General Background: Technological advancements have significantly enhanced access to digital platforms, yet a substantial portion of the population remains uninformed about internet privacy and the responsible sharing of personal data. Specific Background: The Personal Data Protection Law outlines the obligations of data controllers to safeguard personal information, particularly regarding unauthorized data usage, such as the distribution of face stickers on social media. Knowledge Gap: Despite existing regulations, the legal implications of distributing face stickers without permission, particularly concerning copyright and privacy violations, are insufficiently explored in current literature. Aims: This study aims to identify and analyze the legal ramifications of unauthorized face sticker distribution, emphasizing the need for compliance with copyright and individual privacy laws. Results: Utilizing normative research methods with a statutory approach, this research evaluates relevant legal materials, including UU No. 27 Tahun 2022 and UU No. 28 Tahun 2014, to reveal the serious legal consequences for individuals engaging in unauthorized face sticker distribution. Novelty: The study's systematic interpretation of laws connects various legal frameworks, providing a comprehensive understanding of the interplay between privacy rights and copyright protections in the digital landscape. Implications: The findings underscore the necessity for enhanced public awareness regarding legal obligations surrounding copyright and individual privacy, aiming to foster responsible technology use and mitigate the risks of legal infractions in the digital age.
Highlights:
Keywords: Personal Data Protection, Copyright, Internet Privacy, Face Stickers, Legal Implications
Majunya teknologi berpengaruh besar pada kemudahan akses masyarakat terhadap teknologi. Namun, masih banyak orang yang belum memahami pentingnya privasi internet dan seringkali mengunggah data pribadi tanpa pertanggungjawaban[1]. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi mengharuskan pemegang data untuk mencegah akses tidak sah dan bertanggung jawab atas pengolahan data pribadi, seperti tindakan yang kerap terjadi seperti menyebarkan stiker wajah seseorang tanpa izin[2]. Salah satu contohnya adalah teknologi internet yang telah membawa kemunculan media sosial, mempermudah orang untuk berinteraksi. Sifat maya dari media sosial seringkali menciptakan fenomena-fenomena yang sedang booming di antara para pengguna media sosial dan juga masyarakat umum. Saat ini, fenomena yang sedang populer di kalangan pengguna media sosial di Indonesia adalah meme atau stiker wajah[3].
Menurut penemuan penulis, kejadian ini dimulai ketika seseorang menyebar stiker wajah korban di grup obrolan tanpa izin, menimbulkan perasaan malu dan merendahkan diri bagi pemilik wajah di antara pengguna grup obrolan yang tidak dikenal korban. Seorang individu menempelkan stiker wajah korban dengan alasan hanya bercanda spontan, namun tindakan tersebut menimbulkan banyak hinaan dan ejekan terhadap orang yang wajahnya terpasang stiker itu. Di sini dapat terlihat bahwa hukum pidana adalah gambaran dari apakah suatu bangsa itu baik atau tidak menurut perspektif hukum.
Copyright © Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License (CC BY). The use, distribution or reproduction in other forums is permitted, provided the original author(s) and the copyright owner(s) are credited and that the original publication in this journal is cited, in accordance with accepted academic practice. No use, distribution or reproduction is permitted which does not comply with these terms.
Menurut penelitian dari Gede Oka Swarbhawa, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, Ni Made Sukaryati Karma (2022) berjudul "Sanksi Pidana Terhadap Pembuat Stiker Whatsapp yang Menyerang Personal Seseorang," Dalam penelitian ini lebih membahas ketentuan hukum terhadap pembuat stiker WhatsApp yang menyerang karakter seseorang serta sanksi pidana terhadap pembuat stiker WhatsApp dan tujuan jurnal ini hanya untuk mengungkap ketentuan tindakan hukum terhadap pembuat stiker WhatsApp yang menyerang kepribadian seseorang, Hal ini yang kemudian menjadi fokus analisis dalam perspektif hukum[4].
Menurut penelitian dari Muhammad Malik Mukoffa (2020) yang berjudul “Penggunaan potret sebagai stiker whatsapp menurut undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta dan fatwa MUI nomor 1/MUNAS VII/MUI/5/2005” yang membahas tentang stiker WhatsApp merupakan karya transformasi yang melibatkan potret, namun memodifikasi stiker dengan konten pelecehan maupun tidak, tidak diperbolehkan. Selain itu, penggunaan iklan dalam stiker memerlukan izin dari model yang terdapat dalam stiker. Pelanggaran terhadap hak cipta menurut UU Hak Cipta No 28 Tahun 2014[5].
Menurut penelitian dari Ida Bagus Kade Fajar Bukit Purnama, Si Ngurah Ardya, Ni Ketut sari Adnyani yang berjudul “Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Fotografi Berdasarkan Pasal 40 Ayat 1 Huruf K Undang- Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta” Penelitian ini mengarah pada analisis mendalam terkait perlindungan hukum yang ditetapkan untuk karya cipta fotografi berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014. Fokus utama penelitian ini tidak hanya pada pemahaman aspek hukum yang mengatur hak cipta fotografi, tetapi juga bertujuan untuk memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai dampak hukum yang akan dihadapi oleh individu atau pihak yang melanggar hak cipta fotografi dengan mengambil foto tanpa izin dari penciptanya[6].
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian penulis adalah Penulis lebih menekankan bahwa perlunya ruang lingkup yang lebih luas mengenai penyalahgunaan stiker wajah tanpa izin dan Perlindungan data pribadi seseorang serta perlindungan hak cipta. Dalam konteks hukum, menyebar luaskan stiker wajah seseorang tanpa izin adalah hal yang sangat merugikan bagi pemilik wajah, pengaturan hukum juga terdapat dalam UU ITE Nomor 11 tahun 2008, khususnya dalam pasal 27 ayat (3) ITE dan Undang-undang Hak Cipta No 28 tahun 2014. Sedangkan menurut penlitian dari Gede Oka Swarbhawa, Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, Ni Made Sukaryati Karma, lebih membahas ketentuan hukum terhadap pembuat stiker WhatsApp yang menyerang karakter seseorang serta sanksi pidana terhadap pembuat stiker WhatsApp dan tujuan jurnal ini hanya untuk mengungkap ketentuan tindakan hukum terhadap pembuat stiker WhatsApp yang menyerang kepribadian seseorang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis akibat hukum terhadap menyebarluaskan stiker wajah tanpa izin. Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ITE Nomor 11 Tahun 2008, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta. Fokus penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana pelanggaran hak cipta dan privasi individu dapat terjadi dalam konteks penyebaran stiker wajah tanpa izin, serta konsekuensi hukum yang mungkin timbul akibatnya. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat dan pemegang kepentingan tentang pentingnya mematuhi aturan hukum terkait dengan hak cipta dan privasi individu dalam penggunaan stiker wajah.
Metode penelitian yang akan digunakan adalah jenis penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan serta bahan hukum primer Peraturan Perundang-Undangan UU No 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi Selain Undang-undang Hak Cipta No 28 tahun 2014, UU ITE Nomor 11 tahun 2008 khususnya pasal 27 ayat (3) ITE, dan bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian terdahulu. Analisis bahan hukum dilakukan dengan mengumpulkan data dari studi pustaka, studi dokumen, informasi, dan penjelasan yang diperoleh dari berbagai peraturan dan undang-undang terkait guna memahami landasan hukum yang mengatur dan implikasinya terhadap upaya melindungi hak cipta seseorang. Dalam metode ini, akan dilakukan analisis menyeluruh terhadap akibat hukum menyebarluaskan stiker wajah tanpa izin. Penafsiran yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Penafsiran Sistematis atau Logis, Dengan demikian, penelitian ini akan menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana hukum dapat menjadi alat efektif dalam melindungi dan mengelola penyebaran secara luas stiker wajah yang dilakukan tanpa izin atau ilegal.
A. Penyebaran Stiker Wajah Tanpa Izin Menurut UU ITE Dan UU Hak Cipta
Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan setara. Ini bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban negara untuk memastikan bahwa setiap individu dilindungi oleh hukum. Dalam prakteknya, perlindungan hukum ini sangat penting karena mencerminkan penghargaan terhadap martabat manusia. Khususnya dalam hal hak cipta, seperti pemilik wajah, penting untuk menghormati setiap hak-hak seseorang. Oleh karena itu, memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi setiap hak cipta, termasuk pemilik wajah, adalah suatu keharusan yang tak terbantahkan. Hak cipta memiliki dua aspek esensial yang diatur secara tegas dalam UU No. 28 Tahun 2014 Pasal 8 tentang Hak Cipta, yaitu hak ekonomi dan hak moral.
Pasal 1 Angka (20) UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, terdapat Hak Ekonomi yang merupakan hak yang melekat pada pencipta atau pemegang hak cipta untuk memperoleh manfaat ekonomi dari ciptaan yang telah dihasilkan. Setiap orang yang hendak melakukan eksploitasi atas hak ekonomi tersebut wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Ini berarti bahwa penggunaan, penggandaan, dan distribusi komersial dari suatu ciptaan tidak dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan yang sah. Undang-Undang Hak Cipta juga memberikan perlindungan khusus terhadap hak ekonomi atas hasil foto atau potret. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1), setiap orang dilarang menggunakan secara komersial, menggandakan, dan mendistribusikan potret yang dibuat tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak privasi dan kehormatan subjek dalam foto atau potret tersebut, serta untuk memastikan bahwa setiap penggunaan komersial dilakukan secara etis dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pasal 5 ayat (1) huruf e UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014, terdapat Hak Moral yang melakukan modifikasi atau penggunaan ciptaan tanpa izin dari pencipta, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hak moral pencipta. Hak moral mencakup hak untuk mengklaim kepemilikan atas ciptaan dan hak untuk menolak segala bentuk perubahan yang bersifat merugikan kehormatan diri dan merasa tersinggung karena wajahnya dijadikan stiker dan dimodifikasi untuk jadi bahan lelucon[8]. Pelanggaran hak moral dapat terjadi ketika suatu ciptaan diubah, atau dipergunakan secara tidak semestinya tanpa persetujuan dari pencipta, yang pada akhirnya merugikan kehormatan atau nama baik pencipta tersebut. Contohnya, penggunaan wajah seseorang sebagai stiker atau meme yang dimodifikasi untuk tujuan lelucon tanpa izin dari yang bersangkutan dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar hak moral.
Penyebaran Stiker Wajah Tanpa Izin Menurut UU ITE Nomor 11 tahun 2008 termasuk dalam kategori hukum yang mengatur tentang penggunaan dan penyalahgunaan teknologi informasi. Dalam konteks ini, penyebaran stiker tanpa izin dianggap sebagai tindakan pelanggaran yang melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, penindakan terhadap pelanggaran semacam ini dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dalam UU ITE, termasuk kemungkinan adanya sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran. Di dalam UU ITE No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU ITE serta UU ITE No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua, menjelaskan bahwa Penyebaran stiker wajah tanpa izin termasuk kategori pelanggaran yang disebut delik aduan bukan delik umum. Hal ini disebabkan karena stiker wajah yang dibuat dan diterbitkan tanpa izin menganggarkan kebebasan hak atas data pribadi yang merupakan hak milik pemilik data tersebut. Pemilik data pribadi berhak mengeluarkan aduan kepada pihak yang berwenang dari pengguna stiker wajah tanpa izin, sehingga pelanggaran ini disebut delik aduan bukan delik umum.
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasa 27A UU ITE No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua, Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, memperlihatkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki konten yang melanggar norma-norma kesopanan untuk dilihat oleh publik, serta mencemarkan nama baik atau reputasi seseorang dengan cara menuduh sesuatu, dengan niat agar informasi tersebut menjadi umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik, jadi perbuatan penyebaran stiker wajah tanpa izin merupakan tindak kejahatan teknologi karena dari pembuatan sampai dengan penyebaran semuanya menggunakan teknologi dan jaringan internet. Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 adalah undang-undang di Indonesia yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap karya intelektual. Undang-undang ini memberikan perlindungan hukum kepada pencipta atau pemilik hak cipta atas karya-karya mereka, baik yang berupa karya sastra, seni, musik, film, maupun karya-karya lainnya yang bersifat orisinal dan memiliki nilai kreatif.
Penyebab fenomena penyebaran stiker wajah tanpa izin salah satu factor nya adalah kurangnya pemahaman akan dampak negatif dari tindakan tersebut terhadap privasi dan hak asasi individu. Beberapa orang mungkin tidak menyadari bahwa menyebarluaskan gambar seseorang tanpa izin merupakan pelanggaran ketentuan UU ITE No. 11 Tahun 2008. Hal ini dapat merugikan pihak yang bersangkutan. Selain itu, adanya faktor-faktor seperti ketidaktahuan akan hukum dan peraturan yang mengatur penggunaan teknologi informasi juga dapat menjadi penyebabnya. Terkadang, tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk candaan atau keisengan tanpa memperhitungkan konsekuensi hukum dan dampak sosial yang mungkin timbul. Meskipun dilakukan secara spontan, tindakan tersebut menimbulkan
berbagai Hak Cipta dan ejekan terhadap pemilik wajah yang merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi individu. Disini dapat dilihat, fenomena ini menyoroti urgensi perubahan dalam UU ITE, sebagaimana yang diatur dalam UU ITE No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU ITE serta UU ITE No. 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua, yang bertujuan untuk lebih menegaskan perlindungan terhadap hak-hak individu dalam ruang digital. Selain itu, adanya akses mudah dan cepat ke media sosial dan platform digital juga memungkinkan penyebaran stiker wajah tanpa izin dapat terjadi dengan cepat dan luas.
Penyebaran Stiker Wajah Tanpa Izin Menurut Undang-undang Hak Cipta No 28 tahun 2014, pada hakikatnya meliputi kategori hukum publik dan privat, seperti terkait kriminalisasi yang terjadi di lingkup Hak Cipta seperti Pelanggaran Hak Cipta terhadap karya manusia yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap karya intelektual. Undang-undang ini memberikan perlindungan hukum kepada pencipta atau pemilik hak cipta atas karya- karya mereka, baik yang berupa karya sastra, seni, musik, film, maupun karya-karya lainnya yang bersifat orisinal dan memiliki nilai kreatif. Tujuan utama dari Undang-Undang Hak Cipta adalah untuk mendorong dan melindungi kreativitas serta inovasi dalam masyarakat, sambil memberikan pengakuan yang adil dan imbalan ekonomi kepada para pencipta atas karya-karya mereka. Selain itu juga termasuk dalam golongan hukum pidana karena mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang mengganggu kesejahteraan umum dan/atau ketertiban umum pemilik atau pemegang Hak Cipta, dan termasuk dalam hukum perdata apabila pencipta atau pemegang hak cipta menggugat ganti rugi atas kerugian terhadap pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh pelaku.
Secara eksplisit memang UU Hak Cipta tidak mengatur terkait definisi dari teknologi pembantu atau aplikasi pembuat yaitu stiker wajah. Terkait karya yang dihasilkannya apakah karya tersebut dapat dilindungi Hak Cipta nya dan apakah ketika ada seseorang mengambil karya fotografi orang lain melalui internet atau karya nya sendiri namun tidak izin kepada orang yang di potret untuk dijadikan bahan konten dari stiker wajah tanpa izin termasuk pelanggaran hak cipta. Pada hakikatnya Hak Cipta merupakan hak-hak eksklusif yang dimiliki pencipta yang timbul secara otomatis setelah terwujudnya suatu ciptaan tersebut yang sebagaiman tercantum pada UU Hak Cipta. Pencipta secara singkat dimaknai sebagai orang yang menciptakan sesuatu, Berbicara tentang kepribadian atau personalitas hal yang melekat kepada manusia yang dimana menurut KBBI yakni sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang, berdasarkan definisi tersebut, karya seperti stiker wajah yang diciptakan oleh seseorang tanpa izin tidak memenuhi konsep orisinalitas karena selain tidak dibuat dengan seizin pemilik wajah hal tersebut juga melanggar hak cipta pemilik wajah[9].
Dengan meningkatnya kasus penyebaran stiker wajah tanpa izin yang disebabkan oleh tindakan pengambilan karya orang lain tanpa izin, baik melalui unduhan langsung atau tangkapan layar dari sumber aslinya seperti akun media sosial atau situs web pencipta, atau bahkan dari potret diri sendiri tanpa izin subjek yang difoto, perlu diingatkan bahwa hal ini adalah masalah serius yang melanggar hak cipta. Pelanggaran semacam ini semakin marak seiring dengan berkembangnya teknologi pembuat stiker. Namun, perlu diingat bahwa terdapat hukum yang mengatur penyebaran stiker wajah dan pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Korban juga berhak untuk menuntut ganti rugi atas hak eksklusifnya sebagai pencipta atau pemegang hak cipta. Meskipun hak cipta dapat dialihkan kepada pihak lain, hal ini tidak mengurangi hak dari penciptanya untuk menuntut orang yang sengaja melakukan pelanggaran tanpa izin dan persetujuan dari pemegang hak cipta, yang dapat merusak hak moral pencipta atau pemegang hak cipta sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 98 ayat (1) UU Hak Cipta. Maka, penting untuk diingat bahwa setiap orang yang menciptakan karya memiliki hak cipta yang melindungi karyanya, dan hukum hadir untuk mencegah tindakan seperti menyalin karya orang lain tanpa izin, baik untuk keperluan komersial maupun non-komersial, serta melindungi pencipta dari pelanggaran terhadap karya yang telah mereka ciptakan.
B. Penggunaan Stiker Wajah dan Implikasi Hukum
Media sosial di zaman modern saat ini tidak sedikit fitur-fitur di berbagai aplikasi media sosial untuk mengekspresikan diri dalam bentuk apapun salah satunya dalam bentuk stiker yang berbentuk wajah[10]. Karena stiker wajah tersebut dianggap memudahkan pengguna dalam mengobrol, dan memperluas ruang ekspresi komunikatif secara digital. Meskipun stiker wajah dapat memudahkan pengguna dalam mengekspresikan diri, tetapi yang sering terjadi stiker wajah tersebut diambil atau dibuat dari wajah seseorang yang mungkin tidak dikenal, kemudian dimodifikasi tanpa seizin pemilik wajah[11]. Hal tersebut yang membuat penggunaan stiker wajah tanpa izin menjadi sebuah pelanggaran serius terhadap hak cipta dan privasi individu. Dalam konteks ini, tidak hanya menyalahi etika, tetapi juga melanggar hak hukum yang dilindungi secara hukum. Tindakan seperti ini dapat menyebabkan dampak hukum yang signifikan bagi pelaku,
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Pasal 1 angka 10 mendefinisikan potret sebagai sebuah karya fotografi yang menampilkan manusia sebagai objek gambarnya. Seperti halnya Wajah adalah data pribadi yang termasuk dalam lingkup hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang tersebut dan juga di lindungi oleh Undang- undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 tentang perlindungan data pribadi[12]. Sebagai konsekuensi dari perlindungan ini, setiap individu yang berencana menggunakan potret maupun wajah sesorang diwajibkan untuk memperoleh izin
terlebih dahulu dari pemiliknya, maupun hanya sekedar digunakan untuk pajangan atau disebarkan di internet. sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang Hak Cipta dan Undang- undang ITE.
Inilah yang sering kali terjadi dalam pelanggaran serius terhadap hak cipta dan privasi. Mengambil gambar seseorang tanpa izin, baik dari sumber online maupun foto yang diambil sendiri, dan mengubahnya menjadi stiker untuk disebarluaskan. Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan secara emosional, tetapi juga dapat merusak reputasi dan citra seseorang di mata masyarakat. Bayangkan betapa merusaknya jika gambar disalahgunakan dalam konteks yang tidak senonoh atau merugikan. Ini bukan hanya merupakan tindakan tidak bertanggung jawab, tetapi juga suatu pelanggaran hukum yang serius.
Memodifikasi foto atau potret yang tidak wajar dapat merusak citra dan reputasi pemilik foto di masyarakat, menyebabkan kerugian dan dampak negatif yang tidak diinginkan. Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang mengatur hak eksklusif terhadap potret (foto) sebagai salah satu objek ciptaan yang dilindungi oleh negara. Pasal 40 ayat 1 UU tersebut menegaskan bahwa potret masuk dalam ruang lingkup hak cipta yang dapat menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, perlu untuk memahami bahwa penggunaan stiker yang menggunakan foto orang lain tanpa izin dapat melanggar hak cipta. Berikut beberapa contoh hasil modifikasi dalam pembuatan stiker wajah tanpa izin yang di sebarluaskan:
Tindakan mengubah wajah seseorang menjadi stiker atau sering di sebut meme untuk tujuan hiburan atau lelucon. Tindakan semacam ini, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Namun demikian, perbuatan tersebut juga dapat dianggap sebagai tindakan mengakses data elektronik orang lain tanpa izin, sesuai dengan ketentuan Undang- Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008. Setiap karya cipta mengandung dua aspek utama, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Hak moral mencakup hak pencipta untuk mengontrol apakah karya tersebut dapat dimodifikasi atau tidak, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e Undang-Undang Hak Cipta[13].
C. Penanganan Masalah Penyebaran Stiker Wajah Tanpa Izin
Penyebaran stiker wajah tanpa izin sering kali dipicu oleh beragam motivasi, seperti keinginan untuk menghibur dengan humor atau bahkan untuk mencemarkan nama baik individu yang tergambar dalam stiker tersebut. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif dan represif untuk menangani masalah ini secara efektif dengan menggunakan dasar hukum UU ITE No. 11 Tahun 2008, UU ITE No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU ITE serta UU ITE No. 1 Tahun 2024 dan UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014[14]. Upaya preventif melibatkan edukasi masyarakat tentang pentingnya menghormati hak cipta dan privasi orang lain, dijelaskan didalam Pasal 9 dan 12 UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang intinya Setiap orang dilarang memperbanyak karya tanpa izin, sementara dalam konteks yang sama, Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak untuk mengizinkan atau melarang orang lain tanpa persetujuan mereka untuk menyewakan karya tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial[15]. Sementara upaya represif melibatkan penegakan hukum terhadap pelanggar dengan memberlakukan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Upaya preventif dalam konteks penyebaran stiker wajah tanpa izin yang melibatkan konten elektronik, Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Indonesia memiliki ketentuan yang relevan. Salah satu pasal yang dapat diacu dalam situasi ini adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dalam hal ini, upaya preventif dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai ketentuan tersebut, penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak berwenang sesuai dengan ketentuan UU ITE, termasuk investigasi, penangkapan, dan penuntutan terhadap pelaku pelanggaran. Kerja sama dengan platform online seperti media sosial dan aplikasi pesan juga diperlukan, di mana pemerintah dapat bekerja sama untuk mengimplementasikan kebijakan yang menghambat penyebaran stiker wajah tanpa izin, sesuai dengan Pasal 43 UU ITE.
Upaya represif menurut UU ITE dalam menangani permasalahan penyebaran stiker wajah tanpa izin melibatkan beberapa langkah yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Pihak berwenang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penangkapan, dan penuntutan terhadap pelaku pelanggaran sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UU ITE. Ini mencakup penggunaan Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang pelanggaran hak cipta dan privasi, serta Pasal 43 yang menetapkan sanksi pidana bagi pelaku penyebaran stiker wajah tanpa izin. Selain itu,
UU ITE juga memberikan wewenang kepada pemerintah untuk melakukan tindakan penghentian dan pemblokiran akses terhadap konten yang melanggar ketentuan hukum, termasuk penyebaran stiker wajah tanpa izin, sesuai dengan Pasal 40 ayat (2) UU ITE. Dengan adanya upaya represif ini, diharapkan dapat diciptakan efek jera bagi pelaku pelanggaran dan mengurangi insiden penyebaran stiker wajah tanpa izin yang merugikan masyarakat serta melanggar hak cipta dan privasi individu. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Masyarakat dan Kelompok Sosial, ia mengelompokkan berbagai jenis tindakan represif yang ada[16]:
1. Tindakan individu, seperti nasihat atau peringatan dari tokoh masyarakat kepada orang yang melanggar hukum.
2. Monitoring oleh lembaga atau institusi adalah salah satu tindakan institusional.
3. Tindakan yang diakui resmi adalah tindakan yang dilakukan oleh institusi resmi sesuai dengan aturan yang berlaku.
4. Tindakan tidak resmi adalah tindakan kontrol yang dilakukan tanpa aturan dan hukuman yang jelas, contohnya adalah pengucilan sosial dari masyarakat setempat.
Adapun upaya preventif dalam menangani permasalahan penyebaran stiker wajah tanpa izin sesuai dengan UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dapat mencakup penyuluhan dan sosialisasi mengenai hak cipta kepada masyarakat serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran hak cipta. Sebagai contoh, Pasal 10 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan bahwa "Setiap orang dilarang, tanpa hak atau tanpa izin dari pencipta atau pemegang hak cipta, melakukan perbuatan yang merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta." Pasal ini juga mencantumkan sanksi pidana dalam Pasal 113, yang menyatakan bahwa "Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)." Dengan demikian, upaya preventif dalam hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak cipta dan konsekuensi hukum yang dapat timbul akibat pelanggaran hak cipta, sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyebaran stiker wajah tanpa izin.
Hukum represif adalah hukum yang digunakan sebagai alat kekuasaan yang memaksa, dan masyarakat diharapkan untuk menerima serta melaksanakan konsekuensi dari hukum yang represif itu. Jika dilihat dari awal munculnya hukum yang bersifat menghukum, maka hukum diciptakan dari bentuk politik yang otoriter, sehingga hasilnya adalah hukum yang bersifat konservatif atau elit. Perlindungan hukum represif merupakan tahap akhir dalam menangani pelanggaran hak cipta, yang melibatkan penerapan sanksi seperti denda, pidana penjara, dan hukuman tambahan setelah terjadinya sengketa atau pelanggaran. Pada proses hukum represif ini, subyek hukum tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan keberatan secara langsung, karena penanganannya dilakukan melalui proses peradilan administrasi dan pengadilan umum. Dalam kasus pelanggaran hak cipta, seperti pada fotografi, pembuktian kepemilikan karya harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa karya tersebut adalah milik asli penciptanya dan bukan hasil orang lain. Pembuktian orisinalitas foto dapat dilakukan melalui beberapa metode, termasuk analisis resolusi foto, penggunaan file mentah, pemberian watermark, identifikasi jenis kamera yang digunakan, serta pencantuman informasi seperti nama, tanggal, dan ukuran pada sisi foto. Metode-metode tersebut digunakan untuk memperkuat bukti atas orisinalitas karya dan menguatkan kasus pelanggaran hak cipta.
Akibat hukum terhadap menyebarluaskan stiker wajah tanpa izin merupakan suatu tindak pidana dimana pelakunya dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan UU ITE No. 11 Tahun 2008 dan UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual dan penggunaan teknologi informasi. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai pidana penjara dan/atau denda sesuai dengan pasal-pasal yang relevan dalam kedua undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak privasi dan kekayaan intelektual individu serta mencegah penyalahgunaan teknologi informasi yang dapat merugikan pihak lain. Tindakan ini juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak moral dan ekonomi pencipta atau pemilik karya, yang dilindungi oleh undang-undang hak cipta. Dengan demikian, pelanggaran ini tidak hanya merugikan korban secara materiil dan immateriil tetapi juga menimbulkan konsekuensi hukum yang serius bagi pelaku.