidanaan ini diberlakukan Pemerintah dalam upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 yang sedang melanda seluruh negara, salah satunya Indonesia. Dalam upaya pencegahan virus ini, pemerintah menerapkan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai bentuk tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap hak dan kewajiban serta kesehatan masyarakat dalam masa pandemi. Namun, dalam pemberlakuan upaya ini, terjadi berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat. Untuk menangani pelanggaran yang dilakukan masyarakat saat pemberlakuan PSBB ini, pemerintah mengatur adanya sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19),serta dalam Peraturan PSBB berdasarkan Regulasi Level Daerah.

Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan merupakan dasar dibuatnya semua aturan yang berkaitan dengan wabah Covid-19. Seperti halnya dalam pemberian sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran psbb yang tercantum dalam Pasal ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan yang menyatakan bahwa, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Kemudian hal ini diperjelas dengan Pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang menyatakan bahwa, “Setiap Orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Berdasarkan Pasal tersebut, terdapat dua perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana, yaitu perbuatan “tidak mematuhi” dan perbuatan “menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang menyebabkan kedaruratan Kesehatan”. Berdasarkan UU tersebut, demi memperlancar pelaksanaan PSBB di lapangan, pemerintah melalui Presiden mengeluarkan adanya Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2020. PP ini merupakan wujud peraturan yang berasal dari Pasal 59 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi, “Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Namun, dalam PP tidak diatur secara jelas terkait sanksi yang diberikan kepada pelanggar PSBB. Sehingga dalam peraturan pelaksanaan PSBB di tingkat daerah, seperti halnya DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur, dan Kabupaten Sidoarjo dalam pemberian sanksi bagi pelaku pelanggaran PSBB baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana ini merujuk pada UU Kekarantinaan Kesehatan khususnya dalam Pasal 93 Jo. Pasal 9 ayat (1). Namun, dalam pengaturan pemidanaan terhadap pelaku pelanggaran PSBB, daerah tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan terkait sanksi pidana, sehingga untuk menjaga sinkronisasi antara Perda dengan kebijakan yang lainnya maka hal ini perlu diberlakukannya asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori.

B. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Pelanggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia

Secara umum pertanggungjawaban pidana merupakan proses pemidanaan pelaku untuk menentukan apakah perbuatan seorang terdakwa atau tersangka tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukannya, sehingga terdakwa atau tersangka harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana jika orang tersebut memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban sebagai berikut:

  1. Mampu bertanggungjawab;
  2. Adanya kesalahan;
  3. Tidak ada alasan pemaaf.

Pertanggungjawaban pidana terhadap pelanggar PSBB merupakan suatu pertanggungjawaban pidana diluar KUHP sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini. Adanya pandemi ini, membuat Pemerintah menerapkan adanya pembatasan sosial berskala besar yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, jika terdapat seseorang yang melanggar pembatasan sosial berskala besar ini dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Bentuk pertanggungjawaban pidana dapat berupa sanksi pidana.

Jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, terutama pada Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92 maka bentuk pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan pada korporasi atau pengurusnya. Hal ini dilakukan karena perbuatan yang dilakukan mengatasnamakan korporasi yang termasuk lingkup usahanya. Sedangkan untuk Pasal 93, bentuk pertanggungjawabannya dapat dikenakan kepada setiap orang yang melanggar dan/atau menghalang-halangi ketentuan dalam penyelenggaraan kesehatan.

Sesuai dengan kasus yang terjadi di Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat yang termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor:1010/Pid.Sus/2020/PN.Mjl. Dalam kasus ini dijelaskan pada saat penyelenggaraan PSBB di wilayah Kabupaten Majalengka terdapat pelanggaran PSBB yang dilakukan oleh coordinator keamanan dan kasis tempat hiburan Karaoke Blue Sky yang mulai beroperasi pada tanggal 10 Mei 2020 pukul 23.00 Wib sampai dengan tanggal 11 Mei 2020 pukul 02.30 Wib, dengan total 6 pengunjung. Yang kemudian Polres Majalengka mendapatkan laporan bahwa tempat hiburan tersebut beroperasi sehingga melakukan sidak saat itu juga. Kemudian coordinator keamanan dan kasir yang bertugas saat itu diringkus oleh polisi, kemudian ditetapkan melanggar penyelenggaraan PSBB yang didasarkan SK Bupati Majalengka Nomor:360/Kep.313-BPBD/2020 tentang PSBB di wilayah Kabupaten Majalengka. Melalui berbagai pertimbangan, hakim menjatuhkan vonis hukuman pidana denda yang masing-masing Rp.5.000.000,-. Apabila denda tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana 5 (lima) bulan kurungan. Serta menetapkan 2 (dua) barang bukti yang berupa 2 (dua) lembar nota yang dirampas untuk dimusnahkan serta uang tunai sejumlah Rp.335.000,- yang dirampas untuk negara, serta membebankan Para Terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp.2.500,-

Dalam contoh perkara tersebut, dapat dipastikan bahwa Para Terdakwa terbukti melakukan pelanggaran PSBB di wilayah Kabupaten Majalengka sehingga dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU No.6 tahun 2018 dan Pasal 16 Ayat (2) huruf c Peraturan Bupati Majalengka Nomor 54 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah Kabupaten Majalengka. Dalam hal ini, digunakan asas lex superior derogate legiinferiori, yang mana aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, adapun kesimpulan dari penulis ialah sebagai berikut:

  1. Bahwa dalam pengaturan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pelanggaran PSBB diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Namun, dikarenakan suatu daerah tidak dapat membuat peraturan yang mengatur adanya sanksi pidana, maka dalam pemberian sanksi ini dikembalikan pada peraturan yang berwenang, yaitu Undang-Undnag Kekarantinaan Kesehatan. Dan apabila terdapat pelanggaran terhadap PSBB di suatu daerah, dengan menggunakan asas lex superior derogate legiinferiorimaka yang berlaku adalah ketentuan UU No.6 Tahun 2018.
  2. Bagi subjek hukum pidana, baik itu Orang dan/atau Korporasi yang melakukan pelanggaran terhadap PSBB dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan dapat dijatuhi sanksi pidana. Sanksi pidana yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan adalah pidana penjara maksimum 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) yang masing-masing ditambah dengan pidana pemberatan 2/3 (dua per tiga) untuk Korporasi. Sedangkan untuk Orang/Individu adalah pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun dan pidana denda maksimum Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

References

  1. S. Bias Cahyo Purnomo and Hartanto, Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Yang Berusia Lanjut. Skripsi Thesis., Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2016.
  2. d. M. D. C. Pane, “Virus Corona,” https://www.alodokter.com/virus-corona, 2020.
  3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Jakarta, 2018.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), 2020.
  5. D. Herdiana, “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR (PSBB) SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19),” DECISION: Jurnal Administrasi Publik, vol. 2, no. 2, p. 2, 2020.
  6. Peraturan Gubernur Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Jawa Timur, 2020.
  7. M. Fajar dan Y. Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan IV, 2017.
  8. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.
  9. Sudarto, Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan, Kertas Kerja Lokakarya Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional, BPHN, 1982.
  10. Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002.
  11. A. Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai teori-teori pengantar dan beberapa komentar), Yogyakarta: Rangkang Education & PuKAP Indonesia, 2012.
  12. H. Amrani dan d. M. Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan Penerapan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015.
  13. “Putusan Pengadilan Negeri Majalengka Nomor:1010/Pid.Sus/2020/PN.Mjl,” 2020.
  14. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Jawa Timur, Jawa Timur, 2020.