Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v1i1.1747

Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Alih Debitur Atau Oper Kredit Tanpa Persetujuan Perusahaan Pembiayaan Dengan Objek Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor


Legal Consequences on Debtor Transfer Agreements or Credit Transfers without the approval of the Financing Company with the Object of the Motor Vehicle Fiduciary Guarantee

Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

agreement legal concequence financing company

Abstract

In this globalization era, the needs of the society in finance activity has been increased, therefore, the finance companies got a great demand from the societies, particularly in the payment of vehicle.The frequent problem in the implementation of vehicle financing credit is the transition of the credit from debtors to new debtors without the approval of the Financing Company. The purpose of this study is to find out the impact of the law through the transitionagreement credit to the new debtors without the approval from the Financing Company. This study uses normative research with statute approach. The results showed that the legal consequences of the loan transfer agreement without the approval of the finance company resulted in the agreement is invalidsince it violated the objective terms of the agreement.The agreement of the credit transfer without the approval of the Financing Company violates the fiduciary guarantee law which prohibits the loan shift without prior approval of the Financing Company.This study give benefit and knowledge for the author, particularly for the societies about the legal consequences of credit transfer agreements without the approval of financing companies.

Pendahuluan

Kehidupan masyarakat di era yang semakin maju sekarang tidak terlepas dari kebutuhan kendaraan bermotor seperti sepeda motor dan mobil yang berfungsi untuk mendukung segala aktifitas maupun kebutuhannya dan juga dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Didalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut masyarakat umumnya tidak terpenuhi secara langsung karena untuk memiliki kendaraan bermotor seperti motor dan mobil membutuhkan biaya yang cukup besar,terutama bagi masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat pada umumnya memilih untuk melakukan kredit kendaraan bermotor pada Perusahaan Pembiayaan atau Lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha pembiayaan kendaraan bermotor.

Perusahaan pembiayaan merupakan badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha,anjak piutang,pembiayaan konsumen,atau usaha kartu kredit.berkaitan dengan hal tersebut perusahaan pembiayaan menyalurkan kegiatan usahanya berupa memberikan fasilitas pembiyaan konsumen untuk keperluan pembelian kendaraan bermotor dengan pembayaran secara angsuran atau kredit.[1] Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan yang antara lain dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa kegiatan pembiayaan konsumen merupakan bentuk penyediaan dana untuk pembelian barang atas kebutuhan konsumen dengan cara pembayaran mengangsur,kegiatan tersebut meliputi pembiayaan kendaraan bermotor,alat rumah tangga,barang elektronik serta pembiayaan perumahan.[2]

Kesepakatan antara perusahaan pembiayaan selaku kreditur dengan konsumen selaku debitur dituangkan dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan tetap memegang ketentuan sahnya suatu perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata.[3] Pada perjanjian pembiayaan konsumen objek yang diperjanjikan adalah benda bergerak yakni kendaraan bermotor.[4] Pemberian pembiayaan/pemberian kredit kendaraan bermotor yang dilakukan perusahaan pembiayaan dan konsumennya, syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya jaminan benda yang juga dimaksudkan agar memberikan keadilan bagi kreditur serta debitur dan juga memperkecil resiko jika terjadi (wanprestasi) oleh debitur. Jaminan benda dalam hal ini disebut jaminan benda bergerak berupa kendaraan bermotor yaitu jaminan Fidusia.[5] Pada pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan kepada konsumen masalah yang sering terjadi adalah debitur mengalihkan kewajiban kredit tersebut atau menjual objek kendaraan bermotor kepada pihak ketiga tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada perusahaan pembiayaan. Padahal hal ini sangat berpengaruh pada akibat hukum yang ditimbulkan atas perbuatan tersebut. juga akan berpengaruh pada proses administrasi pengambilan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) jika pada saat pelunasan hutang debitur lama tidak beriktikad baik untuk membantu proses tersebut

Oleh karena itu berdasarkan permasalahan diatas menarik untuk menganalisa mengenai permasalahan tentang akibat hukum terhadap perjanjian alih debitur atau oper kredit tanpa persetujuan perusahaan pembiayaan dengan objek jaminan fidusia kendaraan bermotor? Tujuan penulisan ini untuk mengetahui akibat hukum terhadap perjanjian alih debitur atau oper kredit tanpa persetujuan Perusahaan Pembiayaan

Metode Penelitian

Pemilihan metode dalam penelitian ini dengan cara normatif dengan pendekatan Perundang undangan (Statute approach). Adapun sumber bahan Hukum primer dalam penelitian ini adalah Kitab Undang Undang Hukum Perdata,Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan, Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Dan sebagai bahan hukum sekunder yaitu buku,jurnal hukum,penjelasan dari dosen dosen hukum,serta wawancara dengan salah satu analis kredit di perusahaan pembiayaan Surabaya. Analisis yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis Deduktif.

Pembahasan

Perjanjian Peralihan Debitur (Oper Kredit) Di Perusahaan Pembiayaan

Diagram 1: Proses perjanjian alih debitur (oper kredit) di perusahaan pembiayaan[6]

Setelah semua proses peralihan debitur lama ke debitur baru selesai, dengan begitu segala kewajiban dan hak dari debitur lama akan berpindah kepada debitur baru .perikatan antara debitur lama dengan kreditur demi hukum hapus kemudian dilakukan pembaruan utang antara debitur baru dan kreditur(Novasi Subjektif pasif). Begitupun juga pada perjanjian accesoirnya (jaminan fidusia) yang sifatnya sebagai perjanjian pengikut,yang karenanya perjanjian pokonya hapus maka perjanjian jaminan fidusianya juga hapus,kemudian karena adanya pembaruan utang, perjanjiannya accesoirnya (jaminan fidusia) lahir kembali dengan dibuatkan akta perubahan jaminan fidusia.

Perjanjian Alih Debitur (Oper kredit) Tanpa Persetujuan Perusahaan Pembiayaan

Diagram 2 : Proses perjanjian alih debitur (Oper kredit) tanpa persetujuan perusahaan pembiayaan

Pelaksanaan perjanjian alih debitur cenderung banyak dilakukan oleh masyarakat dikarenakan prosesnya yang efisien,dibandingkan dengan alih debitur yang mendapat persetujuan oleh perusahaan pembiayaan.

Faktor faktor yang menyebabkan debitur lama mengalihkan kredit tanpa pemberitahuan perusahaan pembiayaan : Prosesnya yang cepat dan efisien, kurangnya pengetahuan debitur tentang bagaimana mengalihkan kredit sesuai dengan aturan, menghindari adanya biaya administrasi, selain prosesnya yang cepat,debitur cepat mendapatkan uang dari pihak debitur lama dengan harga yang sudah disepakati sebagai pengganti angsuran yang telah dibayarkan oleh debitur lama, tidak punya kemampuan financial untuk melanjutkan kredit.

Faktor Faktor yang menyebabkan debitur baru menerima peralihan kredit dari debitur lama tanpa persetujuan Perusahaan pembiayaan: Kurangnya pemahaman tentang peralihan kredit secara sah, prosesnya yang cepat dan efisien, menghindari biaya administrasi, karena adanya hubungan antara debitur lama dan debitur baru sehingga menimbulkan kepercayaan antara masing masing pihak

Perjanjian tersebut lebih dipilih oleh masyarakat juga untuk menghindari berbagai proses survey kelayakan kredit terhadap calon debitur baru dimana pihak perusahaan pembiayaan juga akan memberlakukan prinsip kredit 5C (character,capital,capacity,collateral,condition of economi) terhadap debitur baru yang menerima peralihan kredit. Prinsip penilaian kredit tersebut terkadang menjadi suatu hambatan atau rasa khawatir masyarakat apabila dalam pengajuan pengalihan kredit tidak dapat diterima atau layak untuk menerima peralihan kredit tersebut berdasarkan penilaian perusahaan pembiayaan.[6]

Dapat diketahui bahwa pelaksanaan perjanjian alih debitur tidaklah rumit atau memakan waktu yang lama. Pelaksanaan peralihan kredit yang dilaksanakan oleh debitur lama kepada debitur baru tanpa persetujuan pembiayaan menyebabkan kelanjutan angsuran dari debitur lama akan dilanjutkan oleh debitur baru tanpa sepengetahuan pihak kreditur. Setelah pelunasan angsuran tersebut sudah diselesaikan oleh debitur baru, debitur baru berhak meminta kepada debitur lama untuk bersama sama atau dengan sendiri menghadap pihak kreditur untuk selanjutnya melakukan proses pengambilan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).

Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Alih Debitur Tanpa Persetujuan Perusahaan Pembiayaan

Perjanjian alih debitur yang dilakukan antara debitur lama dan debitur baru merupakan perbuatan hukum jual beli walaupun debitur baru akan melanjutkan sisa pembayaran angsuran juga karenanya debitur lama akan meminta uang sebagai pengganti angsuran yang sebelumnya telah dibayarkan kepada pihak kreditur. Kemudian debitur baru akan memberikan pembayaran uang muka tersebut sebagai bukti telah terjadi peralihan kredit kendaraan bermotor dengan melakukan penyerahan kendaraan bermotor tersebut.

Pada pasal 1457 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa jual beli adalah dimana para pihak penjual dan pembeli mengikatkan diri untuk menyerahkan barang dan membayar harga barang sesuai dengan kesepakatan. Pada perbuatan jual beli terdapat hak dan kewajiban bagi penjual dan pembeli.[7] menurut W.J.S Poerwadarminta hak yaitu meliputi kepunyaan,milik,wewenang atau kekuasaan yang benar atas sesuatu dan untuk menuntut sesuatu.sedangkan kewajiban menurut J.B Dailyo beban yang oleh hukum diberikan pada subjek atau pada badan hukum.[8]

Namun perlu diketahui bahwasannya objek kendaraan yang dialihkan merupakan objek benda bergerak yang dibebani dengan jaminan fidusia sebagai jaminan atas hutang debitur lama dimana berarti secara hak kepemilikan bukan berada pada pihak penjual lagi (debitur lama) melainkan hak milik dari perusahaan pembiayaan sebagai kreditur (Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia).[9] Sebagaimana telah diuraikan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan debitur lama dan debitur baru akan menimbulkan hak dan kewajiban setelah kedua belah pihak sepakat. Dan untuk menjaga dan melindungi kepentingan debitur baru maka dibuat perjanjian alih debitur. Dengan demikian disadari atau tanpa disadari telah terjadi transaksi jual beli melalui perjanjian alih debitur secara dibawah tangan.

Sepakat dari debitur lama dan debitur baru terkandung makna asas konsensualisme yang juga disebutkan dalam pasal 1320 angka (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa dengan adanya kata sepakat maka para pihak menyetujui mengenai hal hal dan isi dari kontrak tersebut. Bahwasannya para pihak dalam membuat perjanjian tersebut juga harus mempunyai itikad baik dalam pelaksanaan kontrak dan mempunyai komitmen tanggung jawab dalam pelaksanaan perjanjian itulah sebabnya iktikad baik harus dilaksanakan pada suatu perjanjian sesuai dengan pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata.[10]

Perlu digaris bawahi bahwa perjanjian alih debitur tanpa melibatkan pihak perusahaan pembiayaan akan memberikan konsekuensi bagi debitur lama apabila dalam pelaksanaan kewajiban pembayaran angsuran oleh debitur baru mengalami kredit macet sehingga menyebabkan debitur lama akan ditagih oleh pihak kreditur karena dianggap telah melakukan wanprestasi mengingat perjanjian pembiayaannya masih atas nama debitur yang lama. Begitupula sebaliknya jika debitur baru telah selesai membayar angsuran dengan lunas jika pihak debitur lama tidak beriktikad baik ataupun keberadaannya tidak lagi diketahui maka debitur lama akan mengalami kesulitan pada saat proses pengambilan BPKB di perusahaan pembiayaan mengingat ketentuan pengambilan BPKB harus dengan data data dari debitur yang lama dan jika dikuasakan harus disertai dengan surat kuasa dari debitur lama. Hal ini terjadi sebagai akibat peralihan kredit tanpa persetujuan kreditur sehingga anatara kreditur dan debitur lama masih tetap terikat hubungan hukum perjanjian pembiayaan dan debitur baru tidak bisa menuntut haknya karena tidak ada hubungan hukum dengan kreditur.

Lebih lanjut tentang peralihan kredit tanpa persetujuan perusahaan pembiayaan,dalam Undang undang jaminan fidusia pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa pemberi fidusia (debitur) dilarang mengalihkan,menggadaikan ataupun menyewakan objek jaminan fidusia pada pihak lain yang tidak merupakan benda persediaan, terkecuali terlebih dahulu mendapat persetujuan dari kreditur.[11] Sehubungan dengan adanya aturan UUJF (Undang Undang Jaminan Fidusia) tentang larangan mengalihkan objek jaminan fidusia dapat dikatakan bahwa perjanjian alih debitur yang dilakukan oleh debitur lama dan debitur baru tersebut melanggar ketentuan yang ada dalam undang undang tersebut

Pada dasarnya pengalihan objek jaminan fidusia diperbolehkan namun dengan ketentuan harus terlebih dahulu diberitahukan kepada kreditur. Serta dengan adanya aturan UUJF tersebut perjanjian alih debitur yang dilakukan debitur lama juga melanggar syarat sahnya objektif perjanjian tentang sebab yang halal. Oleh karena syarat objektif dalam suatu perjanjian tidak dipenuhi maka mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum artinya dari awal dianggap tidak pernah lahir suatu perjanjian dan tidak ada suatu perikatan[12]

Resiko yang terkait akan beralihnya objek jaminan fidusia tidak terlepas dari sifat dari jaminan fidusia sebagai hak kebendaan.[13] Jaminan fidusia sebagai hak kebendaan (yang memberikan jaminan) melekat sifat dan ciri ciri hak kebendaan yaitu accesoir : memiliki ketergantungan pada perjanjian pokok), jaminan dalam pelunasan hutang, constitutum possessorium : penyerahan hak milik dengan melanjutkan penguasaan atas benda jaminan, droit de preference : hak kreditur untuk mendahului dan menjual benda yang dijaminkan.kreditur juga berhak mendapatkan pelunasan utang debitur atas penjualan benda tersebut, droit de suite yaitu seseorang yang berhak pada benda tersebut mempunyai kekuasaan atau berwenang untuk mempertahankan dimanapun dan ditangan siapapun, parate execusi : pelaksanaan eksekusi unuk menjual terhadap barang atau benda yang dijaminkan kepada kreditur akibat debitur wanprestasi

Sifat droit desuite juga terdapat dalam pasal 20 undang undang jaminan fidusia yang pada intinya menyatakan bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti objek benda yang dibebani dengan jaminan fidusia pada siapapun dan dimanapun objek benda tersebut terkecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia[11].Oleh karena itu jaminan fidusia memilik sifat droit de suite dan parate execusi yang berarti bahwa kreditur diberikan perlindungan hukum untuk memperoleh kekuasaan menjual, mengambil objek jaminan demi mendapatkan pelunasan hutang akibat debitur wanprestasi. Adanya asas droit de suite tersebut apabila debitur mengalihkan objek jaminan fidusia kepada pihak ketiga tanpa persetujuan terlebih dahulu kepada kreditur akan menimbulkan akibat hukum kreditur atas kekuasaan sendiri mengambil objek jaminan fidusia tersebut dari tangan debitur baru yang dalam hal ini sebagai pihak ketiga yang kemudian kreditur dapat memperoleh ganti kerugian atas hutang debitur lama dengan melakukan penjualan melalui lelang. (pasal 29 ayat (1) poin (3) UUJF)

. Berdasarkan undang undang jaminan fidusia pasal 15 ayat (3) yang menyatakan apabila debitur wanprestasi kreditur mempunyai hak menjual objek benda yang menjadi jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Konsekuensi selanjutnya yang diterima debitur baru tidak hanya penyitaan terhadap objek jaminan fidusia yang diterimanya saja,melainkan juga mengalami kerugian finansial dimana debitur baru telah menyerahkan uang sebagai pengganti angsuran yang telah dibayarkan kepada debitur baru, Sedangkan dalam pasal 36 UUJF menyatakan bahwa perbuatan wanprestasi debitur lama dengan mengalihkan objek jaminan fidusia pada debitur baru dapat berakibat yaitu sanksi pidana dan denda kepada debitur lama sesuai dengan aturan pasal 36 Undang undang jaminan fidusia[11]

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis,dapat diambil kesimpulan akibat hukum bagi perjanjian peralihan debitur tanpa persetujuan Perusahaan Pembiayaan mengakibatkan perjanjian yang dilakukan tersebut batal demi hukum artinya dari awal dianggap tidak pernah lahir suatu perjanjian dan tidak ada suatu perikatan. Perbuatan jual beli objek kendaraan bermotor tersebut tidak sah dimana objek kendaraan dalam perbuatan jual beli tersebut statusnya masih dibebani dengan jaminan fidusia. Resiko yang diterima debitur baru yaitu sewaktu waktu pihak kreditur dapat melakukan eksekusi objek kendaraan bermotor tersebut dengan sebab salah satu sifat dari jaminan fidusia sebagai perjanjian accesoir memiliki sifat droit de suite yang berarti kreditur berhak mempertahankan atau mengambil objek kendaraan bermotor tersebut dimanapun dan di pihak manapun. resiko yang diterima selanjutnya yaitu dari segi finansialnya,debitur baru akan mengalami kerugian dimana telah mengeluarkan biaya sebagai pembayaran pembelian objek kendaraan tersebut pada debitur lama,dan bilamana telah membayar angsuran kredit terhadap kreditur sampai lunas namun hak atas Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) tersebut tidak dapat diambil dan dimilikinya begitu saja. akibat hukum bagi debitur lama yang dalam hal ini telah melakukan peralihan objek jaminan fidusia tanpa persetujuan kreditur sebagaimana Undang undang jaminan no 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pasal 36, perbuatan debitur lama dengan mengalihkan objek jaminan fidusia dapat dipidana dan akan dikenakan denda atas perbuatannya tersebut.

References

  1. Simarmata Ambatua, “Perusahaan Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance) dan Prinsip Kehati-hatiannya,” pp. 61–62, 2012.
  2. “Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiayaan,” 2006.
  3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. .
  4. R. WAHYUNI, M. K. RIKA LESTARI, SH., M.Hum ULFIA HASANAH, SH., and Abstrak, “PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN PT. FEDERAL INTERNASIONAL FINANCE CABANG SIAK,” pp. 1–16, 2009.
  5. D. Umi, “Akibat Hukum Tidak Didaftarkannya Objek Jaminan Fidusia Oleh PT.Federal International Finance (FIF) Samarinda,” J. Beraja Niti, vol. 1 No 9, p. 7, 2012.
  6. M. H. Dinata, Wawancara dengan Kiki Andridhitya. 2018.
  7. P. K. Michael, Penyerahan Barang Oleh Penjual Dalam Perjanjian Jual Beli Air Galon Kepada Pengusaha Mini Market Mega Mitra Kelurahan Akcaya Kota Pontianak. 2016.
  8. M. Yuliana, Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Antara Penyewa Dengan Pemilik Rumah Di Desa Kapur Komplek Graha Kapur Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya. 2017.
  9. A. Sheeny, Fidusia Sebagai Jaminan Dalam Pemberian Kredit Di Perusda BPR Bank Pasar Klaten. 2009.
  10. B. Rosdalina, “Urgensi Perjanjian Dalam Hubungan Keperdataan,” p. 7.
  11. “Undang Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,” 1999.
  12. N. Suparto, “Prinsip kepemilikan hak pada pembebanan jaminan fidusia,” J. RECHTENS, vol. 4, p. 43, 2015.
  13. H. Y. Mhd, “Pengaturan Lembaga Jaminan Di Indonesia Perspektif Undang Undang No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,” p. 115.