Perdagangan adalah kegiatan yang terkait dengan proses transaksi barang atau jasa baik di dalam maupun di luar negeri dengan tujuan beralihnya hak atas barang atau jasa tersebut untuk mendapatkan imbalannya[1]. Hal yang terpenting di dalam melakukan perdagangan adalah dasar filosofisnya. Telah dijelaskan bahwa melakukan perdagangan adalah kebebasan mendasar
Tujuan utama dari dilaksanakannya pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di berbagai bidang, termasuk juga bidang industri. Semakin besar hasil produk dari suatu industri, semakin besar pula limbah yang dihasilkan, termasuk juga limbah yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan sekitar.[3]
Bangsa Indonesia memiliki beberapa permasalahan, salah satunya adalah masalah persampahan. Tiap tahun hampir diyakinkan jika jumlah sampah akan bertambah karena banyaknya penduduk Indonesia. Kementrian LH mencatat pada umumnya sampah yang dihasilkan kurang lebih sebesar 2,5 liter per penduduk perhari atau 625 juta liter dari semua keseluruhan penduduk. Selama ini sebagian besar masyarakat masih memandang sampah sebagai barang sisa yang tidak berguna, bukan sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Masyarakat dalam mengelola sampah masih bertumpu pada pendekatan akhir (end-of-pipe), yaitu sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah. Padahal, timbunan sampah dengan volume yang besar di lokasi tempat pemrosesan akhir sampah berpotensi melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pemanasan global.
Permasalahan hukum lingkungan hidup yang ada dan muncul di masyarakat semakin kompleks, hal ini membutuhkan aturan yang jelas dan bisa digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan penegakan hukum. Diadakannya Konvensi Basel tahun 1989 dikarenakan banyaknya kekhawatiran terhadap perdagangan gelap limbah berbahaya yang dikirimkan kepada negara-negara berkembang. Hal tersebut membahayakan karena negara-negara yang menjadi tujuan perdagangan gelap limbah berbahaya belum atau bahkan tidak dapat mengelola limbah tersebut secara ramah lingkungan.[4]
Permasalahan impor sampah dan limbah diperkirakan telah terjadi di Indonesia sejak awal tahun 1990, namun pada waktu itu kasus ini tidak seberapa mendapat perhatian oleh pihak yang berwajib. Indikasi manipulasi masuknya sampah impor plastik yang terkontaminasi kandungan jenis limbah B3 berawal dari informasi para pemungut sampah yang menemukan di tempat-tempat pembuangan sampah.
Negara sebenarnya telah berkomitmen dalam konteks untuk mengelola perdagangan ekspor impor limbah telah terwujud dengan dibuatnya beberapa peraturan, antara lain UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri
Menurut kegiatan ekspor impor, pada prinsipnya yang dijelaskan dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang perdagangan menjelaskan bahwa semua barang dapat diimpor dan diekspor, kecuali yang dilarang atau dibatasi di dalam Undang-Undang. Dalam perkecualian tersebut salah satunya terdapat dalam Pasal 69 ayat (1) huruf C UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi bahwa setiap orang dilarang memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah NKRI ke dalam wilayah NKRI. Namun terkait pernyataan UU tersebut diatas, kementrian Perdagangan mengeluarkan peraturan melalui Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3 Sebagai Bahan Baku Industri masih boleh melakukan impor limbah non B3, walaupun limbah tersebut bukan sampah, tidak tercampur sampah ataupun tidak bercampur dengan tanah. Berdasarkan permasalahan diatas, hal inilah yang dijadikan dasar oleh penulis untuk melakukan penelitian ini.
Penelitian yang dipakai oleh penulis pada kesempatan penulisan kali ini adalah penelitian yang bersifat normatif atau banyak yang menyebut dengan doktrinal. Sesuai dengan namanya, maka penelitian ini lebih mengkaji dan menganalisis pada peraturan yang tertulis (hukum positif) dan dari bahan hukum lainnya yang dapat dipakai untuk membantu dalam menyelesaikan permasalahan penelitian ini.[5]
Sejalan dengan penelitian yang bersifat normatif, dalam hal ini penulis menggunakan pendektan masalahnya dengan konsep pendekatan undang- undang atau
Pengertian Sampah menurut UU No. 18 Tahun 2008 adalah hasil proses alam yang mempunyai bentuk padatan atau sisa dari kegiatan yang dilakukan manusia sehari-hari. Sedangkan untuk pengertian sampah spesifik adalah sampah yang membutuhkan pengelolaan khusus. Dalam Pasal 29 ayat UU ini menyebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk memasukkan sampah ke dalam wilayah NKRI dan dilarang untuk mengimpor sampah. Hukuman yang diberikan kepada siapapun yang melakukan kegiatan mengimpor sampah adalah diancam dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama Sembilan tahun dan denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak tiga miliar rupiah[7].
Pengertian limbah sendiri menurut UU No. 32 Tahun 2009 adalah sisa dari suatu kegiatan dan/atau sisa dari suatu usaha. Untuk limbah B3 didefinisikan sebagai sisa hasil dari kegiatan yang didalamnya terkandung bahan berbahaya atau beracun yang dikarenakan sifat ataupun jumlahnya baik langsung ataupun tidak yang dapat menimbulkan pencemaran atau merusak lingkungan serta dapat membahayakan lingkungan, kelangsungan hidup dan kesehatan manusia dan makhluk hidup lain. Didalam UU ini disebutkan bahwa setiap orang dilarang memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah NKRI ke dalam wilayah NKRI[8].
Salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah mengamandemen Konvensi Basel dengan memasukkan limbah plastik. Hal ini berarti beberapa jenis limbah plastik baik yang tercampur ataupun terkontaminasi bahan yang berbahaya harus mengikuti pada peraturan yang terdapat dalam Konvensi Basel. Ketentuan amandemen Konvensi Basel memberikan dua pilihan ketika impor Limbah Non-B3 terbukti mengandung Limbah B3 atau berasal dari kegiatan landfill dan berupa sampah plastik. Pertama, eksportir atau negara eksportir diharuskan mengambil sendiri limbahnya. Kedua, Negara importir mereekspor kepada Negara eksportir dan negara eksportir tersebut tidak boleh menolak reekspor.
Permendag No. 84 Tahun 2019 telah mengatur upaya preventif selain melalui rezim perizinan, yakni dengan melakukan mekanisme verifikasi dan penelusuran yang dilakukan oleh Surveyor. Ketentuan Permendag mengharuskan surveyor menyusun laporan yang berisi hasil verifikasi dan penelusuran teknis sebagai dokumen pelengkap pabean bidang impor. Permendag hanya langsung membebankan tanggung jawab terhadap importir apabila ditemukan fakta bahwa importasi Limbah Non-B3 terkontaminasi Limbah B3 atau sampah plastik, tidak adanya hukuman untuk mengelola lingkungan jika terjadi pelanggaran[9].
Sebagaimana disebut dalam Tabel 1. adalah perbedaan yang ada pada UU No. 18 Tahun 2018, UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, Konvensi Basel, dan Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri
Aturan mengenai impor sampah dan/atau limbah | Sanksi/Hukuman | |
UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan SampahDanUU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH | Kedua UU ini menyebutkan bahwa siapapun dilarang untuk memasukkan sampah dan/atau limbah ke dalam wilayah NKRI. | Diancam dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama Sembilan tahun dan denda paling sedikit seratus juta rupiah dan paling banyak tiga miliar rupiah. |
Konvensi Basel 1989 | Siapapun dilarang melakukan kegitana ekspor impor limbah B3. setelah diamandemen memasukkan limbah plastik kedalam barang yang dilarang untuk dilakukan ekspor impor | Pertama, eksportir atau negara eksportir diharuskan mengambil sendiri limbahnya. Kedua, Negara importir mereekspor kepada Negara eksportir dan negara eksportir tersebut tidak boleh menolak reekspor. |
Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri juncto Permendag No. 92 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permendag No. 84 Tahun 2019 | Memperbolehkan impor limbah non B3 untuk bahan baku industry | Korporasi yang mendatangkan barang impor yang tidak sesuai Permen ini wajib mengekspor kembali barang tersebut ke negara asalnya selambat-lambatnya selama 90 (sembilan puluh) hari setelah barang tersebut diterima.Hukuman lain yang diberikan adalah pembekuan hingga pencabutan ijin. |
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sebuah sistem hukum mewajibkan adanya harmonisasi yang
Pada kasus ini yang dibahas adalah Perbedaan pengaturan perdagangan terhadap impor limbah yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH dengan Permendag No. 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah non Bahan Berbahaya dan Beracun Sebagai Bahan Baku Industri
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH melarang siapapun untuk mengimpor limbah dalam bentuk apapun ke wilayah RI. Berdasarkan asas
Ucapan terima kasih yang mendalam kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo atas dukungannya, sehingga penelitian ini bisa terselesaikan.