Background: Sexual harassment against children in Pekalongan City has escalated, with factors such as diminished parental supervision and shifting moral values contributing to its prevalence. Knowledge Gap: Existing literature primarily explores legal repercussions and short-term psychological impacts, leaving a gap in comprehensive studies on long-term emotional effects and effective legal protection measures. Aims: This study aims to fill these gaps by identifying causative factors, evaluating psychological and emotional impacts over time, and assessing current legal protections. Results: The research highlights that children experiencing sexual abuse face severe psychological conditions like anxiety and depression, along with lasting emotional disturbances such as trauma and emotional dysregulation. Legal efforts are currently centered on reactive measures rather than preventative strategies. Novelty: This study is novel in its longitudinal analysis of emotional impacts and its critique of legal frameworks in place, suggesting improvements for future protective measures. Implications: The findings advocate for enhanced legal frameworks that focus not only on punitive measures but also on preventive and rehabilitative strategies to better protect children and foster resilience against the psychological and emotional scars of abuse.
Highlights:
Keywords: Children, Sexual Abuse, Legal Protection
Seorang anak merupakan titipan dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang perlu kita pelihara dengan baik. Anak memiliki nilai, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus kita hormati. Oleh karena itu, setiap anak berhak atas kehidupan yang layak, kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[1] Anak-anak yang kurang mendapatkan perlindungan dari orang tua berisiko menjadi korban kekerasan seksual. Menurut Thamrin dan Farid, kekerasan seksual mencakup segala bentuk ancaman dan pemaksaan seksual. Dengan kata lain, kekerasan seksual terjadi ketika ada kontak seksual yang tidak diinginkan oleh salah satu pihak. Esensi dari kekerasan seksual terletak pada adanya "ancaman" dan "pemaksaan".[2]
Anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap kejahatan kekerasan seksual. Mereka sering dianggap lemah atau tidak berdaya dan sangat bergantung pada orang dewasa di sekitarnya. Kondisi ini membuat anak-anak tidak berdaya saat diancam untuk tidak mengungkapkan apa yang mereka alami. Kejahatan ini sulit dihindari karena pelaku mampu mengendalikan korban melalui tipu daya, ancaman, atau kekerasan.[1]
Terjadinya tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak tentunya bertentangan dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Pasal 76C Undang- undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak berbunyi “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” dan berdasarkan Pasal 15 huruf f berbunyi “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual”. Dari peraturan tersebut sudah jelas bahwa kejahatan seksual yang dilakukan kepada anak tentunya sangat dilarang karena dapat merusak fisik dan psikis anak, selain itu juga menghambat proses pertumbuhan anak sebagai generasi emas penerus bangsa.
Perlindungan hukum pada korban kejahatan perlu memperoleh perhatian khusus. Perlindungan hukum bagi anak adalah upaya untuk menjaga berbagai kebebasan dan hak asasi anak, serta aspek-aspek yang berkaitan dengan kesejahteraan mereka. Lingkup perlindungan hukum ini sangat luas. Menurut Pasal 28 Ayat 9 (2) UUD 1945, setiap anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Negara, sebagai penjamin kehidupan bermasyarakat, harus mampu memberikan perlindungan khusus kepada anak agar mereka terhindar dari tindakan kejahatan oleh pihak tertentu.[3] Maka dari latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi di Kota Pekalongan.
Berdasarkanpenjabaran diatas, maka terdapat tiga rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak, bagaimana dampak yang dialami oleh korban pelecehan seksual secara psikologis dan emosional, dan bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap korban pelecehan seksual pada anak. Dari rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak, untuk mengetahui dampak yang dialami oleh korban pelecehan sesual secara psikologis dan emosional, dan untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap korban peecehan seksual pada anak.
Metode penelitian yang diterapkan dalam studi ini adalah metode hukum yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif ini dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menganalisis teori, konsep, asas hukum, serta peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini. Spesifikasi penelitian dalam studi ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengaitkannya dengan teori-teori hukum positif yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah informasi, fakta, atau dokumen yang diperoleh langsung dari responden terkait masalah yang diteliti. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka, termasuk peraturan perundang-undangan, buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian relevan lainnya. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka serta wawancara dengan psikolog dan Polres Pekalongan Kota. Penulis menggunakan metode analisis data kualitatif dan penyajian data deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena yang sedang terjadi maupun yang telah terjadi di masa lalu.
Meningkatnya angka kasus pelecehan seksual terhadap anak pada tahun 2023 yang dilaporkan ke Polres Pekalongan Kota serta jenis kasusnya yang lebih berat dibandingkan sebelumnya menjadi semakin mengkhawatirkan. Pada tahun 2023 terdapat 12 kasus kekerasan seksual terhadap anak Berikut penulis menambahkan data jumlah kasus yang ditangani Unit PPA Polres Pekalongan kota terkait anak yang menjadi korban pelecehan seksual.
Terjadinya pelecehan seksual terhadap anak disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan, factor individu, faktor budaya dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada bapak Y. Agus Waluyo, S.H., M.H. selaku Kasat Reskrim Polres Pekalongan Kota, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual terhadap anak antara lain:[4]
1. Kurangnya Pengawasan Dari Orang Tua
2. Merosotnya Iman atau Kepercayaan
3. Faktor Psikologis
4. Kelainan Seksual Pria
5. Pergeseran Nilai- Nilai Moral dan Adat Istiadat
6. Kesengsaraan (istri sudah meninggal, istri tidak mampu lagi memberikan kepuasan seksual. Istri berpergian sementara waktu)
7. Adanya Kesempatan
8. Adanya Daya Rangsang Dari Korban
Pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk peristiwa traumatis. Terjadinya pelecehan seksual terhadap anak sangat berdampak bagi psikologis dan emosional anak. Berikut merupakan dampak psikologis dan emosional yang terjadi terhadap korban pelecehan seksual terhadap anak:
a. Dampak Psikologis
Pelecehan seksual terhadap anak sangat mempengaruhi kondisi psikologis dan emosional mereka. Anak yang mengalami kekerasan seksual akan menghadapi dampak psikologis serius yang mengakibatkan trauma. Dampak tersebut meliputi penarikan diri, ketakutan, agresivitas, emosi yang labil, depresi, kecemasan, gangguan tidur, fobia, sifat keras, gangguan stres pasca trauma, keterlibatan dalam penggunaan zat adiktif, perasaan rendah diri, minder, merasa tidak berharga, dan kesulitan dalam membuat keputusan. Dalam jangka pendek, anak yang mengalami kekerasan seksual akan mengalami mimpi buruk, ketakutan berlebihan terhadap orang lain, dan penurunan konsentrasi yang dapat mempengaruhi kesehatannya. Oleh karena itu, terapi dan pendampingan sangat diperlukan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual untuk memulihkan kondisi psikologis mereka.[5]
Jika seorang anak mengalami trauma yang mendalam dan tidak dapat pulih, maka dampak psikologis yang muncul perlu diperhatikan. Anak mungkin akan berusaha menutupi luka-luka yang dideritanya dan tetap diam, menyembunyikan identitas pelakunya karena takut akan pembalasan. Kondisi ini dapat mempengaruhi perkembangan psikologisnya [6], menyebabkan keterlambatan dalam tahapan perkembangannya. Selain itu, anak mungkin akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan teman sebayanya. Jika trauma sangat mendalam, tidak menutup kemungkinan anak akan melukai dirinya sendiri atau mencoba bunuh diri.[7]
b. Dampak Emosional
Menurut Sudarsono, emosi adalah kondisi kompleks pada organisme yang melibatkan dorongan perasaan disertai perubahan luas dalam organ tubuh, biasanya diiringi perasaan intens yang mempengaruhi perilaku atau tindakan tertentu.[8] Dampak yang dirasakan tidak hanya jangka pendek tapi juga jangka panjang diantaranya, adanya perasaan takut untuk berinteraksi dengan orang baru, mudah putus asa, keterpurukan, gelisah atau tidak nyaman, malu terhadap orang- orang yang ada dilingkungannya, timbulnya perasaan kecewa dan marah pada pelaku, serta kesulitan dalam mengontrol emosi [9].
Secara emosional, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat mengalami berbagai dampak negatif seperti stres, depresi, gangguan jiwa, perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, serta ketakutan untuk berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga mungkin mengalami kenangan buruk tentang kekerasan seksual yang mereka alami, mimpi buruk, insomnia, ketakutan terhadap benda, bau, tempat, atau situasi yang terkait dengan penyalahgunaan, serta masalah harga diri. Dampak lainnya bisa meliputi disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan untuk bunuh diri, keluhan somatik, dan kehamilan yang tidak diinginkan.[10]
C. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Pelecehan seksual terhadap anak harus mendapatkan perhatian yang serius karena dampaknya dapat menyebabkan trauma jangka panjang pada anak [11]. Tujuan dari perlindungan hukum terhadap anak adalah untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum baik untuk masyarakat umum maupun khususnya bagi anak yang menjadi korban. Di samping itu, lingkungan masyarakat yang positif juga dapat membantu mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual pada anak.[12]
Secara terperinci, perlindungan terhadap korban diatur secara jelas dalam Pasal 69 UU Perlindungan Anak, mencakup beberapa aspek penting [13]. Korban berhak mendapatkan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, pendidikan tentang nilai agama dan kesusilaan, serta program rehabilitasi sosial untuk membantu mereka kembali ke masyarakat tanpa stigma. Selain itu, korban juga berhak mendapatkan pendampingan psikologis dan pengobatan hingga mereka pulih dan trauma mereka hilang, sehingga dapat beraktivitas seperti biasa. Korban juga berhak atas perlindungan dan bantuan hukum dari berbagai tingkat pemeriksaan, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan.[14]
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis bersama bapak Y. Agus Waluyo, S.H., M.H. selaku Kasat Reskrim Polres Pekalongan, upaya represif yang dilakukan oleh Polres Pekalongan Kota terhadap anak korban pelecehan seksual, diantaranya:[15]
1. Sharing
2. Pendampingan dalam pembuatan laporan
3. Melaksanakan visum et repertum
4. Mengambil keterangan awal dari anak atau orang tua korban
5. Melakukan pengecekan tempak kejadian perkara
6. Menyediakan tempat aman untuk korban
7. On call
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelecehan seksual mencakup berbagai jenis perilaku yang memiliki konotasi seksual dan dilakukan sepihak tanpa persetujuan dari korban. Bentuknya bisa berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat, atau tindakan yang mengandung unsur seksual. Faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual antara lain, kurangnya pengawasan orang tua, merosotnya iman atau kepercayaan, gangguan psikologis, kelainan seksual pria, pergeseran nilai-nilai moral dan adat istiadat, kesengsaraan, adanya kesempatan, dan adanya daya rangsang dari korban.
2. Terjadinya pelecehan seksual menimpulkan dampak psikologis dan emosional bagi korbannya. Anak yang mengalami pelecehan seksual rentan mengalami dampak psikis seperti perasaan cemas, sedih dengan resiko depresi, isolasi sosial, kurang percaya diri, trauma, hingga resiko bunuh diri. Hal ini tentu akan mempengaruhi kondisi fisik seperti gangguan kardiovaskular, metabolisme, gangguan tidur, dan sebagainya. Sementara itu, dampak emosional yang dialami oleh korban yaitu Takut, kecewa, sedih dengan resiko depresi, sulit mengontrol emosi, dan trauma.
3. Upaya perlindungan hukum yang dilakukan oleh polres Pekalongan Kota terhadap korban pelecehan seksual terhadap anak yaitu dengan melakukan sharing, pendampingan dalam pembuatan laporan, melakukan visum et repertum, mengambil keterangan awal dari korban atau orang tua korban, melakukan pengecekan ke TKP, menyediakan rumah aman untuk korban, memberikan layanan telpon 24 jam (on call). Polres Pekalongan Kota juga melaksanakan upaya pencegahan pelecehan seksual terhadap anak dengan cara melakukan sosialisasi cara pencegahan pelecehan seksual terhadap anak kepada anak, orang tua, dan guru.
Berdasarkan hasil kesimpulan dalam penelitian ini, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi Orang tua
Dianjurkan kepada orang tua untuk senantiasa memperhatikan anak-anak mereka setiap saat dan meluangkan waktu untuk membangun hubungan yang harmonis antara mereka. Orang tua disarankan untuk mengajarkan anak tentang pentingnya menjaga tubuh mereka dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan orang lain terhadap mereka. Selain itu, orang tua perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dan peka terhadap perilaku orang-orang di sekitar anak, memahami sikap anak secara mendalam, serta membiasakan diri untuk terbuka agar anak merasa nyaman berbagi cerita dengan orang tua.
2. Bagi Aparat Penegak Hukum
Para penegak hukum harus memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku pelecehan seksual terhadap anak, sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelaku harus bertanggung jawab atas tindakannya baik di hadapan hukum maupun dalam hal penyembuhan trauma yang dialami oleh anak. Selain itu, pelaku juga seharusnya menerima hukuman tambahan berupa kebiri dan rehabilitasi jangka panjang untuk mengubah pola pikirnya serta menciptakan efek jera agar tidak mengulangi tindakannya.