Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v1i2.1751

Inheritance Rights for Children from Siri Marriage in Indonesia


Hak Waris bagi Anak dari Pernikahan Siri di Indonesia

Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

siri wedding inheritance rights child out of wedlock

Abstract

In Indonesian society, there are still many marriages that are not registered officially or commonly called with Siri marriage. Siri marriage is a legitimate marriage according to religion but illegitimate according to the state's rule, which in turn affects the child whose born of Siri marriage. Children born out of Siri marriage cannot get their rights especially in terms of inheritance rights. The purpose of this study is to determine whether or not there is legal protection for children born of Siri marriage in terms of inheritance rights in view of the positive laws prevailing in Indonesia. The research method used is Normative research method using statutory approach (statute approach). In Indonesia related to the protection of inheritance rights for children born of siri marriage there are some differences. The benefit of this research is to increase the knowledge of whether or not  there is legal protection in terms of inheritance rights for children born from siri marriage in review of the positive law in Indonesia.

Pendahuluan

Setiap manusia pasti mepunyai naluri untuk mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini cara yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan adanya sebuah pernikahan. Oleh karena itu pemerintah membuat peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman dan terjamin bagi yang menjalani pernikahan tersebut.[1] Dalam masyarakat Indonesia masih banyak terjadi pernikahan yang tidak di catatkan atau baiasa di sebut dengan pernikahan siri. Pengertian pernikahan sirri adalah pernikahan yang sah menurut agama tetapi tidak menurut negara.[2] Berdarasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 (selanjutnya di sebut Undang-Undang perkawian ) pasal (2) ayat (1) di sebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang di lakukan menurut agama atau kepercayaannya, dan dalam ayat (2) di sebutkan setiap perkawinan yang di lakukan harus di catatkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.[3]

Dampak positif dari adanya pernikahan sirri sendiri adalah dapat mengurangi danya zina dan juga pergaulan bebas, sedangkan dampak negatifnya istri dan anak yang lahir dari pernikahan sirri akan sangat di rugikan karena tidak terpenuhnya hak dan kewajiban yang seharusnya mereka dapatkan.[4] Istri dan anak yang lahir dari pernikahan siri tidak dapat menuntut hak-haknya karena tidak adanya bukti otentik bahwa pernikan mereka sah menurut negara. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 42 menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir dari pernikahan yang sah.[3] Denagan demikian maka status anak tersebut sama dengan anak luar kawin dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 43.

Anak merupakan anugrah yang di berikan tuhan kepada pasangan suami dan istri, yang mana sudah seharusnya seorang di lakukan berbeda dengan anak yang lahir dari pernikahan yang sah, dan juga sudah sepatutnya seorang anak mendapatkan hak-haknya tanpa harus memintanya. Hal tersebut sesuai dengan Konversi tentang hak anak yang sudah di retivikasi pemerintah indonesia dengan di keluarkannya keputusan presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child yang di dalamnya berisikan prinsip-prinsip umum hak anak yaitu, prinsip larangan diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik anak, prinsip tanggung jawab negara, prinsip hak untuk hidup dan tumbuh kembang secara maksimal, prinsip hak untuk berpartisipasi.[5]

Dengan demikian dari adanya pernikahan sirri tidak seharusnya anak menjadi korban, karena tidak adil untuk anak tersebut ketika harus menanggung akibat yang di lakukan orang tuanya. Sebab kelahiran seorang anak di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu semestinya harus ada perlindungan hukum untuk anak luar kawin terutama dalam hal hak mewaris harta ayah biologisnya. sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat (2),dan pasal 28B ayat ( 1) yang menyatakan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan pada pasal 28 ayat (1)juga setiap orang orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.[6]

Pernikahan sirri sendiri masih banyak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, dalam hal ini penulis memberikan salah satu isu hukum yang di angkat oleh penulis di Desa Banjarkemantren, Buduran, Sidoarjo. Pernikahan sirri tidak menjadi permasalahan bagi masyarakat setempat, masyarakat tidak membedakan antara pernikahan sirri dan pernikahan yang sah, karena pada dasarnya pernikahan sirri adalah pernikahan yang sah menurut agama. Menurut pendapat masyarakat setempat anak yang lahir dari pernikahan siri pun mempunyai kedudukan yang sama dengan anak yang lahir dari pernikahan yang sah terutama dalam hal waris. Anak tidak bisa mendapatkan harta waris dari ayahnya, apabila ayah melakukan pengingkaran dengan lepas dari tanggung jawab, ketika pelaku pernikahan sirri lepas dari tanggung jawab, maka masyarakat juga tidak bisa berbuat banyak karena hal tersebut sudah menjadi resiko dari adanya pernikahan sirri yang mana pernikahan siri tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sebagaimana pernikahan yang sah. Dalam masyarakat Desa Banjarkemaren, Buduran, Sidoarjo, pernikahan sirri banyak di sebabkan karena pernikahan tersebut merupakan pernikahan kedua dan tidak mendapatkan izin dari istri pertama. Hal ini membuat penulis perihatin dalam keadaan yang terjadi dalam masyarakat Desa Banjarkemaren, Buduran, Sidoarjo, terkait pernikahan sirri dan dampak bagi anak yang lahir dari pernikahan siri dalam hal hak waris, penulis ingin mengetahui ada atau tidaknya perlindungan hukum dalam hal haw waris dari anak yang lahir dari pernikahan sirri.

Dari apa yang sudah di uraikan di atas maka permasalan yang akan di teliti adalah apakah ada perlindungan hukum hak waris bagi anak yang lahir dari pernikahan siri di tinjau dari Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 dan Kampulasi Hukum Islam. Yang bertujuan untuk menambah pengtahuan terkait ada atau tidaknya perlindungan hukum dalam hal hak waris bagi anak yang lahir dari pernikahan siri di tinjau dari Undang- Undang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

Metode Penelitian

Dalam penulisan Skripsi ini penulis akan menggunakan metode penilitian Normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian hukum normatif pada hakikatnya mengkaji hukum yang sudah di konsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku di dalam masyarakat, dan menjadi acuan dalam berprilaku.

Pembahasan

  1. Perlindungan Hukum Hak Waris Bagi Anak yang Lahir Dari Pernikahan Sirri Di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Status sah atau tidaknya seorang anak di tentukan dari status pernikahan orang tuanya, ketika seorang anak lahir dari pernikahan sirri maka statusnya akan secara otomatis menjadi anak yang tidak sah atau biasa di kenal sebagai anak luar kawin. Pernikahan sirri sendiri ialah pernikahan yang di lakukan sah menurut agamanya tapi tidak menurut negara, karena tidak sesuai dengan Undang-Undang perkawinana pasal 2 ayat (1) dan (2).

Seorang anak yang lahir dari pernikahan sirri akan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak luar nikah, walaupun pada dasarnya pernikahan kedua orangtuanya sah menurut agama, tapi tidak menurut negara. Anak yang lahir dari pernikaha sirri akan menirma kerugian paling besar dari pernikahan orang tuanya. Salah satu kerugian yang di peroleh anak yang lahir dari pernikahan siri ialah anak yang lahir dari pernikahan tersebut hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Undang-Undang perkawinan pasal 43 ayat (1) menyebutkan bahwa anak yang di lahirkan di luar perkawinan hanya akan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[3] Kedudukan anak yang lahir dari pernikanhan siri di mata hukum juga akan di pertanyakan, karena tidak ada bukti otentik yang dapat membuktikan anak tersebut adalah anak biologis ayahnya, dengan demikian anak yang lahir dari pernikahan siri tersebut tidak dapat menuntut hak-hak yang seharusnya di penuhi oleh ayahnya.

Anak yang lahir dari pernikahan siri tidak seharusnya di lakukan berbeda dengan anak yang lahir dari pernikahan yang sah, karena seorang anak tidak bisa memilih dalam pernikahan seperti apa dia di lahirkan. Sesuai dengan Undang-Undang perlindungan anak pasal 21 yang menyebutkan bahwa anak berhak kegiatan yang mengatur tentang melindungi hak hak anak agar dapat tumbuh, berkembang, sesuai dengan hakat dan martabat manusia dan mendapat perlindungan dari diskriminasi. [7]

Perlindungan bagi anak yang lahir dari pernikahan siri sangat di perlukan, karena anak tersebut di perlakukan tidak adil dengan tidak bisa terpenuhi hak- hak nya sebagai anak. Hak hak anak menurut Undang- Undang perlindungan anak pasal 12 ayat (2) huruf (b),(c) didalamnya menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan biaya penghidupan dari orang tuanya dan juga berhak mendapat pengasuhan, pemeliharaan dan proses tumbuh kembangnya .[7] Dan menurut Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah suatu aturan yang bertujuan untuk menjaga satu sama lainnya dengan demikian hukum bertujuan untuk melindungi hak hak yang di miliki setiap orang dari suatu hal yang menyebabkan tidak terpenihinya hak hak tersebut.[8]Tidak seharusnya anak menanggung akibat dari perbuatan yang di buat orang tuanya. Fakta adanya ketidak adilan hukum yang di tanggung anak yang lahir dari pernikahan siri ialah dalam akta kelahirannya mencantumkan nama Ibu tanpa disertai nama ayah biologisnya. Pola perlakuan semacam itu disamping rawan menimbulkan dampak psikologi bagi anak, juga melanggar hak anak yakni hak untuk mengetahui asal usul orang tuanya. Fakta yang terjadi di masyarakat anak yang lahir di luar nikah anak di pandang negatif, oleh karena itu di perlukannya perlindungan hukum bagi anak yang lahir dari pernikahan siri dan anak yang lahir di luar nikah.[9]

Sesuai dengan Undang-Undang No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak pasal 21 yang menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, ras, budaya, status hukum dan etnik.[7] Sepanjang tidak ada pengingkaran dari ayah biologisnya atas anak yang lahir dari pernikahan siri dalam hal hak di beri nafkah dan hak waris anak yang lahir dari pernikahan siri tidak menjadi permaslahan, akan tetapi apabila terjadi pengingkaran dan meninggalkan begitu saja anak yang lahir dari pernikahan siri tersebut, maka anak tersebut tidak dapat menuntut hak-haknya yang seharusnya didapatkan seorang anak dari ayahnya seperti, anak tersebut tidak mendapatkan hak di beri nafkah dari ayah biologisnya, dalam hal hak waris ayah biologisnya apabila terjadi kematian.[10]

Dari uraian di atas dapat di lihat bahwa tidak ada perlindungan hukum dalam hal hak waris anak yang lahir dari pernikahan siri. Statusnya yang sama dengan anak luar kawin, membuat anak yang lahir dari pernikahan siri hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya, yang secara otomatis anak tersebut tidak bisa menjadi ahli waris ketika ayahnya meninggal dunia karena tidak adanya hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.

Akan tetapi ada perubahan setelah Machica Muchtar mengajukan gugatan di Mahkamah Konnstitusi terkait dengan setatus dan hak –hak yang seharusnya didapatkan anaknya yang lahir dari pernikana siri dengan Murdiono. Machica beranggapan pasal 43 ayat (1) merugikan hak konstitusionalnya karena anaknya tidak dapat diakui sebagai anak yang sah dari ayah biologisnya di karenakan pernikahan yang di lakukan Machica dan Moerdiono haya sebatas pernikahan siri.

Melalui gugatan Machica tersebutt akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mana didalamnya menyebutkan bahwa seorang anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut negara atau (perkawinan siri) dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya dengan cara dibuktikan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah.[11]

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut di atas tentunya membawa dampak postif bagi anak yang lahir dari pernikahan siri, karena dengan adanya putusan anak yang lahir dari pernikahan siri bisa mendapatkan perlindungan hukum. Dengan adanya putusan tersebut maka hak-hak dasar yang sudah seharusnya di miliki setiap anak bisa di dapatkan. Guna membuktikan anak yang lahir dari pernikahan siri benar atau tidak anak dari ayah biologisnya dapat di buktikan dengan tes DNA atau dengan teknologi lain yang dapat membuktikan bahwa anak tersebut adalah anak dari ayah biologisnya.

Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi anak yang lahir dari pernikahana sirri mempunyai status hukum yang sama dengan anak yang lahir dari pernikahan yang sah dengan dibuktikan melalui teknologi atau tes DNA. Demi hukum anak yang lahir dari pernikahan siri dapat menuntut hak hak keperdataannya terutama dalah hal Alimentasi ( nafkah untuk kebutuhan hidup) orang tua kepada anak. Akan tetapi hak yang di peroleh hanya hak alimentasi saja bukan dalam hal hak waris, anak yang lahir dari pernikahan sirri tidak bisa mendapatkan hak waris , karena yang di maksut hubungan keperdataan hanya menyangkut hak Alimentasi saja.[9]

Dilihat dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi No : 46/PUU-VII/2010 anak yang lahir dari pernikahan siri bisa mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya dengan di buktikannya melalui tes DNA atau teknologi lainya, maka seiring dengan putusan tersebut timbulah perlindungan bagi anak yang lahir dari pernikahan siri. Setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi tersebut anak yang lahir dari pernikahan siri mendapat perlindungan hak alimentasi atau hak di beri nafkah oleh ayah biologisnya. Anak yang lahir dari pernikahan siri tetap tidak mempunyai perlindunmgan hukum dalam hal hak waris.

  1. Perlindungan Hukuwm Hak Waris Bagi Anak Yang Lahir Dari Pernikahan Sirri Di Tinjau Dari Kompilasi Hukum Islam

Pernikahan siri atau nikah yang rahasia memang sudah di kenal di kalangan ulama , pernikahan siri sendiri adalah pernikahan yang sudah sesuai dengan syariaat dan rukun pernikahan tapi tidak di umumkan dikhalayak ramai, masyarakat dan walimatul ursy.[12]

Kompilasi Hukum Islam pasal 4 menyebutkan bahwab Perkawinan adalah sah apabila di lakukan menurut islam sesuai dan sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Akan tetapi demi ketertiban atministrasi maka di sebutkan dalam pasal 5 ayat (1) Komplilasi Hukum Islam, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam maka perkawinan harus di catatkan.

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang perkawinan memiliki substansi yang sama terkait dengan sahnya sebuah perkawinan. Sehingga orang tua yang melakukan pernikahan siri secara agama islam kemudian melakukan pencatatan di KUA maka status anaknya adalah anak yang sah, bukan anak zina, bukan anak alam, bukan pula anak sumbang.

Di dalam pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan setiap perkawinan yang di lakukan di luar gagawai pencatatn nikah tidak mempunyai kekuatan hukun. Hal tersebut berakibat pada anak yang lahir dari perkawinan siri tidak mempunyai kekuatan hukum karena akibat dari perkawinan orang tuanya. Namun sama dengan pembahasan sebelumnya yang mengkaitkan penelitian ini dengan putusan Mahkamah Konstitusi No : No 46/PUU-VII/2010 maka anak tersebut juga dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya sejauh bisa di buktikan dengan teknologi Informasi seperti tes DNA. D.Y Witanto berpendapat dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VII/2010 akan memberikan ruang bagi anak tersebut untuk memperoleh nafkah termasuk biaya penidikan dan juga biaya hidup yang wajar bisa.

Jadi dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut penulis dapat menyimpulkan, bahwa jika perkawinan siri tidak di catatkan maka anak yang lahir tidak bisa dikatakann sebagai anak yang sah. Demikian juga sebaliknya, pernikahan siri yang di catatkan maka anak yang dilahirkannya adalah anak yang sah yang terlindungi hak warisnya. Kalaupun tidak di catatkan anak yang lahir dari pernikahan siri dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dengan di buktikan melalui teknologi/ tes DNA.

Kesimpulan

Perlindungan hukum hak waris dari anak yang lahir dari pernikahan siri di tinjau dari Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No 46/PUU-VII/2010 anak yang lahir dari pernikahan siri nyaris tidak ada perlindungan hukumnya. Namun setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, anak yang lahir dari pernikahan siri dapat dikatakan memiliki hubungan biologis dengan ayahnya dengan di buktikan melalui teknologi/ tes DNA.

Perlindungan hukum hak waris bagi anak yang lahir dari pernikahan siri ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, sama dengan Undang – Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 bahwa jika perkawinan siri tidak di catatkan maka anak yang lahir tidak bisa dikatakann sebagai anak yang sah. Demikian juga sebaliknya, pernikahan siri yang di catatkan maka anak yang dilahirkannya adalah anak yang sah yang terlindungi hak warisnya. Kalaupun tidak di catatkan anak yang lahir dari pernikahan siri dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dengan di buktikan melalui teknologi/ tes DNA.

References

  1. E. Savionita, “Kewenangan Kurator Ventris Untuk Mewakili Kepentingan Anak dalam Kandungan Janda Dari Pernikahan Siri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,” pp. 1–14, 2010.
  2. E. Agustina, “Akibat hukum hak mewaris anak hasil perkawinan siri berbasis nilai keadilan,” J. Pembaruan Huk., vol. II, pp. 381–390, 2015.
  3. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” .
  4. I. Gunawan, “Hak-Hak Anak Hasil Perkawinan Siri Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.46/PUU-VIII/2010,” vol. 1, no. 46, pp. 64–78, 2016.
  5. E. Riyadi, Hukum hak asasi manusia. Depok: RajaGrafindo.
  6. “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” vol. 4, no. 1, pp. 1–12, 1945.
  7. “Undang-Undang Replubik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.” .
  8. Anggyka Nurhidayana, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Anak Pada Perkawinan Sirri,” pp. 1–67, 2017.
  9. S. B. Purwaningsih, “‘Perlindungan Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No: 46/PUU-VIII/2010,’” J. Huk., vol. 1, no. 46, pp. 119–130.
  10. Siti Ummu Adillah, “Implikasi Hukum Dari Perkawinan Siri Terhadap Perempuan dan Anak,” vol. 7, no. 1, pp. 193–222, 2014.
  11. “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.” .
  12. I. Islami, “Perkawinan Di Bawah Tangan (Kawin Sirri) Dan Akibat Hukumnya,” J. Huk., vol. 8, no. 1, pp. 68–89.