Auditing
DOI: 10.21070/ijler.v12i0.730

Enforcement Of The Practice Of Illegal Fees (Illegal Fees) In The Vehicle Inspection


Penegakan Hukum Praktek Pungutan Liar (Pungli) Dalam Uji KIR

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Law Enforcement Illegal Charges Motor Vehicle Testing

Abstract

The KIR test is a mandatory requirement for certain public vehicles to test the feasibility of operating on the road, the KIR test mechanism implemented at the Transportation Service in several regions in Indonesia still has a series of problems. One of them is illegal levies at the stage of tapping the KIR test number for new cars. This problem is indicated to have occurred at the Transportation Agency of Sidoarjo Regency, where illegal levies occurred with the updated KIR test mechanism. This writing discusses how to enforce the law on extortion, why it can happen in the updated KIR test mechanism, then whether law enforcement carried out by the perpetrators is in accordance with legal provisions. This writing uses a sociolegal research method with a sociological juridical approach, through inductive analysis, aiming to answer legal issues in this paper. The results of the study explain that law enforcement on illegal levies has not been implemented according to legal provisions due to several factors, also because illegal levies are not known by internal parties due to the lack of supervision during implementation.

Pendahuluan

Uji KIR di Indonesia adalah serangkaian pengujian kendaraan tertentu yang wajib dilakukan bagi kendaraan niaga, dalam rangka pemenuhan persyaratan teknis terkait kelayakan jalan kendaraan tersebut. Kegiatan ini berada di bawah kewenangan Dinas Perhubungan (Dishub). Kendaraan yang diwajibkan melakukan uji kir kini tidak hanya kendaraan berplat kuning saja, namun meluas seperti kendaraan penumpang lainnya sebagai contoh mobil penumpang untuk umum, pick up, mobil barang dan masih banyak lagi lainnya. Fungsi KIR ini dilakukan agar kendaraan memenuhi persyaratan layak jalan baik itu ketertiban, keamanan, keselamatan dan kelancaran kendaraan dalam berlalu lintas agar tidak menimbulkan berbagai kendala dijalan seperti terjadinya kecelakaan.

Di Indonesia uji KIR masih sarat dengan permasalahan. Selain kesadaran tiap pemilik kendaraan untuk melakukan uji KIR yang kurang, buku KIR yang dipalsukan (asli tapi palsu/aspal), serta pungutan liar. Berkenaan dengan masalah pungutan liar (pungli), meskipun sistem pengujian KIR diberbagai kota maupun daerah sudah diperbaharui untuk mencegah terjadinya segala pelanggaran termasuk salah satunya pungutan liar. Akan tetapi praktek (pungli) masih banyak ditemui di dinas perhubungan di berbagai kota ataupun kabupaten, pelanggaran ini ditemui karena masih maraknya oknum maupun individu (perorangan) yang memberi dan menerima pungutan liar berupa sejumlah uang pada saat praktek uji kendaraan bermotor (KIR) berlangsung.

Terkait masalah pungutan liar, pemerintah melalui perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sudah jelas mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12 yaitu tentang Tindak Pidana Korupsi. Yang isinya menyatakan dengan jelas bahwa pelaku pungutan liar dapat dikenakan penjara paling minim 4 tahun dan maksimalnya 20 tahun dipidana penjara ataupun juga dapat dipidana penjara seumur hidup. Adapun terkait sanksi pidana denda yaitu dapat dikenakan minimal Rp.200 juta dan maksimalnya Rp.1 miliar rupiah. KUHP juga menerangkan hal serupa mengenai larangan pungutan liar beserta ancaman hukuman pidana, atas perbuatan korupsi dan penipuan pada pasal 368, 415 dan 428. Dari sini sudah jelas praktek tindak pidana ini dijerat dengan hukuman berat oleh pemerintah, baik pidana penjara maupun pidana denda.

Walaupun jelas larangan pungli diatur dalam Undang-Undang maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, faktanya pelanggaran ini masih ditemukan diberbagai daerah di Indonesia salah satunya pungli di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo. Praktek pungli ini terbukti masih terjadi hingga sekarang dalam mekanisme pengujian KIR di Dishub Sidoarjo, yaitu waktu proses pengujian KIR berlangsung tepatnya pada tahapan pengetokan tanda nomor uji KIR khusus mobil baru. Kronologis praktek pungli bermula dari pegawai yang menerima sejumlah uang saat proses uji KIR berlangsung, yaitu setelah proses pengetokan tanda nomor uji KIR pada bagian chasis kendaran sebelah kiri bawah telah selesai dilakukan. Uang yang diterima sebagai pungli oleh pelaku berkisar Rp.2 ribu sampai Rp.5 ribu rupiah, atas kendaraan baru yang diwajibkan melakukan tahapan pengetokan tanda nomor uji KIR untuk pertama kalinya.

Kasus diatas didasari dari fakta di lapangan bahwa banyak pemilik kendaraan (khususnya mobil baru), yang melakukan uji KIR memberikan uang secara terang-terangan sebagai tanda jasa pengetokan tanda nomor uji KIR yang sebenarnya tidak diperbolehkan. Hal itu diakui oleh sejumlah pemilik kendaraan bersangkutan yang melakukan uji KIR kendaraan di dishub Sidoarjo, uang tersebut dimaksudkan sebagai uang cuma-cuma (tanda terima kasih). Pemberian tip tanda jasa ini, bahwasanya dalam mekanisme pengujian KIR di Dishub Sidoarjo sudah jelas terkait proses uji KIR (khususnya mobil baru) yang pertama kali melakukan uji KIR telah diberikan kwitansi sebagai perincian total biaya administrasi atau surat ketetapan retribusi daerah (SKRD). Kwitansi diberikan saat pembayaran administrasi ketika para pemilik kendaraan melakukan pendaftaran sehari sebelum dilakukannya proses uji KIR. Dalam kwitansi tersebut telah tertera semua biaya termasuk biaya pengetokan tanda nomor uji KIR yaitu (Retribusi Uji), dengan itu tidak perlu lagi pemilik maupun pembawa kendaraan yang melakukan uji KIR membayar biaya apapun.

Penjelasan peristiwa diatas terkait pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai bersangkutan di Dinas perhubungan Sidoarjo, dapat dikatakan melanggar hukum dan jelas melakukan pelanggaran tindak pidana. Pelanggaran yang dapat dikenakan oleh pegawai ini yaitu tercantum dalam KUHP pada pasal 368 yang isinya menyatakan, bahwa siapa saja yang bertujuan menguntungkan diri dengan cara melawan hukum guna memberikan sesuatu, baik seluruhnya atau sebagian dari kepunyaan orang lain diancam pidana penjara maksimal 9 (Sembilan) bulan. Kemudian pasal 415 yang isinya menyatakan bahwa, setiap pegawai yang dalam tugasnya dilakukan terus menerus maupun sementara waktu, yang menggelapkan uang dari cara melawan hukum dapat dikenakan pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun, Serta terakhir pasal 423 yang isinya menyatakan bahwa setiap pegawai yang bertujuan menguntungkan diri dengan cara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya menerima pembayaran dapat diancam pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun.

Penyebab pungutan liar dalam praktek uji KIR oleh pegawai di Dishub tersebut, diduga terjadi karena dari pihak Dinas Perhubungan yang kurang menyikapi atau membiarkan pelanggaran tersebut terjadi pada saat praktek uji KIR berlangsung. Juga mungkin tidak adanya aspek pembinaan serta pengawasan terhadap semua petugas maupun pegawai didinas terkait, untuk tidak memperbolehkan dengan maksud apapun menerima ataupun meminta upah biaya (pungutan liar) dari siapapun. Terlebih tindak pidana pungutan liar ini sudah terjadi kurang lebih dalam kurun waktu 5 tahun, dan masih terjadi hingga sekarang meskipun sistem uji KIR di Dinas terkait sudah dirubah maupun diperbaharui untuk mencegah segala pelanggaran termasuk pungli yang terjadi hingga sekarang ini. Namun fakta kondisi di Dishub terkait beserta alasan-alasan penyebab pungutan liar hanyalah dugaan sementara dan bukan tidak mungkin menjadi salah satu penyebabnya.

Permasalahan pungutan liar di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo yang terjadi sejak lama ini, memiliki dampak yang merugikan apabila dibiarkan berkelanjutan. Tidak hanya berdampak pada institusi pemerintah terkait namun juga pada aspek moral masyarakat di wilayah Kabupaten Sidoarjo berkenaan dengan tindak pidana pungutan liar, yang apabila dibiarkan akan menjadi fenomena buruk berkepanjangan yang dianggap wajar dan bukanlah sebuah pelanggaran bagi masyarakat. Adapun dampak lainnya seperti mencemarkan nama baik Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo karena faktanya masih ada praktek pungutan liar walaupun sudah diperbaharuinya sistem uji KIR dari yang lama ke yang baru, hal tersebut akan memunculkan stigma negatif karena perubahan sistem uji KIR yang diharapkan mampu mencegah berbagai tindak pidana ini nyatanya tidak mencerminkan perubahan yang besar, sesuai tujuan utama dan cenderung tidak ada perbedaan.

Dengan permasalahan tindak pidana pungutan liar diatas, maka dari itu penulis berusaha mengetahui lebih lanjut mengenai keadaan penegakan hukum pungutan liar disana. Juga disertai faktor-faktor penyebab masih terjadinya pungutan liar yang dilengkapi dengan kebijakan seperti apa yang diterapkan oleh pihak Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, atas terjadinya tindak pidana pungutan liar dan kepada petugas yang diketahui melakukan perbuatan tindak pidana tersebut. Untuk itu judul yang diambil penulis dalam penelitian ini adalah “Penegakan Hukum Pungutan Liar (Pungli) Dalam Uji KIR Di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo”. Adapun rumusan masalah untuk membahas permasalahan diatas, yaitu sebagai berikut :

  1. Bagaimana penegakan hukum praktek pungutan liar yang terjadi di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo ?
  2. Mengapa praktek pungutan liar di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, (dengan sistem uji KIR yang sudah diperbaharui) masih terjadi hingga saat ini ?
  3. Apakah penegakan hukum terhadap pegawai Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pungutan liar pada pasal 368, 415 dan 423 ?

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penenelitian sosiolegal (nondoktrinal), bermaksud melihat hukum itu sendiri berjalan untuk mengungkap permasalahan yang menjadi isu hukum. Kemudian pendekatan masalah yang dipilih adalah Yuridis Sosiologis untuk melihat hukum dalam sosial masyarakat, beserta menganalisa bagaimana kenyataan sosial hukum di masyarakat sesuai realita dilapangan. Kemudian hasil yang didapat akan menjadi sumber hukum primer, ditambah literatur lainnya seperti buku maupun jurnal sebagai bahan hukum sekunder yang sesuai guna membantu menjawab penelitian ini. Serangkaian data yang didapat dilakukan analisis secara induktif untuk memaparkan fenomena dilapangan, disusun menjadi teori jawaban menggunakan kalimat yang teratur dan efektif.

Hasil dan Pembahasan

Penegakan Hukum Praktek Pungutan Liar di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo

Aturan hukum mengenai fenomena pungutan liar memiliki tahapan aturan paling mendasar (atas) hingga beberapa kebijakan regulasi yang menyesuaikan aturan diatasnya, aturan paling mendasar pertama adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 pasal 12. Dimana mengkhususkan hanya seorang dan pegawai negeri maupun setingkatnya saja yang masuk subjek hukum pungutan liar, sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Pungutan liar masuk kategori pasal 12 dan dikenakan ancaman pidana penjara maupun denda, apabila terbukti terbukti melakukan perbuatan sesuai kriteria subjek hukum pada Pasal 12.

Aturan berikutnya ada pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Bab ke XXIII dimana pungutan liar tergolong perbuatan pemerasan dan pengancaman, yang terdapat pada Pasal 368, 415 dan 423 dengan beberapa perbedaan kategori perbuatan juga ancaman pidananya tersendiri. Pertama Pasal 368 yaitu subjek perseorangan yang menguntungkan diri sendiri dengan cara melawan hukum, dapat dipidana penjara sekian tahun. Kedua Pasal 415 yaitu subjek pejabat umum dengan jabatan sementara waktu maupun terus menerus menggelapkan uang demi keuntungan pribadi, dapat dipidana penjara sekian tahun Terakhir Pasal 423 yaitu subjek pegawai negeri yang menguntungkan diri sendiri dengan cara melawan hukum, dapat dipidana penjara sekian tahun.

Setelah KUHP ada aturan kedisiplinan bagi pelanggar pungutan liar khusus subjek hukum pegawai negeri sipil pada Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010, dimana pelanggaran yang dimaksud adalah tidak diperbolehkan menyalahgunakan wewenang dengan menerima segala bentuk hadiah yang berhubungan atas jabatannya. Apabila terbukti maka pegawai negeri bersangkutan dapat dikenakan sanksi ringan hingga pencopotan jabatan dengan tidak hormat.

Dibawah Peraturan Pemerintah ada Peraturan Presidan No. 87 Tahun 2016 diterbitkan langsung oleh Presiden Joko Widodo guna memaksimalkan upaya pemberantasan pungutan liar, dengan pembentukan satuan tugas tersendiri yang memiliki satuan kerja, personil dan sarana prasarana lainnya yang diperlukan. Dengan wewenang pelaksanaan yang diperkenankan Presiden seperti mongkonstruktifkan pencegahan pungli, pengordinasian aktivitas pemberantasan pungli, hingga melakukan operasi tangkap tangan.

Aturan dibawahnya lagi adalah Peraturan Bupati Sidoarjo No. 61 Tahun 2011, mengenai kedisiplinan non pegawai negeri sipil maupun non pegawai pada satuan kerja Perangkat Daerah di bidang layanan umum Daerah. Perbup ini menjelaskan pegawai non PNS tidak diperbolehkan menyalahgunakan wewenang dengan menerima segala bentuk hadiah yang berhubungan atas jabatannya. Apabila terbukti maka pegawai non PNS bersangkutan dapat dikenakan sanksi ringan hingga pencopotan jabatan dengan tidak hormat.

Peraturan mendasar tingkatan atas hingga terendah hakikatnya adalah acuan hukum, mengenai seperti apa perbuatan pungutan liar itu dikategorikan beserta ancaman pidananya yang termasuk tindak pidana korupsi. Selain itu adapula aturan teknis pelaksanaan pungujian kendaraan bermotor yang menetapkan biaya retribusi uji, sebagai salah satu upaya penegakan preventif oleh pemerintahan untuk menegakan sekaligus mencegah pungutan liar. Peraturan Daerah Kab Sidoarjo No. 21 Tahun 2011 Pasal 21 menjelaskan tarif uji kendaraan pertama kali dan uji berkala sekian rupiah, sesuai kegiatan pengujian yang akan dilakukan.

Ketetapan legalisasi oleh pemerintah didukung oleh regulasi pihak Dinas Perhubungan bersangkutan berupa prosedur pelayanan pungujian kendaraan bermotor, yang menginformasikan tarif uji kendaraan bermotor serta waktu pelayanan pengujian kendaraan bermotor. Bertujuan mengisyaratkam pembawa kendaraan yang melakukan uji untuk melakukan pembayaran 2 hari pertama pendaftaran baru setelahnya uji kendaraan dilakukan hari berikutnya.

Hasil penelitian melalui observasi maupun wawancara setelah penyesuaian pada aturan sebelumnya, menjawab bahwa pungutan liar pada tahapan pengetokan tanda nomor uji KIR mobil baru masih terjadi. Namun terjadinya pungutan liar ini tidak dilakukan dengan dasar kesengajaan, melainkan bermula dari pembawa kendaraan yang memberikan sejumlah uang sukarela pada saat pengujian kendaraan berlangsung, kepada petugas pada salah satu tahapan pengujian kendaraan bermotor. Petugas bersangkutan diketahui juga bukanlah pegawai negeri melainkan hanya petugas non PNS bagian kebersihan, yang diperbantukan pada tahapan pengetokan tanda nomor uji KIR khusus mobil baru.

Pemberian uang itu bisa terjadi saat proses uji berlangsung karena seperti kurang terperhatikan, dimana merujuk ketentuan sebelumnya sebenarnya tidak diperbolehkan adanya pemberian uang dan penerimaan uang saat pelaksanaan uji. Kurang terperhatikannya tahapan ini dikarenakan tidak banyak kendaraan baru yang melakukan pengujian ditahapan ini, melainkan hanya 2 sampai 3 unit saja perharinya. Sehingga pihak eksternal maupun internal kurang memperhatikan secara langsung terjadinya pelanggaran ini, karena pemberian uang tersebut tidak selalu terjadi dan hanya kadang-kadang saja dilokasi. Ditambah nominal yang diberikan hanya berkisar 2 (dua) smpai 5 (lima) ribuan saja perkendaraannya.

Meskipun pungutan liar jarang ditemui dan tidak selalu terjadi tetaplah pemberian uang itu merupakan pelanggaran, yang tidak bisa dilihat dari jarang tidaknya hal itu terjadi. Pemberian uang sukarela yang dilakukan, dapat dikatakan melanggar ketentuan dan dapat ditindak secara hukum. Observasi juga disertai adanya hasil wawancara oleh seseorang yang pernah melakukan pengujian kendaraan yaitu seseorang berinisial K, dimana inti dari penjelasannya menyatakan bahwa “Penegakan hukum terhadap pungutan liar selalu baik dan sesuai aturan hukum, namun apabila pelanggaran yang terjadi tidak terpantau dengan baik maka penegakan hukum tersebut terhambat untuk dilakukan”.

Analisis observasi beserta wawancara apabila dikaitkan dengan Peraturan Daerah No. 21 Tahun 2011 beserta prosedur pengujian kendaraan bermotor, sangatlah tidak sesuai karena pemberian uang tersebut bertolak belakang dengan aturan yang ada. Juga menyalahi aturan pada prosedur yang ditetapkan yaitu segala biaya retribusi uji hanya dibayarkan di awal pendaftaran sebelum hari H pengujian dilaksanakan, yang tertera diketentuan terlampir. Namun dilapangan masih ada yang memberikan uang seikhlasnya dan menyalahi ketentuan terlampir, karena kurangnya pengawasan pada saat pengujian kendaraan berlangsung sehingga tidak tercegahnya pemberian uang yang sebenarnya dilarang.

Faktor-faktor penyebab masih terjadinya pungutan liar di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo (Dengan sistem uji KIR yang sudah diperbaharui)

Pembahasan ini juga mengulas faktor-faktor apa saja yang menjadikan fenomena pungutan liar masih terjadi hingga sekarang, melalui hasil penelitian tersebut ditemukanlah sejumlah faktor yaitu faktor pribadi beserta factor organisasi dengan alasan penguat yang mengakibatkan pelanggaran praktek pungutan liar di wilayah bersangkutan masih terjadi, yang akan disebutkan serta diulas dengan analisis sebagai berikut :

Naturlijke Persoon (Penyebab Manusia Pribadi)

Kurangnya iman dan taqwa membuat segala perbuatan manusia selalu bertabrakan dengan ajaran Tuhan termasuk dalam hal mencari rezeki dengan cara yang barhil, karena setiap perbuatan buruk yang dilakukan tidak merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Inilah yang terjadi pada di wilayah bersangkutan bahwa penerimaan uang oleh pelaku terjadi karena kadar iman dan taqwa yang kurang, dimana menjadikan salah satu penyebab praktek terlarang ini susah dihentikan. Karena penerimaan uang tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan zalim serta dosa besar kepada Tuhan.

Iman dan taqwa yang kurang menjadikan manusia kurang mensyukuri penghasilan yang didapat dari pekerjaannya, sehingga mencari tambahan penghasilan dari cara yang tidak dibenarkan tanpa memperulikan haram tidaknya perbuatan tersebut. Salah satunya menambah penghasilan melalui pungutan liar yang jelas-jelas adalah perbuatan haram dibarengi dengan sifat tamak, sifat kurang mensyukuri penghasilan ini yang menjadi faktor masih terjadinya pungutan liar sehingga merugikan negara.

Dorongan untuk menambah penghasilan dari cara yang tidak dibenarkan disebabkan adanya faktor kewajiban untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dimana tuntutan ekonomi menjadi faktor penting mengapa praktek pungutan liar masih banyak terjadi. Desakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari disertai pula keinginan pribadi dalam diri manusia, yang mengakibatkan seseorang melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan keinginan dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Melalui perbuatan terlarang seperti pungutan liar, tanpa memperdulikan segala akibatnya.

Faktor dalam diri manusia sebelumnya menimbulkan seseorang melakukan penyalahgunaan wewenang, dengan tidak mengamanahkan jabatan yang dimiliki sesuai tujuan semestinya. Yaitu memanfaatkan pekerjaannya demi keuntungan pribadi, melalui pemerimaan uang yang melanggar ketentuan baik disengaja maupun tidak disengaja. Penyalahgunaan wewenang ini terjadi saat pengujian kendaraan berlangsung, melalui pelanggaran pungutan liar demi mendapatkan manfaat dari pekerjaan yang dimiliki.

Recht Persoon (Penyebab Organisasi/Instansi)

Lemahnya pengawasan pada mekanisme pengujian kendaraan bermotor, menjadikan celah setiap pelanggaran dapat terjadi termasuk pungutan liar di Dinas terkait. Faktor lemahnya pengawasan menjadikan pungutan liar terjadi secara diam-diam dan berkepanjangan, sehingga tidak terpantau saat pelaksanaan uji berlangsung. Kemudian mengakibatkan pelanggaran itu terjadi secara berlarut-larut, meskipun mekanisme uji kendaraan bermotor sudah maksimal dalam melakukan pembaharuannya.

Minimnya sosialisasi berupa penyuluhan terhadap masyarakat pembawa kendaraan bermotor menjadi faktor selanjutnya, dimana kurangnya sosialisasi menjadikan pembawa kendaraan memiliki paham bahwa pemberian uang seikhlasnya adalah hal yang biasa serta bukanlah suatu pelanggaran. Kalaupun dikatakan pelanggaran hal tersebut bagi mereka bukanlah pelanggaran yang fatal, inilah yang menjadikan pemberian uang saat pengujian kendaraan berlangsung sulit dicegah dilapangan.

Selain kurangnya sosialisasi dan penyuluhan pihak internal, kurangnya bimbingan bersifat kerohanian membuat para pekerja di instansi bersangkutan terlalu fokus dengan pekerjaan untuk tujuan duniawi saja. Sehingga mengakibatkan para pekerjanya lupa akan urusan akhirat dari kesibukan aktivitas pekerjaan setiap harinya, berdampak pula pada moral dan perilaku kerja bagi mereka kemudian terjerumus untuk menambah pundi-pundi yang melalui perbuatan pungutan liar.

Faktor penting berikutnya adalah organisasi itu sendiri, dimana organisasi yang membiarkan adanya pelanggaran berkelanjutan akan selalu membuka peluang para pekerja yang lain untuk melakukan pelanggaran pungutan liar. Pencegahan dilapangan sangat penting diupayakan agar celah-celah baru pada setiap tahapan pengujian kendaraan bermotor, tidak membudi daya berkepanjangan dengan selalu mecari celah disetiap tahapannya.

Terakhir adalah faktor kepemimpinan setiap bidang organisasi yang belum begitu tegas terhadap penanganan setiap aktivitas yang melanggar ketentuan, sehingga mengakibatkan jajaran dibawahnya berani melakukan penyimpangan berupa penyalahgunaan wewenang berupa pungutan liar. Kurangnya sikap panutan serta teladan seorang pemimpin yang diberikan, juga ambil andil atas praktek terlarang ini. Kepemimpinan haruslah memberikan contoh berupa kesadaran berhukum yang taat kepada jajaran dibawahnya, agar selalu berlaku jujur disetiap apapun aspek pekerjaan.

Kesesuaian Penegakan Hukum Terhadap Pegawai Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo Dengan Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pungutan liar pada pasal 368, 415 dan 423

Hasil penelitian akan dilakukan analis unutk melihat apakah penegakan yang bersifat Preventif dari regulasi berupa prosedur uji kendaraan bermotor, sudah sesuai dengan peraturan diaatsnya. Kemudian penegakan hukum yang bersifat represif oleh pihak Dishub pada pungutan liar apakah sudah sesuai dengan KUHP Pasal 368, 415, dan 423.

Penegakan Hukum Preventif

Penegakan hukum preventif oleh pihak Dishub berupa regulasi yakni prosedur uji kendaraan bermotor, memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya segala pelanggaran termasuk praktek pungutan liar pada mekanisme uji KIR. Regulasi yang diterapkan pihak dishub adalah pencegahan yang bersifat untuk menanggulangi apabila terjadi adanya permasalahan hukum berkaitan dengan pelanggaran maupun tindak pidana yaitu pungutan liar. Disisi lain regulasi berupa prosedur itu haruslah sejalan dengan aturan hukum yang berlaku diatasnya, dalam hal ini adalah Perda No. 21 Tahun 2011.

Ketentuan prosedur pelayanan uji kendaraan bermotor sudah dicantumkan segala biaya uji berkala tiap kendaraan baik pertama kali maupun berkala, dimana ketentuan tersebut sudah sesuai dengan aturan diatasnya pada pedoman besaran biaya retribusi pada Perda No. 21 Tahun 2011. Segala biaya tersebut mengklasifikasikan jenis kendaraan masing-masing, dengan begitu analisis atas kesesuaian regulasi oleh dishub berupa prosedur, telah berlandaskan aturan hukum diatasnya mengenai besaran nominal retribusi uji kendaraan bermotor.

Dua ketentuan pada Perda maupun prosedur yang mencantumkan nominal besaran retribusi uji memiliki tujuan yang sama, bertujuan memberikan edukasi bagi setiap pembawa kendaraan bermotor untuk tidak diperlukannya lagi nominal pembayaran apapun diluar dua aturan ini. Segala biaya selain uji berkala seperti sanksi administras dan keterlambatan uji juga sudah dicantumkan melalui dua ketentuan itu, untuk menjelaskan bahwa setiap biaya yang dibayarkan diluar ketentuan berlaku adalah perbuatan yang menyalahi aturan dan termasuk pungutan liar.

Penegakan Hukum Represif

Hasil observasi menunjukan bahwa penegakan hukum represif oleh pihak Dishub bersangkutan tidak dapat diterapkan sebagaimana mestinya, serta belum sesuai dengan ketentuan KUHP. Dikarenakan lemahnya pengawasan serta beberapa factor manusia (Nuturlijke Persoon) dan badan hukum (Recht Persoon). Sehingga pelenggaran tersebut terjadi dengan tidak diketahui pihak internal, yang mengakibatkan terhambatnya penegakan hukum represif untuk dilakukan.

Apabila penegakan oleh pelaku dikaitkan dengan Pasal 368 adalah jauh dari kata sesuai, kesesuaian dapat berlaku apabila penindakan hukum dilakukan oleh pihak internal dengan baik dan tegas untuk menindak setiap bentuk pelanggaran apapun. Dimana dalam ketentuan Pasal 368 pelaku dapat dipidana penjara sekian tahun, namun penindakan hukum terhambat dilakukan karena tidak terpantaunya pungli saat pengujian kendaraan berlangsung.

Kemudian penegakan hukum oleh pelaku apabila dikaitkan dengan Pasal 415 juga jauh dari kata sesuai, yaitu mengenai penggelapan uang hasil pemberian pembawa kendaraan demi keuntungan pribadi. Dikarenakan seperti penjelasan Pasal 368 bahwa penindakan yang belum terupayakan dengan baik, seperti penindakan berupa teguran maupun pencopotan jabatan sesuai Perbup No. 61. Tidak adanya penindakan secara internal guna mengentikan pelanggaran itu, apalagi penindakan pidana pada Pasal 415 hal tersebut jauh dari penindakan hukum seharusnya.

Melihat kesesuaian ketiga pada Pasal 423 mengenai penyalahgunaan wewenang oleh pengguna jabatan resmi atau penyelenggara negara, hasil penelitian menunjukan bahwa pelaku bukanlah petugas resmi melainkan hanya petugas non pns. Maka keseuaian pada Pasal 423 tidak bisa dikategorikan, karena subjek hukum pada Pasal ini hanya berlaku bagi pegawai negeri maupun penyelenggara negara saja.

Keseuaian pada Pasal 368, 415 dan 423 memberikan analisis dimana kesesuaian belum terimplementasikan dengan baik berkaitan perihal penegakan hukumnya, didasari hasil observasi penelitian maupun wawancara sebagai berikut :

  1. Tidak adanya upaya pihak internal untuk mengawasi lebih ketat terkait pungli, pada saat pengujian kendaraan berlangsung.
  2. Kemudian pungli tersebut terjadi berulang-ulang dengan tidak adanya upaya penindakan hukum, karena tidak diketahuinya perbuatan tersebut oleh pelaku.
  3. Kesesuaian aturan hukum KUHP yang berlaku tidak dapat terupayakan dengan baik, karena pungli terjadi tanpa diketahui pihak internal.

Sangat disayangkan aturan hukum dari pasal yang dipertanyakan tidak terimplementasikan dengan baik, seharusnya pihak internal memberikan sanksi terhadap pelaku sesuai dengan aturan hukum. Agar kedepannya tidak adalagi petugas yang berani melakukan perbuatan serupa, dengan ketegasan penindakan hukum memberikan efek jera tersendiri sehingga pungli tidak membudi daya berkepanjangan di instansi tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian melalui hasil observasi dan wawancara, berupa pembahasan runtut pada Bab sebelumnya. Penulis menggaris bawahi hal-hal yang bias disimpulkan atas ketiga pertanyaan dalam rumusan penelitian, yang akan disejelaskan dengan 3 (tiga) poin sebagai berikut :

  1. Penegakan hukum terhadap praktek pungutan liar di Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo belum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
  2. Faktor yang mendukung pelanggaran ini masih terjadi dilapangan yaitu adalah faktor manusia pribadi (Naturkijke Persoon) dan Organisasi itu sendiri (Recht Persoon).
  3. Penegakan hukum terhadap pegawai Dinas Kabupaten Sidoarjo belum sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pungutan liar pada pasal 368, 415 dan 423.

References

  1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
  2. Supirman, Murdani, “Sistem Pendukung Keputusan Untuk Menentukan Kelayakan
  3. Bus Berdasarkan Uji Kir Menggunakan Metode Promethee II”, Vol. 7 No. 2, Jurikom, 2 April 2020 hlm. 2
  4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
  5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XXIII, Bab XXIV dan Bab XXVIII
  6. Prof. Dr. Rachmad Baro, Penelitian hukum Non-Doktrinal, Deepublish Publisher, Yogyakarta, 2016, hlm. 1
  7. Dr. Nurul Qamar, Farah Syah Rezah, Metode Penelitian Hukum, Makassar, CV. Social Politic, 2020, hlm. 5
  8. Eko Sugiarto, Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif Skripsi dan tesis, Yogyakarta Suara Media, 2015, hlm. 9
  9. UU no 21 Tahun 2001 Pasal 12 huruf e
  10. KUHP Bab XXIII – Pemerasan Dan Pengancaman
  11. Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Pasal 4
  12. Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2016 Tentang Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar
  13. Peraturan Bupati No. 61 Tahun 2011 Tentang Non Pegawai Negeri Sipil satuan kerja Perangkat Daerah di bidang layanan umum Daerah
  14. QS. AL. Nisa (1)
  15. QS. AL. Asy Syura (42)
  16. Sjahfrien, Juni, “Say No To Korupsi”, Jakarta, Visi Media, 2012, hlm. 3
  17. Yudadibarata, Yola Pitaloka, ”Kebijakan Kriminal Terhadap Pungutan Liar”, Jiaganis, 2018, hlm. 8
  18. Abdul Latif, “Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi”, Jakarta, Kencana, 2014, hlm. 44
  19. Pandji Ndaru, Widodo, dkk, “Konstruksi Pengawasan Independen Untuk Mencegah Tindak Pidana Pungutan Liar Dalan Pelayanan Publik”, Masalah-Masalah Hukum, Surakarta, 2019 Vol 1, hlm. 64
  20. Hariawan Bihamding, “Perspektif Korupsi Dari Akar Penyebabnya”, Yogyakarta, Deepublish, 2017, hlm, 71
  21. Ibrahim, Hot. ”Rahasia Dibalik Sapu Bersih Pungli”, Yogyakarta, Deepublish, 2017, hlm. 51
  22. Hariawan Bihamding, “Perspektif Korupsi Dari Akar Penyebabnya”, Yogyakarta, Deepublish, 2017, hlm, 79
  23. Sjahfrien, Juni, “Say No To Korupsi”, Jakarta, Visi Media, 2012, hlm. 36
  24. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XXIII (Pemerasan dan Pengancaman)
  25. Peraturan Bupati No. 61 Tahun 2011 Tentang Non Pegawai Negeri Sipil satuan kerja Perangkat Daerah di bidang layanan umum Daerah