General Background: Land disputes over public facility (fasum) areas frequently arise due to conflicting claims, impacting legal and social stability. Specific Background: In Sampang District, a dispute emerged over fasum land in the "Puri Matahari" housing area, where a private individual constructed commercial buildings, conflicting with local regulations. Knowledge Gap: Inconsistencies in legal decisions and administrative weaknesses contribute to uncertainty in public land management. Aims: This study examines the legal status of the disputed land, judicial inconsistencies, and regulatory challenges while proposing governance improvements. Results: The findings confirm that the land legally belongs to the public domain, though administrative flaws led to legal disputes. Conflicting court rulings highlight the complexities of enforcing land use regulations. Novelty: This study identifies gaps in regulatory enforcement and judicial interpretation, proposing reforms to prevent similar conflicts. Implications: Strengthening legal frameworks, land administration, and judicial consistency is crucial to safeguarding public land and preventing future disputes.
Highlights:
Keywords: Land Dispute, Public Facility Land, Legal Uncertainty, Judicial Inconsistency, Land Governance
Sengketa tanah merupakan salah satu isu hukum yang sering muncul di berbagai daerah, terutama ketika menyangkut tanah fasilitas umum (fasum) yang memiliki nilai ekonomis bagi kepentingan masyarakat[1]. Sengketa fasum terjadi antar para pihak yang saling klaim hak tetapi saling bertentangan. Sengketa tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Jadi bisa diartikan bahwa sengketa tanah merupakan kejadian perselisihan antara perorangan atau lembaga mengenai perihal yang berkaitan dengan pertanahan, sering kali membawa dampak signifikan baik dari segi hukum maupun social[2]. Di Kabupaten Sampang, salah satu kasus sengketa tanah fasum terjadi antara Pemerintah Kabupaten Sampang dan Badrut Tamam. Tanah yang dipermasalahkan adalah bagian dari fasilitas umum di perumahan "Puri Matahari", yang menurut aturan harus diserahkan kepada pemerintah daerah untuk kepentingan publik. Tanah fasum ini seharusnya digunakan untuk fasilitas umum seperti taman, jalan, atau ruang publik lainnya, sesuai dengan ketentuan setelah serah terima dari pihak pengembang.
Dalam kasus ini, Rahmad Sumantri, pemilik lahan di perumahan "Puri Matahari", memberikan hak pemanfaatan tanah dengan ukuran 7x27 meter kepada Badrut Tamam melalui Surat Perjanjian Hak Pemanfaatan Lahan. Melalui perjanjian tersebut, Badrut Tamam mendapatkan hak untuk menggunakan dan membangun ruko di tanah tersebut. Namun, masalah muncul ketika penggunaan tanah oleh Badrut Tamam tidak sesuai dengan perjanjian. Badrut Tamam membangun ruko di atas tanah yang secara hukum ditetapkan sebagai fasum, yang menurut masyarakat Desa Karang Dalem, seharusnya tidak diperuntukkan untuk keperluan pribadi. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Sampang mengklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah fasum yang seharusnya dikelola untuk kepentingan umum sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Tanah Fasilitas Umum[3]. Peraturan Bupati Sampang No. 27 Tahun 2023 Tentang Perubahan atas peraturan Bupati Nomor 36 tahun 2022 Tentang Penyediaan dan Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan Kepada Pemerintah Daerah[4].
Masyarakat setempat melaporkan hal ini kepada Pemerintah Kabupaten Sampang, yang kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan investigasi berdasarkan Peraturan Bupati Sampang Nomor 134 Tahun 2002. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa tanah di tepi jalan antara Blok C dan Blok B merupakan tanah fasum yang harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi seperti pembangunan ruko. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sampang mengeluarkan surat perintah pembongkaran, memerintahkan Badrut Tamam untuk membongkar bangunan yang telah didirikan di atas tanah tersebut.
Namun, Badrut Tamam tidak menerima keputusan tersebut dan membawa kasus ini ke jalur hukum, dengan menggugat Pemerintah Kabupaten Sampang di Pengadilan Negeri (PN). Dalam proses hukum di tingkat Pengadilan Negeri, Badrut Tamam kalah. Namun, saat kasus ini dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Badrut Tamam memenangkan perkara. Keputusan PTUN ini menyebabkan Pemerintah Kabupaten Sampang kalah dalam sengketa tanah fasum tersebut.
Kasus ini mengangkat beberapa masalah krusial terkait hukum perdata dan pengelolaan tanah fasum, termasuk:
a. Kepemilikan dan Hak Atas Tanah
Terdapat perbedaan interpretasi mengenai status hukum tanah fasum yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum, namun dialihkan untuk kepentingan pribadi.
b. Penegakan Hukum
Ada tantangan dalam penegakan aturan terkait penggunaan tanah fasum, terutama ketika terjadi sengketa antara pihak pemerintah dan pihak swasta.
c. Administrasi dan Dokumentasi
Kecurigaan adanya manipulasi dokumen yang melibatkan pihak-pihak tertentu memperumit proses penyelesaian sengketa ini.
Dari segi hukum, beberapa dasar hukum yang relevan dalam kasus ini antara lain: a). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA): Undang-undang ini menjadi dasar utama bagi penguasaan dan pemanfaatan tanah serta hak-hak yang berkaitan dengan tanah di Indonesia[5]. b). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: Peraturan ini mengatur tentang pendaftaran tanah, sertifikasi, dan hak-hak yang melekat pada tanah[6]. c). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Tanah Fasilitas Umum: Peraturan ini memberikan pedoman mengenai pengelolaan tanah fasum, termasuk aturan penggunaan dan pengalihan hak atas tanah fasilitas umum[7].
Dengan adanya kasus ini, penting untuk mengevaluasi kembali regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap pemanfaatan tanah fasum, serta memastikan bahwa kepentingan publik tidak dirugikan oleh penyalahgunaan hak individu. Masalah semakin rumit dengan adanya keputusan pengadilan yang berbeda antara Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengadilan Negeri memutuskan Pemerintah Kabupaten Sampang menang, sedangkan PTUN memutuskan sebaliknya, menunjukkan adanya ketidakpastian dalam penegakan hukum mengenai status tanah ini.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status hukum tanah yang menjadi objek sengketa serta dasar hukum dari klaim-klaim yang ada. Menilai tindakan Pemerintah Kabupaten Sampang dalam mengelola tanah fasum sesuai dengan regulasi yang berlaku. Memahami proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara serta faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pengadilan. Memberikan rekomendasi untuk perbaikan dalam pengelolaan tanah fasum dan penyelesaian sengketa di masa depan. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif[8, p. 60], dengan menggunakan metode pendekatan penelitian model pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti[8, p. 134]. Pendekatan kasus (case approach) Pendekatan ini beranjak dari ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk sampai pada keputusannya. Ratio decidendi dapat berupa fakta material seperti orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya[8, p. 158].
Tahapan penlitian dilakukan dengan pengumpulan data meliputi dokumen hukum, perjanjian, dan keputusan pengadilan serta wawancara dengan pihak-pihak terkait:
1.Dokumen Kepemilikan Tanah
a). Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) milik Rahmad Sumantri, termasuk detail pengukuran, lokasi, dan status tanah. b). Akta tanah yang dimiliki oleh Badrut Tamam, termasuk informasi mengenai penerbitannya, pihak-pihak yang terlibat, dan validitasnya. c). Dokumen penyerahan tanah fasum dari pihak pengembang perumahan "Puri Matahari" kepada Pemerintah Kabupaten Sampang. d). Peta dan denah lahan yang menunjukkan lokasi tanah yang dipermasalahkan, termasuk batas-batasnya.
2.Dokumen Pengadilan
a). Salinan putusan Pengadilan Negeri (PN) yang menunjukkan alasan hukum mengapa Badrut Tamam kalah dalam kasus tersebut. b). Salinan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menunjukkan alasan hukum mengapa Badrut Tamam menang. c). Bukti-bukti dan saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan baik di PN maupun PTUN. d). Risalah sidang dari kedua pengadilan, yang mencatat jalannya persidangan, argumen yang diajukan oleh kedua belah pihak, dan keputusan hakim.
3.Dokumen Administratif
a). Surat-surat atau dokumen administratif yang menunjukkan proses pengalihan tanah fasum dari pengembang perumahan kepada pemerintah. b). Dokumen atau bukti yang menunjukkan keterlibatan oknum notaris, jika ada, termasuk laporan atau investigasi internal yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak terkait.
4.Peraturan dan Regulasi Terkait
a). Undang-Undang Agraria yang relevan dengan kasus ini, termasuk peraturan tentang HGB dan tanah fasum yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional[5]. b). Peraturan terkait Tata Usaha Negara, yang mungkin relevan dalam putusan PTUN. c). Peraturan Bupati (Perbup) atau regulasi lainnya yang mengatur mengenai tanah fasum, prosedur penyerahan tanah dari pengembang kepada pemerintah, dan penggunaan tanah fasum di Kabupaten Sampang seperti: Peraturan Bupati Sampang No. 27 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2022 Tentang Penyediaan Dan Penyerahan Prasarana, Sarana Dan Utilitas Perumahan Kepada Pemerintah Daerah[4].
Tahapan selanjutnya adalah analisis kasus dengan menelaahan mendalam terhadap isu hukum terkait ketidaksesuaian putusan PTUN dengan PERDA Kabupaten Sampang mengenai pemanfaatan fasum di Perumahan Mentari Sampang. Analisis tersebut dilakukan untuk mengetahui aspek hukum kepemilikan dan pemanfaatan tanah dengan memverifikasi keabsahan Sertifikat HGB yang dimiliki oleh Rahmad Sumantri, keabsahan akta tanah Badrut Tamam, termasuk cara penerbitannya dan pihak-pihak yang terlibat. Kemudian terkait Penyerahan Tanah Fasum dari pengembang Perumahan "Puri Matahari" kepada Pemerintah Kabupaten Sampang. Dokumen-dokumen terkait harus dianalisis untuk memastikan apakah proses penyerahan tanah fasum dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tahapan berikutnya adalah penyusunan laporan berdasarkan analisis dan temuan, termasuk rekomendasi untuk penyelesaian sengketa dan pengelolaan tanah fasum, Menyiapkan laporan yang merangkum temuan dari pengumpulan data, wawancara, analisis dokumen, dan kajian regulasi. Laporan ini akan digunakan sebagai bahan rekomendasi untuk Pemerintah Kabupaten Sampang dalam menangani sengketa fasum.
Asas kebebasan berkontrak merupakan prinsip fundamental dalam hukum perjanjian yang termaktub dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Makna kebebasan yaitu memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum, dan kesusilaan[9]. Dalam kasus H. Badrut Tamam, asas kebebasan berkontrak ini terefleksikan dalam perjanjian hak pemanfaatan lahan antara Badrut Tamam dan Rahmad Sumantri. Namun, kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh prinsip bahwa perjanjian tersebut tidak boleh merugikan pihak lain, terutama merugikan kepentingan publik yang berhak atas tanah fasilitas umum.
Pemilik tanah memiliki hak penuh untuk menguasai, menggunakan, dan menikmati tanah miliknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 570 KUHPer yang menyatakan "Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu benda dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap benda itu, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh penguasa dan tidak mengganggu hak orang lain, semuanya dengan pengertian bahwa pemilik benda itu harus memberikan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan karena benda itu.". Hak ini mencakup hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah tersebut dan memanfaatkan tanah sesuai dengan kehendaknya[9]. Namun, pemilik tanah juga memiliki kewajiban untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan peruntukannya dan tidak merugikan kepentingan umum. Dalam kasus ini, meskipun Badrut Tamam mengklaim memiliki hak atas tanah tersebut, pemanfaatan tanah yang menjadi fasilitas umum oleh Badrut Tamam untuk mendirikan bangunan pribadi bertentangan dengan prinsip pengelolaan tanah untuk kepentingan publik.
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah salah satu jenis hak atas tanah yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional[5]. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGB, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai Atas Tanah. Peraturan ini memberikan ketentuan hukum terkait tata cara pemberian, perpanjangan, pembaruan, dan pengakhiran hak-hak tersebut atas tanah[10]. Dalam konteks kasus ini, HGB yang dimiliki oleh Rahmad Sumantri atas tanah yang kemudian diserahkan kepada Badrut Tamam menjadi salah satu dasar klaim kepemilikan dan pemanfaatan lahan. Namun, perlu dipastikan bahwa HGB tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan tidak melanggar hak atau kepentingan pihak lain, terutama dalam hal tanah tersebut merupakan tanah fasilitas umum.
Tanah fasilitas umum (fasum) adalah tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat umum, seperti jalan, taman, sekolah, dan fasilitas publik lainnya. Tanah fasum biasanya diserahkan oleh pengembang perumahan kepada pemerintah daerah sebagai bagian dari persyaratan pembangunan perumahan dan Fasilitas umum harus bijak dalam pemanfaat bersama masyarakat sebab tidak apabila hal ini terjadi masalah maka masyarakat sendiri yang dapat menyelesaikan. Dari aspek hukum keperdataan, pidana maupun ketata usaha negaraan tidak ada yang dapat menjerat saksi bagi permasalahan yang semacam ini[11]. Dalam konteks kasus ini, tanah yang diperebutkan oleh Badrut Tamam dan Pemerintah Kabupaten Sampang merupakan tanah fasum yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat penghuni perumahan "Puri Matahari" dan dikelola oleh pemerintah daerah.
Pengelolaan dan pengawasan tanah fasum diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, di mana tanah fasum harus dicatat sebagai aset pemerintah daerah dan dikelola sesuai dengan peruntukannya. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tanah fasum digunakan untuk kepentingan umum dan tidak dialihkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi[7]. Dalam kasus ini, Pemerintah Kabupaten Sampang telah melakukan tindakan sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan meminta Badrut Tamam untuk membongkar bangunan yang berdiri di atas tanah fasum. Namun, tindakan tersebut tidak diikuti dengan penyitaan atau tindakan hukum lainnya, yang menyebabkan ketidakpastian hukum dan eskalasi konflik ke ranah pengadilan.
Teori penyelesaian sengketa dalam hukum perdata, dijelaskan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti mediasi dan negosiasi. Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk memberikan mekanisme yang lebih cepat, efisien, dan adil dalam menyelesaikan sengketa bisnis dan perdata dibandingkan melalui pengadilan [12]. Mekanisme penyelesaian sengketa hukum perdata melibatkan beberapa tahapan, di antaranya:
1.Mediasi: Proses negosiasi antara para pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Mediasi bertujuan untuk mencapai kesepakatan damai tanpa melalui proses pengadilan.
2.Arbitrase: Penyelesaian sengketa oleh seorang arbiter yang dipilih oleh para pihak, di mana putusan arbiter bersifat final dan mengikat.
3.Litigasi: Penyelesaian sengketa melalui pengadilan, di mana hakim akan memutuskan berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku. Litigasi sering kali digunakan jika mediasi dan arbitrase gagal atau tidak disepakati oleh para pihak.
Dalam sengketa tanah, litigasi sering kali digunakan ketika salah satu pihak tidak dapat mencapai kesepakatan melalui mediasi atau arbitrase. Proses litigasi dalam kasus ini melibatkan Pengadilan Negeri dan PTUN, di mana kedua pengadilan memberikan putusan yang berbeda. Implikasi hukum dari putusan pengadilan dalam sengketa tanah dapat mencakup perintah pengosongan, pembongkaran, atau pembayaran ganti rugi. Dalam kasus Badrut Tamam, meskipun Pengadilan Negeri memutuskan untuk memenangkan Pemerintah Kabupaten Sampang, putusan PTUN yang memenangkan Badrut Tamam menunjukkan bahwa ada ketidakpastian hukum yang dapat berdampak pada proses pengelolaan tanah fasum.
Kabupaten Sampang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang dikenal dengan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan hukum, termasuk sengketa tanah. Dalam kasus yang menjadi objek sengketa terletak di tepi jalan sebelah Blok C dan Blok B dari perumahan "Puri Matahari". Tanah ini awalnya merupakan fasilitas umum yang disediakan oleh pengembang perumahan dan seharusnya menjadi milik Pemerintah Kabupaten Sampang berdasarkan Peraturan Bupati No. 27 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2022 Tentang Penyediaan Dan penyerahan Prasarana, Sarana Dan Utlitas Perumahan Kepada Pemerintah Daerah. Namun, terdapat sengketa hukum terkait penggunaan tanah tersebut oleh Badrut Tamam, yang mengklaim memiliki hak atas tanah berdasarkan perjanjian dengan Rahmad Sumantri, pemilik lahan perumahan[13].
Kepastian hukum dalam konteks tanah fasum yang belum dialihkan kepada pemerintah menyebabkan ketidaksesuaian hak guna dan pengelolaan, terutama jika tidak sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku. Asas ketidaksesuaian dalam konteks ini dapat dianalisis melalui beberapa sudut pandang asas-asas hukum, termasuk asas kepastian hukum, asas kepatutan atau kewajaran, dan asas keadilan.
1.Asas Kepastian Hukum
Kepastian dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan. Kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan sewenang- wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dan dapat memperoleh keadilan yang berkepastian. Sifat konkret hukum dapat diperoleh dalam bentuk hukum positif (peraturan perundang-undangan) dan dalam bentuk putusan pengadilan[14].
2.Asas Kepatutan dan Kewajaran
Kepatutan dan kewajaran dalam hukum merupakan materialisasi dari itikad baik, yang dalam hal ini memenuhi unsur subjektif, terletak pada hati nurani orang-orang yang memiliki kepentingan. Sedangkan yang mempunyai unsur objektif, terletak terutama pada hal keadaan sekitar atas persetujuan tersebut yakni hubungannya dengan norma dan pandangan di masyarakat sekitar. Artinya bahwa, kepatutan dan kewajaran dinilai berdasarkan norma yang diyakini oleh masyarakat umum, dan para pihak yang mengikatkan diri[15].
3.Asas Keadilan
John Rawls menyebutkan bahwa keadilan merupakan suatu nilai yang mewujudkan keseimbangan antara bagian-bagian dalam kesatuan, antara tujuan pribadi dan tujuan bersama.terdapat beberapa prinsip utama keadilan hukum menurut John Rawls, yaitu prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty), prinsip perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity)[14].
Tanah fasum yang menjadi objek sengketa seharusnya dikelola oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Bupati No. 27 Tahun 2023, yang menyatakan bahwa fasum yang disediakan pengembang perumahan harus diserahkan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pengelolaannya bagi kepentingan umum [13]. Ketika Badrut Tamam membangun di atas tanah ini tanpa penyerahan sah dari pengembang kepada pemerintah, terjadi ketidaksesuaian dengan regulasi yang ada, yang mengakibatkan ketidakpastian hak. UUPA, khususnya Pasal 19, mengharuskan setiap peralihan hak atas tanah, baik itu hak milik, hak guna bangunan (HGB), atau hak guna usaha (HGU), untuk didaftarkan secara resmi di BPN guna menjamin kepastian hukum[5]. Hak pemanfaatan yang dimiliki Badrut Tamam tidak tercatat dalam administrasi yang resmi, sehingga tidak memiliki kepastian hukum yang kuat. Hal ini melanggar asas kepastian hukum dalam agraria, di mana hanya hak-hak yang tercatat yang diakui secara hukum.
Penggunaan tanah fasum oleh Badrut Tamam tanpa dasar hukum yang jelas melanggar asas kepatutan dan kewajaran, mengingat tanah fasum seharusnya digunakan untuk kepentingan umum, bukan pribadi. Fakta bahwa fasum dibangun untuk keperluan komersial (ruko) menunjukkan penyimpangan dari tujuan awal fasilitas umum yang diwajibkan pemerintah kepada pengembang perumahan. Pasal 13 ayat (1) dari Peraturan Bupati Sampang Nomor 24 Tahun 2017 mensyaratkan bahwa penyerahan tanah fasum oleh masyarakat harus diketahui oleh pihak kelurahan dan kecamatan untuk memberikan transparansi dan akuntabilitas. Namun, dalam sengketa ini, tidak ada penyerahan yang formal atau dokumen yang sah mengenai penyerahan tanah ini kepada Pemerintah Kabupaten Sampang[16]. Hal ini melanggar asas kepatutan dan mengurangi nilai keterbukaan dalam pengelolaan aset tanah.
Tanah fasum di Perumahan Puri Matahari, yang seharusnya menjadi milik Pemerintah Kabupaten Sampang untuk digunakan sebagai fasilitas umum, justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Ini menyebabkan ketidakadilan bagi masyarakat setempat yang berhak mendapatkan fasilitas umum yang layak. Putusan PTUN yang membatalkan penyegelan bangunan permanen oleh pemerintah dapat dianggap tidak adil terhadap tujuan peruntukan tanah fasum sebagai fasilitas publik. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan, di mana hak pemerintah untuk menyediakan fasilitas umum bagi masyarakat seharusnya diutamakan di atas kepentingan individu.
Sengketa tanah untuk fasum ini juga menyebabkan pertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang merupakan kumpulan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi negara. Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa AAUPB adalah norma hukum baik tertulis ataupun tidak tertulis yang wajib ditaati[17]. AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi Pejabat Administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disahkan sebagai perundangan yang pertama kali mengatur mengenai tata laksana pemerintahan yang sesuai dengan UUD NRI 1945 dan Pancasila. Didalamnya tercantum tentang AAUPB berikut dengan penjelasannya[18]. AAUPB dalam UU No. 30 Tahun 2014 meliputi asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas keterbukaan, asas kepentingan umum, asas pelayanan yang baik.
Dalam sengketa tanah fasum di Kabupaten Sampang, setidaknya telah bertentangan dengan 2 (dua) AAUPB yaitu, asas keterbukaan, dan asas penetingan umum. Asas keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif[18]. Dalam penyegelan ruko yang dibangun di atas tanah fasum, Pemerintah Kabupaten Sampang harus melakukan tindakan yang sesuai prosedur hukum dan terbuka kepada publik. Namun, pengajuan banding oleh Badrut Tamam memperlihatkan kurangnya dokumentasi atau transparansi yang memadai dari pihak pemerintah dalam memperkuat tindakan penyegelan, yang akhirnya memicu keputusan yang memenangkan klaim pribadi atas tanah fasum. Penggunaan tanah fasum untuk kepentingan pribadi, seperti dalam kasus ruko di Puri Matahari, menunjukkan pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat. Jika fasum dimanfaatkan oleh pribadi, maka masyarakat kehilangan hak atas fasilitas publik yang seharusnya dikelola dan disediakan oleh pemerintah daerah.
Ratio decidendi dalam pertimbangan hukum Putusan No. 7/B/2024/PT.TUN.SBY yang menguraikan fakta tentang penyerahan tanah fasum dart TW Perumahan Puri Matahari kepada Pemerintah, menunjukan ketidakcermatan pengambil kebijakan. Bahkan sejak saat serah terima sampai munculnya sengketa, tanah tersebut belum dilakukan pembangunan. Peristiwa demikian telah bertentangan dengan asas kecermatan mensyaratkan agar badan pemerintahan sebelum mengambil keputusan, meneliti semua fakta yang relevan dan memuaskan pula semua kepentingan yang relevan dalam pertimbangannya. Bila fakta-fakta penting kurang teliti, itu berarti tidak cermat. Asas kecermatan membawa serta, bahwa badan pemerintah tidak boleh dengan mudah menyimpangi pertimbangan-pertimbangan yang diberikan apalagi bila dalam trukturalnya terdapat penasihat dari kalangan ahli-ahli dalam bidang tertentu[19].
Sengketa tanah fasum antara Badrut Tamam dan Pemerintah Kabupaten Sampang menyoroti pentingnya pemahaman yang mendalam tentang hukum perdata dan regulasi pengelolaan tanah. Analisis menunjukkan bahwa tanah yang digunakan Badrut Tamam adalah fasum dan harus dikelola oleh pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tindakan Pemerintah Kabupaten Sampang telah sesuai dengan prosedur hukum, meskipun terdapat beberapa kendala dalam proses administrasi dan dokumentasi. Seharusnya Pemerintah Kabupaten Sampang perlu meningkatkan sistem pengelolaan tanah fasum dan memastikan kepatuhan terhadap regulasi. Selain itu, perlu dilakukan revisi terhadap peraturan yang mengatur penggunaan tanah fasum untuk menghindari sengketa di masa depan. Kemudian melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pihak terkait mengenai regulasi dan prosedur penyelesaian sengketa tanah, supaya kedepan tidak menimbulkan sengketa serupa kembali.
Ucapan Terima Kasih
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, yang telah memungkinkan penulis menyusun Jurnal. Dalam proses penyusunan jurnal ini, penulis telah menerima banyak dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Zhilda Khalimatus, S.H., M.H., Pemerintah Kabupaten Sampang, Keluarga dan teman-teman, Rekan-rekan Magang. Perlu disadari bahwa jurnal ini masih memiliki kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga jurnal ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum perdata dan pengelolaan tanah fasilitas umum.
Akhir kata, penulis berharap jurnal ini dapat menjadi referensi yang berguna bagi pihak-pihak yang terlibat, baik dalam konteks akademik maupun praktis, serta memberikan solusi yang bermanfaat bagi penyelesaian sengketa di Kabupaten Sampang.