Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v1i2.1754

Legal Consequences for Leasing Companies That do not Provide Funds in Accordance to the Initial Agreement


Akibat Hukum Bagi Perusahaan Leasing yang Tidak Memberikan Dana Sesuai Kesepakatan Awal

Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

law effect agreement leasing

Abstract

Leasing is an activity in the field of financing such as banks, but not banks in the form of providing capital goods that have option rights and a certain period of time. The research is expected to add insight and as an input for the community about legal issues and issues regarding lease agreements made by leasing financing institutions. The method used is a statute approach approach based on the current legislation, and a conceptual approach to reviewing the views and doctrines that develop in the field of legal science. Leasing companies that do not provide loan funds in accordance with the purchase lease agreement, according to Article 1320 of the Indonesian Civil Code, the agreement is legally flawed and can be canceled, and deemed to have never existed. Because in this agreement the objective conditions in Article 1320 of the Indonesian Civil Code are not fulfilled because they have committed fraud against the contents of the agreement.

Pendahuluan

Leasing merupakan suatu kegiatan dalam bidang pembiayaan seperti bank tetapi bukan bank dalam bentuk penyediaan barang modal. Dalam penyewaanya yang memiliki hak opsi maupun tanpa hak opsi untuk di gunakan oleh penyewa yang di sebut lesse, dalam jangka waktu tertentu yang di lakukan secara mengangsur.[1] Tertuang di dalam pasal 1 angka 5 peraturan presiden nomor 9 tahun 2009 tentang lembaga pembiayaan.[2]

Leasing mempunyai pengertian sebagai lembaga pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal yang akan di gunakan oleh suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu[3]. Di sertai dengan adanya hak pilih bagi perusahaan setelah pelunasan apakah akan membeli barang yang di janjikan perjanjian atau akan memperpanjang jangkah waktu perjanjian leasing itu sendiri. berdasarkan nilai sisa pembayaran yang telah disepakati para pihak dalam perjanjian, berdasarkan pembayaran secara suka rela.[4]

Leasing adalah perjanjian antara Pemberi sewa yang di sebut lessor dengan penyewa yang di sebut lesse untuk menyewa suatu barang tertentu yang ditentukan oleh lesse, barang yang akan di gunakan oleh lesse berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu yang telah di sepakati.

Jaminan berasal dari kata jamin yang memiliki arti tanggungan.[5] Jaminan di berikan kepada debitur dapat berupa obyek yang menjadi perjanjian dan dapat pula benda yang harganya sesuai dengan perjanjian untuk menjamin apabila suatu hari debitur lalai dalam perjanjian maka kreditur menjadikan barang tersebut sebagai jaminan atas debitur yang lalai dari kewajibanya. Namun ada pula kreditur yang tidak memenuhin apa yang tela di perjanjikanya kepada debitur, seperti kasus yang di alami teman penulis. Sebut saja AS yang melakukan perjanjian sewa beli dengan PT.X tetapi PT.X tidak memberikan pinjman sesuai dengan kesepakatan. Oleh sebab itulah penulis mengangap perlu mengangkat isu hukum ini ke dalam rumusan masalah.

Metode Penelitian

Metode penelitian hukum ini adalah salah satu cara guna memperoleh kesimpulan dari sebuah permasalahan di bidang hukum. Metode penelitian ini diharapkan dapat merumuskan suatu bahan hukum sehingga dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah.Sehingga, dalam penulisan skripsi penggunaan metode penelitian normatif berfungsi sebagai pendekatan secara sistematik agar mendekati kesempurnaan dalam pelaksanaan penulisan.[6]

  1. Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan untuk mengkaji masalah hukum yang ada adalah, penelitian hukum normatif. yang menitik beratkan pada penelitian yuridis normatif yang sesuai dengan keilmuan hukum, yang terletak pada kajian hukum positif yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis bahas.[6]

  1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam pembahasan penulisan ini di lakukan dengan pendekatan statute approach. yaitu pendekatan yang di dasarkan atas peraturan perundang- undangan yang berlaku saat ini. Selain menggunakan pendekatan masalah penulis juga melakukan pendekatan konseptual approach dimana pendekatan ini melihat pandangan- pandangan serta doktrin-doktri yang berkembang dalam bidang ilmu hukum. Pedekatan ini berfungsi untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang di hadapi guna memperjelas ide- ide dengan memberikan pengertian hukum yang relevan.[7]

  1. Bahan Hukum Primer dan sekunder

Bahan hukum primer berupa norma dasar, peraturan perundang- undangan, dan norma-norma hukum yang ada dalam penelitian ini menggunkan bahan hukum primer

Selain itu dalam penulisan ini penulis juga menggunakan literature lain yang dapat di gunakan sebagai penunjang penulisan proposal skripsi maupun skripsi kedepan.

Bahan hukum sekunder isinya menjelaskan tentang data dan sumber yang berkaitan dengan isi hukum primere serta perwujudtannya, yang dalam penelitian ini menggunakan berbagai buku- buku hukum, tesis, skripsi, kamus hukum, dan jurnal- jurnal hukum.[7]

  1. Analisis Bahan Hukum

Analisa yang digunakan dalam penelitian menggunakan penalaran secara deduktif. Hal ini dimuali dengan penalaran hukum secara umum berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan serta literature hukum yang ada. Sehingga penulisa dapat memberikan penalaran secara khusus agar memperoleh penafsiran yang bersifat sistematis.[8]

Pembahasan

1. Kasus Posisi PT.X Dengan AS

Pada bulan Desember 2005, AS meminjam uang dari PT. X sebesar tiga puluh delapan juta enam ratus delapan puluh lima ribu rupiah dengan menggunakan jaminan berupa BPKB mobil jenis Sedan Merk Volvo Tahun 1997 atas nama AS, jangka waktu pinjaman selama 1 (satu) tahun. Pinjam meminjam tersebut dilakukan oleh PT. X secara leasing, sehingga Mobil Volvo milik AS dianggap kepunyaan pihak lain yang akan dibeli AS dan disepakati dihargai tujuh puluh lima juta rupiah dan PT. X hanya bersedia memberikan pinjaman sebesar 65% atau sebesar empat puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah.

Pada tanggal 6 Desember 2005, karyawan PT. X memberikan uang tunai kepada AS hanya sebesar tiga puluh delapan juta enam ratus delapan puluh lima ribu rupiah dengan alasan bahwa harga jual mobil yang dijaminkan tidak jadi dihargai tujuh puluh lima juta rupiah, tetapi hanya enam puluh lima juta rupiah dengan cicilan sebesar tiga juta lima ratus ribu rupiah langsung dipotong. Kemudian AS diminta untuk menandatangani Blanko Perjanjian Sewa Beli kosong. Pada tanggal 28 Desember 2005, AS menerima Surat Perjanjian Sewa Beli, ternyata didalam perjanjian berisi bahwa obyek jaminan berupa mobil tersebut tertulis tujuh puluh lima juta rupiah.[9]

2. Dasar hukum

  1. KUH Perdata pasal 1320 tentang syarat sah suatu perjanjian
  2. KUH Perdata pasal 1365 tentang ganti rugi

3. Analisa masalah

Dapat kita lihat dari paparan masalah yang penulis bahas, bahwa perjanjian yang di lakukan oleh PT.X dengan AS, menurut Pasal 1320 KUH Perdata perjanjian tersebut cacat hukum dan tidak sah. Aspek tidak sahnya perjanjian tersebut dapat di lihat ketika PT.X menciderai kesepakatan sehingga akibat hukumnya perjanjian yang di lakukan dapat di batalkan karena PT.X selaku kreditur telah melakukan wanprestasi. Artinya perbuatan hukum dan akibat hukum dari perjanjian itu masi berlaku sampai di adakan pembatalan. Akibat hukum yang selanjutnya adalah bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum karena di lihat dari obyek perjanjianya, dana yang sejatinya empat puluh delapan juta limaratus delapan puluh ribu rupiah ternyata hanya di berikan tiga puluh delapan juta limaratus ribu rupiah. Aspek kebatalan ini mengindikasikan bahwa perbuatan itu oleh hukum dianggap tidak pernah ada begitupun akibatnya. Jadi dapat di simpulkan bahwa tidak sahnya perjanjian yang melibatkan PT.X dengan AS mengkibatkan perjanjian tersebut dapat di batalkan dan atau batal demi hukum. tentunya baik pembatalan maupun kebatalan ini setelah melalui proses di pengadilan atas gugatan yang di lakukan oleh AS.[10] AS melakukan gugatan tersebut berdasarkan pasal 1365 BW dimana pasal ini menitik beratkan bahwa siapapun membuat kerugian kepada orang lain di wajibkan untuk mengganti rugi karena wanprestasi yang di lakukan, Maka PT.X dapat di kenakan ganti rugi Pasal 1243 KUH.[11]

Kesimpulan

Dalam masalah yang penulis paparkan di atas dapat di simpulkan bahwa perjanjian yang di buat oleh PT.X dengan AS dapat di batalkan serta batal demi hukum sebagaiaman di atur dalam pasal 1320 KUH Perdata. dapat di batalkan karena PT.X tidak tidak memenuhi syarat subyektif sebagaimana di atur dalam pasal 1320 KUH Perdata yang memenuhi empat syarat kesepakatan para pihak yang membuat perjanjian, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok hal tertentu, dan suatu seba yang halal. Dimana dalam perjanjian ini para pihak telah sepakat atas perjanjian yang di buatnyaakan tetapi pada pelaksanaanya PT.X telah mengingkari kesepakatan yang di buat dengan AS.[12] Perjanjian sewa beli dapat diakhiri dengan persetujuan kedua belah pihak, namun kaitannya dengan pembatalan perjanjian tersebut didasarkan atas ketentuan pasal 1267 KUH Perdata, karena salah satu pihak wanprestasi. Kaitanya dengan batal demi hukum karena tidak terpenuhinya syarat objektif dari suatu perjanjian yang di buat antara PT.X dengan AS yang sebagaimana di atur dalam KUH Perdata pasal 1320. dimana PT.X memeberikan dana yang tidak sesusai dengan perjanjian yang di buatnya karena tidak terpenuhi obyek dari suatu perjanjian itulah perjanjian ini secara otomatis menjadi batal demi hukum.[13]

References

  1. M. S. S. Wulandari, H. A. Uzaimi, M. S. H. I. SE.AK., and S.E., “Analisis Pembiayaan Melalui Finance Lease Dan Aplikasi Perlakuan Akuntansi Leasing Berdasarkan Psak No.30 Tahun 2012 Pada PT. Adira Dinamika Multi Finance Tanjungpinang,” J. Akunt., vol. 30, no. 31, 2016.
  2. Presiden, “Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan,” pp. 1–5, 2009.
  3. M. A. Drs. Siti Mirhani, “Akuntansi Aktiva Leasing,” pp. 1–12, 2003.
  4. M. Djumhana, “Hukum Perbankan di Indonesia.” p. 214, 1996.
  5. I. G. P. P. Sarjana, “Pengaturan Batas Waktu Pendaftaran Jaminan Fidusia Pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999,” no. 42, pp. 1–17, 1999.
  6. J. Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,” 2006.
  7. Ishaq, “Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi.” Bandung.
  8. S. M. Soejono Soekantor, “Perjanjian Sewa beli.” 2007.
  9. M. Agung, “Putusan No. 1223 K/ Pdt/ 2012,” 2012.
  10. A. Suryanagara and J. L. Alvi Syahrin, M. Hamdan, “Dakwaan Batal Demi Hukum Setelah Pemeriksaan Pokok Perkara Dalam Sidang Pengadilan (Studi Putusan Nomor 19/Pid.Sus/2015/PN.Sim),” vol. 4, no. 2, pp. 204–220, 2016.
  11. D. I. W. W. Ni Komang Devayanti, “Aspek Hukum Perjanjian Sewa Beli,” pp. 1–5, 2009.
  12. T. Wahyu and S. Lestari, “Kom parasi Syarat Keabsahan ‘ Sebab Yang Halal ’ Dalam Perjanjian Konvensional Dan Perjanjian Syariah,” vol. 2, no. 1, pp. 1–16, 2017.
  13. P. Anindya, “Pembatalan Perjanjian Secara Sepihak,” vol. 24, pp. 8–48, 2009.