Corporate Law
DOI: 10.21070/ijler.v12i0.728

Legal Protection for Buyers in a Junk Sale and Purchase Agreement


Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Dalam Perjanjian Jual Beli Barang Rongsokan

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Legal Protection Validity of Agreement Fencing

Abstract

This study aims to find out and examine the legal protection for buyers of junk goods, which focuses on the validity of the sale and purchase agreement of junk goods, as well as forms of preventive legal protection that can be carried out by junk collectors who are accused of being collectors. or the general public can defend themselves when they accidentally receive the proceeds of crime. This study uses a normative juridical method, with a statutory approach. The data comes from two main sources, namely the legal code and the criminal law code as primary legal materials and journals, books, doctrines as secondary legal materials. Using deductive analysis method. The conclusion of this study is that the sale and purchase agreement for junk goods is valid, when there is no violation of Article 1320 and Article 1457 of the Civil Code. As well as preventive legal protection efforts when accused of being a collector, such as a statement that the goods are junk from legal matters, transactions are carried out during the day, prices are according to the market and so on.

Pendahuluan

Pada hakikatnya manusia diciptakan tuhan sebagai makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, termasuk juga dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia di hadapkan dengan dua pilihan entah menjadi karyawan di suatu perusahaan ataupun berwirausaha. Dalam konteks berwirausaha pun terpecah menjadi dua, mau bergerak di bidang jual beli barang ataupun menjadi penyedia jasa bagi masyarakat. Sejalan dengan perkembangan zaman kegiatan jual beli seakan-akan sudah menjadi kebiasaan masyarakat dan dianggap sebagai salah satu cara untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Barang yang menjadi objek jual belipun bermacam-macam mulai dari kebutuhan primer, sekunder hingga tersier, dan metode pemasaran yang digunakan pun mulai perlahan berubah, yang awalnya konvensional secara tatap muka sekarang berubah menjadi online dengan tujuan untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Tidak ketinggalan juga usaha jual beli barang rongsokan yang dilihat beberapa orang sebagai prospek yang cukup menjanjikan, yang mana barang-barang rongsokan yang dirasa pemiliknya sudah tidak bermanfaat dan tidak bisa digunakan, bisa saja masih bermanfaat bagi orang lain, dan disini peran pengusaha rongsokan sebagai penyalur barang rongsokan tersebut menjadi penting. Barang rongsokan adalah barang bekas yang sudah rusak sama sekali, rombengan.[1] Barang rongsokan termasuk juga dalam kategori benda bergerak yang dengan mudah untuk dipindah tangankan,[2] dan bisa menjadi objek perjanjian jual beli. Dalam proses jual belipun harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yakni kedua belah pihak harus sepakat, cakap usia, ada hal yang diperjanjikan dan harus disebabkan hal yang halal. [3] selain itu juga harus berlandaskan nilai-nilai pancasila.

Berangkat dari permasalahan, yang diangkat oleh Yulia Kumalasari, dalam karya ilmiahnya, yang berjudul perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik dalam jual beli tanah bengkok, analisisnya terkait dengan perlindungan hukum terhadap pembeli yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli tersebut dan akibat hukum atas peralihan hak atas tanah bengkok bagi pihak pembeli, hasil dari analisisnya adalah penjual wajib memberikan ganti kerugian kepada pembeli karena pembeli telah menunaikan prestasi atau kewajibannya, dan perjanjian jual beli tersebut dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum, karena objeknya yang tidak dapat ditransaksikan serta didalamnya muncul indikasi kekhilafan. [4]

Dalam proses jual beli barang rongsokan biasanya dilakukan oleh pengepul (pengusaha barang rongsokan) dan pemasok (orang yang hendak menjual barang rongsokannya), proses jual beli barang rongsokan biasanya barang-barang yang sejenis dikumpulkan menjadi satu lalu ditimbang dan diberi harga perkilonya. Selain itu dalam proses jual beli rongsokan juga didasarkan atas dasar kepercayaan dan kesepakatan, kepercayaan artinya pengepul percaya kepada pemasok bahwa barang tersebut bersumber dari hal yang tidak dilarang dan kesepakatan terkait dengan jenis barang, dan harga perkilonya. Namun dilapangan sering ditemukan bahwasannya pengepul kedapatan membeli barang rongsokan hasil pencurian, entah disengaja atau atas dasar kelalaian maupun kekhilafan. Yang membuat pengepul terkena dari unsur penadahan, sesuai dengan ketentuan pasal 480 KUHP, [5] ketika polisi melakukan penyelidikan untuk mencari barang bukti hasil pencurian. penadahan berasal dari kata tadah, yang artinya orang yang membeli barang hasil tindak kejahatan / pencurian. [6] dan masuk dalam kategori tindak pidana pemudahan, karena memudahkan pelaku pencurian. [7]

Lantas bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi pengepul yang tiba-tiba dituduh sebagai penadah oleh aparat kepolisian. Definisi perlindungan hukum menurut Philipus M. Handjon adalah perlindungan akan harkat dan martabat manusia, serta adanya pengakuan atas hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan,[8] bentuk perlindungan hukum terbagi menjadi dua yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, preventif adalah upaya pencegahan dan represif lebih kearah penyelesaian sengketa. selain itu menurut setiono, perlindungan hukum adalah upaya melindungi masyarakat dari penguasa yang sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan aturan hukum, [9] dan terakhir perlindungan hukum menurut muchsin adalah kegiatan untuk melindungi manusia dengan menyerasikan nilai-nilai untuk mewujudkan ketertiban. [10]

Dari permasalahan yang timbul diatas, maka penulis mengangkat dua rumusan masalah, yakni bagaimana keabsahan perjanjian jual beli barang rongsokan tersebut jika ditinjau dari hukum perdata dan bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pembeli (pengepul) dalam perjanjian jual beli barang rongsokan yang dituduh sebagai penadah. Tujuan daripada dibuatnya artikel ini menambah wawasan dan keilmuan dibidang hukum, serta menjadi penyempurna jurnal-jurnal yang telah beredar, terkait dengan upaya perlindungan hukum preventif atau upaya-upaya pencegahan (spesifik) kepada pengepul barang rongsokan yang dituduh sebagai penadah. Perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah terkait dengan adanya penjelasan upaya-upaya pencegahan yang dijelaskan khususnya bagi pengepul barang rongsokan, agar ketika suatu waktu ditemukan atau kedapatan barang rongsokan yang berada ditempat pengepul dari hasil tindak kejahatan, pengepul bisa membela diri dan menunjukkan bukti kepada pihak kepolisian bahwa sudah melakukan upaya-upaya pencegahan. Penulis menganggap upaya perlindungan hukum secara preventif / pencegahan ini penting, agar bisa dipratekkan dilapangan.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, yaitu pendekatan yang menggunakan undang-undang terkait dengan isu hukum yang diteliti dengan mengkaji aturan hukum yang berlaku di Indonesia khususnya tentang perlindungan hukum bagi pembeli dalam perjanjian jual beli barang rongsokan. Bahan hukum yang digunakan berupa kitab undang hukum perdata dan kitab undang-undang hukum pidana sebagai bahan hukum primer dan jurnal ilmiah, buku dan bahan lain sebagai bahan hukum sekunder, dari bahan hukum yang diperoleh penulis menggunakan metode analisis secara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum dan ditarik menjadi kesimpulan yang bersifat khusus.

Hasil dan Pembahasan

A. Perjanjian jual beli barang rongsokan

Mekanisme jual beli barang rongsokan yang dilakukan oleh pengepul dengan pemasoknya, yakni dengan cara pemasok yang sudah berlangganan atau mau menjual barang rongsokannya, datang ke lapak pengepul dengan membawa barang rongsokan yang hendak dijual, selanjutnya barang rongsokannya akan ditimbang menggunakan sistem kiloan. Dimana barang yang sejenis akan dikumpulkan menjadi satu lalu ditimbang untuk diberi harga perkilonya. Setelah ditimbang dan mengetahui beratnya, Maka pengepul akan membayar kepada pemasok sesuai dengan berat barang dan harga perkilonya yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan pemasok diberikan nota penjualan oleh pengepul yang isinya adalah keterangan dari berat barangnya, jenis barangnya, harganya perkilo dan jumlah uang yang didapatkan pemasok. Barang rongsokan merupakan objek jual beli yang termasuk dalam kategori barang / benda bergerak, ketika seseorang memiliki barang rongsokan dan mengakui bahwa barang rongsokan tersebut adalah miliknya maka seseorang tersebut bebas untuk melakukan apapun kepada barang rongsokannya, entah diperjual belikan, dipindah tangankan dan lain sebagainya.

Tinjauan hukum perdata terhadap keabsahan jual beli barang rongsokan yang dilakukan oleh pengepul dengan pemasoknya. Berawal dari Pasal 1313 KUH perdata yang berbunyi “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.” Dapat dijelaskan bahwa, setelah ada persetujuan antara pengepul dan pemasok terkait dengan harga dan jenis barang rongsokan yang hendak dijual, maka lahirlah suatu perjanjian jual beli barang rongsokan. Jual beli dalam KUH perdata disinggung dalam Pasal 1457, yang berbunyi “jual beli adalah suatu persetujuan yang mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lainnya untuk membayar harga yang dijanjikan.” Dapat dijelaskan bahwa, Dalam perjanjian jual beli barang rongsokan, pemasok yang selaku penjual akan memberikan barang rongsokannya dan pengepul selaku pembeli akan membayar sesuai dengan harga perkilonya.

Dasar dari sahnya suatu perjanjian jual beli tersebut, tercantum dalam Pasal 1320 KUH perdata, yang berisikan empat unsur, yakni kesepakatan, kecakapan, ada hal yang diperjanjikan, kausa halal

  1. Unsur Pertama, Terkait dengan kesepakatan, bahwa bentuk kesepakatan antara pengepul dan pemasok telah sepakat terkait dengan harga perkilo dan spesifikasi barang rongsokan yang hendak dijual.
  2. Unsur Kedua, Terkait dengan kecakapan, bahwa usia antara pengepul dan pemasok pada saat proses penimbangan atau jual beli barang rongsokan, harus sudah dewasa dan tidak dalam pengampuan.
  3. Unsur Ketiga, terkait dengan ada hal yang diperjanjikan, bahwa objek jual belinya adalah barang rongsokan. Barang rongsokannya milik pemasok dan memiliki maksud untuk menjual kepada pengepul serta pengepul adalah orang yang hendak membeli barang rongsokan tersebut.
  4. Unsur Keempat, terkait dengan kausa yang halal, bahwa objek daripada jual beli barang rongsokan tersebut adalah objek yang bisa diperjual belikan dan berdasarkan sumber atau asal usul yang jelas, serta tidak melawan peraturan perundang-undangan.

Hasil dari analisis keempat unsur diatas, selama tidak ditemukan adanya cacat tersebunyi maka perjanjian jual beli yang terjadi pada saat itu antara pengepul dengan pemasok adalah sah dan mengikat kedua belah pihak, karena keempat unsur daripada Pasal 1320 KUH perdata tersebut, dan dipenuhi oleh kedua belah pihak, dari sisi pengepul maupun pemasok.

Perlu diketahui bahwa syarat sahnya suatu perjanjian poin pertama yakni A dan B adalah syarat subjektif, dan poin C dan D adalah syarat obyektif. dalam teorinya ketika syarat subjektif dilanggar atau ditemukan adanya cacat tersembunyi maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan. dan ketika syarat objektifnya yang dilanggar atau ditemukan adanya cacat tersembunyi maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut secara otomatis batal demi hukum.

B. Perlindungan hukum bagi pembeli dalam perjanjian jual beli barang rongsokan yang dituduh sebagai penadah

Perlindungan hukum yang bisa dilakukan oleh pengepul barang rongsokan agar bisa lolos dari tuduhan penadahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, yakni dengan cara perlindungan hukum preventif. Perlindungan hukum preventif adalah upaya pencegahan agar tidak terkena unsur tindak kejahatan, yang ditekankan pada kehati-hatian dan itikad baik. Contoh dari perlindungan hukum preventif atau upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh pengepul barang rongsokan adalah :

Adanya surat pernyataan barang halal dan legal

Setelah menanyakan terkait asal usul barangnya kepada pemasok, dibuat juga surat pernyataan barang halal dan legal. Surat pernyataan ini dibuat oleh pengepul barang rongsokan dan di isi oleh pemasok yang hendak menjual barang rongsokannya kepada pengepul, isi dari surat pernyataan ini menerangkan bahwa barang yang hendak dijual oleh pemasok kepada pengepul adalah barang yang berasal hal yang sah dan tidak melanggar hukum. Isinya seperti nama pemasok, alamat sesuai KTP, jenis barangnya, banyaknya barang (kiloan), keterangan pernyataan “asal-usul barang yang sah dan tidak melanggar hukum”, serta tanda tangan dari pemasok dan diketahui oleh pengepul.

Transaksi jual beli dalam kondisi terang (pagi atau siang hari)

Pada saat proses transaksi jual beli barang rongsokan yang dilakukan oleh pengepul dan pemasok dilakukan di gudang pengepul, seharusnya pada waktu siang hari, karena minim sekali hasil tindak kejahatan pencurian dijual pada siang hari, yang biasanya ketika pemasok yang mendapatkan barangnya hasil dari tindak kejahatan pada malam hari, mereka berpikir segera untuk memindah tangankan barang tersebut ke tangan yang lain (bisa pengepul ataupun perorangan), untuk menghilangkan barang bukti hasil tindak kejahatan pada saat itu juga.

Harga beli barang yang sesuai dengan pasaran

Pada saat ada pemasok yang menawarkan barang rongsokan kepada pengepul dengan harga yang ada dibawah pasaran, maka pengepul harus dapat menduga bahwa barang tersebut merupakan hasil tindak kejahatan, namun ketika pemasok tersebut menawarkan barangnya sesuai harga pasaran maka membelinya juga sesuai dengan pasaran. Biasanya ketika pemasok tersebut mendapatkan barang bukan barang yang halal atau hasil tindak kejahatan, maka harga jualnya pun dibawah pasaran.

Upaya penimbangan kembali

Biasanya ketika pemasok tersebut mendapatkan barang rongsokannya dari hasil tindak kejahatan, maka pemasok tersebut tidak akan mengetahui perkiraan dari berat barang rongsokan yang hendak ia jual, jadi pihak pengepul menanyakan dulu kira-kira berapa berat barang yang akan dijualnya, apabila berat barangnya jauh dari perkiraan pemasok ketika penimbangan, maka pengepul harus patut menduga bahwa barang tersebut merupakan hasil tindak kejahatan.

Kondisi barang pada saat transaksi jual beli

Biasanya ketika pemasok tersebut mendapatkan barang rongsokannya dari hasil tindak kejahatan, maka kondisi dari barang yang dijual tersebut masih dalam keadaan baik, atau layak pakai, karena definisi dari barang rongsokan adalah barang yang sudah rusak, bisa diartikan secara kondisi rusak dan tidak dapat berfungsi dengan normal, namun ketika yang dijual itu kondisinya masih baik, layak pakai, berfungsi normal, maka pengepul harus patut dapat menduga bahwa barang tersebut adalah hasil tindak kejahatan.

Kondisi pelaku / pemasok pada saat transaksi jual beli

Biasanya ketika pemasok tersebut mendapatkan barang rongsokannya dari hasil tindak kejahatan, maka terlihat tingkah laku yang panik, aneh dan raut wajah yang ingin segera meninggalkan tempat penimbangan pengepul, karena tujuannya hanya mendapatkan uang dari hasil penjualan barang rongsokan tersebut dan biasanya uang yang diterima dari pengepul tidak dihitung, notapun tidak dilihat. Ketika terjadi hal yang semacam itu lebih baik pengepul menolak untuk melakukan transaksi jual beli.

Ketika pengepul sudah melakukan semua tindakan preventif diatas dan pengepul kedapatan mendapatkan barang hasil tindak kejahatan oleh aparat kepolisian, maka posisi pengepul kuat dan bisa membela diri karena bisa membuktikan bahwa telah melakukan upaya preventif atau pencegahan dari barang hasil tindak kejahatan dan penuduhan atas unsur penadahan.

Kesimpulan

Perjanjian jual beli barang rongsokan yang dilakukan oleh pengepul barang rongsokan dan pemasoknya selama tidak melanggar ketentuan daripada pasal 1320 kitab undang hukum perdata maka perjanjian jual beli barang rongsokan telah sah dimata hukum, karena memenuhi daripada empat unsur yakni kesepakatan, kecakapan, hal yang diperjanjikan dan bukan dari hal yang dilarang atau kausa halal. Bentuk daripada upaya perlindungan hukum preventif yang bisa dilakukan oleh pengepul barang rongsokan agar tidak terjadi atau meminimalisir barang hasil jual belinya dengan pemasok merupakan barang hasil kejahatan, yakni dengan cara adanya surat penyataan halal dan legal, transaksi jual beli barang rongsokan dalam kondisi terang, harga beli disesuaikan dengan harga pasaran, dilakukan upaya penimbangan kembali, mengamati kondisi barang saat transaksi jual beli dan perilaku pemasok ketika terjadi proses jual beli barang rongsokan tersebut.

References

  1. “Arti kata rongsok - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.” https://kbbi.web.id/rongsok (diakses Sep 10, 2021).
  2. “Mengenai Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak,” Hukumonline.com. http://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4712/mengenai-benda-bergerak-dan-benda-tidak-bergerak (diakses Jul 09, 2021).
  3. F. Levin, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” hlm. 354.
  4. Y. Kumalasari, “Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan (M.Kn),” hlm. 24.
  5. “KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP).” [Daring]. Tersedia pada: https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/hukum-acara/func-download/2453/chk,d212c1b107c6b99212fd5802df3f1a16/no_html,1/
  6. “Arti kata tadah - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.” https://www.kbbi.web.id/tadah (diakses Apr 07, 2021).
  7. P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, 1 ed. Bandung: Sinar Baru, 1989.
  8. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1987.
  9. Setiono, “Rule Of Law (Supremasi Hukum),” Magister Ilmu Hukum Program PascasarjanaUniversitas Sebelas Maret, hlm. 3, 2004.
  10. Muchsin, “Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia,” Magister Ilmu Hukum Program PascasarjanaUniversitas Sebelas Maret, 2003.