Recent Cases
DOI: 10.21070/ijler.v19i2.1286

Dynamics and Strategies of Law Enforcement of Money Laundering Offences in Indonesia


Dinamika dan Strategi Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Money Laundering Crime Law Enforcement Digital Finance

Abstract

General Background Money laundering is a transnational financial crime that threatens economic stability, involving illicit financial flows disguised as legitimate transactions. Specific Background In Indonesia, the increasing complexity of money laundering is driven by financial digitalization and globalization, enabling criminals to exploit regulatory loopholes. Knowledge Gap Despite the existence of anti-money laundering (AML) regulations, enforcement effectiveness and adaptation to new financial technologies remain challenging. Aims This study aims to analyze the dynamics of money laundering cases in Indonesia, evaluate the effectiveness of existing legal frameworks, and identify areas for regulatory improvement. Results Findings indicate that while Indonesia has made progress in AML enforcement, legal loopholes, limited cross-border cooperation, and emerging financial technologies hinder optimal prevention efforts. Novelty This study provides a comprehensive analysis of recent judicial decisions (2015–2020) and assesses Indonesia’s compliance with global AML standards. Implications Strengthening financial intelligence, international collaboration, and regulatory adaptation to digital financial innovations are crucial for enhancing AML measures and mitigating economic risks.

Highlights:

  • Money laundering in Indonesia is evolving due to digital financial advancements and globalization.
  • Legal loopholes and weak cross-border cooperation hinder effective enforcement.
  • Strengthening financial intelligence and regulations is crucial for economic stability.

Keywords: Money Laundering Crime, Law Enforcement, Digital Finance

Pendahuluan

Pencucian uang merupakan extraordinary crime dalam bidang keuangan yang dampaknya tidak hanya membebani negara, melainkan mengancam kestabilan ekonomi baik di sector nasional maupun global. Dampaknya sangat luas, karena kejahatan ini tidak hanya merugikan negara yang menjadi tempat terjadinya tindakan tersebut, tetapi juga berpotensi mengguncang sistem ekonomi internasional. Money laundering tidak bisa berjalan sendiri harus melibatkan berbagai proses untuk menyamarkan sumber ilegal uang sehingga terlihat sah dan bisa digunakan tanpa kecurigaan. Kejahatan ini sering berkaitan dengan jenis pelanggaran ekonomi lainnya, seperti penipuan, perdagangan narkoba, terorisme, dan jaringan kriminal terorganisir, yang semuanya memiliki efek merusak pada ekonomi dan stabilitas sosial. Dengan jangkauan global, pencucian uang mencakup transaksi lintas negara dan sektor ekonomi yang kompleks, melibatkan perpindahan dana antarnegara untuk menghindari deteksi oleh otoritas. Oleh karena itu, masalah ini bukan sekadar tantangan hukum, tetapi juga masalah ekonomi dan sosial yang memerlukan penanganan komprehensif dari berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Berdasarkan Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) [1] Nomor 1, disebutkan bahwa setiap negara diharuskan untuk melakukan identifikasi, analisis, dan evaluasi terhadap risiko Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM) di negara tersebut. Sehubungan dengan perkembangan zaman, praktik pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal juga semakin kompleks dan berkembang.

Kemajuan teknologi dan informasi sebagai salah satu cela yang dimanfaatkan oleh pelaku Tindak pidana pencucian uang di era globalisasi keuangan ini, arus keuangan selanjutnya telah menyebabkan perdagangan global yang semakin meningkat dalam produk dan layanan. [2] Di samping kemajuan ini, suatu negara mungkin tidak selalu diuntungkan karena tak jarang dapat menjadi tempat berkembang biaknya kejahatan, khususnya kejahatan kerah putih.[3] Kejahatan kerah putih, atau kejahatan non-kekerasan yang sering kali dilakukan oleh individu dengan posisi atau jabatan tinggi dalam perusahaan atau institusi, kini berkembang secara transnasional dan lintas batas negara. Kejahatan ini mencakup berbagai tindakan ilegal, seperti korupsi, penggelapan pajak, manipulasi pasar, dan penipuan, yang semuanya memiliki dampak luas, baik secara ekonomi maupun sosial.

Pada era globalisasi dan kemajuan teknologi saat ini, bentuk-bentuk kejahatan kerah putih semakin canggih dan terstruktur secara rapih, sehingga sering kali sulit untuk dideteksi oleh penegak hukum atau regulator keuangan. Pelaku kejahatan menggunakan berbagai metode dan jaringan yang kompleks untuk menghindari pelacakan, sering kali dengan melibatkan beberapa yurisdiksi yang memiliki regulasi berbeda-beda.[4] Perkembangan sistem keuangan di setiap negara dipicu oleh berbagai faktor yang saling terkait dan mencerminkan kebutuhan ekonomi yang dinamis.4 Pertama, meningkatnya pendapatan masyarakat meningkatkan permintaan akan layanan keuangan seperti tabungan, pinjaman, dan investasi, yang penting untuk menjaga keseimbangan ekonomi. Selain itu, kemajuan teknologi informasi dan industri telah mengubah cara transaksi keuangan dilakukan, memperkenalkan inovasi seperti perbankan digital dan fintech, yang memberikan kemudahan akses bagi masyarakat. Dengan demikian, diperlukan penelitian untuk melihat dinamika dan perkembangan yang dilakukan oleh para pelaku dalam melancarkan aksi pencucian uang, pendanaan terorisme, dan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.

Metode

Dalam menyusun penelitian ini, penulis mengadopsi metode penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk menganalisis kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yang masing-masing memberikan perspektif berbeda namun saling melengkapi. Pendekatan yuridis normatif berfokus pada analisis peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan topik yang diangkat, dengan tujuan untuk memahami permasalahan dari sudut pandang teoretis dan berdasarkan literatur hukum yang ada. Ini memungkinkan peneliti untuk merumuskan masalah sesuai dengan ketentuan hukum positif yang berlaku, serta untuk menilai konsistensi dan relevansi peraturan tersebut dalam menghadapi kasus yang diangkat.

Teknik penelitian pustaka digunakan dalam proses pengumpulan data penelitian ini. Penelitian pustaka adalah proses pengumpulan data melalui sejumlah kegiatan, termasuk membaca, menganalisis, dan mengutip dari buku-buku pustaka; meneliti ketentuan-ketentuan hukum dan peraturan yang relevan; dan melakukan studi dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Setelah pengumpulan data, data harus diolah, yang mencakup pengorganisasian dan evaluasi informasi yang dikumpulkan. Pemilihan data merupakan langkah pertama dalam proses pengolahan data, yang melibatkan memastikan semua informasi lengkap.Selanjutnya, data diklasifikasikan dengan cara mengorganisirnya ke dalam kategori atau kelompok yang relevan. Terakhir, data dikelompokkan secara sistematis untuk memudahkan analisis lebih lanjut. Dengan mengikuti tahapan ini, data akan siap untuk dianalisis secara mendalam.

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik dari kasus-kasus TPPU, TPPT, dan PPSPM dalam perkembangannya di Indonesia ?

2. Bagaimana dinamika dan perkembangan dari kasus-kasus TPPU, TPPT, dan PPSPM berdasarkan putusan pengadilan selama periode tahun 2015-2020?

Hasil dan Pembahasan

A. Karakteristik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM)

1. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Pencucian uang merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana. Praktik ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan utama dari tindak pidana ini adalah untuk mengaburkan sumber dana ilegal agar tampak seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Secara umum, pencucian uang dilakukan melalui tiga tahapan utama, yaitu:[5]

a. Penempatan (Placement)

Tahap pertama dalam proses pencucian uang adalah penempatan, yaitu upaya memasukkan dana hasil tindak pidana ke dalam sistem keuangan atau lembaga terkait. Pada tahap ini, pelaku memisahkan aset ilegal dari sumber kejahatannya dengan menyalurkannya ke rekening bank, lembaga investasi, atau bentuk aset lain yang dapat menyamarkan asal-usulnya.

b. Pemisahan/Pelapisan (Layering)

Tahap berikutnya adalah pemisahan atau pelapisan, yang bertujuan untuk memutus hubungan antara dana dengan sumber kejahatannya. Pada tahap ini, pelaku melakukan serangkaian transaksi keuangan yang kompleks, seperti memindahkan dana ke berbagai rekening atau lokasi yang berbeda, menggunakan perusahaan cangkang, serta melakukan transaksi internasional guna menyulitkan penelusuran asal dana oleh otoritas berwenang.

c. Penggabungan (Integration)

Tahap terakhir dalam pencucian uang adalah penggabungan, yaitu ketika dana yang telah melalui proses penempatan dan pelapisan kembali digunakan dalam aktivitas ekonomi yang sah. Dana tersebut dapat diinvestasikan dalam bisnis yang legal atau digunakan untuk mendanai kembali kegiatan kriminal. Pada tahap ini, aset hasil kejahatan telah menyatu dengan aset legal, sehingga dapat digunakan tanpa menimbulkan kecurigaan dari aparat penegak hukum.

Tahap integrasi merupakan tahap akhir dalam proses pencucian uang yang lengkap, di mana hasil kejahatan dikembalikan ke dalam sistem ekonomi yang sah. Pada tahap ini, pelaku dapat dengan bebas memanfaatkan kekayaan hasil tindak pidana tanpa menimbulkan kecurigaan dari aparat penegak hukum. Meskipun demikian, dalam praktiknya, pencucian uang tidak selalu melibatkan ketiga tahap secara keseluruhan.

2. Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT)

Pendanaan terorisme merupakan segala bentuk tindakan yang bertujuan untuk menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan atau dengan kesadaran bahwa dana tersebut akan digunakan untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau individu teroris. Ketentuan mengenai Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) diatur dalam Pasal 4 hingga Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Secara umum, TPPT terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:[6]

a. Tahap Pengumpulan Dana (Collecting)

Tahap ini mencakup berbagai metode yang digunakan untuk memperoleh dana yang akan dialokasikan bagi kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau individu teroris. Beberapa mekanisme pengumpulan dana meliputi:

1) Donasi kepada Kelompok Teroris Donasi dapat dilakukan oleh individu yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kelompok teroris, baik secara tunai dalam jumlah kecil maupun melalui kedok amal yang bertujuan menarik simpati masyarakat. Sebagian besar dana yang diperoleh berasal dari sumber yang sah secara hukum.

2) Pendanaan Mandiri (Self-Funding) Dana diperoleh dari hasil usaha pribadi, pendapatan, atau penjualan aset milik anggota kelompok teroris. E-commerce menjadi salah satu sarana yang rentan dimanfaatkan oleh anggota maupun simpatisan kelompok teroris untuk menjalankan usaha daring. Pada metode ini, dana umumnya berbentuk uang tunai.

3) Pendanaan Melalui Media Sosial Perkembangan teknologi memungkinkan pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan ajakan penggalangan dana, baik di dalam maupun luar negeri. Beberapa penggalangan dana berafiliasi dengan organisasi nirlaba (Non-Profit Organization/NPO) tertentu dan biasanya mengarah ke rekening pribadi pelaku. Selain itu, media sosial terenkripsi sering kali digunakan dalam komunikasi terkait serangan, rekrutmen, serta aktivitas operasional lainnya.

b. Tahap Pemindahan Dana (Moving)

Tahap ini mencakup berbagai metode yang digunakan untuk menyalurkan dana yang telah dikumpulkan agar dapat digunakan dalam aksi terorisme. Beberapa metode pemindahan dana antara lain:

1) Pembawaan Uang Tunai Transaksi tunai masih menjadi metode utama dalam pendanaan terorisme karena tidak meninggalkan jejak transaksi, sehingga sulit untuk dideteksi. Uang tunai juga mudah dibawa lintas batas negara serta dapat ditukarkan ke mata uang lain guna memenuhi kebutuhan operasi terorisme.

2) Penggunaan Penyedia Transfer Dana (PTD) Berizin Selain Bank Layanan PTD Berizin Selain Bank memiliki risiko tinggi dalam pendanaan terorisme karena kemudahan akses, kecepatan transaksi, serta jangkauannya yang luas hingga ke daerah terpencil. Umumnya, pihak yang menggunakan layanan ini tidak terdaftar dalam daftar terduga teroris, sehingga menyulitkan identifikasi transaksi.

3) Pemanfaatan Layanan Perbankan Perbankan menjadi sarana yang kerap digunakan dalam pendanaan terorisme karena jangkauannya yang luas dan variasi produknya. Rekening tabungan adalah instrumen yang paling sering digunakan untuk menampung serta memindahkan dana. Untuk menghindari deteksi oleh aparat penegak hukum, pelaku sering memanfaatkan rekening milik keluarga, pihak ketiga, rekening pinjaman, atau rekening yang diperjualbelikan. Selain itu, transaksi yang dilakukan umumnya dalam jumlah kecil dan bersumber dari dana legal guna menghindari kecurigaan.

c. Tahap Penggunaan Dana (Using)

Tahap ini mencakup penggunaan dana yang telah dikumpulkan untuk mendukung aksi terorisme, baik sebagian maupun seluruhnya. Beberapa bentuk penggunaan dana meliputi:

1) Pengadaan Senjata dan Bahan Peledak Senjata dan bahan peledak merupakan komponen utama dalam aksi terorisme. Senjata dapat diperoleh dari pasar gelap, baik di dalam maupun luar negeri. Senjata yang dibeli dari luar negeri biasanya diselundupkan melalui jalur perbatasan yang tidak resmi. Selain itu, bahan peledak dapat diperoleh dari toko kimia, baik secara langsung maupun daring. Kurangnya pengawasan terhadap penjualan bahan kimia meningkatkan risiko pembuatan bahan peledak oleh kelompok teroris.

2) Mobilitas Anggota Teroris dan Perjalanan Foreign Terrorist Fighter (FTF) Dana juga digunakan untuk membiayai pergerakan anggota kelompok teroris dari satu lokasi ke lokasi lain. Sumber dana dapat berasal dari pendanaan mandiri atau jaringan teroris. Sebagian besar dana ini digunakan untuk membeli tiket transportasi bagi individu yang akan bergabung sebagai pejuang teroris asing, serta untuk mengurus dokumen perjalanan.

3) Pelatihan Militer dan Perang Untuk meningkatkan efektivitas serangan, kelompok teroris mengalokasikan dana untuk pelatihan fisik, mental, serta taktik perang bagi anggotanya. Pendanaan ini dapat berasal dari sumber pribadi maupun pihak lain. Pelatihan perang dilakukan secara tersembunyi di lokasi terpencil guna menghindari deteksi oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat umum.

3. Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM)

Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM) merupakan tindakan penyediaan dana yang digunakan, baik secara keseluruhan maupun sebagian, untuk kegiatan manufaktur, akuisisi, kepemilikan, pengembangan, ekspor, distribusi, pengangkutan, pemindahan, penyimpanan, atau penggunaan senjata nuklir, senjata kimia, senjata biologis, serta sarana dan materi terkait yang bertentangan dengan hukum nasional maupun ketentuan hukum internasional. Secara umum, proses PPSPM terdiri atas tiga tahapan utama, yaitu: [7]

a. Pengumpulan Dana (Fund Raising)

Tahap ini mencakup upaya memperoleh dana melalui anggaran domestik, yang dapat diperoleh dari sumber dalam negeri maupun melalui jaringan di luar negeri. Selain itu, pendanaan juga dapat diperoleh dari aktivitas ilegal atau kriminal.

b. Penyamaran Dana (Disguising the Funds)

Pada tahap ini, dana yang telah terkumpul dipindahkan ke dalam sistem keuangan internasional, sering kali melalui transaksi perdagangan lintas negara, dengan tujuan menyamarkan sumber dan tujuan penggunaannya.

c. Pengadaan Bahan dan Teknologi (Procurement)

Tahap akhir dalam PPSPM adalah pemanfaatan dana dalam sistem keuangan internasional untuk memperoleh bahan dan teknologi yang diperlukan guna mendukung program proliferasi serta pengembangan senjata pemusnah massal.

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM)

1. Jenis-Jenis TPPU

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) umumnya dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis. Berdasarkan metode penyusunan dakwaannya, TPPU dapat dikategorikan sebagai Stand-Alone Money Laundering. Istilah ini merujuk pada pencucian uang yang dituntut sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri, meskipun pada dasarnya merupakan tindak pidana lanjutan dari suatu tindak pidana asal. Dalam pendekatan ini, penuntutan terhadap TPPU dapat dilakukan secara tunggal tanpa harus terlebih dahulu menuntut tindak pidana asalnya. Penyusunan dakwaan TPPU dapat digabungkan dalam satu berkas dengan tindak pidana asal atau dipisahkan, bergantung pada relevansi kasus. Pendekatan ini dianggap signifikan karena:[8]

a. Terdapat kemungkinan bahwa tindak pidana asal tidak memiliki cukup bukti yang menunjukkan adanya hasil kejahatan; atau

b. Adanya kendala yurisdiksi yang menghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana asal.

Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana dapat mengalami proses pencucian baik oleh pelaku utama (self-laundering) maupun oleh pihak ketiga (third party money laundering). Berdasarkan keterkaitan pelaku dengan tindak pidana asal, TPPU dikategorikan sebagai berikut:

a. Self-Laundering, yaitu pencucian uang yang dilakukan oleh individu yang terlibat langsung dalam tindak pidana asal.

b. Third Party Money Laundering, yaitu pencucian uang yang dilakukan oleh pihak yang tidak terlibat dalam tindak pidana asal.

Selain itu, berdasarkan lokasi terjadinya, terdapat kategori Foreign Money Laundering, yaitu pencucian uang yang dilakukan di luar yurisdiksi tempat terjadinya tindak pidana asal. Strategi ini bertujuan untuk mempersulit aparat penegak hukum dalam menelusuri dan mengungkap asal-usul hasil tindak pidana.

Di Indonesia, regulasi mengenai TPPU telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Berdasarkan undang-undang tersebut, TPPU diklasifikasikan menjadi:

a. Tindak Pidana Pencucian Uang Aktif

TPPU aktif mengacu pada tindakan yang secara aktif dilakukan untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Ketentuan mengenai TPPU aktif diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU.

b. Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif

TPPU pasif merujuk pada pencucian uang di mana tidak terdapat tindakan aktif untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan hasil tindak pidana. Ketentuan mengenai TPPU pasif diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU TPPU.

2. Jenis-Jenis TPPT

Praktik Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) dapat dikategorikan ke dalam beberapa bentuk berdasarkan metode pengumpulan, pemindahan, serta penggunaan dana. Berikut adalah klasifikasi dari praktik TPPT:

a) Pengumpulan Dana

Pengumpulan dana dalam TPPT dapat dilakukan secara legal maupun ilegal, di antaranya:

1) Pengumpulan Dana Secara Legal

a. Penggalangan dana melalui sponsor pribadi (terrorist financier/fundraiser), yaitu memperoleh dana dengan dukungan dari pihak tertentu yang secara sukarela memberikan donasi.

b. Penyimpangan dalam pengumpulan donasi melalui organisasi kemasyarakatan (ormas), yaitu memanfaatkan badan atau organisasi resmi untuk menggalang dana yang nantinya digunakan untuk aktivitas terorisme.

c. Pembentukan usaha bisnis yang sah sebagai sumber pendanaan, yaitu dengan mendirikan atau menjalankan bisnis yang beroperasi secara legal namun hasilnya digunakan untuk mendukung aksi terorisme.

d. Penggunaan platform pendanaan crowdfunding dengan memanfaatkan teknologi finansial guna menggalang dana secara daring.

e. Penggalangan dana secara mandiri yang tidak berasal dari usaha bisnis, namun melalui inisiatif individu atau kelompok.

2) Pengumpulan Dana Secara Ilegal

a. Perolehan dana dari hasil kegiatan kriminal lainnya, seperti pencurian, perampokan, atau aktivitas ilegal lainnya.

b. Pemerasan terhadap individu atau kelompok untuk memperoleh dana.

c. Eksploitasi sumber daya alam secara ilegal guna mendapatkan keuntungan finansial untuk mendanai aktivitas terorisme.

d. Penculikan dengan tuntutan tebusan, di mana dana hasil tebusan digunakan untuk mendukung kegiatan terorisme.

b) Pemindahan Dana

Setelah dana berhasil dikumpulkan, proses pemindahan dana dilakukan melalui berbagai metode, antara lain:

1) Penggunaan layanan penyedia jasa keuangan untuk mentransfer dana.

2) Pembawaan uang tunai lintas batas negara sebagai metode pemindahan dana tanpa melalui sistem perbankan formal

3) Pemanfaatan metode pembayaran baru yang tidak terdeteksi oleh sistem keuangan konvensional.

4) Penggunaan penyedia barang dan jasa sebagai sarana pemindahan dana.

5) Pemanfaatan profesi tertentu untuk melakukan transfer dana tanpa terdeteksi oleh pihak berwenang.

c) Penggunaan Dana

Dana yang telah dikumpulkan dan dipindahkan selanjutnya digunakan untuk berbagai kepentingan yang berkaitan dengan aktivitas terorisme, termasuk:

1) Operasi Terorisme

a. Pembelian senjata dan bahan peledak untuk mendukung aksi terorisme dalam negeri.

b. Pendanaan perjalanan ke dan dari lokasi aksi terorisme dalam lingkup domestik.

c. Pembiayaan perjalanan pejuang teroris asing untuk melaksanakan aksi terorisme di luar negeri.

d. Pembelian dan perawatan kendaraan atau mesin yang digunakan dalam operasi terorisme.

e. Pembuatan dokumen identitas palsu guna mendukung aktivitas terorisme.

f. Pembayaran biaya kurir untuk pengiriman pesan atau uang.

2) Pelatihan Terorisme

a. Pendanaan pelatihan pembuatan senjata dan bahan peledak.

b. Pelatihan penggunaan senjata dan bahan peledak.

c. Pelatihan komunikasi rahasia atau sandi guna menghindari deteksi aparat keamanan.

d. Pembangunan lokasi pelatihan untuk melatih anggota kelompok teroris.

e. Pendanaan pelatihan yang dilakukan secara daring atau virtual. f. Pelatihan ideologi untuk menanamkan ajaran kelompok terorisme kepada anggota baru.

3) Pendanaan Operasional dan Kesejahteraan Anggota

a. Pembayaran gaji dan kompensasi kepada anggota kelompok terorisme.

b. Penyediaan santunan bagi anggota yang ditahan atau meninggal dunia dalam aksi terorisme.

c. Biaya kebutuhan dasar kelompok terorisme, termasuk pangan, papan, dan layanan medis.

4) Propaganda dan Perekrutan

a. Pembuatan serta pemeliharaan akun di media sosial untuk menyebarkan ideologi terorisme dan merekrut anggota baru.

b. Pengembangan serta pemeliharaan situs web yang berfungsi sebagai media propaganda.

c. Penerbitan majalah atau koran sebagai alat komunikasi dan penyebaran ideologi kelompok teroris.

d. Pendanaan media promosi lain seperti televisi dan radio untuk menyebarluaskan propaganda.

3. Jenis-Jenis PPSPM

Secara umum, PPSPM memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Beroperasi secara global dengan memanfaatkan kelemahan dalam regulasi ekspor dan sistem keuangan di negara-negara tertentu.

2) Menggunakan sistem keuangan formal, namun tetap memungkinkan pemanfaatan mekanisme keuangan informal serta transaksi tunai.

3) Melakukan pembelian barang sensitif terhadap proliferasi melalui pasar terbuka.

4) Memanfaatkan perusahaan cangkang (shell company) serta perantara perdagangan guna menyamarkan tujuan akhir dan pihak yang sebenarnya terlibat dalam pengadaan.

C. Dinamika dan Perkembangan dari Kasus-Kasus TPPU, TPPT, dan PPSPM berdasarkan Putusan Pengadilan Selama Periode Tahun 2015-2020

Merujuk pada Black’s Law Dictionary, Money Laundering diartikan sebagai berikut : “Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transactions, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source can be traced”.[9] Rezim hukum internasional terkait anti-pencucian uang mulai berkembang dengan disahkannya The United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tahun 1988 (Konvensi Wina 1988), yang dianggap sebagai tonggak sejarah dalam perhatian global terhadap pencucian uang.[10] Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) merupakan perbuatan yang bertujuan menyembunyikan atau mengalihkan asal-usul harta yang diperoleh dari tindak pidana.[11] TPPU bukan merupakan kejahatan yang berdiri sendiri, melainkan konsekuensi dari tindak pidana lain yang dikenal sebagai predicate crime atau tindak pidana asal.[12] Harta yang menjadi objek pencucian uang dapat berasal dari berbagai bentuk kejahatan, seperti korupsi, perdagangan narkotika, penggelapan, penipuan, serta kejahatan di sektor perbankan. Secara umum, proses pencucian uang terdiri atas tiga tahapan utama:

a. Placement, yakni tahap ketika hasil kejahatan dimasukkan ke dalam sistem keuangan;

b. Layering, yaitu tahap ketika aset ilegal dipindahkan atau dialihkan untuk menyamarkan asal-usulnya; dan

c. Integration, yaitu tahap ketika aset yang telah dicuci dikembalikan ke dalam perekonomian melalui cara yang tampak sah.[13]

Untuk memerangi TPPU, berbagai negara, termasuk Indonesia, telah mengembangkan kerangka hukum yang komprehensif, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada lembaga tertentu dalam melakukan penyelidikan dan penegakan hukum terhadap praktik pencucian uang. TPPU memiliki dampak yang sangat merugikan terhadap perekonomian dan masyarakat karena dapat merusak integritas sistem keuangan, meningkatkan korupsi, memperparah kejahatan terorganisir, serta mengganggu persaingan usaha yang sehat. [14] Oleh karena itu, pemahaman mengenai hubungan antara TPPU dan tindak pidana asal sangat penting dalam merancang strategi pencegahan serta penegakan hukum yang efektif.[15] Dalam konteks hukum Indonesia, Pasal 3 UU TPPU menyebutkan bahwa frasa "dengan tujuan" sebelum unsur menyembunyikan atau menyamarkan menunjukkan adanya mens rea pada diri pelaku. Hal ini berarti bahwa pelaku mengetahui dengan jelas tujuan dari perbuatannya, yaitu menyembunyikan dan menyamarkan harta yang diperolehnya secara melawan hukum. Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp10.000.000.000,00.

Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum mencakup tiga unsur utama: struktur, substansi, dan budaya hukum. Dalam konteks Indonesia, ketiga unsur ini telah terpenuhi, meskipun masih terdapat tantangan dalam aspek budaya hukum. Dari sisi struktur, Indonesia memiliki sistem hukum yang jelas dengan lembaga penegak hukum seperti Komite Nasional TPPU yang berperan dalam mengkoordinasikan pencegahan dan penegakan hukum.[16] Dari segi substansi, regulasi terkait TPPU telah disusun secara komprehensif, terutama melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang memberikan dasar hukum kuat dalam mendefinisikan, memberikan sanksi, serta mengatur mekanisme pelaporan transaksi mencurigakan terhadap tindakan pencucian uang.[17] Namun, tantangan terbesar terletak pada aspek budaya hukum, yang mencerminkan sikap, nilai, dan perilaku masyarakat terhadap sistem hukum yang berlaku.

Meskipun struktur dan substansi hukum telah terpenuhi, optimalisasi penegakan hukum memerlukan peningkatan budaya hukum di kalangan masyarakat. Upaya ini dapat diwujudkan melalui penanaman nilai-nilai integritas dan profesionalisme serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai pentingnya hukum dalam kehidupan sehari-hari. Peningkatan budaya hukum harus dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Salah satu metode yang efektif adalah melalui diseminasi atau sosialisasi hukum secara masif, memanfaatkan berbagai media komunikasi guna menjangkau khalayak yang lebih luas. Dengan adanya sosialisasi yang baik, diharapkan masyarakat semakin memahami dan menghormati hukum, sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi penegakan hukum. Secara keseluruhan, meskipun ketiga unsur sistem hukum menurut Friedman telah terpenuhi di Indonesia, upaya untuk meningkatkan budaya hukum tetap menjadi aspek yang sangat penting. Dengan meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat, penegakan hukum, khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), diharapkan dapat berjalan lebih efektif dan adil. Dalam konteks peradilan, teori keseimbangan menekankan bahwa hakim harus mempertimbangkan berbagai kepentingan dalam suatu perkara. Penerapan teori ini melibatkan analisis menyeluruh terhadap fakta dan bukti, perlindungan hak asasi manusia, serta penerapan prinsip keadilan dan netralitas. Selain itu, hakim juga harus berpegang teguh pada hukum yang berlaku serta mempertimbangkan preseden hukum untuk memastikan konsistensi dalam putusan yang dihasilkan. Dampak keputusan terhadap berbagai pihak, termasuk aspek sosial, ekonomi, dan moral, juga menjadi faktor yang harus diperhatikan. Etika profesional, seperti kejujuran dan transparansi, menjadi elemen krusial dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Lebih lanjut, teori keseimbangan terlihat menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan hakim, dengan fokus pada pencapaian putusan yang adil dan seimbang dalam konteks hukum, sosial, dan etika. Dalam implementasinya, tipologi pencucian uang yang terkait dengan tindak pidana perbankan menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai unit intelijen keuangan di Indonesia telah berjalan dengan baik. PPATK telah melaksanakan analisis operasional dan strategis melalui riset tipologi sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU. Pelaksanaan tersebut merupakan wujud implementasi Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) Nomor 29, yang bertujuan untuk membantu Financial Intelligence Unit (FIU) dan pemangku kepentingan lainnya dalam merumuskan kebijakan dan strategi guna mencegah serta mengeliminasi tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.[18]

Secara berkala, laporan-laporan tipologi yang disusun oleh APG, beserta analisis operasional dan strategis melalui riset tipologi, telah memberikan wawasan yang komprehensif mengenai kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Indonesia. Analisis ini memungkinkan seluruh pemangku kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai pola tematik kasus yang dianalisis serta efektivitas proses penanganan perkara yang telah dilakukan. Dalam konteks TPPU, pendekatan ekonomi menawarkan perspektif yang esensial dalam memahami faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindakan pencucian uang serta dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan. Pendekatan ini tidak hanya mengkaji faktor ekonomi yang dapat mendorong individu atau kelompok untuk terlibat dalam aktivitas pencucian uang, tetapi juga mengeksplorasi pengaruh penegakan hukum terhadap praktik tersebut. Dengan demikian, analisis ekonomi dalam hukum memberikan wawasan mengenai hubungan timbal balik antara regulasi hukum dan kondisi ekonomi yang ada. Richard A. Posner, dalam karyanya Economic Analysis of Law, menekankan bahwa hukum seharusnya tidak hanya dipandang dari sudut normatif, tetapi juga harus mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang diakibatkan oleh penerapannya. Posner mengungkapkan bahwa setiap keputusan hukum dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan, baik pada individu maupun masyarakat secara luas. Oleh karena itu, dalam menganalisis kasus TPPU, penting untuk tidak hanya berfokus pada mekanisme hukum dalam mencegah tindakan pencucian uang, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi yang dapat mempengaruhi keputusan individu untuk terlibat dalam kegiatan tersebut.Sebagai contoh, kondisi ekonomi yang tidak stabil atau minimnya peluang kerja dapat menjadi faktor pendorong bagi individu untuk mencari keuntungan finansial melalui aktivitas ilegal, termasuk pencucian uang. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai interaksi antara regulasi hukum dan faktor ekonomi sangat diperlukan dalam merancang strategi pencegahan serta penegakan hukum yang lebih efektif terhadap praktik pencucian uang.

Pendekatan Economic Analysis of Law dalam konteks Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak dapat diterapkan secara universal, melainkan harus dianalisis berdasarkan karakteristik dan konteks spesifik dari setiap kasus. Setiap perkara TPPU memiliki dinamika yang unik, sehingga analisis ekonomi yang diterapkan harus disesuaikan dengan faktor-faktor yang relevan dalam masing-masing kasus. Sebagai contoh, dalam suatu kasus, pelaku mungkin terdorong oleh keinginan memperoleh keuntungan cepat melalui investasi ilegal, sementara dalam kasus lain, tindakan pencucian uang dapat dipicu oleh tekanan ekonomi atau upaya melindungi aset dari otoritas hukum. Oleh karena itu, penerapan pendekatan ekonomi dalam analisis hukum harus mempertimbangkan relevansi yang spesifik terhadap kasus yang sedang ditangani. Dalam pengambilan keputusan, hakim perlu secara cermat mengevaluasi faktor-faktor ekonomi yang berkontribusi terhadap tindak pidana pencucian uang, serta mempertimbangkan dampak ekonomi dari putusan yang diambil. Pendekatan ekonomi tidak hanya berfungsi sebagai instrumen untuk menganalisis dan memahami tindakan kriminal, tetapi juga memberikan wawasan yang lebih mendalam dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif guna mencegah dan memberantas TPPU.[19] Dengan demikian, analisis ekonomi dalam hukum membuka peluang untuk memahami dinamika yang lebih luas terkait kebijakan penegakan hukum serta menciptakan lingkungan yang mampu mengurangi insentif bagi pelaku untuk melakukan pencucian uang dengan mempertimbangkan berbagai faktor ekonomi yang relevan. Namun, dalam implementasinya, terdapat berbagai kendala yang dihadapi. Salah satu tantangan utama adalah kecenderungan penyidik untuk tidak melakukan penyidikan TPPU dalam kasus korupsi, melainkan hanya berfokus pada tindak pidana asal dengan alasan bahwa kerugian telah tertutupi melalui aset yang telah disita. Selain itu, keterlibatan profesional atau gatekeeper, seperti pengacara dan notaris, dalam praktik pencucian uang menjadi permasalahan yang signifikan. Rendahnya tingkat kepatuhan mereka terhadap regulasi anti pencucian uang semakin memperumit upaya penegakan hukum. Dalam hal ini, kepatuhan profesional terhadap kewajiban pengenalan nasabah, yang meliputi identifikasi, verifikasi, dan pelaporan klien, harus ditingkatkan guna memperkuat efektivitas rezim anti pencucian uang.[20] Selain itu, pencucian uang yang terkait dengan tindak pidana perdagangan orang sering kali sulit terdeteksi. Hal ini disebabkan oleh tipologi kejahatan perdagangan orang yang melibatkan transaksi lintas negara yang tampak seperti transaksi bisnis biasa. Akibatnya, transaksi keuangan yang mencurigakan baru terungkap setelah pelaku tertangkap, bukan melalui deteksi dini berdasarkan pola transaksi keuangan yang tidak wajar. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan kerja sama erat antara lembaga penegak hukum, pemangku kepentingan, serta kerja sama internasional guna meningkatkan kapasitas dalam menangani kasus TPPU.

Peningkatan kompetensi di kalangan aparat penegak hukum, sektor perbankan, serta industri keuangan lainnya menjadi aspek krusial dalam memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang. Pelatihan dan program pendidikan yang berfokus pada identifikasi indikator pencucian uang, metode deteksi, serta strategi penanganan kasus perlu ditingkatkan secara berkelanjutan. Selain itu, perkembangan teknologi, termasuk munculnya berbagai jenis aset digital seperti cryptocurrency dan turunannya, menambah kompleksitas dalam proses pembuktian perkara TPPU. Ketiadaan regulasi yang menyeluruh dalam mengatur pembuktian kasus yang melibatkan aset digital menuntut adanya penguatan regulasi yang lebih komprehensif. Untuk memperbaiki strategi penegakan hukum, penelitian dan analisis yang lebih mendalam mengenai tren pencucian uang, metode yang digunakan, serta faktor-faktor pendorongnya menjadi hal yang sangat penting. Dengan memahami pola dan dinamika TPPU secara lebih komprehensif, kebijakan dan regulasi yang lebih efektif dapat dirumuskan guna mempersempit ruang gerak pelaku serta meningkatkan efektivitas upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang.

Simpulan

Penelitian ini berhasil mengungkap berbagai dimensi penting terkait dengan tindak pidana pencucian uang serta efektivitas kebijakan yang diterapkan untuk menanggulanginya. Pencucian uang, yang melibatkan tiga tahap utama—penempatan, pelapisan, dan integrasi—merupakan kejahatan ekonomi yang bertujuan untuk menyamarkan sumber dana ilegal agar tampak sah. Berdasarkan hasil penelitian, meskipun Indonesia telah memiliki regulasi yang cukup komprehensif untuk mencegah pencucian uang, implementasi dan pengawasan terhadap kebijakan tersebut masih menghadapi sejumlah tantangan signifikan. Salah satu isu utama adalah kurangnya pengawasan terhadap transaksi internasional yang mencurigakan serta keterbatasan kemampuan lembaga penegak hukum dalam mengidentifikasi pola-pola pencucian uang yang semakin rumit. Penelitian ini memberikan wawasan tentang efektivitas kebijakan anti-pencucian uang di Indonesia, serta peran lembaga-lembaga dalam mencegah dan mendeteksi kejahatan ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa untuk meningkatkan efektivitas kebijakan tersebut, perlu adanya penguatan transparansi, peningkatan pengawasan, dan kerjasama internasional yang lebih solid. Penerapan rekomendasi FATF, terutama yang terkait dengan transparansi pemilik manfaat perusahaan, juga menjadi langkah kunci untuk mencegah terjadinya pencucian uang. Oleh karena itu, kesimpulan utama dari penelitian ini adalah pentingnya memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kolaborasi antarnegara untuk memerangi pencucian uang dengan lebih efektif.

Saran

Berdasarkan temuan penelitian ini, terdapat beberapa rekomendasi yang dapat meningkatkan efektivitas undang-undang dan mekanisme pengawasan terkait tindak pidana pencucian uang. Pertama, lembaga pemerintah dan otoritas keuangan perlu memperkuat implementasi prinsip-prinsip transparansi dan pengawasan yang lebih ketat terhadap transaksi keuangan internasional, terutama yang melibatkan perusahaan terbatas. Penerapan sistem knowyour-customer (KYC) dan anti-money laundering (AML) perlu lebih diperhatikan, dengan memperkuat kapasitas lembaga keuangan dalam mendeteksi transaksi mencurigakan. Kedua, untuk meningkatkan efektivitas kebijakan anti-pencucian uang, penguatan kapasitas lembaga penegak hukum sangat diperlukan. Mereka perlu dilengkapi dengan perangkat hukum yang lebih memadai dan pelatihan yang lebih baik untuk mendeteksi dan mencegah tindak pidana pencucian uang yang semakin canggih. Sebagai saran untuk penelitian lebih lanjut, penelitian ini merekomendasikan penggunaan metode yang lebih komprehensif, seperti pendekatan berbasis data dan teknologi, untuk mendeteksi pola pencucian uang yang kompleks dan tersembunyi. Penelitian lebih lanjut juga dapat mengeksplorasi peran teknologi dalam mempercepat proses deteksi dan pelaporan transaksi mencurigakan secara real-time, guna mendukung upaya pencegahan kejahatan ini di masa depan.

References

  1. APG, "APG Yearly Typologies Report: Methods and Trends of Money Laundering and Terrorism Financing," APG, 2021.
  2. D. S. Fauzela, "Peranan Perbankan Dalam Menghadapi Pengaruh Globalisasi Ekonomi," Jurnal Kelitbangan, vol. 11, no. 3, pp. 291–306, 2023.
  3. A. H. Siregar, Penanganan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang dari Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Studi Kasus L/C Fiktif BNI 46). Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.
  4. H. Amrani, Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti-Pencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana, dan Penegakan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2015.
  5. Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko), Kompilasi Pedoman Penanganan Perkara TPPU (Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Pengadilan), 2019.
  6. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), "Pengkinian Penilaian Risiko Indonesia Terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Tahun 2015 (NRA TPPT 2015 Updated)," 2015. [Online]. Available: https://www.ppatk.go.id/backend/assets/images/publikasi/1573608909_.pdf
  7. PPATK, Penilaian Risiko Indonesia terhadap Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal Tahun 2021, 2021.
  8. PPATK, Penilaian Risiko Indonesia terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2021, 2021.
  9. H. C. Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed. St. Paul, MN: West Publishing Co., 1991.
  10. C. Saptono, S. Hadiyanto, and A. Ciptono, "Analisis Yuridis Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang Saat Ini Sebagai Upaya Pencegahannya di Indonesia," Jurnal USM Law Review, vol. 7, no. 2, pp. 622–633, 2024.
  11. R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
  12. R. Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Jakarta: Pustaka Utama Grafika, 2004.
  13. S. N. Welling, "Smurf, Money Laundering, and the Federal Criminal Law: The Crime of Structuring Transactions," Florida Law Review, vol. 41, 1989.
  14. M. Hatta, Hukum Pidana dan Kegiatan Perekonomian: Titik Singgung Perkara Pidana dengan Perkara Perdata dan Tindak Pidana Ekonomi. Yogyakarta: Calpmoneulis, 2016.
  15. M. Pardede, "Aspek Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi dalam Bidang Perpajakan," Jurnal Penelitian Hukum Jure, vol. 20, no. 3, pp. 335–362, 2020.
  16. A. Arsyad, "Analisis Yuridis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang," Jurnal Ilmu Hukum Jambi, vol. 5, no. 2, 2014.
  17. Y. Husein, Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Masalah Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2003.
  18. F. Sugianto, Economic Analysis of Law: Seri Analisis Keekonomian tentang Hukum, Seri Kesatu. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.
  19. Z. Iqbal, M. Ardie, and H. J. Hasan, "Analisis Hukum dalam Melacak Jejak Digital dan Memahami Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Era Teknologi," Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah, pp. 286–298, 2024.
  20. J. Ginting, "Adopting the Financial Action Task Force (FATF) Recommendations in Realizing Beneficial Owners Transparency in Limited Companies to Prevent Money Laundering Criminal Acts in Indonesia," Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues, vol. 24, no. 1, 2021.