Private Law
DOI: 10.21070/ijler.v12i0.732

Significant Role of Third Person in the Distribution to the Number of Divorce Cases in Sidoarjo


Peran Signifikan Pelakor atau Pebinor dalam Sebaran Jumlah Kasus Perceraian di Sidoarjo

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Infidelity Divorce

Abstract

This study aims to determine the influence of actors and directors in the distribution of the number of divorce cases in Sidoarjo Regency. The research method used in this research is socio legal research. The research was conducted by collecting the required data, then leading to the problem identification process which ultimately refers to problem solving. From this study it can be concluded that the adultery factor as a cause of divorce in the Sidoarjo Religious Court has quite a large influence on the high divorce rate, which is in the 5th position based on data from 2017 to 2020. However, when combined with the effects or impacts of the presence of the perpetrator or the partner, which causes the husband and wife to feel uneasy (either in the form of domestic violence, disputes, or one party finally leaves the other), then the influence of the actor or the partner can be the main cause of divorce in Sidoarjo. The next conclusion obtained is that the actions committed by actors and supervisors include acts against the law (civil) as well as violating the law (criminal). It is said to be against the law because it is stated in Article 27 BW. Then the actions of the actors and directors are also said to be unlawful acts, because infidelity acts that lead to adultery are regulated in Articles 284, 417, and 484 of the Criminal Code. The sanctions obtained are also listed in it.

Pendahuluan

Perkawinan adalah sebuah ikatan suci lahir dan batin antara seorang wanita dan pria yang saling mencintai yang disahkan didepan penghulu. Ikatan ini dalam pelaksanaannya membutuhkan pengakuan yuridis dari negara berupa buku nikah maupun dari agamanya. Pada dasarnya perkawinan juga merupakan siklus kehidupan umat manusia saat usianya sudah memenuhi kriteria untuk melaksanakan suatu perkawinan. Dari perkawinan inilah terbentuk suatu kelompok yang bernama keluarga, yang terdiri dari seorang suami, istri, dan juga satu atau beberapa anak. Dengan adanya ikatan sakral yang terjalin antara suami dan istri, maka tujuan dijalinnya suatu perkawinan adalah dengan berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa demi membina hubungan kekeluargaan yang penuh kasih sayang, saling mengasihi, saling menyantuni, membina, dan membangun. Hubungan kerjasama dan saling melengkapi terbentuk pada tahap kehidupan ini. Seorang kepala keluarga atau bapak atau suami bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Sedangkan seorang ibu atau istri bertugas untuk mengurus keperluan rumah tangga, suami dan anak – anaknya. Terkadang juga ada beberapa ibu yang membantu suaminya untuk mencari nafkah. Mereka saling bekerjasama untuk bisa saling menghidupi kehidupan keluarganya.

Sejatinya kehidupan rumah tangga tidaklah pernah terlepas dari permasalahan ataupun cek cok antar keduanya. Berbagai permasalahan silih berganti pasti melingkupi biduk rumah tangga. Alhasil pertengkaran hebat akan terjadi diantara keduanya, tidak menutup kemungkinan pada saat itu salah satu atau bahkan keduanya telah mengucapkan kata cerai. Pertengkaran ini biasanya hingga berujung pisah ranjang atau sudah tidak tinggal bersama. Beberapa faktor yang menjadi sebab keretakan sebuah kehidupan rumah tangga telah banyak terjadi dimasyarakat. Mengingat kembali saat ini telah berlangsung lama pandemi Covid 19, semakin dapat mempengaruhi tingkat perceraian yang ada di Sidoarjo. Praduga yang paling sering menjadi sebab akibat dari perceraian adalah faktor ekonomi. Dengan adanya pandemi Covid 19, banyak tenaga kerja di perusahaan yang di PHK (Putus Hubungan Kerja). Hal ini tentu berdampak besar bagi banyak kehidupan rumah tangga di Sidoarjo. Faktor ekonomi yang memburuk membuat suatu hubungan kekeluargaan retak. Para suami stres tidak bisa lagi menafkahi keluarganya, sedangkan para istri stres tidak bisa lagi mengontrol keuangan yang semakin menipis. Bisa dikatakan bahwa semakin sering pertengkaran itu terjadi, justru kemungkinan terjadinya perselingkuhan semakin tinggi. Hal semacam ini yang menjadi bibit perselingkuhan terjadi. Berdasarkan pada konteks hukum, tidak semua bentuk perselingkuhan dapat dipidanakan. Bentuk perselingkuhan dibagi menjadi 2 macam yakni selingkuh fisik dan selingkuh digital. Selingkuh fisik merupakan perselingkuhan yang memenuhi unsur perzinahan. Berdasar pada Pasal 284 KUHP, perzinahan selain merupakan perbuatan pidana, juga merupakan tindak yang melanggar norma kesusilaan yang sangat ditegakkan di negara ini. Selanjutnya selingkuh digital merupakan bentuk perselingkuhan yang tidak memenuhi unsur perzinahan. Perselingkuhan hanya dilakukan via digital atau berkomunikasi secara intens melalui media sosial.

Belakangan ini angka perceraian di Kabupaten Sidoarjo mengalami kenaikan. Pasalnya angka perceraian di tahun 2020 telah mencapai 5.417 perkara, ditambah dengan sisa perkara di tahun 2019 sebanyak 617 perkara, sehingga total perkara yang harus diselesaikan pada tahun 2020 yaitu 6034 perkara. Hal ini tidak menutup kemungkinan berdasar pada cut off perhitungan tahun 2021 mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Sedangkan untuk faktor penyebab perceraian yang tinggi di Sidoarjo, diketahui bahwa meninggalkan salah satu pihak lantaran adanya pria atau wanita idaman lain, perselisihan terus – menerus, dan persoalan ekonomi menjadi faktor penyebab yang selalu muncul dalam rentang tahun 2016 – 2019. Kemudian faktor perceraian dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) muncul di tahun 2016 dan 2017. Selanjutnya faktor salah satu pasangan yang murtad atau keluar dari agama Islam ditemui di tahun 2016, 2017 dan 2019. Sedangkan alasan poligami muncul di tahun 2018. Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung 1 tahun lamanya sangat mempengaruhi angka perceraian di tahun 2021. Sebanyak 6034 kasus perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama Sidoarjo, 70% diantaranya berupa cerai gugat yang diajukan oleh pihak istri, sedangkan 30% sisanya merupakan cerai talak yang diajukan oleh pihak suami. Maka dari itu, peran GCK (Griya Curhat Keluarga) sangat dibutuhkan dalam menekan angka perceraian yang terus naik. Hal ini disampaikan oleh Bapak Wakil Bupati Subandi pada acara pengukuhan pengurus GCK periode 2021 – 2026.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang diambil dari penelitian ini adalah socio legal research. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan realita yang sesuai dengan fenomena dalam masyarakat sekarang ini. Dalam ini setelah data yang dibutuhkan telah terkumpul, selanjutnya menuju proses identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah. Metode pendekatan masalah yang digunakan guna menjawab permasalahan yang sedang terjadi di kehidupan masyarakat ini yaitu menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan metode ini sebagai proses penelitian yang menghasilkan data deskriptif atas perilaku yang diamati. Bahan hukum yang digunakan dalam proposal ini adalah bahan hukum primer dan sekunder. Analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam menyusun proposal ini adalah analisis kualitatif, yaitu setelah bahan hukum diidentifikasi sedemikian rupa kemudian dianalisis dan dipadukan dengan pengkajian atas landasan yang sudah ada.

Hasil dan Pembahasan

A. Pengaruh Pelakor Dan Pebinor Terhadap Jumlah Perceraian Yang Tinggi Di Sidoarjo

Trend jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo menunjukkan peningkatan. Hal ini terbukti dari bertambahnya jumlah kasus setiap tahunnya. Pada tahun 2016, jumlah kasus perceraian tercatat 3962 kasus, lalu meningkat di tahun berikutnya tahun 2017 yakni 4202 kasus. Di tahun 2018, jumlah kasus perceraian bukannya menurun, namun lebih meningkat lagi yakni di angka 4454 kasus, dan jumlah ini sama di tahun 2019. Sedangkan jumlah perkara yang harus diselesaikan pada tahun 2020 membludak sebanyak 6034 perkara. Jumlah perkara ini terus meningkat pesat dari tahun ke tahun. Berikut data perkara menurut tabel :

No. Tahun Jumlah Kasus Selisih
1 2016 3962 -
2 2017 4202 +240
3 2018 4454 +252
4 2019 4454 0
5 2020 6034 +1580
Table 1.Peningkatan Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo

Sedangkan menurut perhitungan terbaru web SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) Pengadilan Agama Sidoarjo pada Juni 2021 telah mencapai 930 perkara yang menunggu untuk segera diputus. Adapun dilihat dari peningkatan perceraian pertahunnya, maka dapat diketahui bahwa setiap tahun angka perceraian di Sidoarjo mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai yang patut untuk dikritisi. Tentu keadaan ini kita tidak bisa menyalahkan satu pihak. Untuk itu supaya proporsional kita juga perlu mengetahui penyebab terjadinya perceraian. Berdasar data angka diatas dari tahun 2017 hingga tahun 2020, dapat diklasifikasikan kembali berdasarkan faktornya yaitu sebagai berikut :

No. Faktor - Faktor Tahun
2017 2018 2019 2020
1 Zina 15 11 11 27
2 Mabuk 15 - - 10
3 Judi 13 6 6 4
4 Meninggalkan Salah Satu Pihak 1.101 1.697 1.697 123
5 Dihukum Penjara 6 1 1 2
6 Poligami - 6 6 5
7 KDRT 34 6 6 37
8 Perselisihan dan Pertengkaran 1.139 1.837 1.837 3258
9 Kawin Paksa 6 1 1 5
10 Murtad 5 6 6 22
11 Ekonomi 1.208 404 404 407
Table 2.Faktor – Faktor Penyebab Perceraian

Berdasarkan pada tabel diatas, faktor zina sebagai penyebab perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo cukup memberikan pengaruh yang besar terhadap angka perceraian yang tinggi, yaitu menempati posisi ke 5 berdasarkan data dari tahun 2017 hingga tahun 2020. Dapat dicermati bahwa faktor zina pada tahun 2017 sebanyak 15 perkara. Akan tetapi pada tahun 2018 mengalami penurunan sebanyak 11 perkara. Pada tahun 2019 tidak mengalami kenaikan maupun penurunan, melainkan stabil pada 11 perkara. Namun di tahun 2020 justru meningkat pesat sebanyak 2 kali lipat yaitu sebanyak 27 perkara dengan faktor zina.

Berdasarkan pada konteks hukum, tidak semua bentuk perselingkuhan dapat dipidanakan. Bentuk perselingkuhan dibagi menjadi 2 macam yakni selingkuh fisik dan selingkuh digital. Selingkuh fisik merupakan perselingkuhan yang memenuhi unsur perzinahan. Perbuatan selingkuh yang dilakukan oleh pelakor dan pebinor inilah yang dapat dipidanakan, karena mengandung unsur zina. Bentuk perselingkuhan ini juga telah melanggar Pasal 284 KUHP. Sanksi pada perbuatan ini juga tercantum pada Pasal 417 KUHP. Sanksi ini tentunya berlaku pada kedua pasangan yang berzina. Selanjutnya selingkuh digital merupakan bentuk perselingkuhan yang tidak memenuhi unsur perzinahan. Perselingkuhan hanya dilakukan via digital atau berkomunikasi secara intens melalui media sosial. Perselingkuhan jenis ini tidak bisa dipidana sama halnya dengan selingkuh fisik yang menggunakan Pasal 284 KUHP. Dikarenakan tidak memenuhi unsur – unsur yang termuat dalam isi pasal yaitu berbuat zina.

Pada kenyataannya, faktor zina tidak murni berdiri sendiri. Banyak faktor di belakangnya yang menyebabkan perbuatan haram itu terjadi. Bahkan tidak menutup kemungkinan faktor – faktor yang telah tercantum pada tabel diatas pada dasarnya saling berkaitan. Sebagai contoh sebelum zina itu terjadi memungkinkan terlebih dahulu adanya perselisihan tentang ekonomi, yang kemudian berlanjut pada KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Hal yang lebih buruk terjadi setelah faktor ini, yaitu salah satu pasangan mulai meninggalkan pasangan sahnya untuk menjalin hubungan baru dengan lawan jenis lainnya. Tahap yang lebih fatal lagi yaitu hubungan baru yang dijalani hingga mengarah ke perbuatan zina, karena tidak menutup kemungkinan pasangan tersebut merindukan sosok istrinya. Maka dari itu landasan hukum yang dipergunakan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo dalam memutus perkara perceraian dengan beragam faktor dibaliknya seperti paparan diatas, sehingga perselingkuhan dapat dijadikan sebagai alasan perceraian yaitu dengan melihat bukti – bukti yang diberikan oleh penggugat. Apabila penggugat atau pasangan sah memiliki bukti yang kuat atas perselingkuhan yang terjadi, maka hakim dapat menjatuhkan Pasal 284 KUHP kepada kedua pasangan yang berselingkuh. Dari sini dapat dilihat bahwa hakim dalam memutus perkara perdata, mengikuti permintaan yang diajukan oleh penggugat. Pembuktian dalam perkara perdata tidak memerlukan adanya keyakinan hakim, yang penting adanya alat – alat bukti yang sah. Dari alat bukti itu hakim akan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Selain itu, faktor apa yang lebih dominan untuk dapat dijadikan faktor utama perceraian tersebut.

Selanjutnya pada pasangan perselingkuhan non fisik atau yang hanya berkomunikasi secara intens, dibaliknya juga terdapat beragam faktor yang melingkupi. Adakala pertengkaran yang muncul di awal bermula dari rasa bosan terhadap pasangannya. Sehingga melampiaskan dengan orang ketiga yang dianggap lebih mengerti dirinya. Dari sini faktor – faktor yang tertera pada tabel diatas tidak menutup kemungkinkan akan bermunculan. Pada kasus perselingkuhan digital atau non fisik, pasangan sah dapat menggunakan aturan hukum lainnya sehingga pelaku tetap dapat dipidana, seperti komunikasi yang bermuatan asusila. Pasangan sah dapat menggunakan aturan hukum Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sesuai aturan pasal tersebut, pelaku yang mengirim informasi elektronik berisi konten yang bermuatan asusila dapat dikenakan pidana penjara maksimum enam tahun dan/atau denda maksimum Rp 1 Miliar. Selain menggunakan UU ITE, pasangan resmi tersebut juga dapat melaporkan pasangannya yang berselingkuh dengan bukti pasangannya contoh telah membuat dan mengirimkan foto telanjang. Dengan menggunakan Undang – Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu tepatnya Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1). Dimana ancaman pidana penjara minimum 6 bulan dan maksimum 12 tahun, dan/atau tambahan pidana denda minimum Rp 250.000.000 dan maksimum Rp 6 Miliar.

Dalam memutus perkara perceraian dengan faktor zina, Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo berpedoman pada Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Kemudian aturan pada Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Hakim juga tentu telah mempelajari alasan – alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam memutus perkara perceraian. Di samping itu hakim juga telah mempertimbangkan dengan seksama mana yang harus didahulukan antara mempertahankan ikatan perkawinan ataupun memutuskannya. Dalam memutus perkara perceraian karena perselingkuhan, hakim juga berpedoman pada Pasal 14 ayat (1-2) Undang – Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian pertimbangan hukum yang digunakan hakim telah sesuai dengan dasar normatif dan yuridis yang mengutamakan azas kemaslahatan.

Berdasarkan uraian diatas, maka analisa yang didapat oleh penulis adalah pada dasarnya faktor – faktor yang telah disajikan pada tabel diatas saling berkaitan. Keterkaitan ini tidak menutup kemungkinan bisa menjadikan faktor zina menjadi salah satu faktor yang memperburuk kondisi rumah tangga seseorang, disamping KDRT, salah satu pihak meninggalkan yang lain sehingga muncul perselisihan. Dimana jika diakumulasikan, faktor – faktor tersebut akan menempati posisi utama penyebab perceraian di Sidoarjo.

B. Perbuatan Pelakor Dan Pebinor Antara Perbuatan Melanggar Hukum Dan Atau Melawan Hukum

Dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum harus dipastikan sudah terpenuhinya ketentuan sebagaimana dalam Pasal 1365 KUHPerdata atau BW. HogeRaad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum bukan hanya melanggar undang – undang seperti yang ditafsirkan pada zaman dahulu, melainkan juga termasuk ke dalam pengertian perbuatan melawan hukum di setiap tindakan yang berkembang sekarang ini. Jika seseorang pada saat melaksanakan kepentingannya mengabaikan kepentingan orang lain dan membiarkan kepentingan orang lain terlanggar begitu saja, maka seseorang itu berperilaku tidak patut, dan karenanya melawan hukum. Inilah makna melawan hukum dalam arti luas.

Sedangkan makna melanggar hukum adalah bertindak atau mengambil sikap yang bertentangan dengan suatu undang – undang yang bersifat memerintah atau melarang. Jadi, normanya dapat dibaca dalam undang – undang yang bersangkutan. Undang – undang diartikan baik dalam arti formil maupun materiil. Dengan demikian, semua perbuatan yang melanggar ketentuan hukum publik atau pidana adalah melanggar hukum. Namun untuk perbuatan – perbuatan melanggar hukum tertentu untuk dapat dikenakan hukum pidana, seringkali harus dipenuhi syarat adanya unsur kesengajaan (opzet). Jadi atas dasar pandangan itu, di samping pengertian melanggar hukum dalam arti sempit, pengertian melanggar hukum juga meliputi tindakan atau sikap yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang tidak tertulis, yaitu kesusilaan dan kepatutan ataupun kepantasan dalam memperhatikan kepentingan diri maupun orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.

Pada dasarnya belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang perbuatan yang dilakukan oleh pelakor dan pebinor. Hanya saja selama ini secara umum bentuk perbuatan mereka diarahkan ke dalam dua pasal. Dalam konteks hukum perdata hanya dijelaskan sebagaimana pada Pasal 27 BW bahwa satu orang laki – laki hanya dapat terikat perkawinan dengan satu wanita, begitu pula sebaliknya. Sedangkan berdasar pada konteks hukum pidana, dijelaskan definisi tentang diakuinya bentuk perselingkuhan yang menjurus pada perbuatan zina. Perbuatan yang tidak menjurus pada hal itu, maka tidak dapat dipidanakan. Hal ini tercantum pada Pasal 284 KUHP, berikut sanksinya pada 417 KUHP. Maka dari itu, jika merujuk pada penjelasan diatas perselingkuhan yang dilakukan oleh pelakor dan pebinor termasuk perbuatan melawan dan melanggar hukum. Persinggungan melawan hukum yang dilakukan oleh pelakor atau pebinor dalam konteks hukum perdata berpangkal dari sifatnya sebagai hukum privat yaitu yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja. Dimana orang ketiga melanggar kepentingan pribadi dari istri yang sah yaitu mengganggu hubungan pernikahan orang lain. Dikuatkan dengan isi Pasal 27 ayat (1) BW. Selanjutnya pada perbuatan melanggar hukum berdasarkan sifat hukum pidana yang bersifat publik ada kepentingan umum yang dilanggar. Dalam hal ini orang ketiga telah melanggar asas kesusilaan yang telah berlaku dalam masyarakat. Dikuatkan dengan isi Pasal 284 KUHP. Selanjutnya juga tercantum pada KUHP Pasal 417, yaitu diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan. Maka pasangan yang sah dari suami atau istri yang melakukan zina tersebut dapat membuat pengaduan dan dapat melaporkan perbuatan pelakor tersebut ke kepolisian dengan menyertakan dua alat bukti maupun saksi atas terjadinya perzinahan tersebut. Dapat pula jika ia sendiri yang melihat ataupun menyaksikan secara langsung perzinahan tersebut. Proses hukum tetap berlaku pada dua orang pelaku perzinahan, meskipun yang melaporkan hanya satu dari pasangan sah tersangka perzinahan.

Kesimpulan

Berdasarkan paparan dan analisis data yang telah dikemukakan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa faktor zina sebagai penyebab perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo cukup memberikan pengaruh yang besar terhadap angka perceraian yang tinggi, yaitu menempati posisi ke 5 berdasarkan data dari tahun 2017 hingga tahun 2020. Namun jika digabungkan dengan efek atau dampak dari kehadiran pelakor maupun pebinor, yang menyebabkan ketidaktenangan pasangan suami istri (baik dalam wujud KDRT, perselisihan, atau salah satu pihak akhirnya meninggalkan pihak lainnya), maka pengaruh pelakor ataupun pebinor ini dapat menjadi sebab utama perceraian di Sidoarjo.

Selanjutnya, perbuatan yang dilakukan oleh pelakor dan pebinor menurut paparan diatas termasuk perbuatan melawan hukum (perdata) sekaligus melanggar hukum (pidana). Dikatakan melawan hukum karena tercantum pada Pasal 27 BW. Kemudian perbuatan pelakor dan pebinor juga dikatakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum, karena perbuatan perselingkuhan yang mengarah ke perzinahan diatur dalam Pasal 284, 417, dan 484 KUHP. Adapun sanksi yang didapat juga telah tercantum didalamnya.

Kemudian penulis memberikan saran dan masukan bahwa diharapkan kepada Pengadilan Agama Sidoarjo dan biro hukum lainnya untuk melakukan sosialisasi tentang pernikahan dan juga perceraian kepada masyarakat, sehingga dapat meminimalisir angka perceraian yang tinggi di Sidoarjo. Selain itu diharapkan aparat desa yang berwenang juga dapat memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku perselingkuhan. Kepada suami dan istri juga hendaknya lebih membangun kepercayaan dan toleransi yang kuat sehingga dapat saling memahami satu sama lain, serta dapat bersikap lebih terbuka dalam setiap permasalahan keluarga sehingga bisa diselesaikan dengan baik.

Selanjutnya dalam rangka pembaruan KUHPerdata atau BW di Indonesia, ketentuan tentang perbuatan melawan hukum perlu tetap dipertahankan serta dipertegas ruang lingkupnya. Mengingat adanya kesamaan dan perbedaan antara perbuatan melawan hukum dengan melanggar hukum, maka kajian yang lebih mendalam terhadap persamaan maupun perbedaan tersebut perlu diperbanyak.

References

  1. . Khairul Fajri dan Mulyono, “Selingkuh Sebagai Salah Satu Faktor Penyebab Perceraian (Analisis Putusan No.3958/Pdt.G/2012.Pa.Sby. Perspektif Maqashid Syariah)”, Jurnal Studi Hukum Islam/Vol. 6, No. 1, 2017
  2. . Budhy Prianto, dkk, “Rendahnya Komitmen Dalam Perkawinan Sebagai Sebab Perceraian”, Jurnal Komunitas 5 (2) (2013): 208-218
  3. . Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengadilan Agama SIdoarjo Tahun 2020
  4. . Noor Fatimah, dkk, “Pengaruh Bekwaamheid dalam Kasus Perceraian di Indonesia: Belajar dari Sidoarjo”, Rechtsidee, Vol 6 No 2, Juni 2020
  5. . Rahmat Syaputra, dkk, “Penerapan Sanksi Pidana Adat Terhadap Pelaku Zina Di Wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara”, USU Law Journal, Vol.7. No.3, Juni 2019
  6. . Khairul Fajri dan Mulyono, “Selingkuh Sebagai Salah Satu Faktor Penyebab Perceraian (Analisis Putusan No.3958/Pdt.G/2012.Pa.Sby. Perspektif Maqashid Syariah)”, Jurnal Studi Hukum Islam/Vol. 6, No. 1, 2017
  7. . Siti Hajar,dkk, “Gugatan Perceraian Dikarenakan Perselingkuhan Di Media Sosial Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Nomor 1979/Pdt.G/2017/PA.Mdn)”, Jurnal FH USU
  8. . Anwar Bastian, “Perselingkuhan sebagai Kenikmatan Menyesatkan” Jurnal Psikologi Perkembangan, Volume 8, No. 2, Juni 2012
  9. . Eka Novianty, “Analisa Ekonomi Dalam Penggunaan Gugatan Strict Liability Kasus Lumpur Lapindo”, Thesis FH UI, 2011
  10. .https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5142a15699512/perbuatan-melawan-hukum-dalam-hukum-perdata-dan-hukum-pidana/
  11. . (J.C.T Simongkir, Rudy T. Erwin dan Aj.T.Prasetyo, 2000 : 152 )
  12. . Veithzal Rivai, “Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan”, (Jakarta: Rajawali Press) 2009, h. 831
  13. . Isnawati Rais, “Tingginya Angka Cerai Gugat (Khulu’) Di Indonesia; Analisis Kritis Terhadap Penyebab Dan Alternatif Solusi Mengatasinya”, Al-‘Adalah Vol. Xii, No. 1 Juni 2014
  14. . Gita A., “Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) Menurut Pasal 1365 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Dan Perkembangannya”, Lex Privatum Vol. VI/No. 5/Juli/2018
  15. . J. Satrio, “Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang – Undang”, Bagian Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 142
  16. . Putri Fransiskan, “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Pelakor Dalam Perspektif Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Palangka Raya, Juni 2019